Jumat, 09 Agustus 2013

IMAN YANG BERHARAP: MEMANDANG ALLAH YANG JANJI-NYA TEGUH

Di bawah rintik hujan, sungai yang tenang beriak tatkala sebuah sampan bambu melintas dan membelah arus. Dua lelaki setengah baya menumpang sampan itu. Seorang Pendayung dan yang seorang lagi Pendeta yang sedang menumpang sampan itu. Percakapan mereka seolah memecah gemericik suara air. “Sobat,” kata Pendeta memecah kesunyian, “apakah engkau tahu bahwa Tuhanlah yang menciptakan matahari, bulan, bintang, dan bumi ini? Apakah engkau pernah membaca Alkitab dan merenungkan bagaimana Tuhan bekerja menciptakan alam semesta ini?

Setelah merenung cukup lama, kening si Pendayung sampan berkerut, pertanda berpikir keras mencari jawaban. Kemudian si Pendayung sampan itu menjawab, “Saya hanya tahu kalau Tuhan yang menciptakan semuanya ini...Tidak, sama sekali saya tidak tahu bagaimana Tuhan bekerja. Saya hanya tahu bahwa setiap hari Dia melindungi saya mengayuh sampan ini.” Sang pendeta menanggapi jawaban itu, “Kawan, dengan tidak membaca Alkitab dan sama sekali tidak tahu cara Tuhan bekerja, engkau sama saja membahayakan separuh hidupmu!” Si Pendayung sampan hanya tersenyum mendengar komentar orang bijak itu.

Tiba-tiba hujan semakin deras dan badai menerpa permukaan sungai, lalu sampan itu terombang-ambing seperti gabus yang terapung. Sang Pendeta panik. Ia takut mati tenggelam. Syukurlah si Pengayuh sampan berhasil mengendalikan sampan dan menenangkannya, “Badai sudah reda, mengapa Pak Pendeta begitu takut?” Sang Pendeta yang masih gemetar pun menjawab, “A..aku..tidak bisa berenang...” Pendayung tersenyum bijak, katanya, “Pendeta, seseorang yang tidak bisa berenang, jika bersampan di sungai dia benar-benar membahayakab seluruh hidupnya!”

Kita sering bersikap seperti pendeta, merasa tahu banyak tentang Tuhan, hukum, janji dan rakhmat-Nya, tetapi begitu mudah terhanyut saat mengarungi gelombang kehidupan. Mempelajari Alkitab, memahami siapa Allah, mengetahui janji-janji-Nya tidak salah dan memang harus demikian, namun itu belum lengkap! Masih harus diuji dalam arus kehidupan ini. Itulah iman; percaya, yakin betul bahwa Tuhan tidak tinggal diam, Ia pasti bertindak! Meskipun demikian, bukan berarti orang percaya bebas bertindak semaunya, termasuk melakukan tindakan yang berbahaya karena yakin pasti Tuhan menolongnya.Kalau seperti itu namanya konyol! Orang beriman pasti akan berhati-hati dalam segala tindakannya supaya ia tetap lurus di jalan Tuhan. Kalau hal tersebut telah dilakukannya, namun toh  harus juga berhadapan dengan kesulitan dan penderitaan hidup, ia tidak akan mundur! Ia percaya ada kuasa di atas segala kuasa yang menyertainya. Itulah iman yang berharap kepada janji Tuhan!

Penulis Ibrani mengatakan bahwa iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1). Bagi penulis Ibrani, iman itu adalah kepastian mutlak bahwa yang dipercaya itu benar dan yang diharapkan itu pasti datang menolong. Dan pengharapan itu bukanlah pengharapan hampa. Pengharapan itu membuat orang yang mengimaninya percaya sepenuhnya kepada kehendak Allah dan bukan menuruti kemauannya sendiri.

Dalam menghadapi masalah pelik kita sering diperhadapkan kepada pelbagai pilihan. Ada banyak tawaran baik di sekitar kita, melalui teman atau media bahkan dari dalam diri sendiri untuk menempuh cara-cara yang mudah atau jalan pintas. Dengan begitu, bisa saja masalah pelik itu dapat diatasi segera. Permasalahannya, apakah hal tersebut berkenan kepada Allah atau tidak, atau hanya memuaskan keinginan kita sesaat saja. Jika kita mengikuti kehendak Allah, bisa saja kita mengalami penderitaan dan kesulitan, mungkin juga menjadi bahan cemoohan orang. Adalah keyakinan seorang yang beriman bahwa baginya lebih baik menderita bersama dengan Allah dari pada makmur tetapi di luar Allah!  Mengapa? Bagi orang beriman akan menyakini bahwa Allah merupakan sumber segala yang baik, Ia adalah pencipta dan pemilik kehidupan ini. Dengan keyakinan ini setiap orang beriman akan menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah kepunyaan Allah sendiri. Oleh karena segala sesuatu adalah milik Allah maka setiap orang percaya tidak akan menggunakan segala sesuatu -termasuk hidupnya sendiri - menurut maunya sendiri, melainkan ia akan mempergunakannya seperti yang dikehendaki Allah. Karena dengan begitu ia yakin kebahagiaan sejati sedang menantinya!

Abraham adalah contoh orang beriman itu. Kendati ia pernah mempertanyakan janji Tuhan (Kejadian 15:1-6), namun, ia tetap setia sampai akhir hidupnya. Meski Abraham disebut sebagai bapa orang percaya, namun dalam hidupnya, ia tidak pernah menikmati apa yang dijanjikan Allah itu. Apakah dengan demikian Abraham adalah orang bodoh yang hanya menerima janji-janji saja? Apakah demikian juga dengan orang-orang percaya selanjutnya? Hanya percaya pada janji-janji-Nya saja?

Selama hidupnya, Abraham adalah seorang paroikos (Ibrani 11:9); seorang pengembara atau penduduk asing di negeri asing. Abraham juga disebut parapidemos (Ibrani 11:13); ialah seseorang yang menumpang, yang tidak mempunyai rumah di tempat di mana nasib telah menempatkannya. Perlu dicatat bahwa bertempat tinggal di negeri asing pada jaman itu adalah hal yang sangat rendah dan hina. Sepanjang hidupnya, Abraham adalah orang asing di tanah asing.

Gambaran tentang pengembara ini menjadi gambaran hidup orang beriman. Tertullianus mengatakan, “Ia tahu bahwa di dunia ini ia sedang berziarah, tetapi kemuliaannya ada di sorga.” Clement dari Aleksandria mengatakan, “Di dunia ini kita tidak punya tanah air.” Agustinus mengatakan, “Kita adalah pengembara yang dibuang dari tanah air kita.” Hal itu terjadi bukan karena orang-orang beriman itu terlalu bodoh, merasa tidak berasal dari dunia ini, serta memisahkan diri mereka dari kehidupan dan tugas dunia. Melainkan, hal itu karena mereka selalu ingat bahwa di dunia ini mereka adalah orang-orang yang sedang berada di tengah perjalanan. Willian Barclay mengatakan bahwa ada perkataan Tuhan Yesus yang tidak tertulis, demikian, “Dunia ini merupakan jembatan. Orang yang bijaksana akan berjalan melalui jempatan ini tetapi tidak mau mendirikan rumahnya di atasnya.”

Meski apa pun yang terjadi, para bapa iman tidak pernah kehilangan penglihatan (vision) dan pengharapan mereka. Betapa lama pun pengharapan mereka akan sebuah kenyataan, terangnya selalu memancar dari mata mereka. Betapa lama pun perjalanan mereka, mereka tidak pernah berhenti berjalan. Para bapa leluhur Israel tidak pernah menghentikan perjalanan mereka karena lelah. Mereka hidup dalam pengharapan dan mati juga dalam pengharapan. Meski apa pun yang menimpa mereka, mereka tidak ingin kembali. Keturunan mereka, waktu berada di padang gurun, sering ingin kembali ke kuali-kuali yang penuh daging di Mesir. Tetapi para bapa leluhur tidak. Mereka sudah melakukan langkah awal dan tidak terbersit untuk kembali. Itulah iman!

Banyak orang justeru menganggap hidup ini adalah segalanya mereka seperti “mendirikan rumahnya di atas jembatan”. Mereka menikmati kehidupan ini dengan semaunya. Anggapannya bahwa Tuhan tidak sedang mengawasinya. Ingatllah bahwa hidup ini ada batasnya, sampai di mana batas itu? Hanya Tuhan yang tahu, untuk itu kita diminta waspada. Hal ini diingatkan Yesus dalam Lukas 12:15-48. Ebahagiaan sejati terjadi manakala Sang Tuan datang dan didapati hamba-Nya sedang tidak sedang tidur atau pesta pora, melainkan ketika melakukan tugas-tugasnya dengan baik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar