Kamis, 11 Juli 2013

FIRMAN DALAM KEHIDUPAN

Seringkali manusia terjebak dengan pelbagai alasan yang dibuatnya sendiri untuk tidak melakukan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Banyak orang belajar, membina diri, mencoba memahami kehendak Yang Kuasa. Namun, apakah sesudah faham dan mengerti langsung mengerjakannya? Belum tentu! Ada yang berhenti sebatas koleksi perbendaharaan pengetahuan dan menjadikannya kebanggaan apabila dapat bersoal jawab tentang firman yang dimaksud. Banyak yang melakukan kalkulasi pertimbangan untuk menerapkan firman tersebut dalam hidup sehari-hari. Pertimbangan itu antara lain: Apakah akan mendatangkan keuntungan, baik secara materi atau imateri / popularitas? Ataukah justeru, dengan melakukannya akan dibuat repot dan merugikan diri sendiri.

Suatu ketika Yesus bersoal jawab dengan seorang ahli Taurat yang hendak mencobainya (Lukas 10:25-37). Ia menanyakan kepada Yesus apa yang ia sendiri sudah tahu jawabannya. ia bertanya tentang perbuatan apa yang dapat mendatangkan ganjaran kehidupan yang kekal. Yesus membalikkan pertanyaan itu, “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Orang itu menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Yesus membenarkan jawaban itu dan meminta agar orang tersebut melakukannya niscaya ia bakal menikmati hidup yang sesungguhnya itu. Namun, ahli Taurat ini masih berkelit dan ingin berdebat tentang siapa sesama manusia itu.

Dalam pemahaman para ahli Taurat, yang disebut sesama manusia itu terbatas. Mereka biasa mengartikan  kalimat “...kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,..”(Imamat 19:18) hanya terbatas pada teman sebangsa atau saudara sendiri sedangkan di luar itu mereka merasa tidak punya kewajiban untuk memberlakukan hukum Tuhan itu. Untuk menjawab pertanyaan itu, Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati.

Dalam perumpamaan itu, singkat cerita ada seorang yang sedang dalam perjalanan. Ia tertimpa nahas. Hartanya dirampok habis-habisan, dia sendiri terluka. Ada tiga orang yang melewati si korban ini: seorang imam, seorang Lewi dan seorang Samaria. Orang pertama dan kedua dikenal sebagai kalangan rohaniwan. Mereka tidak melakukan tindakan apa pun terhadap si korban perampokan ini. Mereka melewatinya begitu saja. Namun tidak dengan orang Samaria. Orang Samaria yang sering dicibir sebagai orang yang tidak memelihara kekudusan peribadahaan justeru dia inilah yang memberikan pertolongan. Ia membalut lukanya, menghantarnya ke sebuah tempat penginapan, memberi uang kepada pemilik penginapan itu untuk menjamin agar si korban ini di rawat dengan baik. Tidak hanya berhenti di situ, bahkan ia berjanji akan membayarkan sejumlah uang apabila si pemilik penginapan itu jika membelanjakan uangnya lebih dari yang ia berikan. Usai bercerita, Yesus bertanya kepada ahli Taurat itu tentang siapa yang telah menjadi sesama dari orang yang dirampok itu. Sewaktu hendak menjawab pertanyaan Yesus, rupa-rupanya si ahli Taurat itu tidak mau mengucapkan kara “orang Samaria”. Jadi ia menjawab, “Yang bertindak sebagai sesamanya ialah orang yang telah menunjukkan belas kasih kepadanya.” Lalu Yesus menjawab, “Pergilah dan perbuatlah demikian!”

Ternyata Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli Taurat itu secara langsung. Melalui perumpamaan Yesus hendak menyadarkan ahli Taurat ini dengan tindakan nyata. Sederhananya, seolah Yesus mau mengatakan: Jangan ajukan pertanyaan teoritis tentang “siapakah sesamaku?” tetapi mulailah secara praktis dengan bertindak sendiri sebagai “sesama” bagi semua orang, terutama yang menderita! Yesus tidak mau bersoal jawab dengan ahli Taurat mengenai siapa yang harus dikasihi, tetapi secara langsung Ia mau mengatakan tentang pentingnya orang bertindak melaksanakan kasih kepada sesama.

Pertanyaan “siapakah sesamaku?” dengan sendirinya akan terjawab jika kita mau benar-benar mencoba menjadi dan bertindak sebagai “sesama” terhadap siapa saja tanpa harus membedakan status sosial, ras, suku, budaya, bangsa, agama dan lain sebagainya. Dengan kata lain, jika kita terbiasa melakukan tindakan kasih kepada semua orang, maka pertanyaan “siapa sesamaku?” tidak relevan lagi.

Kita dipanggil untuk memberlakukan firman ini dalam kehidupan sehari-hari.  Namun, prakteknya kita sering berlaku juga seperti ahli Taurat itu. memilih dan memilah dengan kalkulasi perhitungan sendiri. Sehingga firman Tuhan yang sebenarnya sangat mudah untuk dilakukan kini, karena pelbagai kalkulasi/perhitungan menjadi berat. Suatu ketika Tuhan pernah mengingatkan umat-Nya bahwa perintah atau kehendak-Nya itu bukanlah perkara yang sulit. “Sebab perintah ini, yang Kusampaikan hari ini kepadau hari ini, tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak terlalu jauh....Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu untuk, untuk dilakukan.”(Ulangan 30:11,14)

Mustahil Tuhan meminta seseorang untuk melakukan kehendak-Nya, padahal Ia tahu manusia itu tidak mampu melakukannya. Yang membuat hukum atau firman itu terasa berat oleh karena kita tidak mencintainya. Sebaliknya, jika seseorang mencintai firman itu maka pastilah tidak ada yang sulit baginya untuk melakukan firman itu! Thomas Edison pernah berkata, “Saya tidak pernah bekerja sehari pun seumur hidup saya. Semua yang saya lakukan adalah kesenangan saya!” Bekerja bagi Edison adalah mengerjakan kesenangannya. Bisakah dalam nada yang sama kita berkata seperti Edison. “Saya tidak pernah merasakan beban dalam melakukan firman Tuhan sehari pun, sebab semua yang diperintahkan-Nya kepadaku adalah menyenangkan!” Jadi persoalannya di sini adalah tentang sikap hati dalam menanggapi perintah Tuhan. Immanuel Kant menyebut sikap hati ini dengan gesinnungsethik atau Etik Sikap Hati. Dari hati yang baik akan keluar perbuatan yang baik. Jika hati kita dipenuhi cinta kepada Tuhan, maka perbuatan kita pun semakin mencerminkan sikap hati kita. Jika hati kita dipenuhi oleh cinta kepada Tuhan, maka kita akan selalu tahu perbuatan mana yang baik dan benar sesuai dengan hukum Tuhan. Sebaliknya, kita akan menjadi gelisah dan risau manakala kita berdiam diri, tidak melakukan apa pun, padahal firman yang ada di dalam hati itu meminta kita untuk berbuat sesuatu!

Firman itu harus nyata dalam kehidupan sebab jika tidak apa bedanya kita dengan ahli Taurat itu? Kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama itu tidak boleh dipisahkan satu sama lain, dan yang satu tidak boleh menggantikan yang lain. Kita tidak bisa mengatakan saya mengasihi Allah tetapi menolak untuk mengasihi sesama. Dan kasih kita kepada sesama tidak bisa dilepas dari  kepercayaan kita kepada Allah yang telah mengasihi kita terlebih dahulu. Kita harus mulai dengan menjadi sesama dan bertindak sebagai sesama terhadap orang lain, dengan tidak mempersoalkan siapa sesama  itu. kasih terhadap sesama tidak hanya terdiri dari perasaan yang luhur dan perkataan yang muluk-muluk tetapi harus menjadi nyata dalam perbuatan praktis! Kisah berikut menarik untuk disimak:

Hari itu adalah hari yang dingin menusuk tulang di kota London. Di suatu sudut jalan, seorang pria buta duduk di bangku pendek memainkan biola. Cangkir kaleng yang diletakkan di dekat bangku itu masih kosong. Jari-jari pria buta itu sudah mulai membiru dipagut dingin, tapi orang-orang yang lewat hampir tidak menaruh perhatian kepadanya. Tangan mereka terbenam di saku mereka masing-masing untuk melindungi diri dari dingin.

Seorang pria berpakaian rapi berhenti di sudut jalan itu. “Belum beruntung, ya?” sapa pria itu, “Tak seorang pun bersedia membuka dompet mereka untuk Anda? Kalau begitu, mari kita buat mereka melakukannya!” Dengan cekatan pria itu mengangkat biola murahan miik pria buta itu, dan mulailah ia menggesek dawainya. Biola murahan itu seolah-olah menjadi hidup, musik surgawi mengalir indah dari biola itu. tersihir oleh musik yang mengalun, sekelompok orang mengerumuni pria buta itu. semua orang terpaku mendengarkan, mereka terpesona!

Ketika musik berhenti, pria berpakaian rapi itu mengedarkan sendiri topinya, dan segera orang-orang memebuka genggaman tangan, merogoh satu dan membuka dompet mereka. Sejumlah uang dalam waktu singkat masuk dalam topi itu. Pria berpakaian rapi itu memindahkan semua uang dalam topinya ke dalam cangkir kaleng, dan mengembalikan biola dan penggeseknya kepada pria buta itu.

“Oh, Pak! Bagaimana saya bisa benar-benar menyatakan rasa terima kasih saya?” seru pria buta itu. “Boleh saya tahu nama Bapak?”

“Orang-orang memanggil saya Paganini,” Jawab pria berpakaian rapi itu sambil menjabat erat tangan pria buta. Sebelumnya, tidak pernah terlintas dalam benaknya ada salah satu musisi terbesar di dunia ini mau bermain biola di sudut jalan demi membantu sesama yang membutuhkan.

Jelas kita bukan orang Samaria, dan kita juga bukan seorang Paganini. Namun, tengoklah di sekitar kita! Masih banyak orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Jika hati kita meluap oleh cinta kasih yang datangnya dari Tuhan, maka tangan dan kaki dan seluruh panca indera akan menuruti cinta itu, sehingga “firman” itu akan menjadi hidup. Ya, dia akan hidup dalam diri Anda, saya dan semua orang yang telah tersentuh oleh cinta kasih-Nya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar