Alkisah, hiduplah seorang ratu
di sebuah kerajaan antah-berantah. Sang ratu termasyur sebagai orang yang saleh
dan mengabdi kepada Tuhan. Suatu hari, putri sang ratu yang masih bayi jatuh
sakit. Para dokter terbaik di negeri itu diminta untuk merawat dan mengobati
sang bayi. Meskipun para dokter, tim medis terbaik negeri itu dikerahkan dan
penanganan super cermat telah diberikan, alih-alih membaik kondisi kesehatan
bayi itu terus menurun.
Siang dan malam, ratu berdoa
dengan khusuk kepada Tuhan, bahkan ketika ia sedang merawat bayinya yang sakit,
menemaninya setiap kali sang bayi menangis dan bersuara merintih. “Tuhan,
bantulah anakku,” bisiknya dalam doa. “Semoga sentuhan-Mu menyembuhkannya dan
membuatnya pulih kembali!”
Tetapi bayi itu tidak kunjung
membaik. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kondisinya terus memburuk,
akhirnya, para dokter menyerah tak berani berharap dan melaporkan kepada ratu
bahwa mereka tidak mampu lagi berbuat apa pun untuk sang bayi.
Pada saat kritis itu, ada
seorang suci berkunjung ke istana. Ia menyarankan agar sang ratu mencoba doa
yang paling manjur di antara semua doa yang paling ada. “Doa apakah itu?” tanya
sang ratu, “bolehkah aku tahu!” Orang suci itu menjawab, “Doa penyerahan!”
“Apakah itu doa penyerahan?”
tanya sang ratu lagi. “Ya, penyerahan. Anda menyerahkan sang bayi kepada Tuhan
sepenuhnya,” jelas orang suci itu. “Apa yang akan terjadi pada bayi itu adalah
tanggungjawab-Nya, semuanya sesuai dengan kehendak-Nya. Ratu tidak perlu
meminta apa pun lagi demi dia.”
Sang ratu menuruti nasehat
orang suci itu. Ia berlutut dan berdoa sungguh-sungguh, “Tuhan, anak ini bukan
lagi anakku. Ia milik-Mu sepenuhnya. Aku menyerahkan dia kepada-Mu. Terjadilah
kepadanya sesuai dengan kehendak-Mu.” Air matanya meleleh saat ia mengucapkan
kata-kata itu – ibu mana yang tega berucap demikian tentang anaknya, Anak ini
bukan lagi anakku. Dia milik-Mu!” Orang bisa saja merelakan banyak hal - tetapi tidak untuk darah daging mereka
sendiri!
Dengan sekuat tenaga, ratu
bertahan meneruskan doa penyerahan. Bahkan saat sang bayi sudah terbaring dan
tak sadarkan diri, ia mengulangi doanya, “Anak ini bukan lagi anakku. Ia
milik-Mu sepenuhnya. Aku menyerahkan dia kepada-Mu, terjadilah padanya sesuai
dengan kehendak-Mu!”
Perlahan-lahan bayi itu
membaik. Para dokter terkesiap melihat keajaiban yang berlangsung di depan mata
mereka. Bayi yang mereka telah perkirakan akan meninggal, tersadar kembali dan
menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Doa penyerahan barangkali
adalah bentuk doa yang paling sulit. Doa itu, apabila benar-benar dilakukan,
menguji iman kita – yaitu menyerahkan segala harapan dan ketakutan kita, bahkan
keinginan kita untuk hidup pada kehendak Tuhan. Berapa banyak di antara kita
yang mampu berucap kepada-Nya dan menyerahkan diri sepenuhnya -“Bukan kehendakku
yang terjadi, namun kehendak-Mulah yang terjadi!” Betapa sering kita memakai
kalimat ini dalam doa-doa kita namun bukan dengan ketulusan, keiklasan,
kejujuran dan dalam pengakuan yang sesungguhnya melainkan karena kebiasaan dan
pemanis doa belaka. Buktinya, ketika jawaban doa itu ternyata tidak sesuai dengan
keinginan kita, kita marah dan kecewa.
Kita tidak lagi yakin bahwa Bapa –sapaan kita kepada Allah- pasti merancangkan
apa yang terbaik buat anak-anak-Nya! Kebaikkan-Nya pasti melebihi segala bapa
yang ada di dunia ini.Itulah yang disebut Allah penuh rahmat!
Yesus memberi penjelasan dan
jaminan bahwa Bapa di Sorga adalah Allah yang peduli, mengerti bahkan
memberikan jawaban doa yang terbaik untuk setiap orang yang berdoa kepada-Nya.
Penegasan Yesus itu diungkapkan setelah mengajarkan para murid-Nya berdoa,
melalui dua perumpamaan. Yang pertama, tentang seseorang yang pada tengah malam
pergi ke rumah sahabatnya meminta dipinjamkan tiga roti untuk menjamu tamu yang
berkunjung kepadanya. Menjamu tamu dalam konteks saat itu merupakan keharusan.
Apalah daya si tuan rumah tidak mempunyai sesuatu yang layak diberikan kepada
tamunya. Ia terpaksa membangunkan seorang tetangganya yang sedang tidur tengah
malam. Tentu tindakan itu merupakan tindakan itu tidak mengenakkan. Dengan kegaduhannya membangunkan tetangganya itu,
sudah pasti dapat membangunkan seisi rumah orang itu karena umumnya rumah mereka
sempit dan tidur berhimpitan.
Yesus mengajarkan bahwa
jikalau seorang tuan rumah yang tidak ingin diganggu tidurnya toh pada akhirnya mau juga bangun dan melayani si
peminjam roti itu. Maka apalagi Allahmu yang adalah Bapa Pengasih dan
Penyayang, tentu akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak-anak-Nya.
Perumpamaan kedua, Yesus
berbicara tentang bapa yang tidak mungkin memberikan ular jika anaknya meminta
ikan atau memberikan kalajengking apabila si anak memintanya roti. Yesus
mengingatkan para murid-Nya, bahwa tidak ada seorang ayah pun yang menanggapi
rasa lapar anaknya dengan memberikan makanan yang tidak berguna bahkan
membahayakan bagi si anak! Jelas Allah tahu apa yang terbaik untuk
anak-anak-Nya. Namun demikian bukan berarti, karena Allah sudah tahu maka kita
tidak usah berdoa. Doa bukan hanya perkara meminta dan mengeluh. Dalam doa
justeru terjadi komunikasi dan keintiman antara si pendoa dengan Allah. Seperti
seorang ayah berdialog dengan si anak!
Apabila kita tidak menerima
apa yang kita doakan, bukan berarti Allah secara tegas hendak menolak
permintaan kita. Hal itu semata-mata karena Dia mengetahui apa yang terbaik
untuk kita. Bukan pula berarti Allah tidak menjawab permintaan kita. Jawaban
yang diberikan Allah bisa jadi bukan yang ideal menurut maunya kita. Namun hal
itu diletakkan dalam kerangka Allah mengasihi kita.
Allah bukanlah sosok yang
tidak dapat dipertanyakan untuk setiap keputusan-Nya. Kejadian 18:20-32 yang
dikenal dengan “Doa syafaat Abraham untuk Sodom” justeru memperlihatkan bahwa Allah
yang mau “bernegosiasi”. Abraham menawar agar rencana Allah untuk menghukum
Sodom dibatalkan jika ada sejumlah orang benar di sana. Allah bukanlah hakim
yang dingin dan kaku; justeru sebalikknya, Ia adalah Hakim yang selalu menguji
setiap keputusan-Nya. Bahkan, Ia juga mau mendengar suara manusia. Pada pihak
lain, manusia sebagai ciptaan yang tidak lebih dari debu dan tanah boleh saja
mempertanyakan keputusan Allah. Tentu sikap seperti ini bukan dipandang sebagai
sikap kurang hormat. Di sinilah terjadi dialog: di mana Allah memberi
kesempatan kepada manusia untuk menanyai diri-Nya.
Mari kita belajar kepada Yesus
tentang doa di dalam ketaatan. Yesus bukan hanya memberi pelajaran bagaimana
kita harus berdoa namun, Ia juga memberikan teladan. Tidak selamanya permintaan
Yesus kepada Bapa-Nya dijawab dengan “ya”. Kita masih mengingat bagaimana Yesus
bergumul di Taman Getsemani menjelang penangkapan dan penyaliban-Nya. Di sana
Ia meminta agar cawan (penderitaan dan kematian di kayu salib) berlalu dari
hadapan-Nya. Di akhir permohonan-Nya itu, Ia menyerahkan agar kehendak Bapa-Nya
yang terjadi. Ia percaya penuh kepada Sang Bapa, rancangan-Nya pastilah
rancangan yang terbaik! Konsekuensi dari keyakinan penuh kepada Sang Bapa itu
membuat Yesus menerima apa saja yang menjadi keputusan Bapa-Nya. Ia memikul
salib dan menemui ajal-Nya di Golgota! Itulah ketaatan di dalam doa: bersedia
menerima kehendak Bapa walau terasa pahit.
Paulus menginginkan agar
setiap orang percaya hidup di dalam cara Yesus hidup dan terus bertumbuh di
dalam-Nya. “Kamu telah menerima Kristus
Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah
kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah
teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah
dengan syukur (Kolose 2:6-7).
Membaca kelanjutan Kolose 2 ayat 6-7, Paulus mengingatkan akan banyaknya tawaran dan ajaran
di sekeliling orang percaya yang tampaknya memberi solusi dan kemudahan. Ia
mengatakan, “Hati-hatilah, supaya jangan
ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran
turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus. (ay.8). Bukankah
dunia di sekitar kita juga seperti itu: manakala doa yang kita panjatkan kepada
Tuhan tidak dijawab seperti yang kita inginkan bahkan terjadi hal yang menurut
kita lebih buruk maka kita pun cenderung melirik tawaran lain yang dengan
instan dapat menjawab persoalan hidup kita. Sudahkah kita berdoa dan dengan
jujur serta penuh keyakinan bahwa Allah, Bapa kita pasti memberikan yang
terbaik untuk setiap anak-anak-Nya? Sehingga apa pun jawaban doa dari-Nya, kita
akan tetap bersyukur!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar