Pengantar
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis
hasil penelitian survei yang dilakukan terhadap 1200 responden akhir
pertengahan November 2012. Survei yang dilakukan LSI ini berkaitan dengan
kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasilnya mengejutkan: 56,43% orang tua
di Indonesia melarang anak menjadi legislator atau anggota DPR. Angka tersebut
meningkat tajam dibanding survei yang sama pada tahun 2008 yang menyebutkan
31,32% orang tua tidak menghendaki anaknya menjadi anggota DPR.
Apa penyebab banyaknya orang tua enggan
merestui anak mereka menjadi anggota DPR atau politis? Hasil penelitian LSI itu
menyebutkan: pertama-tama dan yang paling banyak adalah kasus korupsi yang
marak melibatkan anggota DPR. Faktor berikutnya penilaian publik terhadap
politisi ini hanyalah sebagai ajang memperebutkan kepentingan, keuntungan dan
kekuasaan sehingga mengabaikan etika dan moralitas ditambah dengan kinerja yang
buruk alias tidak kompeten pada bidang tugas yang dipercayakan kepada mereka.
Dengan citra buruk pada parlemen kita,
69,55% publik menyatakan tidak lagi bangga jika mereka menjadi anggota DPR.
Hanya 6% publik yang masih bangga jika dirinya menjadi anggota DPR. LSI menilai
jika kondisi ini terus dibiarkan akan terjadi apatisme ekstrem dari publik
terhadap salah satu lembaga poliitik ini.
Hasil survei LSI ini setidaknya
merupakan cerminan pandangan publik
terhadap lembaga politik atau perpolitikan di Indonesia. Politik melulu
dipandang dari sisi gelap. Negatif! Politik sering difahami sebagai arena perjuangan
untuk memperoleh atau merebut, mempertahankan, melanggengkan dan memperbesar
kekuasaan. Karena tujuannya kekuasaan maka dalam politik ada adagium, “Tiada
kawan atau lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi.” Hari ini partai A
bisa menjadi lawan partai B, besok lusa partai A dan B bisa berkualisi.
Bagaimana pandangan gereja terhadap
politik? Hampir sama dengan padangan hasil survei. Negatif! Bahkan ada banyak
tokoh gereja yang menganjurkan agar “anak-anak Tuhan” tidak ikut campur dalam
dunia “hitam” ini. Politik dipandang kotor. Sangat tidak rohani! Betulkah Tuhan
tidak menghendaki anak-anak-Nya terlibat dalam dunia politik? Bukankah hampir
semua tatanan dalam masyarakat sebenarnya merupakan hasil dari sebuah kompromi politik?
Bagaimana mungkin tatanan yang baik akan terjadi dalam sebuah komunitas
masyarakat tanpa orang-orang baik ikut terjun di dalamnya? Bahan PA kali ini,
mengajak kita berpikir dan memaknai kembali peran serta anak-anak Tuhan dalam
kancah politik.
Bagaimana Alkitab menyikapi peranan orang percaya dalam kancah politik? Jika kita mau menggalinya, Alkitab sangat banyak menyajikan peran para tokoh iman dalam kancah politik. Sebut saja mulai dari para bapak leluhur Israel: Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf yang menjadi orang nomor dua di Mesir, kemudian Musa yang mengadakan perlawanan terhadap Firaun bahkan sampai nasihat-nasihat yang terekam dalam kitab Wahyu.
Saat ini kita mau belajar peran politis Ester dan Mordekhai pada zamannya. Peran politis yang dimaksud
tentu tidak seperti anggota legislatif atau eksekutif pada masa kini. Namun,
apa yang dilakukan mereka setidaknya menggambarkan perjuangan politik yang
tidak mengejar kekuasaan semata melainkan hal yang mendasar dalam politik yang
sering kali terlupakan, yakni memperjuangkan kebenaran dan mengubah kebijakan
penguasa/raja sehingga orang Yahudi terhindar dari rencana pemusnahan.
Penjelasan
Kitab Ester memuat kisah menarik tentang
perjuangan orang Yahudi yang tinggal dalam kekuasaan Persia dengan rajanya
Ahasyweros (486- 465 SM). Sekalipun kitab ini
ditempatkan setelah Nehemia dalam PL namun, peristiwa yang tercatat di dalamnya
terjadi 30 tahun sebelum Nehemia kembali ke Yerusalem (444 SM) untuk membangun
kembali tembok Yerusalem. Sedangkan kitab-kitab Ezra dan Nehemia dari masa
pasca pembuangan membahas hal-hal yang berkaitan dengan kaum Yahudi tersisa
yang kembali ke Yerusalem, kitab Ester mencatat suatu
peristiwa yang sangat penting bagi orang
Yahudi
yang tinggal di Persia. Bangsa Yahudi terancam musnah!
Seorang pejabat Persia, Haman marah
lantaran seorang Yahudi, Mordekhai tidak mau berlutut kepadanya. Haman
menganggap dirinya terlalu hina kalau sakit hatinya itu dibalas hanya dengan
membunuh Mordekhai. Ia menghendaki seluruh etnis Yahudi yang ada di wilayah
kekuasaan Persia itu harus dimusnahkan (Ester 3:6).
Ceritanya kemudian berbalik! Tuhan
menyelamatkan orang Yahudi melalui peran politis seorang wanita, Ester anak
Abihail dan pamannya, Mordekhai. Tentu tidak mudah bagi mereka berjuang agar
bangsanya selamat. Upaya itu dimulai Mordekhai mengusung Ester untuk menjadi
calon pengganti Ratu Wasti. Berkat upaya yang dilakukan sang paman, akhirnya
Ester berhasil terpilih menjadi ratu menggantikan Wasti. Dalam posisi puncaknya
bagi seorang wanita pada situasi dan kondisi zamannya, Ratu Ester berhasih
mempengaruhi kebijakan sang raja. Di akhir cerita, rencana Haman gagal total
bahkan rancangannya berbalik pada dirinya. Ia dihukum mati oleh Raja Ahasyweros
dan Mordekhai diberi penghargaan serta kedudukan yang tinggi. Orang nomor dua
setelah Raja Ahasyweros di negeri itu. Dampaknya bangsa Yahudi diberi kebebasan
untuk hidup dalam kerajaan itu.
Pentingnya peranan Ratu Ester dan
Mordekhai bukan saja tampak dalam penyelamatan bangsanya dari kebinasaan,
tetapi juga dalam menjamin keamanan dan kehormatan mereka di negeri asing (bd.
Est 8:17; Est 10:3); tindakan pemeliharaan ini memungkinkan pelayanan Nehemia
di istana raja Persia beberapa dasawarsa kemudian dan pengangkatannya untuk
membangun kembali tembok Yerusalem. Seandainya saja Ester dan orang Yahudi
(termasuk Nehemia) telah musnah di Persia, apa jadinya dengan kaum sisa Israel
yang tertekan di Yerusalem? Mungkin mereka tidak pernah membangun kembali kota
Yerusalem itu; akibatnya sejarah Yahudi pasca pembuangan pasti akan sangat
berbeda. Jelaslah peran politis Ester dan Mordekhail sangat signifikan. Mereka
dapat menjadi alat di tangan Tuhan untuk kelangsungan umat Allah.
Ester
8 : 1 -17
Ayat 1,2
Apa yang terjadi pada pasal 8 ini
merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisahkan dalam peristiwa-peristiwa
sebelumnya. Mordekhai yang mengetahui rancangan busuk Haman untuk membinasakan
orang Yahudi, tidak tinggal diam. Ia berusaha dengan pelbagai cara, pasal 4
menceritakan hal itu. Perjuangannya kini membuahkan hasil. Setelah Ester
berhasil meyakinkan raja akan niat jahat Haman. Raja Ahasyweros akhirnya
menghukum mati Haman (pasal 7). Harta milik Haman kemudian dialihkan kepada
Ester. Cincin raja yang dikenakan pada jari Haman kini beralih pula ke tangan
Mordekhai, itu menandakan bahwa kuasa Haman kini berada di tangan Mordekhai.
Mordekhai menjadi perdana menteri. Harta dan kekuasaan sebenarnya bukan tujuan utama
dari perjuangan Mordekhai dan Ester. Melainkan menjaga kelangsungan bangsanya
yang diyakini sebagai Umat Allah.
Ayat 3-6
Dalam kesempatan yang baik, Ester
memohon kepada Raja agar keputusan yang dulu dibuat Haman, dan itu sudah
diundangkan menjadi kebijakan negara supaya dapat diubah. Keputusan itu
merugikan orang Yahudi karena isinya untuk memusnahkan etnis Yahudi. Ester
memakai kedudukannya bukan untuk memanjakan diri dalam istana, menikmati
kekuasaan dan mendapatkan pelayanan super mewah melainkan memakainya untuk
kepentingan bangsanya. Ester tampil sebagai juru “syafaat” bagi bangsanya, ayat
6 mengambarkan keberpihakan Ester terhadap bangsanya. Meskipun ia sadar jika
Raja Ahasyweros masih dalam pengaruh para Hamanian (kelompok Haman) dengan
doktrin anti Yahudinya. Kita juga harus mengingat Haman bukan orang Yahudi. Ia
seorang Persia, sebangsa dengan Ahasyweros, bisa saja permohonan Ester ditolak
bahkan Ester bisa dihukum. Namun segala resiko ia tempuh agar kebijakan itu
dibatalkan.
Apa dampak dan reaksi dari Raja
Ahasyweros? Luar biasa! Raja menyadari bahwa apa yang sudah disahkan memakai
kewenangan raja (cincin dan meterai) tidak bisa dibatalkan. Mengubahnya harus
memakai kewenangan yang sama. Raja mengumpulkan para panitera raja (ayat 9),
mereka menyiapkan sebuah “amandemen” baru yang radikal. Rencana pemusnahan
etnis Yahudi dibatalkan diganti dengan undang-undang baru pro Yahudi. Orang
Yahudi yang semula terancam punah, kini mereka dilindungi dan diberi kebebasan
untuk beribadah di seluruh wilayah kekuasaan Ahasyweros, dari India sampai
Eropa, di seratus dua puluh tujuh provinsi.
Ayat 15-17 dan 10:3
Kedudukan Mordekhai dikukuhkan. Ia
menjadi penguasa baru menggantikan Haman. Dampaknya setelah seluruh rakyat
dalam wilayah kekuasaan Ahasyweros menerima salinan undang-undang itu kini
mereka menjadi takut terhadap orang Yahudi karena dalam undang-undang itu ada pasal yang membenarkan
orang Yahudi untuk melakukan pembalasan kepada siapa saja yang dianggap musuh orang
Yahudi (ayat 13).
Kekuasaan dapat menimbulkan acaman dan
ketakutan bagi pihak lain, inilah yang harus dihindari. Mengapa? Karena
kekuasaan seperti itu tidak mungkin memberi ruang bagi kelompok yang berbeda.
Kekuasaan otoriter dapat menimbulkan rezim baru yang potensial menindas yang
lain, mengupayakan keuntungan bagi diri sendiri dan korup. Untungnya Mordekhai
menggunakan kekuasaannya dengan baik. Alkitab mencatat tentang dirinya, “Karena Mordekhai, orang Yahudi itu, menjadi
orang kedua di bawah raja Ahasyweros, dan ia dihormati oleh
orang Yahudi serta disukai oleh banyak sanak saudaranya, sebab ia
mengikhtiarkan yang baik bagi bangsanya dan berbicara untuk keselamatan bagi
semua orang sebangsanya.
Seorang politikus yang sejati ia akan segera menjadi negarawan. Pikiran dan niatnya untuk berperan dalam kekuasaan negara bukan semata didorong oleh ambisi memuaskan diri dengan kekuasaan itu. Melainkan, ia akan menggunakan kekuasaan itu bagi kemakmuran dan kesejahteraan bersama, bagi semua golongan tanpa kecuali!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar