Rabu, 26 Juni 2013

MENGIKUTI YESUS DAN MENJADI PELAYAN-NYA

Suatu ketika, hiduplah seekor gurita muda di perairan hangat, dangkal dan jernih dekat sebuah pantai berpasir. Tenang dan menyenangkan, demikian dapat disimpulkan kehidupan sang gurita muda ini. Namun, ada sesuatu yang agak berbeda dengan gurita yang satu ini. Dia suka bergantung pada sesuatu. Kadang-kadang, untuk mendapat kegembiraan, dia membelitkan tentakelnya pada seekor ikan dan membiarkan ikan itu menariknya. Terkadang juga, ia melilitkan tentakelnya pada karang yang kukuh dan kuat dan dengan cara seperti itulah ia merasakan nyaman dan aman.

Seiring dengan pertumbuhan gurita kecil ini, dia menjelajah semakin luas, mengarungi perairan yang lebih dalam. Suatu hari, saat berenang dengan agak ragu-ragu menjelajahi daerah baru, dia menemukan sebuah benda aneh dan lain dari pada yang lain. Dalam kejernihan air, tampaklah bayangan suram lambung sebuah kapal yang besar. Dari haluan kapal menjuntai sebuah jangkar. Jakar inilah yang dipakai sang gurita untuk mendapatkan secercah rasa aman dengan cara melilitkan tentakelnya di sana. Namun, saat erat-eratnya dia berpegang, jangkar tersebut mulai jatuh, memasuki air yang semakin gelap dan dingin. Kini, gurita kecil tersebut dapat merasakan tekanan air yang meremas tubuhnya sedemikian kuat hingga rasa takut menyergapnya. Meskipun jangkarnya sendiri terasa aman dan kukuh, gerakan meluncur jatuh dari jangkar tersebut ke air yang pekat dan bertekanan tinggi sangat menakutkannya.

Gurita tersebut takut melepaskan rasa aman yang diberikan oleh jangkar kapal itu. Dia ngeri melihat betapa dalamnya dia terseret. Akhirnya, jangkar tersebut membentur dasar laut dengan suara gedebug yang keras. Gurita kecil itu mempererat pegangannya. Dia tidak tahu apakah harus tetap mencengkeram benda yang terjatuh ke kedalaman yang dia tidak tahu seberapa dalamnya atau melepaskannya. Meski rasa aman yang dia dapatkan terasa kurang meyakinkan, dalam ketidakpastian yang gelap dan pekat tersebut dia enggan melepaskan genggamannya.

Dalam cengkeraman rasa takut, ciut nyali, dan bimbang, gurita kecil tersebut merasa tenang sekaligus gelisah ketika dari keremangan keluarlah seekor ikan. Gurita kecil berteriak minta tolong. Ikan tersebut mendengarkan cerita gurita kecil, lalu berkata, “Maaf, ya, aku tidak bisa menolongmu. Akan tetapi di belakangku ada seekor ikan yang lebih besar, mungkin dia bisa memberi bantuan yang engkau butuhkan.”

Tidak lama kemudian muncullah seekor ikan yang lebih besar. Dia berenang dengan lembut dan santai. Matanya tampak ramah dan penuh perhatian. ”Aku bisa menolongmu,” kata ikan tersebut menjawab permintaan tolong gurita kecil, “tetapi kamu harus melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk menolong dirimu sendiri. Tolong lepaskan peganganmu pada jangkar tersebut, baru aku bisa menunjukkan jalan keluar bagi dirimu.” Ikan yang baik hati itu menunggu dengan sabar, sambil memberikan dorongan. Lalu, ketika gurita kecil itu telah melepaskan pegangannya yang demikian erat, ikan tersebut berkata dengan lembut, “ikuti aku!” Ikan tersebut mulai berenang maju-mundur, dengan pelan membuka jalan ke atas. Gerakan ke atas itu tidak secepat dan selaju yang diharapkan gurita kecil, tetapi tampaknya ikan tersebut tahu apa yang dia lakukan. Dia tahu, berbahaya jika naik ke atas terlalu cepat. Dia membimbing dengan cara sedemikian rupa, hingga gurita kecil mampu mempelajari cara menjaga diri sendiri. Gurita mulai merasa lebih kuat mengatasi lingkungan yang asing itu berkat tuntunan ikan besar yang baik hati itu!

Banyak orang berprilaku seperti gurita kecil. Mencari dan kemudian mengikatkan diri kepada apa yang dianggapnya dapat membuat aman dan nyaman. Pengalaman mengajarkan kepada kita seringkali manusia terjebak dalam rasa aman dan nyaman yang palsu. Kekayaan, kedudukan dan jabatan dan eklusifisme misalnya, membuat manusia terlena. Tidak lagi mampu melihat bahwa sesungguhnya ada yang lebih besar dan mulia untuk dijadikan sebagai sandaran hidup.

Perhatikan penduduk desa Samaria (Lukas 9:51-56). Mereka sudah merasa aman dan nyaman dengan kehidupan eksklusifisme mereka tanpa harus membuka diri terhadap orang-orang Yahudi, apalagi dengan penduduk kota Yerusalem. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika kedatangan kedua murid Tuhan, Yakobus dan Yohanes ditolak oleh mereka. Mereka tidak mengijinkan Yesus singgah dan memberitakan Injil Kerajaan Allah di desa mereka. Menerima Yesus bagi mereka berarti dapat mengancam rasa aman dan nyaman! Akibatnya Injil dan keselamatan yang sudah di depan mata mereka, kini lewat begitu saja!

Pun hal yang sama terjadi dengan beberapa orang yang ingin mengikut Yesus (Lukas 9:57-62). Ada pelbagai alasan, yang semuanya mengacu kepada keengganan melepaskan rasa aman dan nyaman. Mereka menolak oleh karena Yesus tidak punya tempat tinggal yang jelas. Mereka menolak oleh karena ingin mengurus jasad orang tuanya dan mereka menolak oleh karena adanya kepentingan keluarga. Semuanya tampak masuk akal dan manusiawi tetapi semua juga dapat memberikan rasa aman dan nyaman. Yesus menginginkan orang yang mau mengikuti-Nya bukan mengabaikan tanggungjawab sosial terhadap orang tua dan keluarga serta pekerjaan. Itu semua penting! Namun, di atas semua kepentingan dan semua yang dianggap dapat memberikan keamanan dan kenyamanan, ada yang jauh lebih penting dan urgen, yakni mengikut Dia.

Sama seperti gurita kecil yang akhirnya melepaskan jangkar kapal itu lalu mendapatkan kebahagiaan dan jati dirinya sebagai gurita, demikian TUHAN ingin kita tidak bergantung pada “jangkar” yang semu. Jangkar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan, tetapi dapat juga membinasakan. Namun, lautan yang luas lebih menjanjikan sebagai sarana menemukan jati diri yang sesungguhnya. Yesus bagaikan ikan besar yang baik hati itu. Ia menawarkan kemerdekaan yang sesungguhnya. Ia menawarkan, “ikut aku!” Sebagaimana gurita mengikuti ikan besar itu. Tidak serta-merta tekanan air berubah, lalu air dalam kedalam itu secara tiba-tiba menjadi bening dan transparan. Tidak! Namun ikan itu membimbing dengan baik sehingga gurita itu tumbuh besar menjadi gurita yang sebenarnya.

Kini Yesus memangil kita untuk mengikuti-Nya. Mengikuti-Nya berarti bersedia keluar dari zona aman dan nyaman menurut kita dan dunia. Orang yang mengikuti Kristus dengan sungguh adalah orang yang sudah dibebaskan dari kenyamanan semu. Paulus mengatakan, “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita....”(Galatia 5:1). Hanya Kristuslah yang mampu memerdekaan orang dari belenggu dosa dan kuasanya. Kini sebagai orang yang telah dimerdekakan oleh Kristus seharusnya orang tersebut tidak lagi melekatkan dirinya pada dosa apalagi memanjakan keinginan nafsu atau keinginan daging manusia, melainkan untuk melayani sebagaimana Yesus melayani (Bnd. Galatia 5:13).

Para pengikut Yesus harus melakukan sesuatu! Bukan sekedar manggut-manggut mengiyakan, melainkan harus berani berbuat dan bertindak mengikuti cara Yesus hidup dan bertindak. Bukankah makna dari kata “mengikuti” itu berarti Yesus ada di depan dan kita menempatkan diri di belakang. Ada di belakang-Nya berarti melihat, mencermati, melangkah, dan berlaku seperti apa atau siapa yang ada di depan kita. Masalahnya sekarang, apakah ketika kita mengatakan sebagai orang Kristen (pengikut Kristus) menjadikan Yesus benar-benar sebagai contoh dan teladan bagi hidup kita? Ataukah hanya sebatas pengakuan saja?

Menjadi pengikut Kristus tidak boleh ada waktu “jeda” atau Kristen part time, hanya sewaktu-waktu saja mengikuti mood. Sebagaimana Kristus dalam hidup-Nya tidak ada waktu jeda melayani Allah dan memberitakan Injil Kerajaan Allah, demikian juga mestinya bagi para pengikut-Nya. Bahkan sekali pun telah melakukan banyak hal tetapi tidak melihat hasil dari pekerjaan pelayanannya itu, ia tetap harus terus melakukan pelayanan. Itulah tugas sebagai hamba Kristus!

Nabi Elia, suatu ketika pernah ditegur Allah, “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?” (1 Raja-raja 19:9,13) pada saat itu Elia sedang “mogok pelayanan”. Mengapa Elia berlaku seperti itu? Pertama, karena Elia takut terhadap ancaman Izebel yang akan membunuhnya (ay.2). Kedua, Elia putus asa karena jeri payahnya bekerja sebagai nabi tidak diterima oleh orang-orang sebangsanya. Katanya, “Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena Israel meninggalakan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku.” (ay.10,14). Alasan kedua ini tampaknya sebagai sebuah alasan untuk behenti bekerja melayani. Sudah bekerja keras, kok tidak ada hasilnya, malah mau dibunuh!

Apakah Elia kurang keras dalam melayani Tuhan? Rasanya tidak. Ia sudah bekerja sedemikian kerasnya, rasanya wajar kalau ia mengeluh, tetapi ternyata Tuhan malahan bertanya: “Apakah kerjamu disini Elia?” Melalui pertanyaan ini, Tuhan ingin agar Elia melihat kembali apa yang sudah ia kerjakan selama ini. Dilihat dari kebaikan dan kasih sayang Tuhan, rasanya tidak ada yang pantas untuk mengatakan bahwa kita sudah segiat-giatnya bekerja. Lebih baik kita mengatakan, “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Lukas 17:10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar