Di bawah rintik hujan, sungai
yang tenang beriak tatkala sebuah sampan bambu melintas dan membelah arus. Dua lelaki
setengah baya menumpang sampan itu. Seorang Pendayung dan yang seorang lagi Pendeta
yang sedang menumpang sampan itu. Percakapan mereka seolah memecah gemericik
suara air. “Sobat,” kata Pendeta memecah kesunyian, “apakah engkau tahu bahwa
Tuhanlah yang menciptakan matahari, bulan, bintang, dan bumi ini? Apakah engkau
pernah membaca Alkitab dan merenungkan bagaimana Tuhan bekerja menciptakan alam
semesta ini?
Setelah merenung cukup lama,
kening si Pendayung sampan berkerut, pertanda berpikir keras mencari jawaban. Kemudian
si Pendayung sampan itu menjawab, “Saya hanya tahu kalau Tuhan yang menciptakan
semuanya ini...Tidak, sama sekali saya tidak tahu bagaimana Tuhan bekerja. Saya
hanya tahu bahwa setiap hari Dia melindungi saya mengayuh sampan ini.” Sang
pendeta menanggapi jawaban itu, “Kawan, dengan tidak membaca Alkitab dan sama
sekali tidak tahu cara Tuhan bekerja, engkau sama saja membahayakan separuh
hidupmu!” Si Pendayung sampan hanya tersenyum mendengar komentar orang bijak
itu.
Tiba-tiba hujan semakin deras
dan badai menerpa permukaan sungai, lalu sampan itu terombang-ambing seperti
gabus yang terapung. Sang Pendeta panik. Ia takut mati tenggelam. Syukurlah si
Pengayuh sampan berhasil mengendalikan sampan dan menenangkannya, “Badai sudah
reda, mengapa Pak Pendeta begitu takut?” Sang Pendeta yang masih gemetar pun
menjawab, “A..aku..tidak bisa berenang...” Pendayung tersenyum bijak, katanya, “Pendeta,
seseorang yang tidak bisa berenang, jika bersampan di sungai dia benar-benar
membahayakab seluruh hidupnya!”
Kita sering bersikap seperti
pendeta, merasa tahu banyak tentang Tuhan, hukum, janji dan rakhmat-Nya, tetapi
begitu mudah terhanyut saat mengarungi gelombang kehidupan. Mempelajari
Alkitab, memahami siapa Allah, mengetahui janji-janji-Nya tidak salah dan
memang harus demikian, namun itu belum lengkap! Masih harus diuji dalam arus
kehidupan ini. Itulah iman; percaya, yakin betul bahwa Tuhan tidak tinggal
diam, Ia pasti bertindak! Meskipun demikian, bukan berarti orang percaya bebas
bertindak semaunya, termasuk melakukan tindakan yang berbahaya karena yakin
pasti Tuhan menolongnya.Kalau seperti itu namanya konyol! Orang beriman pasti
akan berhati-hati dalam segala tindakannya supaya ia tetap lurus di jalan
Tuhan. Kalau hal tersebut telah dilakukannya, namun toh harus juga berhadapan
dengan kesulitan dan penderitaan hidup, ia tidak akan mundur! Ia percaya ada
kuasa di atas segala kuasa yang menyertainya. Itulah iman yang berharap kepada
janji Tuhan!
Penulis Ibrani mengatakan
bahwa iman adalah dasar dari segala
sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani
11:1). Bagi penulis Ibrani, iman itu adalah kepastian mutlak bahwa yang
dipercaya itu benar dan yang diharapkan itu pasti datang menolong. Dan
pengharapan itu bukanlah pengharapan hampa. Pengharapan itu membuat orang yang
mengimaninya percaya sepenuhnya kepada kehendak Allah dan bukan menuruti
kemauannya sendiri.
Dalam menghadapi masalah pelik
kita sering diperhadapkan kepada pelbagai pilihan. Ada banyak tawaran baik di
sekitar kita, melalui teman atau media bahkan dari dalam diri sendiri untuk
menempuh cara-cara yang mudah atau jalan pintas. Dengan begitu, bisa saja
masalah pelik itu dapat diatasi segera. Permasalahannya, apakah hal tersebut
berkenan kepada Allah atau tidak, atau hanya memuaskan keinginan kita sesaat
saja. Jika kita mengikuti kehendak Allah, bisa saja kita mengalami penderitaan
dan kesulitan, mungkin juga menjadi bahan cemoohan orang. Adalah keyakinan
seorang yang beriman bahwa baginya lebih baik menderita bersama dengan Allah
dari pada makmur tetapi di luar Allah! Mengapa?
Bagi orang beriman akan menyakini bahwa Allah merupakan sumber segala yang
baik, Ia adalah pencipta dan pemilik kehidupan ini. Dengan keyakinan ini setiap
orang beriman akan menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah
kepunyaan Allah sendiri. Oleh karena segala sesuatu adalah milik Allah maka
setiap orang percaya tidak akan menggunakan segala sesuatu -termasuk hidupnya
sendiri - menurut maunya sendiri, melainkan ia akan mempergunakannya seperti
yang dikehendaki Allah. Karena dengan begitu ia yakin kebahagiaan sejati sedang
menantinya!
Abraham adalah contoh orang
beriman itu. Kendati ia pernah mempertanyakan janji Tuhan (Kejadian 15:1-6),
namun, ia tetap setia sampai akhir hidupnya. Meski Abraham disebut sebagai bapa
orang percaya, namun dalam hidupnya, ia tidak pernah menikmati apa yang
dijanjikan Allah itu. Apakah dengan demikian Abraham adalah orang bodoh yang
hanya menerima janji-janji saja? Apakah demikian juga dengan orang-orang
percaya selanjutnya? Hanya percaya pada janji-janji-Nya saja?
Selama hidupnya, Abraham
adalah seorang paroikos (Ibrani 11:9);
seorang pengembara atau penduduk asing di negeri asing. Abraham juga disebut parapidemos (Ibrani 11:13); ialah
seseorang yang menumpang, yang tidak mempunyai rumah di tempat di mana nasib
telah menempatkannya. Perlu dicatat bahwa bertempat tinggal di negeri asing
pada jaman itu adalah hal yang sangat rendah dan hina. Sepanjang hidupnya,
Abraham adalah orang asing di tanah asing.
Gambaran tentang pengembara
ini menjadi gambaran hidup orang beriman. Tertullianus mengatakan, “Ia tahu
bahwa di dunia ini ia sedang berziarah, tetapi kemuliaannya ada di sorga.”
Clement dari Aleksandria mengatakan, “Di dunia ini kita tidak punya tanah air.”
Agustinus mengatakan, “Kita adalah pengembara yang dibuang dari tanah air kita.”
Hal itu terjadi bukan karena orang-orang beriman itu terlalu bodoh, merasa
tidak berasal dari dunia ini, serta memisahkan diri mereka dari kehidupan dan
tugas dunia. Melainkan, hal itu karena mereka selalu ingat bahwa di dunia ini
mereka adalah orang-orang yang sedang berada di tengah perjalanan. Willian
Barclay mengatakan bahwa ada perkataan Tuhan Yesus yang tidak tertulis,
demikian, “Dunia ini merupakan jembatan. Orang yang bijaksana akan berjalan
melalui jempatan ini tetapi tidak mau mendirikan rumahnya di atasnya.”
Meski apa pun yang terjadi,
para bapa iman tidak pernah kehilangan penglihatan (vision) dan pengharapan
mereka. Betapa lama pun pengharapan mereka akan sebuah kenyataan, terangnya
selalu memancar dari mata mereka. Betapa lama pun perjalanan mereka, mereka
tidak pernah berhenti berjalan. Para bapa leluhur Israel tidak pernah
menghentikan perjalanan mereka karena lelah. Mereka hidup dalam pengharapan dan
mati juga dalam pengharapan. Meski apa pun yang menimpa mereka, mereka tidak
ingin kembali. Keturunan mereka, waktu berada di padang gurun, sering ingin
kembali ke kuali-kuali yang penuh daging di Mesir. Tetapi para bapa leluhur
tidak. Mereka sudah melakukan langkah awal dan tidak terbersit untuk kembali. Itulah
iman!
Banyak orang justeru
menganggap hidup ini adalah segalanya mereka seperti “mendirikan rumahnya di atas jembatan”. Mereka menikmati kehidupan
ini dengan semaunya. Anggapannya bahwa Tuhan tidak sedang mengawasinya. Ingatllah
bahwa hidup ini ada batasnya, sampai di mana batas itu? Hanya Tuhan yang tahu,
untuk itu kita diminta waspada. Hal ini diingatkan Yesus dalam Lukas 12:15-48. Ebahagiaan
sejati terjadi manakala Sang Tuan datang dan didapati hamba-Nya sedang tidak
sedang tidur atau pesta pora, melainkan ketika melakukan tugas-tugasnya dengan
baik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar