Kamis, 25 Juli 2013

DOA : KEMURAHAN YANG DISAMBUT DALAM KETAATAN

Alkisah, hiduplah seorang ratu di sebuah kerajaan antah-berantah. Sang ratu termasyur sebagai orang yang saleh dan mengabdi kepada Tuhan. Suatu hari, putri sang ratu yang masih bayi jatuh sakit. Para dokter terbaik di negeri itu diminta untuk merawat dan mengobati sang bayi. Meskipun para dokter, tim medis terbaik negeri itu dikerahkan dan penanganan super cermat telah diberikan, alih-alih membaik kondisi kesehatan bayi itu terus menurun.

Siang dan malam, ratu berdoa dengan khusuk kepada Tuhan, bahkan ketika ia sedang merawat bayinya yang sakit, menemaninya setiap kali sang bayi menangis dan bersuara merintih. “Tuhan, bantulah anakku,” bisiknya dalam doa. “Semoga sentuhan-Mu menyembuhkannya dan membuatnya pulih kembali!”

Tetapi bayi itu tidak kunjung membaik. Bahkan setelah lewat beberapa hari, kondisinya terus memburuk, akhirnya, para dokter menyerah tak berani berharap dan melaporkan kepada ratu bahwa mereka tidak mampu lagi berbuat apa pun untuk sang bayi.

Pada saat kritis itu, ada seorang suci berkunjung ke istana. Ia menyarankan agar sang ratu mencoba doa yang paling manjur di antara semua doa yang paling ada. “Doa apakah itu?” tanya sang ratu, “bolehkah aku tahu!” Orang suci itu menjawab, “Doa penyerahan!”

“Apakah itu doa penyerahan?” tanya sang ratu lagi. “Ya, penyerahan. Anda menyerahkan sang bayi kepada Tuhan sepenuhnya,” jelas orang suci itu. “Apa yang akan terjadi pada bayi itu adalah tanggungjawab-Nya, semuanya sesuai dengan kehendak-Nya. Ratu tidak perlu meminta apa pun lagi demi dia.”

Sang ratu menuruti nasehat orang suci itu. Ia berlutut dan berdoa sungguh-sungguh, “Tuhan, anak ini bukan lagi anakku. Ia milik-Mu sepenuhnya. Aku menyerahkan dia kepada-Mu. Terjadilah kepadanya sesuai dengan kehendak-Mu.” Air matanya meleleh saat ia mengucapkan kata-kata itu – ibu mana yang tega berucap demikian tentang anaknya, Anak ini bukan lagi anakku. Dia milik-Mu!” Orang bisa saja merelakan banyak hal -  tetapi tidak untuk darah daging mereka sendiri!

Dengan sekuat tenaga, ratu bertahan meneruskan doa penyerahan. Bahkan saat sang bayi sudah terbaring dan tak sadarkan diri, ia mengulangi doanya, “Anak ini bukan lagi anakku. Ia milik-Mu sepenuhnya. Aku menyerahkan dia kepada-Mu, terjadilah padanya sesuai dengan kehendak-Mu!”

Perlahan-lahan bayi itu membaik. Para dokter terkesiap melihat keajaiban yang berlangsung di depan mata mereka. Bayi yang mereka telah perkirakan akan meninggal, tersadar kembali dan menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Doa penyerahan barangkali adalah bentuk doa yang paling sulit. Doa itu, apabila benar-benar dilakukan, menguji iman kita – yaitu menyerahkan segala harapan dan ketakutan kita, bahkan keinginan kita untuk hidup pada kehendak Tuhan. Berapa banyak di antara kita yang mampu berucap kepada-Nya dan menyerahkan diri sepenuhnya -“Bukan kehendakku yang terjadi, namun kehendak-Mulah yang terjadi!” Betapa sering kita memakai kalimat ini dalam doa-doa kita namun bukan dengan ketulusan, keiklasan, kejujuran dan dalam pengakuan yang sesungguhnya melainkan karena kebiasaan dan pemanis doa belaka. Buktinya, ketika jawaban doa itu ternyata tidak sesuai dengan keinginan kita, kita  marah dan kecewa. Kita tidak lagi yakin bahwa Bapa –sapaan kita kepada Allah- pasti merancangkan apa yang terbaik buat anak-anak-Nya! Kebaikkan-Nya pasti melebihi segala bapa yang ada di dunia ini.Itulah yang disebut Allah penuh rahmat!

Yesus memberi penjelasan dan jaminan bahwa Bapa di Sorga adalah Allah yang peduli, mengerti bahkan memberikan jawaban doa yang terbaik untuk setiap orang yang berdoa kepada-Nya. Penegasan Yesus itu diungkapkan setelah mengajarkan para murid-Nya berdoa, melalui dua perumpamaan. Yang pertama, tentang seseorang yang pada tengah malam pergi ke rumah sahabatnya meminta dipinjamkan tiga roti untuk menjamu tamu yang berkunjung kepadanya. Menjamu tamu dalam konteks saat itu merupakan keharusan. Apalah daya si tuan rumah tidak mempunyai sesuatu yang layak diberikan kepada tamunya. Ia terpaksa membangunkan seorang tetangganya yang sedang tidur tengah malam. Tentu tindakan itu merupakan tindakan itu tidak mengenakkan. Dengan  kegaduhannya membangunkan tetangganya itu, sudah pasti dapat membangunkan seisi rumah orang itu karena umumnya rumah mereka sempit dan tidur berhimpitan.

Yesus mengajarkan bahwa jikalau seorang tuan rumah yang tidak ingin diganggu tidurnya toh  pada akhirnya mau juga bangun dan melayani si peminjam roti itu. Maka apalagi Allahmu yang adalah Bapa Pengasih dan Penyayang, tentu akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak-anak-Nya.

Perumpamaan kedua, Yesus berbicara tentang bapa yang tidak mungkin memberikan ular jika anaknya meminta ikan atau memberikan kalajengking apabila si anak memintanya roti. Yesus mengingatkan para murid-Nya, bahwa tidak ada seorang ayah pun yang menanggapi rasa lapar anaknya dengan memberikan makanan yang tidak berguna bahkan membahayakan bagi si anak! Jelas Allah tahu apa yang terbaik untuk anak-anak-Nya. Namun demikian bukan berarti, karena Allah sudah tahu maka kita tidak usah berdoa. Doa bukan hanya perkara meminta dan mengeluh. Dalam doa justeru terjadi komunikasi dan keintiman antara si pendoa dengan Allah. Seperti seorang ayah berdialog dengan si anak!

Apabila kita tidak menerima apa yang kita doakan, bukan berarti Allah secara tegas hendak menolak permintaan kita. Hal itu semata-mata karena Dia mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Bukan pula berarti Allah tidak menjawab permintaan kita. Jawaban yang diberikan Allah bisa jadi bukan yang ideal menurut maunya kita. Namun hal itu diletakkan dalam kerangka Allah mengasihi kita.

Allah bukanlah sosok yang tidak dapat dipertanyakan untuk setiap keputusan-Nya. Kejadian 18:20-32 yang dikenal dengan “Doa syafaat Abraham untuk Sodom” justeru memperlihatkan bahwa Allah yang mau “bernegosiasi”. Abraham menawar agar rencana Allah untuk menghukum Sodom dibatalkan jika ada sejumlah orang benar di sana. Allah bukanlah hakim yang dingin dan kaku; justeru sebalikknya, Ia adalah Hakim yang selalu menguji setiap keputusan-Nya. Bahkan, Ia juga mau mendengar suara manusia. Pada pihak lain, manusia sebagai ciptaan yang tidak lebih dari debu dan tanah boleh saja mempertanyakan keputusan Allah. Tentu sikap seperti ini bukan dipandang sebagai sikap kurang hormat. Di sinilah terjadi dialog: di mana Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk menanyai diri-Nya.

Mari kita belajar kepada Yesus tentang doa di dalam ketaatan. Yesus bukan hanya memberi pelajaran bagaimana kita harus berdoa namun, Ia juga memberikan teladan. Tidak selamanya permintaan Yesus kepada Bapa-Nya dijawab dengan “ya”. Kita masih mengingat bagaimana Yesus bergumul di Taman Getsemani menjelang penangkapan dan penyaliban-Nya. Di sana Ia meminta agar cawan (penderitaan dan kematian di kayu salib) berlalu dari hadapan-Nya. Di akhir permohonan-Nya itu, Ia menyerahkan agar kehendak Bapa-Nya yang terjadi. Ia percaya penuh kepada Sang Bapa, rancangan-Nya pastilah rancangan yang terbaik! Konsekuensi dari keyakinan penuh kepada Sang Bapa itu membuat Yesus menerima apa saja yang menjadi keputusan Bapa-Nya. Ia memikul salib dan menemui ajal-Nya di Golgota! Itulah ketaatan di dalam doa: bersedia menerima kehendak Bapa walau terasa pahit.

Paulus menginginkan agar setiap orang percaya hidup di dalam cara Yesus hidup dan terus bertumbuh di dalam-Nya. “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur (Kolose 2:6-7).

Membaca kelanjutan Kolose 2 ayat 6-7, Paulus  mengingatkan akan banyaknya tawaran dan ajaran di sekeliling orang percaya yang tampaknya memberi solusi dan kemudahan. Ia mengatakan, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus. (ay.8). Bukankah dunia di sekitar kita juga seperti itu: manakala doa yang kita panjatkan kepada Tuhan tidak dijawab seperti yang kita inginkan bahkan terjadi hal yang menurut kita lebih buruk maka kita pun cenderung melirik tawaran lain yang dengan instan dapat menjawab persoalan hidup kita. Sudahkah kita berdoa dan dengan jujur serta penuh keyakinan bahwa Allah, Bapa kita pasti memberikan yang terbaik untuk setiap anak-anak-Nya? Sehingga apa pun jawaban doa dari-Nya, kita akan tetap bersyukur!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar