Seringkali manusia terjebak
dengan pelbagai alasan yang dibuatnya sendiri untuk tidak melakukan apa yang
diyakininya sebagai kebenaran. Banyak orang belajar, membina diri, mencoba
memahami kehendak Yang Kuasa. Namun, apakah sesudah faham dan mengerti langsung
mengerjakannya? Belum tentu! Ada yang berhenti sebatas koleksi perbendaharaan
pengetahuan dan menjadikannya kebanggaan apabila dapat bersoal jawab tentang
firman yang dimaksud. Banyak yang melakukan kalkulasi pertimbangan untuk menerapkan
firman tersebut dalam hidup sehari-hari. Pertimbangan itu antara lain: Apakah
akan mendatangkan keuntungan, baik secara materi atau imateri / popularitas?
Ataukah justeru, dengan melakukannya akan dibuat repot dan merugikan diri
sendiri.
Suatu ketika Yesus bersoal
jawab dengan seorang ahli Taurat yang hendak mencobainya (Lukas 10:25-37). Ia menanyakan
kepada Yesus apa yang ia sendiri sudah tahu jawabannya. ia bertanya tentang
perbuatan apa yang dapat mendatangkan ganjaran kehidupan yang kekal. Yesus
membalikkan pertanyaan itu, “Apa yang
tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Orang itu menjawab,
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan
segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Yesus membenarkan jawaban itu dan meminta agar orang tersebut melakukannya
niscaya ia bakal menikmati hidup yang sesungguhnya itu. Namun, ahli Taurat ini
masih berkelit dan ingin berdebat tentang siapa sesama manusia itu.
Dalam pemahaman para ahli
Taurat, yang disebut sesama manusia
itu terbatas. Mereka biasa mengartikan kalimat “...kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,..”(Imamat 19:18) hanya terbatas
pada teman sebangsa atau saudara sendiri sedangkan di luar itu mereka merasa
tidak punya kewajiban untuk memberlakukan hukum Tuhan itu. Untuk menjawab
pertanyaan itu, Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik
hati.
Dalam perumpamaan itu, singkat
cerita ada seorang yang sedang dalam perjalanan. Ia tertimpa nahas. Hartanya dirampok
habis-habisan, dia sendiri terluka. Ada tiga orang yang melewati si korban ini:
seorang imam, seorang Lewi dan seorang Samaria. Orang pertama dan kedua dikenal
sebagai kalangan rohaniwan. Mereka tidak melakukan tindakan apa pun terhadap si
korban perampokan ini. Mereka melewatinya begitu saja. Namun tidak dengan orang
Samaria. Orang Samaria yang sering dicibir sebagai orang yang tidak memelihara
kekudusan peribadahaan justeru dia inilah yang memberikan pertolongan. Ia
membalut lukanya, menghantarnya ke sebuah tempat penginapan, memberi uang kepada
pemilik penginapan itu untuk menjamin agar si korban ini di rawat dengan baik. Tidak
hanya berhenti di situ, bahkan ia berjanji akan membayarkan sejumlah uang
apabila si pemilik penginapan itu jika membelanjakan uangnya lebih dari yang ia
berikan. Usai bercerita, Yesus bertanya kepada ahli Taurat itu tentang siapa yang
telah menjadi sesama dari orang yang dirampok itu. Sewaktu hendak menjawab
pertanyaan Yesus, rupa-rupanya si ahli Taurat itu tidak mau mengucapkan kara “orang
Samaria”. Jadi ia menjawab, “Yang
bertindak sebagai sesamanya ialah orang yang telah menunjukkan belas kasih
kepadanya.” Lalu Yesus menjawab, “Pergilah
dan perbuatlah demikian!”
Ternyata Yesus tidak menjawab
pertanyaan ahli Taurat itu secara langsung. Melalui perumpamaan Yesus hendak
menyadarkan ahli Taurat ini dengan tindakan nyata. Sederhananya, seolah Yesus
mau mengatakan: Jangan ajukan pertanyaan teoritis tentang “siapakah sesamaku?”
tetapi mulailah secara praktis dengan bertindak sendiri sebagai “sesama” bagi
semua orang, terutama yang menderita! Yesus tidak mau bersoal jawab dengan ahli
Taurat mengenai siapa yang harus dikasihi, tetapi secara langsung Ia mau
mengatakan tentang pentingnya orang bertindak melaksanakan kasih kepada sesama.
Pertanyaan “siapakah sesamaku?” dengan sendirinya
akan terjawab jika kita mau benar-benar mencoba menjadi dan bertindak sebagai “sesama” terhadap siapa saja tanpa harus
membedakan status sosial, ras, suku, budaya, bangsa, agama dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, jika kita terbiasa melakukan tindakan kasih kepada semua
orang, maka pertanyaan “siapa sesamaku?” tidak relevan lagi.
Kita dipanggil untuk
memberlakukan firman ini dalam kehidupan sehari-hari. Namun, prakteknya kita sering berlaku juga
seperti ahli Taurat itu. memilih dan memilah dengan kalkulasi perhitungan
sendiri. Sehingga firman Tuhan yang sebenarnya sangat mudah untuk dilakukan
kini, karena pelbagai kalkulasi/perhitungan menjadi berat. Suatu ketika Tuhan
pernah mengingatkan umat-Nya bahwa perintah atau kehendak-Nya itu bukanlah
perkara yang sulit. “Sebab perintah ini,
yang Kusampaikan hari ini kepadau hari ini, tidaklah terlalu sukar bagimu dan
tidak terlalu jauh....Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam
mulutmu dan di dalam hatimu untuk, untuk dilakukan.”(Ulangan 30:11,14)
Mustahil Tuhan meminta
seseorang untuk melakukan kehendak-Nya, padahal Ia tahu manusia itu tidak mampu
melakukannya. Yang membuat hukum atau firman itu terasa berat oleh karena kita
tidak mencintainya. Sebaliknya, jika seseorang mencintai firman itu maka
pastilah tidak ada yang sulit baginya untuk melakukan firman itu! Thomas Edison
pernah berkata, “Saya tidak pernah bekerja sehari pun seumur hidup saya. Semua yang
saya lakukan adalah kesenangan saya!” Bekerja bagi Edison adalah mengerjakan
kesenangannya. Bisakah dalam nada yang sama kita berkata seperti Edison. “Saya
tidak pernah merasakan beban dalam melakukan firman Tuhan sehari pun, sebab
semua yang diperintahkan-Nya kepadaku adalah menyenangkan!” Jadi persoalannya
di sini adalah tentang sikap hati dalam menanggapi perintah Tuhan. Immanuel
Kant menyebut sikap hati ini dengan gesinnungsethik
atau Etik Sikap Hati. Dari hati yang baik akan keluar perbuatan yang baik. Jika
hati kita dipenuhi cinta kepada Tuhan, maka perbuatan kita pun semakin
mencerminkan sikap hati kita. Jika hati kita dipenuhi oleh cinta kepada Tuhan,
maka kita akan selalu tahu perbuatan mana yang baik dan benar sesuai dengan
hukum Tuhan. Sebaliknya, kita akan menjadi gelisah dan risau manakala kita berdiam
diri, tidak melakukan apa pun, padahal firman yang ada di dalam hati itu
meminta kita untuk berbuat sesuatu!
Firman itu harus nyata dalam
kehidupan sebab jika tidak apa bedanya kita dengan ahli Taurat itu? Kasih kepada
Allah dan kasih kepada sesama itu tidak boleh dipisahkan satu sama lain, dan
yang satu tidak boleh menggantikan yang lain. Kita tidak bisa mengatakan saya
mengasihi Allah tetapi menolak untuk mengasihi sesama. Dan kasih kita kepada
sesama tidak bisa dilepas dari kepercayaan
kita kepada Allah yang telah mengasihi kita terlebih dahulu. Kita harus mulai
dengan menjadi sesama dan bertindak sebagai sesama terhadap orang lain, dengan tidak mempersoalkan siapa sesama itu. kasih terhadap sesama tidak hanya terdiri
dari perasaan yang luhur dan perkataan yang muluk-muluk tetapi harus menjadi
nyata dalam perbuatan praktis! Kisah berikut menarik untuk disimak:
Hari itu adalah hari yang
dingin menusuk tulang di kota London. Di suatu sudut jalan, seorang pria buta
duduk di bangku pendek memainkan biola. Cangkir kaleng yang diletakkan di dekat
bangku itu masih kosong. Jari-jari pria buta itu sudah mulai membiru dipagut
dingin, tapi orang-orang yang lewat hampir tidak menaruh perhatian kepadanya. Tangan
mereka terbenam di saku mereka masing-masing untuk melindungi diri dari dingin.
Seorang pria berpakaian rapi
berhenti di sudut jalan itu. “Belum beruntung, ya?” sapa pria itu, “Tak seorang
pun bersedia membuka dompet mereka untuk Anda? Kalau begitu, mari kita buat
mereka melakukannya!” Dengan cekatan pria itu mengangkat biola murahan miik
pria buta itu, dan mulailah ia menggesek dawainya. Biola murahan itu
seolah-olah menjadi hidup, musik surgawi mengalir indah dari biola itu.
tersihir oleh musik yang mengalun, sekelompok orang mengerumuni pria buta itu.
semua orang terpaku mendengarkan, mereka terpesona!
Ketika musik berhenti, pria
berpakaian rapi itu mengedarkan sendiri topinya, dan segera orang-orang memebuka
genggaman tangan, merogoh satu dan membuka dompet mereka. Sejumlah uang dalam
waktu singkat masuk dalam topi itu. Pria berpakaian rapi itu memindahkan semua
uang dalam topinya ke dalam cangkir kaleng, dan mengembalikan biola dan
penggeseknya kepada pria buta itu.
“Oh, Pak! Bagaimana saya bisa
benar-benar menyatakan rasa terima kasih saya?” seru pria buta itu. “Boleh saya
tahu nama Bapak?”
“Orang-orang memanggil saya
Paganini,” Jawab pria berpakaian rapi itu sambil menjabat erat tangan pria
buta. Sebelumnya, tidak pernah terlintas dalam benaknya ada salah satu musisi
terbesar di dunia ini mau bermain biola di sudut jalan demi membantu sesama
yang membutuhkan.
Jelas kita bukan orang Samaria, dan kita juga bukan
seorang Paganini. Namun, tengoklah di sekitar kita! Masih banyak orang yang
membutuhkan uluran tangan kita. Jika hati kita meluap oleh cinta kasih yang
datangnya dari Tuhan, maka tangan dan kaki dan seluruh panca indera akan
menuruti cinta itu, sehingga “firman” itu akan menjadi hidup. Ya, dia akan
hidup dalam diri Anda, saya dan semua orang yang telah tersentuh oleh cinta
kasih-Nya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar