Mengimani sabda Allah
merupakan hal yang mutlak: mau tidak mau harus
dilakukan dalam hidup seseorang yang menyatakan dirinya beriman! Sine qua non. Tiga suku kata Latin yang
biasa diartikan “tidak boleh tidak, harus”.
Not negotiable. A.S. Hornby memaparkan sin
qua non sebagai “condition or qualification
that cannot be done without; essential condition” (kondisi atau kualifikasi
yang tidak boleh tidak harus ada karena esensial. Sin qua non mengacu pada keniscayaan yang harus dimiliki sesuatu
untuk menjadi apa adanya. Ada dua kriteria yang saling melengkapi dalam sin qua non, yakni keharusan dan hakekat
menjadi apa adanya. Sebuah lingkaran – ia disebut lingkaran – harus membentang 360º.
Siku-siku harus memiliki
sudut 90º. Kubus harus memiliki enam
bidang sama sisi. Relativitas Einstein harus
E=MC². Dalil aljabar 1+1 harus =2, dan bilangan nol dikalikan
berapa pun hasilnya nol. Uang satu juta kurang satu rupiah hanyalah Rp.
999.999,00. Utara harus satu sumbu
dengan selatan, dan bukan Timur jika tidak lateral dengan Barat.
Minggu lalu, ketika kita membaca Injil tentang Orang Samaria yang Murah Hati (Lukas 10:25-37). Diceritakan ada
seorang ahli Taurat yang mau mencobai Yesus dengan pertanyaan; Apakah yang
harus ia diperbuat untuk memperoleh kehidupan yang kekal? Yesus tidak menjawab
langsung. Namun, Ia meminta si ahli Taurat itu menjawabnya sendiri menurut isi
hukum Taurat. Orang itu menjawab, “Kasihilah
Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu...dan kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri.” (Lukas 10:27). Kata Yesus kepadanya, “Jawabanmu itu benar, perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” (Lukas
10:29).
“Perbuatlah demikian,
maka engkau akan hidup!” Sin qua non! Inilah keharusan yang tidak mau tidak harus dilakukan jika seseorang
menginginkan hidup yang kekal! Keharusan yang harus diterima tanpa syarat, dipatuhi tanpa alasan, dan dijalani
tanpa pembelaan. Inilah hakikat orang percaya bahwa dirinya dapat memperoleh
hidup yang kekal hanya dengan menjalankan hukum Tuhan. Namun, harus di sini sebenarnya tidak mutlak
tanpa pilihan, sebab harus tidak
selalu hasil manifestasi dari sebuah pengekangan, pemaksaan atau pun
penindasan. Adakalanya harus
merupakan konsekuensi dari sebuah pilihan – termasuk memilih untuk tidak
memilih. Jadi, harus juga mesti
dilihat sebagai ekspresi suatu pilihan. Di sinilah kita mesti membedakan antara
harus sebagai paksaan dan harus oleh karena kesadaran. Artinya, melakukan perintah Allah
sangat mungkin adalah sin qua non
yang tidak nikmat, tetapi bagi orang yang mengasihi Allah, mempersembahkan
hidup untuk-Nya, justeru mendatangkan nikmat sejati, karena lahir dari
kesadaran, bukan dari tekanan, belenggu atau pun kekangan. Paulus harus mengutamakan Kristus (Kolose
1:15-23) dalam hidupnya, bukan karena ia ditekan dan ditindas oleh Yesus. Ia
melakukan itu dengan sukacita oleh karena dirinya telah diperdamaikan dengan
Allah!
Tidak seperti Paulus, Marta merasa diri “tertekan” dalam menyiapkan jamuan untuk Yesus dan
murid-murid-Nya. Ketika Marta protes kepada Yesus lantaran ia merasa sibuk
sendiri menyiapkan perbagai keperluan dan hidangan untuk Yesus dan
murid-murid-Nya, sementara Maria, saudaranya hanya duduk mendengarkan wejangan
Yesus, Yesus menjawabnya, “Marta, Marta,
engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu
saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan
diambil dari padanya.” (Lukas 10:41-42) Maria telah menemukan sin qua non Kerajaan Allah! Ia memilih duduk di kaki Yesus
dengan kesadaran yang penuh sukacita bahwa hanya dengan mendengar
tutur-ajar-Nya Ia dapat mengerti tentang Kerajaan Allah.
Apa alasan Yesus sehingga Ia lebih berkenan kepada Maria ketimbang
Marta dalam kasus ini? Apakah ada yang salah dengan Marta? Bukankah Marta juga
melayani dan berusaha memenuhi kebutuhan Yesus dan para murid-Nya? Persoalannya
adalah waktu dan cara sibuk Marta dengan “banyak perkara” itu menyebabkan bahwa
ia melalaikan satu-satunya hal yang perlu! Segala pikiran dan perhatian Marta
telah tenggelam dalam kesibukannya mengurusi makanan dan minuman. Konsentrasi seperti
inilah yang menyita seluruh perhatian Marta: Begitulah cara Marta melayani
Tuhan! Dan, sangkanya bahwa ia –dan hanya dia- melayani Yesus dengan cara yang
tepat. Marta tidak menyadari bahwa ada waktu untuk “bekerja” bagi Yesus, tetapi
juga ada waktu duduk tenang dan mendengarkan-Nya.
Marta mengira bahwa ia tidak punya waktu sekarang untuk itu, sebab terlalu
banyak yang harus dikerjakan, ia harus mengurus segala sesuatu, harus berada di
depan dan di belakang sekaligus. Begitulah maunya Marta melayani Yesus, juga
pada saat Yesus mau melayani dia. Itulah yang tidak salah ditangkap Maria; ia
menghormati Yesus dengan mendengarkan-Nya ketika Yesus mau melayani Maria dengan jalan berbicara tentang hal-hal Kerajaan
Sorga!
Banyak orang sering seperti Marta. Menganggap dirinya yang paling
tepat, benar dan paling berlelah dalam “melayani” Tuhan. Orang seperti ini
mudah sekali menghakimi orang lain dan menganggapnya tidak melakukan apa-apa! Bukankah
kita juga seringkali seperti Marta? Memilih firman Tuhan menurut keinginan dan
minat pribadi. Sementara itu, kita mengabaikan apa yang dianggap tidak
mendukung keinginan kita. Pertimbangan akal budi dan emosi juga turut andil
mempengaruhi kita untuk mendengar dan mengimani sabda Tuhan. Betapa pentingnya
sikap seperti Maria, mendengar dan menyimak apa yang disabdakan Yesus. Sebab hanya
dengan menyimak dengan baik seseorang dapat menjadi pelaku firman. Mengimani sabda
Tuhan berarti tidak hanya sekedar mendengar, melainkan menjadikan firman itu
sebagai “jalan hidup”! Sebab jika tidak demikian kita hanya menipu diri dan
munafik!
Alkisah ada seorang pertapa. Ia ingin mecari pencerahan diri melalui
jalan bertapa di sebuah gua dalam hutan lebat yang jarang sekali dilewati
orang. Begitu suci dan salehnya ia hidup. Sehingga, dalam anggapannya, hanya
dialah manusia yang paling saleh, suci dan paling mencintai Tuhannya di bumi
ini. Suatu ketika Tuhan datang dalam gemuruh angin topan dan berkata kepadanya,
“Hai, manusia saleh, sekarang pergilah ke sebuah desa di kaki gunung dengan
mengikuti sungai yang mengalir ini. Di sana engkau akan menemui seorang petani
yang sedang membajak sawahnya. Menurut-Ku, dialah orang yang berbakti
kepada-Ku. Tugasmu, belajarlah dari dia!”
Lalu pergilah si pertapa ini ke tempat yang ditunjukkan Tuhan
kepadanya. sikat cerita, ia bertemu dengan petani yang dimaksud. Pertapa itu
memperhatikan ulah kerja si petani: Sebelum membajak, petani itu menundukkan
kepala, saat beristirahat makan siang, petani ini menundukkan kepala lagi.
Pertapa itu terus mengamati si petani itu sampai larut malam. Pada malam hari,
petani itu kembali menundukkan kepala. Si pertapa itu berpikir dan
menyimpulkan, “Apanya yang disebut berbakti kepada Tuhan. La, petani itu hanya melakukan tiga kali doa, itu pun sangat
singkat, mengapa pula aku harus belajar kepadanya!” Tuhan mengetahui isi hati
si pertapa itu. lalu Ia berkata kepadanya, “Sekarang ada satu tugas lagi
untukmu. Pergillah mengelilingi desa si petani itu dengan membawa gelas berisi
air penuh. Jangan engkau menumpahkan barang setetes pun!” Pertapa ini segera
melakukannya.
Bertanyalah Tuhan, “Berapa kali dalam perjalananmu mengelilingi desa
itu, engkau mengingat Aku?”
“Tidak sekalipun, ya Tuhan. Bagaimana mungkin aku mengingat Engkau,
sementara Engkau menyuruh aku agar tidak menumpahkan air dalam gelas ini? Tuhan
menegurnya, “Gelas ini menguasai pikiranmu, sehingga tidak sedetik pun engkau
mengingat Aku. Tetapi lihatlah petani itu. Di saat ia sibuk mencari nafkah,
mengolah sawahnya , untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, Ia masih
mengingat aku!”
Mengingat dan mengandalkan sabda Tuhan dalam kehidupan tidak berarti
mengabaikan pekerjaan lantas berlaku seperti si pertapa tadi. Abraham,
barangkali dapat menjadi contoh. Kejadian 18 :1-10 mengisahkan Tuhan
menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon terbantin di Mamre. Saat Tuhan
menampakkan diri dalam bentuk tiga orang “asing” yang bertamu kepada Abraham,
ia tidak sedang mempersembahkan korban dalam ritus ibadah. Abraham sedang duduk
di pintu kemahnya karena waktu itu hari panas terik. Sepertinya, Allah ingin
menunjukkan bahwa Ia bisa menunjukkan diri-Nya bukan saja dalam ritual ibadah. Namun
hal itu bisa terjadi dalam pertemuan antara-manusia sehari-hari, termasuk dalam
penerimaan tamu asing.
Abraham sibuk melayani tamunya, yang ternyata adalah Allah sendiri. Namun,
sementara ia sibuk melayani dengan pelbagai macam jamuan, ia juga tidak
kehilangan kesempatan untuk mendengar dengan cermat sabda Tuhan. jadi persoalannya
di sini bukanlah sibuk atau tidak, tetapi apakah kita punya cukup ruang di hati
ini bagi kehadiran Dia? Dan ruang yang seperti apa yang kita mau berikan
kepada-Nya? Apakah ruang sisa? Ataukah ruang utama. Mengimani sabda Allah
berarti ada kesediaan dalam hati ini untuk memberi ruang yang paling utama
dalam hidup kita untuk sabda-Nya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar