Homo homini lupus (Plautus, 945 dan dipopulerkan oleh Thomas Hobbes
filsuf Inggris, 1588-1679), manusia
adalah serigala bagi sesamanya. Lihat saja kenyataanya: dalam merebut
kekuasaan, manusia tega mengorbankan sesamanya untuk mencapai puncak kekuasaan
itu. Korupsi dan penjarahan seolah enggan beranjak dari negeri ini. Dari
korupsi daging sapi sampai proyek percetakan kitab suci. Dari damai “tilang” di
jalanan sampai mark up mega proyek,
kolusi, menyuap, menipulasi budget. Perilaku serigala dalam bidang ekonomi dan
bisnis: manusia berusaha mengembangkan empire,
kerajaan bisnis. Tidak segan-segan mematikan dan melalap habis saingan bisnis
satu dengan yang lain. Konglomerasi, penguasaan bisnis dari hulu sampai ke
hilir membuat semakin tidak berdayanya mikro ekonomi. Serigala-serigala itu
tidak segan-segan mengekspoitasi bumi: hutan dibabat, perut bumi dikuras,
sungai dan laut dicemari demi kekayaan dan kenyamanan segelintir orang.
Bayangkan untuk bermain golf malam hari, sekelompok orang kaya menghabiskan
ratusan ribut bahkan jutaan watt listrik. Daya listrik yang sama bisa dipakai
ribuan rumah! Tidak salah menjadi kaya, namun keliru ketika untuk menggapainya
memakai cara-cara serigala!
Praktek hidup cara “serigala”
seolah menjadi budaya dan celakanya sudah dianggap lumrah. Semua orang
melakukan itu. Sehingga orang tidak lagi merasa bersalah jika melakukan praktek
yang sama. Manusia mudah terbawa arus dan menjadi serupa dengan dunia ini. Saya
masih mengingat bagaimana dulu para aktifis penentang orde baru begitu giat
mengecam, mengritik dan melakukan demo-demo anti kekuasaan. Namun, ketika sudah
masuk dalam lingkaran kekuasaan, mereka menjadi serupa dengan kekuasaan yang
dulu ditentangnya. Menjadi sama dengan serigala! Demikian juga dalam ruang
bisnis, tidak berbeda jauh. Mereka yang dulu ada dipinggiran dan tersisihkan
oleh empire, kini setelah mapan,
melakukan tindakan yang sama bahkan lebih sadis lagi!
“Serigala-serigala” inilah
yang membuat manusia dan dunia ini “sakit”. Kemiskinan terjadi hampir di semua
negara, di semua lini! Dampak kemiskinan dapat kita bayangkan: kelaparan,
sakit-penyakit, tindakan kriminal, pemukiman kumuh dan liar, serta penyakit
sosial lainnya. Ini terjadi bukan karena alam tidak menyidiakan sumber-sumber
penopang kehidupan, melainkan karena manusia menjadi srigala bagi sesama dan
alam raya ini. Bumi ini telah menjadi sakit oleh karena ulah
“serigala-serigala”! Alam menjadi gersang, bumi tandus, produk pertanian jadi
tercemar dan mahal, dan seterusnya. Kita dapat bayangkan jika semua ini terus
dibiarkan. Jelas manusia dan bumi ini harus dipulihkan.
Rabi Yehosyua yang hidup
sekitar tahun 90 SM pernah bertutur: “Alangkah Agungnya bahwa sang domba – yang
dimaksud domba adalah bangsa Israel – selalu tetap hidup, meskipun di
tengah-tengah ketujuh puluh ekor serigala itu – tujuh puluh ekor serigala
menunjuk pada bangsa-bangsa di dunia -, tetapi rabi itu menjawab: “Yang agung
adalah gembala yang menolong dan menjaga domba itu!”
“Bagai domba di tengah
serigala!” perkataan itu juga yang disampaikan Yesus dalam konteks pengutusan
tujuh puluh orang murid untuk mengabarkan Injil (Lukas 10:1-20). Kalimat ini
mengisyaratkan kepada para murid tentang ancaman dan bahaya yang harus mereka
hadapi. Sama sekali bukan kemudahan dan kenyamanan. Mereka harus pergi
meninggalkan ruang aman dan nyaman! Namun, mereka akan dapat bertahan di tengah-tengah
“serigala” bukanlah karena kehebatan dan kesaktiannya sendiri atau berubah,
melacurkan diri menjadi serigala. Melainkan seperti yang dikatakan rabi Yehosyua: karena ada Gembala Agung,
yakni Yesus! Maka utusan-utusan itu harus bergantung penuh kepada penyertaan
dan kuasa Si Pengutus, yakni Yesus sendiri. Oleh karenanya mereka jangan
menggantungkan diri pada materi atau kebajikan orang lain. Bergantunglah hanya
kepada Yesus!
Mereka tidak usah
memperlengkapi diri dengan alat-alat kekuasaan untuk mempertahankan diri
sendiri, apalagi untuk menguasai/mengalahkan dunia dengan jalan mempergunakan
kekerasan. Kalau hal ini terjadi, bagaimana Injil dapat diberitakan, bukankah
juga akan sama dengan perilaku serigala yang mengakibatkan penderitaan?
Utusan-utusan Yesus tidak usah menyusahkan diri dari makanan, minuman dan
pakaian. Dengan demikian sewaktu berjalan, mereka tidak dihalang-halangi oleh
berbagai-bagai barang yang diusung dan dipikul. Lagi pula, bukankah hal yang
demikian juga cerminan dari serigala yang mengutamakan makanan dan minuman? Pemberitaan
tentang kabar baik harus dapat berjalan dengan cepat oleh karenanya tidak boleh
terkendala dengan makanan, minuman, dan kebutuhan lainnya. Apalagi jika hal itu
dijadikan tujuan.
Ada tujuh puluh orang yang
diutus Kristus untuk melakukan tugas pekabaran Injil. Tujuh puluh orang
dipercaya melakukan tugas pemulihan di tengah-tengah serigala yang
membahayakan. Banyak penafsir menghubungkan tujuh puluh orang yang diutus Yesus
ini dengan ketujuh puluh orang tua-tua Israel dalam Perjanjian Lama atau dengan
anggota Sanhedrin (dewan agama terhormat Yahudi yang berjumlah 70 orang).
Namun, kita tahu bahwa Injil Lukas ditulis oleh Lukas yang bukan orang Yahudi
ditujukan kepada Teofilus yang juga bukan orang Yahudi. Lukas sadar tidak ada
gunannya mangait-ngaitkan tulisannya dengan merujuk tradisi Yahudi.
Ketujuh puluh orang itu
mengingatkan kita kepada bangsa-bangsa di dunia. Dalam bukunya yang pertama,
Lukas (Injil Lukas) dilukiskan hidup dan pekerjaan Yesus yang hampir-hampir
terbatas hanya untuk kalangan Yahudi saja; dalam bagian kedua (Kisah Para
Rasul), Lukas memperlihatkan bagaimana keselamatan, yang mula-mula disuguhkan
kepada orang Yahudi, berkembang dan meluas sampai ke seluruh bangsa.
Perkembangan Injil ke seluruh bangsa dicerminkan lebih dahulu dalam kisah
pengutusan ketujuh puluh murid ini. Dalam Lukas 9:1-6 dikisahkan tentang
pengutusan 12 orang murid kepada orang-orang Yahudi, khususnya Galilea.
Kemudian dalam Lukas 10:1-20 dikisahkan ada lebih banyak murid yang diutus ke
luar Galilea, yakni ke daerah-daerah yang lebih luas seakan akan mewakili dunia
bangsa-bangsa. Intinya tugas pemberitaan Injil itu tidak terbatas pada orang
Yahudi namun seluruh bangsa karena seluruh bangsa perlu mengalami pemulihan!
“...dan sembuhkanlah orang-orang sakit yang ada di situ dan katakanlah
kepada mereka: Kerajaan Allah sudah dekat kepadamu.” (Lukas 10:9). Itu
pesan utama Sang Gembala kepada utusan-Nya. Memberitakan Inji bukan sekedar
menyampaikan kata-kata tetapi juga pemulihan. Manusia dipulihkan kembali kepada
hakekat semula sebagai gambar Allah. Dunia dan manusia di dalamnya sedang
sakit. Mereka perlu dipulihkan, mereka perlu mendengar kabar baik: Injil! Dalam
konteks sekarang kitalah yang harus membawa pesan dari Sang Gembala Agung itu.
Maka yang harus diandalkan adalah keyakinan penuh bahwa Sang Gembala itu telah
mempercayakan dan memberi kuasa untuk dapat melakukannya. Dunia ini penuh
dengan serigala, itu betul. Namun, Tuhan tidak ingin kita serupa dengan
serigala! Dunia ini penuh tantangan dan kesulitan, maka Tuhan mengingatkan kita
melalui Paulus untuk saling bertolong-tolongan. “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikian kamu memenuhi hukum
Kristus. (Galatia 6:2).
Pemulihan harus dimulai dari
kesadaran manusia bahwa dirinya bukan serigala melainkan makhluk mulia yang
diciptakan segambar dengan Sang Penciptanya. Hanya manusia yang mau berbalik
kepada-Nya yang mampu melakukan tugas pemulihan itu. Sedikit gambaran pemulihan
terungkap dalam bagian terakhir kitab Yesaya yang dikenal dengan Trito Yesaya. Saat itu Israel dipulihkan
dan dikembalikan dari pembuangan dan penindasan Babel. Mengapa Israel dibuang?
Jawabnya, mereka sudah bukan seperti umat Allah, melainkan bagaikan serigala.
Kini Allah memulihkannya, beginilah
Firman TUHAN: Sesungguhnya, Aku mengalirkan kepadanya keselamatan seperti
sungai, dan kekayaan bangsa-bangsa seperti batang air yang membanjir; kamu akan
menyusu, akan digendong, akan dibelai-belai dipangkuan. Seperti seseorang yang
dihibur ibunya, demikian Aku ini akan menghibur kamu; kamu akan dihibur di
Yerusalem.” (Yesaya 66:12-13). Bukankah lebih menyenangkan hidup seperti
itu?
Sebelum kita merayakan
Perjamuan Kudus selalu ada persiapan untuk itu. Dalam persiapan Perjamuan Kudus
kita diingatkan bahwa kita dipersatukan dengan Kristus dan diutus untuk memberi
hidup kita demi keselamatan dunia:
- Apakah dalam persekutuan dengan Kristus, kita
telah berkurban dan menjadi berkat bagi sesama?
- Apakah kita menyadari bahwa sebagai anggota
tubuh Kristus di tengah dunia, kita menjadi mata dan telinga bagi Kristus yang
melihat dan mendengar, serta peduli terhadap kebutuhan dan masalah sesama
saudara?
- Sudahkah kita menjadi mulut bagi Kristus yang
menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam lingkungan kita?
- Sudahkah kita menjadi tangan bagi Kristus yang
berkarya memperjuangan damai sejahtera di muka bumi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar