Sabtu, 06 Juli 2013

DIA YANG MEMULIHKAN



Homo homini lupus (Plautus, 945 dan dipopulerkan oleh Thomas Hobbes filsuf Inggris, 1588-1679), manusia adalah serigala bagi sesamanya. Lihat saja kenyataanya: dalam merebut kekuasaan, manusia tega mengorbankan sesamanya untuk mencapai puncak kekuasaan itu. Korupsi dan penjarahan seolah enggan beranjak dari negeri ini. Dari korupsi daging sapi sampai proyek percetakan kitab suci. Dari damai “tilang” di jalanan sampai mark up mega proyek, kolusi, menyuap, menipulasi budget. Perilaku serigala dalam bidang ekonomi dan bisnis: manusia berusaha mengembangkan empire, kerajaan bisnis. Tidak segan-segan mematikan dan melalap habis saingan bisnis satu dengan yang lain. Konglomerasi, penguasaan bisnis dari hulu sampai ke hilir membuat semakin tidak berdayanya mikro ekonomi. Serigala-serigala itu tidak segan-segan mengekspoitasi bumi: hutan dibabat, perut bumi dikuras, sungai dan laut dicemari demi kekayaan dan kenyamanan segelintir orang. Bayangkan untuk bermain golf malam hari, sekelompok orang kaya menghabiskan ratusan ribut bahkan jutaan watt listrik. Daya listrik yang sama bisa dipakai ribuan rumah! Tidak salah menjadi kaya, namun keliru ketika untuk menggapainya memakai cara-cara serigala!

Praktek hidup cara “serigala” seolah menjadi budaya dan celakanya sudah dianggap lumrah. Semua orang melakukan itu. Sehingga orang tidak lagi merasa bersalah jika melakukan praktek yang sama. Manusia mudah terbawa arus dan menjadi serupa dengan dunia ini. Saya masih mengingat bagaimana dulu para aktifis penentang orde baru begitu giat mengecam, mengritik dan melakukan demo-demo anti kekuasaan. Namun, ketika sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan, mereka menjadi serupa dengan kekuasaan yang dulu ditentangnya. Menjadi sama dengan serigala! Demikian juga dalam ruang bisnis, tidak berbeda jauh. Mereka yang dulu ada dipinggiran dan tersisihkan oleh empire, kini setelah mapan, melakukan tindakan yang sama bahkan lebih sadis lagi!

“Serigala-serigala” inilah yang membuat manusia dan dunia ini “sakit”. Kemiskinan terjadi hampir di semua negara, di semua lini! Dampak kemiskinan dapat kita bayangkan: kelaparan, sakit-penyakit, tindakan kriminal, pemukiman kumuh dan liar, serta penyakit sosial lainnya. Ini terjadi bukan karena alam tidak menyidiakan sumber-sumber penopang kehidupan, melainkan karena manusia menjadi srigala bagi sesama dan alam raya ini. Bumi ini telah menjadi sakit oleh karena ulah “serigala-serigala”! Alam menjadi gersang, bumi tandus, produk pertanian jadi tercemar dan mahal, dan seterusnya. Kita dapat bayangkan jika semua ini terus dibiarkan. Jelas manusia dan bumi ini harus dipulihkan.

Rabi Yehosyua yang hidup sekitar tahun 90 SM pernah bertutur: “Alangkah Agungnya bahwa sang domba – yang dimaksud domba adalah bangsa Israel – selalu tetap hidup, meskipun di tengah-tengah ketujuh puluh ekor serigala itu – tujuh puluh ekor serigala menunjuk pada bangsa-bangsa di dunia -, tetapi rabi itu menjawab: “Yang agung adalah gembala yang menolong dan menjaga domba itu!”

“Bagai domba di tengah serigala!” perkataan itu juga yang disampaikan Yesus dalam konteks pengutusan tujuh puluh orang murid untuk mengabarkan Injil (Lukas 10:1-20). Kalimat ini mengisyaratkan kepada para murid tentang ancaman dan bahaya yang harus mereka hadapi. Sama sekali bukan kemudahan dan kenyamanan. Mereka harus pergi meninggalkan ruang aman dan nyaman! Namun, mereka akan dapat bertahan di tengah-tengah “serigala” bukanlah karena kehebatan dan kesaktiannya sendiri atau berubah, melacurkan diri menjadi serigala. Melainkan seperti yang dikatakan  rabi Yehosyua: karena ada Gembala Agung, yakni Yesus! Maka utusan-utusan itu harus bergantung penuh kepada penyertaan dan kuasa Si Pengutus, yakni Yesus sendiri. Oleh karenanya mereka jangan menggantungkan diri pada materi atau kebajikan orang lain. Bergantunglah hanya kepada Yesus!

Mereka tidak usah memperlengkapi diri dengan alat-alat kekuasaan untuk mempertahankan diri sendiri, apalagi untuk menguasai/mengalahkan dunia dengan jalan mempergunakan kekerasan. Kalau hal ini terjadi, bagaimana Injil dapat diberitakan, bukankah juga akan sama dengan perilaku serigala yang mengakibatkan penderitaan? Utusan-utusan Yesus tidak usah menyusahkan diri dari makanan, minuman dan pakaian. Dengan demikian sewaktu berjalan, mereka tidak dihalang-halangi oleh berbagai-bagai barang yang diusung dan dipikul. Lagi pula, bukankah hal yang demikian juga cerminan dari serigala yang mengutamakan makanan dan minuman? Pemberitaan tentang kabar baik harus dapat berjalan dengan cepat oleh karenanya tidak boleh terkendala dengan makanan, minuman, dan kebutuhan lainnya. Apalagi jika hal itu dijadikan tujuan.

Ada tujuh puluh orang yang diutus Kristus untuk melakukan tugas pekabaran Injil. Tujuh puluh orang dipercaya melakukan tugas pemulihan di tengah-tengah serigala yang membahayakan. Banyak penafsir menghubungkan tujuh puluh orang yang diutus Yesus ini dengan ketujuh puluh orang tua-tua Israel dalam Perjanjian Lama atau dengan anggota Sanhedrin (dewan agama terhormat Yahudi yang berjumlah 70 orang). Namun, kita tahu bahwa Injil Lukas ditulis oleh Lukas yang bukan orang Yahudi ditujukan kepada Teofilus yang juga bukan orang Yahudi. Lukas sadar tidak ada gunannya mangait-ngaitkan tulisannya dengan merujuk tradisi Yahudi.

Ketujuh puluh orang itu mengingatkan kita kepada bangsa-bangsa di dunia. Dalam bukunya yang pertama, Lukas (Injil Lukas) dilukiskan hidup dan pekerjaan Yesus yang hampir-hampir terbatas hanya untuk kalangan Yahudi saja; dalam bagian kedua (Kisah Para Rasul), Lukas memperlihatkan bagaimana keselamatan, yang mula-mula disuguhkan kepada orang Yahudi, berkembang dan meluas sampai ke seluruh bangsa. Perkembangan Injil ke seluruh bangsa dicerminkan lebih dahulu dalam kisah pengutusan ketujuh puluh murid ini. Dalam Lukas 9:1-6 dikisahkan tentang pengutusan 12 orang murid kepada orang-orang Yahudi, khususnya Galilea. Kemudian dalam Lukas 10:1-20 dikisahkan ada lebih banyak murid yang diutus ke luar Galilea, yakni ke daerah-daerah yang lebih luas seakan akan mewakili dunia bangsa-bangsa. Intinya tugas pemberitaan Injil itu tidak terbatas pada orang Yahudi namun seluruh bangsa karena seluruh bangsa perlu mengalami pemulihan!

“...dan sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat kepadamu.” (Lukas 10:9). Itu pesan utama Sang Gembala kepada utusan-Nya. Memberitakan Inji bukan sekedar menyampaikan kata-kata tetapi juga pemulihan. Manusia dipulihkan kembali kepada hakekat semula sebagai gambar Allah. Dunia dan manusia di dalamnya sedang sakit. Mereka perlu dipulihkan, mereka perlu mendengar kabar baik: Injil! Dalam konteks sekarang kitalah yang harus membawa pesan dari Sang Gembala Agung itu. Maka yang harus diandalkan adalah keyakinan penuh bahwa Sang Gembala itu telah mempercayakan dan memberi kuasa untuk dapat melakukannya. Dunia ini penuh dengan serigala, itu betul. Namun, Tuhan tidak ingin kita serupa dengan serigala! Dunia ini penuh tantangan dan kesulitan, maka Tuhan mengingatkan kita melalui Paulus untuk saling bertolong-tolongan. “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikian kamu memenuhi hukum Kristus. (Galatia 6:2).

Pemulihan harus dimulai dari kesadaran manusia bahwa dirinya bukan serigala melainkan makhluk mulia yang diciptakan segambar dengan Sang Penciptanya. Hanya manusia yang mau berbalik kepada-Nya yang mampu melakukan tugas pemulihan itu. Sedikit gambaran pemulihan terungkap dalam bagian terakhir kitab Yesaya yang dikenal dengan Trito Yesaya. Saat itu Israel dipulihkan dan dikembalikan dari pembuangan dan penindasan Babel. Mengapa Israel dibuang? Jawabnya, mereka sudah bukan seperti umat Allah, melainkan bagaikan serigala. Kini Allah memulihkannya, beginilah Firman TUHAN: Sesungguhnya, Aku mengalirkan kepadanya keselamatan seperti sungai, dan kekayaan bangsa-bangsa seperti batang air yang membanjir; kamu akan menyusu, akan digendong, akan dibelai-belai dipangkuan. Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikian Aku ini akan menghibur kamu; kamu akan dihibur di Yerusalem.” (Yesaya 66:12-13). Bukankah lebih menyenangkan hidup seperti itu?   

Sebelum kita merayakan Perjamuan Kudus selalu ada persiapan untuk itu. Dalam persiapan Perjamuan Kudus kita diingatkan bahwa kita dipersatukan dengan Kristus dan diutus untuk memberi hidup kita demi keselamatan dunia:

-      Apakah dalam persekutuan dengan Kristus, kita telah berkurban dan menjadi berkat bagi sesama?

-       Apakah kita menyadari bahwa sebagai anggota tubuh Kristus di tengah dunia, kita menjadi mata dan telinga bagi Kristus yang melihat dan mendengar, serta peduli terhadap kebutuhan dan masalah sesama saudara? 

-   Sudahkah kita menjadi mulut bagi Kristus yang menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam lingkungan kita?

-       Sudahkah kita menjadi tangan bagi Kristus yang berkarya memperjuangan damai sejahtera di muka bumi?

Nah, sekarang pertanyaannya: Apakah kita sudah layak menjadi duta Kristus yang memulihkan dunia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar