Apa itu damai? Kamus Bahasa Indonesia mengartikannya: tidak ada perang, tidak ada
kerusuhan, aman, tentram, tenang, keadaan tidak bermusuhan. Bangsa yang
damai atau hidup dalam perdamaian, menurut Alfred North Whitehead (matematikawan
dan filsuf Inggris) merupakan bangsa
yang beradab. Sebab salah satu ciri bangsa itu beradab atau tidak dapat
ditentukan seberapa jauh mereka hidup dalam suasana damai. Menurutnya, peace (rasa damai) dapat diperoleh
manusia dalam kehidupan beragama. Agama yang baik akan dapat membawa orang
semakin mampu hidup damai dengan siapa pun. Sebab agama menyediakan perangkat
agar manusia mengalami pertobatan dan perubahan watak dari yang buruk menjadi
baik dari biadab menjadi beradab.
Membaca tema “Damai di bumi Indonesia”, bagi saya ada
pertanyaan menggelitik: Apakah kalimat tersebut merupakan realita di negeri
ini? Ataukah merupakan sebuah harapan atau doa? Syukurlah kalau sudah menjadi kenyataan di negeri ini. Namun, jika hal ini
masih merupakan sebuah harapan atau doa, itu artinya sesudah 68 tahun merdeka,
ternyata kita belum sepenuhnya terbebas dari kecurigaan, kebencian dan konflik.
Hal itu berarti pula bahwa kita, sebagai bangsa, dalam ukuran Whitehead, belum
beradab! Kenapa belum beradab? Ya, yang ada konflik terus!Tentu, ada banyak
alasan kenapa kita curiga, benci dan akhirnya mengambil posisi bermusuhan alias
hidup dalam ketidakdamaian. Setiap kita, dengan latar belakang ilmu pengetahuan
dan pengalaman masing-masing dapat memberi analisa mengapa bangsa ini belum
hidup dalam kedamaian yang sepenuhnya.
Agama, alih-alih menjadi
perangkat moral yang membuat manusia bisa hidup damai, ternyata merupakan
faktor penyebab kehidupan jauh dari perdamaian itu sendiri. Mengapa agama bisa
seperti itu? Ya, oleh karena orang menggunakannya untuk kepentingan dan
pemuasan nafsu sendiri. Menyalahgunakan Kitab Suci bahkan tidak segan-segan
memakai nama Tuhan untuk tujuan-tujuan yang sebenarnya bertentangan dengan
kehendak-Nya. Orang-orang seperti itulah yang ditengarai oleh Yeremia sebagai
nabi-nabi palsu (Yeremia 23:25). Mereka bernubuat berdasarkan mimpi-mimpi
sendiri dan merasa yakin bahwa Tuhan tidak melihat tindakannya itu!
Dalam konteks Indonesia, kita
akan habis waktu untuk menyebutkan konflik-konflik yang beraroma agama. Maka
ada benarnya apa yang dulu dikatakan Hans Kung (dalam :Global Responsibility), “Tidak ada perdamaian dunia tanpa adanya
perdamaian agama-agama. Tidak ada perdamaian antar agama tanpa adanya dialog
antar agama.” Membaca pernyataan Kung dan melihat kenyataan yang ada mestinya
sebagai panganut agama, entah apa pun agamanya, kita harus malu! Betapa tidak,
dunia yang diwakili oleh Whitehead berharap banyak dari agama dapat memberikan
perdamaian itu, eh...ini malah harus didamaikan! Lantas apakah dengan begitu
kita tidak usah beragama saja, supaya tidak repot-repot bermusuhan, saling
membunuh dan kemudian menempuh jalan panjang mencari solusi damai? Tentu tidak
begitu. Pasti ada yang keliru dalam penghayatan keberagamaan kita! Apa yang
keliru itu? Ya, minimal dalam membaca Kitab Suci kita enggan menggali dengan
serius. Kitab Suci seringkali dipakai hanya untuk pembenaran sikap dan tindakan
kita.
Salah satu contoh ketika orang
membaca Lukas 12:51, “Kamu menyangka,
bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu,
bukan damai, melainkan pertentangan.” Sepintas ayat ini membenarkan bahwa
seorang pengikut Yesus hidup dalam permusuhan. Perikop pendek yang diberi judul
oleh Lembaga Alkitab Indonesia Yesus
membawa pemisah (Lukas 12:49-53) dapat menimbulkan salah tafsir. Sebab
bagaimana mungkin, satu pihak Yesus mengedepankan permusuhan tetapi di pihak
lain Ia justeru menyerukan perdamaian. Lukas 12: 58 Yesus mengatakan, “Sebab, jikalau engkau dengan lawanmu pergi
menghadap pemerintah, berusahalah berdamai dengan dia di tengah jalan,..”
Lalu bagaimana kita melihatnya?
Lukas 12:51 tidak bisa kita
lepaskan dari konteks keseluruhan Injil Lukas. Ayat 51 berkaitan erat dengan
pernyataan Yesus dalam ayat 49, “Aku
datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah
menyala!” Lukas memakai “api” sebagai simbol penghakiman, di dalamnya
terkandung makna pemisahan (penghakiman berarti memisahkan yang benar dari yang
tidak benar, bnd Lukas 3:9, 16; 17:29), bila itu dipahami maka perkataan Yesus
ini merupakan peringatan bagi para pengikut-Nya bahwa diri-Nya datang ke dunia
ini sebagai sarana Ilahi untuk penghakiman dunia ini. Lukas menghubungkan “api”
itu dengan baptisan (12:50). Baptisan yang dimaksud adalah mulai dari baptisan
Yohanes (Lukas 3:21) sampai “baptisan” dalam kematian-Nya. Dengan kata lain
penghakiman Ilahi itu berhubungan dan terjadi dalam keseluruhan karya pelayanan
Yesus di dunia. Adalah keniscayaan bahwa karya Yesus di dunia ini menimbulkan
kontroversi: ada yang menerimanya sebagai sebuah anugerah Allah bahwa di dalam
Kristus manusia dapat didamaikan kembali dengan Allah. Namun, tidak sedikit
juga yang menolak-Nya.
Selalu ada resiko atas pilihan
itu. Apa pun resikonya, termasuk dimusuhi oleh orang terdekat sekalipun,
mestinya tidak membuat seseorang yang telah menerima karya Krsitus itu kemudian
melepaskannya lagi. Relasi dengan sesama, apalagi orang-orang terdekat (orang
tua dan saudara) adalah penting. Namun, ada yang jauh lebih penting, yakni
mengikut Yesus. Bagi setiap orang yang menerima Kristus, bukan lantas betah
hidup dalam pertentangan, konflik dan permusuhan. Ia akan berusaha menghadirkan
damai itu dalam hidupnya, karena ia telah menerimanya di dalam Kristus. Orang
yang menerima Kristus itu mestinya akan belajar dari Kristus: Kristus yang rela
menderita bahkan mati demi menghadirkan dalam itu! Adalah keliru jika kita
menafsirkan Lukas 12:49-53 sebagai kesempatan untuk hidup dalam permusuhan
bahkan pembenaran untuk memusuhi orang-orang yang berbeda keyakinan dengan
kita.
Di bumi Indonesia ini, Tuhan menghadirkan kita. Di
sini Tuhan mempercayakan kita menjadi agen-agen perdamaian, bukan pembawa
konflik! Pasti ada resiko, namun bukankah Tuhan sudah mengingatkannya kepada
kita! Ingatlah pula apa yang dicatat Ibrani 11:29-12:2 banyak kesaksian tentang
orang-orang yang setia di jalan Tuhan. Mereka tetap setia dalam pelbagai
kondisi dan resiko. Mereka tidak mencari musuh, mereka juga tidak menyalahkan
keadaan. Mereka tidak mencari nyaman. Mereka berhasil menjadi alat-alat di
tangan-Nya. Bagaimana dengan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar