Selasa, 13 Agustus 2013

GEREJA DAN TUGAS POLITIK


Pengantar

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil penelitian survei yang dilakukan terhadap 1200 responden akhir pertengahan November 2012. Survei yang dilakukan LSI ini berkaitan dengan kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hasilnya mengejutkan: 56,43% orang tua di Indonesia melarang anak menjadi legislator atau anggota DPR. Angka tersebut meningkat tajam dibanding survei yang sama pada tahun 2008 yang menyebutkan 31,32% orang tua tidak menghendaki anaknya menjadi anggota DPR.

Apa penyebab banyaknya orang tua enggan merestui anak mereka menjadi anggota DPR atau politis? Hasil penelitian LSI itu menyebutkan: pertama-tama dan yang paling banyak adalah kasus korupsi yang marak melibatkan anggota DPR. Faktor berikutnya penilaian publik terhadap politisi ini hanyalah sebagai ajang memperebutkan kepentingan, keuntungan dan kekuasaan sehingga mengabaikan etika dan moralitas ditambah dengan kinerja yang buruk alias tidak kompeten pada bidang tugas yang dipercayakan kepada mereka.

Dengan citra buruk pada parlemen kita, 69,55% publik menyatakan tidak lagi bangga jika mereka menjadi anggota DPR. Hanya 6% publik yang masih bangga jika dirinya menjadi anggota DPR. LSI menilai jika kondisi ini terus dibiarkan akan terjadi apatisme ekstrem dari publik terhadap salah satu lembaga poliitik ini.

Hasil survei LSI ini setidaknya merupakan cerminan pandangan publik  terhadap lembaga politik atau perpolitikan di Indonesia. Politik melulu dipandang dari sisi gelap. Negatif! Politik sering difahami sebagai arena perjuangan untuk memperoleh atau merebut, mempertahankan, melanggengkan dan memperbesar kekuasaan. Karena tujuannya kekuasaan maka dalam politik ada adagium, “Tiada kawan atau lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi.” Hari ini partai A bisa menjadi lawan partai B, besok lusa partai A dan B bisa berkualisi.

Bagaimana pandangan gereja terhadap politik? Hampir sama dengan padangan hasil survei. Negatif! Bahkan ada banyak tokoh gereja yang menganjurkan agar “anak-anak Tuhan” tidak ikut campur dalam dunia “hitam” ini. Politik dipandang kotor. Sangat tidak rohani! Betulkah Tuhan tidak menghendaki anak-anak-Nya terlibat dalam dunia politik? Bukankah hampir semua tatanan dalam masyarakat sebenarnya merupakan hasil dari sebuah kompromi politik? Bagaimana mungkin tatanan yang baik akan terjadi dalam sebuah komunitas masyarakat tanpa orang-orang baik ikut terjun di dalamnya? Bahan PA kali ini, mengajak kita berpikir dan memaknai kembali peran serta anak-anak Tuhan dalam kancah politik.

Bagaimana Alkitab menyikapi peranan orang percaya dalam kancah politik? Jika kita mau menggalinya, Alkitab sangat banyak menyajikan peran para tokoh iman dalam kancah politik. Sebut saja mulai dari para bapak leluhur Israel: Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf yang menjadi orang nomor dua di Mesir, kemudian Musa yang mengadakan perlawanan terhadap Firaun bahkan sampai nasihat-nasihat yang terekam dalam kitab Wahyu.   

Saat ini kita mau belajar peran politis Ester dan Mordekhai pada zamannya. Peran politis yang dimaksud tentu tidak seperti anggota legislatif atau eksekutif pada masa kini. Namun, apa yang dilakukan mereka setidaknya menggambarkan perjuangan politik yang tidak mengejar kekuasaan semata melainkan hal yang mendasar dalam politik yang sering kali terlupakan, yakni memperjuangkan kebenaran dan mengubah kebijakan penguasa/raja sehingga orang Yahudi terhindar dari rencana pemusnahan.

Penjelasan

Kitab Ester memuat kisah menarik tentang perjuangan orang Yahudi yang tinggal dalam kekuasaan Persia dengan rajanya Ahasyweros (486- 465 SM). Sekalipun kitab ini ditempatkan setelah Nehemia dalam PL namun, peristiwa yang tercatat di dalamnya terjadi 30 tahun sebelum Nehemia kembali ke Yerusalem (444 SM) untuk membangun kembali tembok Yerusalem. Sedangkan kitab-kitab Ezra dan Nehemia dari masa pasca pembuangan membahas hal-hal yang berkaitan dengan kaum Yahudi tersisa yang kembali ke Yerusalem, kitab Ester mencatat suatu peristiwa yang sangat penting bagi  orang Yahudi yang tinggal di Persia. Bangsa Yahudi terancam musnah!

Seorang pejabat Persia, Haman marah lantaran seorang Yahudi, Mordekhai tidak mau berlutut kepadanya. Haman menganggap dirinya terlalu hina kalau sakit hatinya itu dibalas hanya dengan membunuh Mordekhai. Ia menghendaki seluruh etnis Yahudi yang ada di wilayah kekuasaan Persia itu harus dimusnahkan (Ester 3:6).

Ceritanya kemudian berbalik! Tuhan menyelamatkan orang Yahudi melalui peran politis seorang wanita, Ester anak Abihail dan pamannya, Mordekhai. Tentu tidak mudah bagi mereka berjuang agar bangsanya selamat. Upaya itu dimulai Mordekhai mengusung Ester untuk menjadi calon pengganti Ratu Wasti. Berkat upaya yang dilakukan sang paman, akhirnya Ester berhasil terpilih menjadi ratu menggantikan Wasti. Dalam posisi puncaknya bagi seorang wanita pada situasi dan kondisi zamannya, Ratu Ester berhasih mempengaruhi kebijakan sang raja. Di akhir cerita, rencana Haman gagal total bahkan rancangannya berbalik pada dirinya. Ia dihukum mati oleh Raja Ahasyweros dan Mordekhai diberi penghargaan serta kedudukan yang tinggi. Orang nomor dua setelah Raja Ahasyweros di negeri itu. Dampaknya bangsa Yahudi diberi kebebasan untuk hidup dalam kerajaan itu.

Pentingnya peranan Ratu Ester dan Mordekhai bukan saja tampak dalam penyelamatan bangsanya dari kebinasaan, tetapi juga dalam menjamin keamanan dan kehormatan mereka di negeri asing (bd. Est 8:17; Est 10:3); tindakan pemeliharaan ini memungkinkan pelayanan Nehemia di istana raja Persia beberapa dasawarsa kemudian dan pengangkatannya untuk membangun kembali tembok Yerusalem. Seandainya saja Ester dan orang Yahudi (termasuk Nehemia) telah musnah di Persia, apa jadinya dengan kaum sisa Israel yang tertekan di Yerusalem? Mungkin mereka tidak pernah membangun kembali kota Yerusalem itu; akibatnya sejarah Yahudi pasca pembuangan pasti akan sangat berbeda. Jelaslah peran politis Ester dan Mordekhail sangat signifikan. Mereka dapat menjadi alat di tangan Tuhan untuk kelangsungan umat Allah.

Ester 8 : 1 -17

Ayat 1,2
Apa yang terjadi pada pasal 8 ini merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisahkan dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya. Mordekhai yang mengetahui rancangan busuk Haman untuk membinasakan orang Yahudi, tidak tinggal diam. Ia berusaha dengan pelbagai cara, pasal 4 menceritakan hal itu. Perjuangannya kini membuahkan hasil. Setelah Ester berhasil meyakinkan raja akan niat jahat Haman. Raja Ahasyweros akhirnya menghukum mati Haman (pasal 7). Harta milik Haman kemudian dialihkan kepada Ester. Cincin raja yang dikenakan pada jari Haman kini beralih pula ke tangan Mordekhai, itu menandakan bahwa kuasa Haman kini berada di tangan Mordekhai. Mordekhai menjadi perdana menteri. Harta dan kekuasaan sebenarnya bukan tujuan utama dari perjuangan Mordekhai dan Ester. Melainkan menjaga kelangsungan bangsanya yang diyakini sebagai Umat Allah.

Ayat 3-6
Dalam kesempatan yang baik, Ester memohon kepada Raja agar keputusan yang dulu dibuat Haman, dan itu sudah diundangkan menjadi kebijakan negara supaya dapat diubah. Keputusan itu merugikan orang Yahudi karena isinya untuk memusnahkan etnis Yahudi. Ester memakai kedudukannya bukan untuk memanjakan diri dalam istana, menikmati kekuasaan dan mendapatkan pelayanan super mewah melainkan memakainya untuk kepentingan bangsanya. Ester tampil sebagai juru “syafaat” bagi bangsanya, ayat 6 mengambarkan keberpihakan Ester terhadap bangsanya. Meskipun ia sadar jika Raja Ahasyweros masih dalam pengaruh para Hamanian (kelompok Haman) dengan doktrin anti Yahudinya. Kita juga harus mengingat Haman bukan orang Yahudi. Ia seorang Persia, sebangsa dengan Ahasyweros, bisa saja permohonan Ester ditolak bahkan Ester bisa dihukum. Namun segala resiko ia tempuh agar kebijakan itu dibatalkan.

Ayat 7-14
Apa dampak dan reaksi dari Raja Ahasyweros? Luar biasa! Raja menyadari bahwa apa yang sudah disahkan memakai kewenangan raja (cincin dan meterai) tidak bisa dibatalkan. Mengubahnya harus memakai kewenangan yang sama. Raja mengumpulkan para panitera raja (ayat 9), mereka menyiapkan sebuah “amandemen” baru yang radikal. Rencana pemusnahan etnis Yahudi dibatalkan diganti dengan undang-undang baru pro Yahudi. Orang Yahudi yang semula terancam punah, kini mereka dilindungi dan diberi kebebasan untuk beribadah di seluruh wilayah kekuasaan Ahasyweros, dari India sampai Eropa, di seratus dua puluh tujuh provinsi.

Ayat 15-17 dan 10:3
Kedudukan Mordekhai dikukuhkan. Ia menjadi penguasa baru menggantikan Haman. Dampaknya setelah seluruh rakyat dalam wilayah kekuasaan Ahasyweros menerima salinan undang-undang itu kini mereka menjadi takut terhadap orang Yahudi karena dalam  undang-undang itu ada pasal yang membenarkan orang Yahudi untuk melakukan pembalasan kepada siapa saja yang dianggap musuh orang Yahudi (ayat 13).

Kekuasaan dapat menimbulkan acaman dan ketakutan bagi pihak lain, inilah yang harus dihindari. Mengapa? Karena kekuasaan seperti itu tidak mungkin memberi ruang bagi kelompok yang berbeda. Kekuasaan otoriter dapat menimbulkan rezim baru yang potensial menindas yang lain, mengupayakan keuntungan bagi diri sendiri dan korup. Untungnya Mordekhai menggunakan kekuasaannya dengan baik. Alkitab mencatat tentang dirinya, “Karena Mordekhai, orang Yahudi itu, menjadi orang kedua di bawah  raja Ahasyweros, dan ia dihormati oleh orang Yahudi serta disukai oleh banyak sanak saudaranya, sebab ia mengikhtiarkan yang baik bagi bangsanya dan berbicara untuk keselamatan bagi semua orang sebangsanya.

Seorang politikus yang sejati ia akan segera menjadi negarawan. Pikiran dan niatnya untuk berperan dalam kekuasaan negara bukan semata didorong oleh ambisi memuaskan diri dengan kekuasaan itu. Melainkan, ia akan menggunakan kekuasaan itu bagi kemakmuran dan kesejahteraan bersama, bagi semua golongan tanpa kecuali!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar