Kamis, 15 Agustus 2013

DAMAI DI BUMI INDONESIA

Apa itu damai? Kamus Bahasa Indonesia mengartikannya:  tidak ada perang, tidak ada kerusuhan, aman, tentram, tenang, keadaan tidak bermusuhan. Bangsa yang damai atau hidup dalam perdamaian, menurut Alfred North Whitehead (matematikawan dan filsuf Inggris) merupakan  bangsa yang beradab. Sebab salah satu ciri bangsa itu beradab atau tidak dapat ditentukan seberapa jauh mereka hidup dalam suasana damai. Menurutnya, peace (rasa damai) dapat diperoleh manusia dalam kehidupan beragama. Agama yang baik akan dapat membawa orang semakin mampu hidup damai dengan siapa pun. Sebab agama menyediakan perangkat agar manusia mengalami pertobatan dan perubahan watak dari yang buruk menjadi baik dari biadab menjadi beradab.

Membaca tema “Damai di bumi Indonesia”, bagi saya ada pertanyaan menggelitik: Apakah kalimat tersebut merupakan realita di negeri ini? Ataukah merupakan sebuah harapan atau doa? Syukurlah kalau sudah menjadi  kenyataan di negeri ini. Namun, jika hal ini masih merupakan sebuah harapan atau doa, itu artinya sesudah 68 tahun merdeka, ternyata kita belum sepenuhnya terbebas dari kecurigaan, kebencian dan konflik. Hal itu berarti pula bahwa kita, sebagai bangsa, dalam ukuran Whitehead, belum beradab! Kenapa belum beradab? Ya, yang ada konflik terus!Tentu, ada banyak alasan kenapa kita curiga, benci dan akhirnya mengambil posisi bermusuhan alias hidup dalam ketidakdamaian. Setiap kita, dengan latar belakang ilmu pengetahuan dan pengalaman masing-masing dapat memberi analisa mengapa bangsa ini belum hidup dalam kedamaian yang sepenuhnya.

Agama, alih-alih menjadi perangkat moral yang membuat manusia bisa hidup damai, ternyata merupakan faktor penyebab kehidupan jauh dari perdamaian itu sendiri. Mengapa agama bisa seperti itu? Ya, oleh karena orang menggunakannya untuk kepentingan dan pemuasan nafsu sendiri. Menyalahgunakan Kitab Suci bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan untuk tujuan-tujuan yang sebenarnya bertentangan dengan kehendak-Nya. Orang-orang seperti itulah yang ditengarai oleh Yeremia sebagai nabi-nabi palsu (Yeremia 23:25). Mereka bernubuat berdasarkan mimpi-mimpi sendiri dan merasa yakin bahwa Tuhan tidak melihat tindakannya itu!

Dalam konteks Indonesia, kita akan habis waktu untuk menyebutkan konflik-konflik yang beraroma agama. Maka ada benarnya apa yang dulu dikatakan Hans Kung (dalam :Global Responsibility), “Tidak ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian agama-agama. Tidak ada perdamaian antar agama tanpa adanya dialog antar agama.” Membaca pernyataan Kung dan melihat kenyataan yang ada mestinya sebagai panganut agama, entah apa pun agamanya, kita harus malu! Betapa tidak, dunia yang diwakili oleh Whitehead berharap banyak dari agama dapat memberikan perdamaian itu, eh...ini malah harus didamaikan! Lantas apakah dengan begitu kita tidak usah beragama saja, supaya tidak repot-repot bermusuhan, saling membunuh dan kemudian menempuh jalan panjang mencari solusi damai? Tentu tidak begitu. Pasti ada yang keliru dalam penghayatan keberagamaan kita! Apa yang keliru itu? Ya, minimal dalam membaca Kitab Suci kita enggan menggali dengan serius. Kitab Suci seringkali dipakai hanya untuk pembenaran sikap dan tindakan kita.

Salah satu contoh ketika orang membaca Lukas 12:51, “Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan.” Sepintas ayat ini membenarkan bahwa seorang pengikut Yesus hidup dalam permusuhan. Perikop pendek yang diberi judul oleh Lembaga Alkitab Indonesia Yesus membawa pemisah (Lukas 12:49-53) dapat menimbulkan salah tafsir. Sebab bagaimana mungkin, satu pihak Yesus mengedepankan permusuhan tetapi di pihak lain Ia justeru menyerukan perdamaian. Lukas 12: 58 Yesus mengatakan, “Sebab, jikalau engkau dengan lawanmu pergi menghadap pemerintah, berusahalah berdamai dengan dia di tengah jalan,..” Lalu bagaimana kita melihatnya?

Lukas 12:51 tidak bisa kita lepaskan dari konteks keseluruhan Injil Lukas. Ayat 51 berkaitan erat dengan pernyataan Yesus dalam ayat 49, “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala!” Lukas memakai “api” sebagai simbol penghakiman, di dalamnya terkandung makna pemisahan (penghakiman berarti memisahkan yang benar dari yang tidak benar, bnd Lukas 3:9, 16; 17:29), bila itu dipahami maka perkataan Yesus ini merupakan peringatan bagi para pengikut-Nya bahwa diri-Nya datang ke dunia ini sebagai sarana Ilahi untuk penghakiman dunia ini. Lukas menghubungkan “api” itu dengan baptisan (12:50). Baptisan yang dimaksud adalah mulai dari baptisan Yohanes (Lukas 3:21) sampai “baptisan” dalam kematian-Nya. Dengan kata lain penghakiman Ilahi itu berhubungan dan terjadi dalam keseluruhan karya pelayanan Yesus di dunia. Adalah keniscayaan bahwa karya Yesus di dunia ini menimbulkan kontroversi: ada yang menerimanya sebagai sebuah anugerah Allah bahwa di dalam Kristus manusia dapat didamaikan kembali dengan Allah. Namun, tidak sedikit juga yang menolak-Nya.

Selalu ada resiko atas pilihan itu. Apa pun resikonya, termasuk dimusuhi oleh orang terdekat sekalipun, mestinya tidak membuat seseorang yang telah menerima karya Krsitus itu kemudian melepaskannya lagi. Relasi dengan sesama, apalagi orang-orang terdekat (orang tua dan saudara) adalah penting. Namun, ada yang jauh lebih penting, yakni mengikut Yesus. Bagi setiap orang yang menerima Kristus, bukan lantas betah hidup dalam pertentangan, konflik dan permusuhan. Ia akan berusaha menghadirkan damai itu dalam hidupnya, karena ia telah menerimanya di dalam Kristus. Orang yang menerima Kristus itu mestinya akan belajar dari Kristus: Kristus yang rela menderita bahkan mati demi menghadirkan dalam itu! Adalah keliru jika kita menafsirkan Lukas 12:49-53 sebagai kesempatan untuk hidup dalam permusuhan bahkan pembenaran untuk memusuhi orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita.  

Di bumi Indonesia ini, Tuhan menghadirkan kita. Di sini Tuhan mempercayakan kita menjadi agen-agen perdamaian, bukan pembawa konflik! Pasti ada resiko, namun bukankah Tuhan sudah mengingatkannya kepada kita! Ingatlah pula apa yang dicatat Ibrani 11:29-12:2 banyak kesaksian tentang orang-orang yang setia di jalan Tuhan. Mereka tetap setia dalam pelbagai kondisi dan resiko. Mereka tidak mencari musuh, mereka juga tidak menyalahkan keadaan. Mereka tidak mencari nyaman. Mereka berhasil menjadi alat-alat di tangan-Nya. Bagaimana dengan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar