Kantor berita Reuters, melaporkan berita menarik. Muak
dengan para politisi yang mereka juluki “tikus”, sekelompok pemuda di Xalapa,
Meksiko timur, menemukan kandidat yang tepat untuk menjadi wali kota baru:
seekor kucing bernama Morris. Sergio Chamorro, warga Xalapa yang mengadopsi
kucing itu Agustus tahun lalu, mengatakan, ide itu berawal dari senda gurau
teman-temannya yang frustasi dengan tindakan pemerintah Negara Bagian Veracruz
yang mengekang kebebasan berbicara. Chamorro lalu membuat akun Facebook
mempromosikan pencalonan Morris pada Mei. Awal Juni, penggemar akun Facebook
itu menembus angka 125.000 orang. “Muak memilih tikus-tikus? Pilihlah kucing,”
demikian salah satu poster dengan gambar kucing berwarna hitam belang putih.
Peningkatan popularitas Morris
membuat di pelbagai penjuru muncul kampanye menyalonkan ayam dan keledai untuk
mengisi jabatan publik pada pemilu 7 Juli mendatang. Morris tidak tercantum
dalam surat suara yang memuat tujuh calon wali kota Xalapa. Namun, Morris
meminta pendukungnya menulis “Morris” atau gambar kucing di surat suara. Ayo,
Morris! (Sumber: Kompas 19 Juni 2013)
Muak terhadap politisi dan
pejabat rupanya bukan milik suatu bangsa tertentu. Semua orang pasti merasakan
hal yang sama: muak dan marah, manakala pejabat publik yang diharapkan
memerjuangkan kepentingan bersama ternyata hanya mencari kekuasaan, kenyamanan
dan kekayaan bagi dirinya sendiri. Sangat mudah mengatasnamakan rakyat,
kenyataannya dagelan yang sedang dipertontonkan. Kemarin, (18 Juni 2013) kita
disuguhkan dengan dagelan itu. Sidang Dewan Yang Terhormat, Wakil Rakyat yang
akan mengesahkan perubahan anggaran belanja negara, termasuk di dalamnya
menyetujui atau tidaknya kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) diwarnai
komentar-komentar yang tidak pada tempatnya. Sementara di luar gedung parlemen,
mahasiswa, pelajar dan wartawan menyerukan agar para politisi itu punya hati
nurani dan kearifan. Sangat kontras di luar mereka bersitegang dengan aparat
keamanan sementara di dalam tawa canda, saling ledek-meledek terjadi. Saya
menyaksikan acara tersebut, betapa para elite politik yang terhormat ini telah
mempermainkan rakyat jelata. Bahkan mempermainkan Tuhan dan ayat-ayatnya! Saya
bisa mengerti apabila Sergio Chamorro mencalonkan kucingnya sebagai wali kota.
Apakah saya juga harus mencalonkan Si
Hachi, Cika, Shainy, dan Si Jecko, anjing-anjing saya untuk jadi calon
legislatif 2014 mendatang?
Saya menyaksikan perjalanan
bangsa ini mirip-mirip seperti Israel dalam Trito
Yesaya. Yesaya mengeluh mengapa bangsanya ditimpa malapetaka. Mengapa
Israel berada di tangan bangsa Babel, bukankah mereka umat pilihan TUHAN
sendiri? Mengapa Tuhan berdiam diri? (Yesaya 63). Kini pun banyak saudara
sebangsa kita sedang mengeluh dengan beban-beban berat kehidupan ini. Harga-harga
melambung tinggi, pekerjaan kian sulit diraih, biaya pendidikan dan kesehatan
melambung selangit.
TUHAN menjawab keluh kesah
Yesaya bahwa diri-Nya telah berulang-kali memberikan petunjuk, menyatakan diri,
mengulurkan tangan kepada bangsa itu (Yesaya 65:1,2). Tetapi Israel tidak
memedulikan TUHAN, bahkan menyakiti dan berpaling dari pada-Nya, menyembah
berhala! Lebih dari Israel, banyak elite politik kita memakai nama TUHAN, tak
segan-segan mengusung agama dan TUHAN dalam perjuangan politiknya. Lalu
menyebut diri pembela rakyat namun kenyataannya tidak lebih baik dari serigala.
Tega memangsa saudaranya sendiri! Memakai kedok kepedulian sosial, membagikan
dana tunai yang sebenarnya membunuh kreatifitas dan mendidik bangsa ini sebagai
bangsa peminta-minta. Betapa kekuatan dan kekuasaan destruktif itu kini sedang
menggerogoti kehidupan bangsa ini.
Kekuatan dan kekuasaan
destruktif ini membuat keadaan tidak normal, jauh dari kewajaran apalagi
kondisi ideal. Ya, idealnya negeri ini adalah negeri yang dianugerahi TUHAN
dengan pelbagai kekayaan alam. Hampir tidak ada daerah di Indonesia ini yang
tidak memiliki potensi alam. Indonesia adalah negeri kaya! Namun, mengapa kini jamrud khatulistiwa masuk ke dalam
kelompok negara miskin dengan hutang yang besar? Kebodohan ditambah keserakahan,
ketamakan dan ketidakpedulian para penguasa itulah jawabnya.
Bangsa ini bagaikan seorang
pria dari Gerasa yang dirasuki oleh ribuan setan (Lukas 8:26-39). Setan-setan
itu membuat si pria ini hidup tidak normal. Ia keluar dari koridor kewajaran
dan standar hidup yang baik. Pada umumnya orang tinggal di dalam rumah tetapi
ia malah meninggalkan rumah. Biasanya orang menjagai harkat dan martabat
dirinya, namun orang ini justeru menistakan dirinya. Yang wajar, orang
mengenakan pakaian, ia malah tidak berpakaian! Selalu ada daya destruktif yang
siap menghancurkan diri dan orang yang dekat dengannya.
Yang wajar bangsa ini memelihara
hidup dengan standar yang baik dan normal, saling memelihara dan menghargai. Yang
ada kuasa destruktif; kekuatan yang menghancurkan itu bertebaran di mana-mana
dan celakanya dibiarkan menjadi brutal tak terkendali. Gerakan-gerakan
intoleran sama sekali tidak mendapat sangsi hukuman manakala menganiaya dan
membinasakan sesamanya. Yang wajar manusia itu tinggal di dalam rumah dan
memperindah rumah; Indonesia adalah rumah kita bersama, seharusnya kita bisa
saling menyapa dan berbagi kasih. Namun nyatanya ada banyak yang tidak
menyukai, lalu berusaha memberangus “rumah bersama itu”. Yang wajar bangsa ini
harus “berpakaian moral”, kenyataan yang ada bangsa ini sedang mempertontonkan “aurat
amoralnya”. Para koruptor bukannya malu, malah cengengesan tebar pesona di kantor KPK! Banyak lagi contoh-contoh
ketelanjangan moral jika mau disingkap!
Jika dibiarkan, pria dari
Gerasa ini pasti binasa. Namun, Yesus berhasil menghardik setan-setan itu.
mereka masuk dalam dua ribu babi dan terjun ke jurang. Yesus lebih menghargai
nyawa seorang anak manusia ketimbang dua ribu babi. Bagaimana dengan negeri
ini?
Apakah kuasa destruktif itu
layak dibiarkan? Jawaban TUHAN kepada Yesaya menarik, “Aku tidak akan tinggal diam, malah Aku akan mengadakan pembalasan, ya
pembalasan atas diri mereka, atas segala kesalahan mereka sendiri, maupun atas
kesalahan nenek moyangnya,..”(Yes.65:6,7). TUHAN tidak pernah mendiamkan
kesalahan. Dia mengutus para nabi-Nya untuk menegur, mengingatkan bahkan
menyatakan hukuman-Nya. Akan selalu ada para nabi di setiap zaman untuk
menyuarakan keadilan dan kebenaran TUHAN.
Namun, sang nabi tidak selamanya
hanya menegur dan menyatakan hukuman dari TUHAN, ia juga dipakai untuk
menyatakan bela rasa TUHAN terhadap mereka yang dengan setia mengabdi
kepada-Nya. Orang yang setia kepada TUHAN tetap diperhitungkan-Nya, “Seperti kata orang jika pada tandan buah
anggur masih terdapat airnya: jangan musnahkan itu, sebab di dalamnya masih ada
berkat! Demikianlah Aku akan bertindak oleh karena hamba-hamba-Ku, yakni Aku
tidak akan memusnahkan sekaliannya.” (Yes 65:8)
Setiap orang yang mendengar suara TUHAN mestinya
berada dalam “arus TUHAN”, arus konstruktif, membangun dan memulihkan bukan
sebaliknya menghancurkan dan membinasakan. Para nabi dahulu telah dipakai oleh
TUHAN untuk menyatakan pesan Ilahi kepada manusia di bumi. Kini, tugas itu
berlaku bagi siapa saja yang telah mengalami perjumpaan dengan TUHAN. Di tengah
bangsa ini, TUHAN menempatkan kita, bukan secara kebetulan. Di sinilah Dia ingin
kita menyuarakan suara kenabian itu. walau mungkin dengan menyuarakan suara
TUHAN itu kita mengalami aniaya dan penderitaan, namun yakinlah seperti kata
Yesaya, “Jika pada tandan buah anggur
masih terdapat airnya: jangan musnahkan itu, sebab di dalamnya masih ada
berkat!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar