Seorang bocah lelaki delapan
tahun sebut saja Poltak namanya. Ia dengan teman-temannya sedang gandrung main
bulu tangkis. Teman-teman Poltak sering menunjukkan kepadanya raket bulu
tangkis bermerek dan mahal. Terkadang Poltak malu membawa raket ala kadarnya.
Ia juga ingin punya raket bagus dan bermerek. Poltak ingat bahwa ayahnya juga
sering main bulu tangkis. Sang ayah punya raket bagus dan bermerek. Pasti tidak
kalah bila dibandingkan dengan milik teman-temannya. Timbullah niatnya untuk
memakai raket sang ayah. Diam-diam ia mengambil dari tas olah raga ayahnya.
Dengan bangga Poltak menunjukkan kepada teman-temannya bahwa ia juga punya
raket bagus. Mulailah ia bermain. Namun, tanpa diduga, karena ia ingin memukul
suttlecock dengan keras untuk menunjukkan kehebatan raketnya, raket itu lepas
dari genggamannya dan membentur tiang kemudian patah! Betapa terkejutnya si
Poltak. Ia bingung bagaimana bicara dengan ayahnya.
Poltak memungut raket yang
patah itu. Kesedihan tidak dapat disembunyikan dari raut mukanya. Sesampainya
di rumah, Poltak langsung masuk kamar dan berusaha menyembunyikan raket
kesayangan sang ayah yang sudah patah itu. Ia bingung harus disembunyikan di
mana? Seolah semua tempat tidak ada yang aman. Akhirnya, ia berpikir, di bawah
kasur tempat tidur itulah yang paling aman! Poltak berharap si ayah dalam
beberapa hari ini tidak main bulu tangkis. Benar, beberapa hari ternyata si
ayah tidak berangkat main bulu tangkis. Namun, setiap kali si ayah masuk ke
kamar Poltak ada perasaan was-was dan ngeri, “Jangan-jangan ayah mengingkapkan
kasur tempat tidurku, bagaimana nanti aku harus bicara.” Itulah perasaan yang
terus berkecamuk dalam hatinya. Maka setiap kali ayahnya masuk ke kamarnya,
buru-buru ia duduk di atas kasur dan berharap semoga si ayah tidak lama-lama di
kamar dan ngobrol dengannya.
Sehari, dua hari, terus sampai
seminggu Poltak menyimpan “rahasia” itu. Ia enggan bicara terus terang kepada
ayahnya. Ia takut dan tidak tahu harus bagaimana mempertanggungjawabkan
kesalahannya itu. Namun, kini ia tidak tahan lagi menyimpan rasa bersalah itu.
Kini Poltak bertekad untuk mengakui dan memohon ampun kepada ayahnya. Apa pun
yang bakal menjadi sangsi akan dihadapinya ketimbang terus-menerus dihantui
rasa bersalah dan tidak bisa lagi ngobrol dengan mesra bersama ayahnya. Selama
seminggu ini Poltak kehilangan hubungan komunikasi yang baik dengan sang ayah.
Ketika si ayah mengetok pintu
dan meminta masuk ke kamar, Poltak mempersilahkannya. Dengan muka pucat dan
memberanikan diri, Poltak menyibakkan kasur tempat tidurnya. Ia menunjukkan
kepada ayahnya raket yang sudah patah itu. “Ayah, maafkan aku! Aku sudah
bersalah, raket ayah patah semunggu yang lalu karena aku ceroboh
menggunakannya. Aku bersalah karena tidak minta izin dulu, aku sudah lancang
dan karena itu aku takut. Takut ayah marah makanya aku sembunyikan raket yang
rusak ini sambil berharap ayah melupakannya. Namun, ternyata apa yang kulakukan
menyiksa diriku. Poltak tidak bisa lagi ngobrol leluasa bersama ayah karena
terus dihinggapi rasa bersalah!”
“Poltak, anakku!” kata
ayahnya, “sejak hari engkau mematahkan raketku, aku sudah tahu. Namun, aku
membiarkannya dan menanti engkau mengakui sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
Aku menginginkan pengakuan dan kejujuranmu. Sebelum kamu memintanya, aku sudah
memaafkanmu! Kamu lebih berharga ketimbang raket itu!” Mereka berpelukan dan
bersukacita.
Ketakutan, malu dan gengsi
merupakan penghalang bagi kita untuk mengakui kesalahan dan dosa kita. Padahal,
sama seperti ayah Poltak, Tuhan tahu segala apa yang kita lakukan. Tuhan ingin
supaya kita tidak menghindar dengan menutupi kesalahan satu dengan kesalahan
berikutnya. Yang Dia inginkan dari kita adalah pengakuan yang tulus. Tidak
berkelit apalagi mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahan sendiri. Lagi
pula apa untungnya menyembunyikan kesalahan? Jangankan Tuhan yang
Mahamengetahui, nurani sendiri pun pasti akan menggugat. Raja Daud suatu kali
pernah mencoba menutupi dan mengelak dari kesalahannya. Ketika ia mengambil
isteri Uria, Bersyeba. Dosa dan aibnya berusaha ditutupi bahkan sampai
mengorbankan Uria, prajurit yang penuh dedikasi itu. Apakah bisa dosa itu
ditutupinya? Dalam pengakuannya, Daud berkata, “Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku
mengeluh sepanjang hari; sebab siang malam tangan-Mu menekan aku dengan berat,
sumsumku menjadi kering, seperti teriknya musim panas.” (Mazmur 32:3,4).
Persis seperti pengalaman si
Poltak dengan raketnya, Raja Daud dan mungkin juga kita tidak pernah akan
tenang ketika berusaha lari dari Tuhan untuk menutupi kesalahan dan dosa-dosa
kita. Beruntunglah Daud, karena Tuhan memakai Nabi Natan untuk menegur dan
mengingatkan akan segala kesalahannya. Dengan bijak memakai cerita perumpamaan
si kaya dan si miskin. Orang kaya berlaku loba, menindas si miskin dan
memaksanya memotong anak kambing satu-satunya kesayangan si miskin itu untuk
dihidangkan kepada tamunya. Bagaimana reaksi Daud mendengar cerita Natan ini?
Marah dan memerintahkan si kaya yang loba itu untuk dihukum! (2 Samuel 12:1-5).
Lalu Natan mengingatkan Daud bahwa seperti itulah Daud dihadapan Tuhan. Daud
telah berdosa mengambil Bersyeba dan mengorbankan Uria suaminya. Atas teguran
itu Daud mengaku dan betobat, katanya, “Aku
sudah berdosa kepada TUHAN.”(2 Samuel 12:13a). Atas pengakuan yang tulus
itu, Natan menyampaikan berita anugerah, “TUHAN
telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati.” (2 Samuel 12:13b). Meskipun
demikian konsekuensi atau akibat dari dosa itu tetap harus
dipertanggungjawabkan oleh Daud. Namun, setidaknya Daud sekarang lega oleh
karena ia tahu Tuhan telah mengampuni dosanya, sehingga ia dapat berkata, “Berbahagialah orang yang diampuni
pelanggarannya yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia yang kesalahannya
tidak diperhitungkan TUHAN dan yang tidak berjiwa penipu! (Mazmur 32:1,2).
Kebahagiaan akan dirasakan
oleh orang yang sungguh-sungguh mengaku dosa dan tidak berjiwa penipu. Artinya,
dosanya diberitahukan, diakui dan bertekad untuk tidak lagi melakukan dosa yang
sama. Malah ia terus berusaha berjuang melawan dosa yang dulunya dilakukan dan
menjadi kesukaannya. Itulah methanoia,
hidup dalam pertobatan. Itulah orang yang tidak berjiwa penipu. Kebahagiaan orang
yang diampuni dosanya sulit untuk digambarkan namun akan tampak dalam
perbuatannya. Ia akan melakukan apa saja untuk menyenangkan hati Tuhan. tidak
peduli apa kata orang. setidaknya itulah yang terekam dalam Lukas 7:36-8:3. Kisah
yang oleh LAI diberi judul “Yesus diurapi oleh perempuan berdosa.”
Suatu ketika Yesus diundang makan
oleh seorang Farisi, Simon namanya. Di kota itu ada seorang perempuan yang
terkenal berdosa. Tidak diungkapkan dosanya apa. Namun, sebagian penafsir
menduganya dosa-dosa perzinahan. Mendengar Yesus ada di rumah Simon, perempuan
ini bergesas juga ke rumah itu sambil membawa buli-buli pualam berisi minyak
wangi. Sambil menangis ia berdiri di belakang Yesus, lalu membasahi kaki-Nya itu
dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya
dan meminyakinya dengan minyak wangi itu. Simon gusar melihat peristiwa ini, ia
berkata dalam hatinya mengapa Yesus membiarkan dirinya dijamah oleh perempuan
berdosa ini. Yesus mengetahui apa yang ada dalam benak Simon.
Lalu Yesus menegur Simon
melalui perumpamaan, katan-Nya, “Ada dua
orang yang berhutang kepada seorang pelepas uang. Yang seorang berhutang lima
ratus dinar, yang lain lima puluh. Karena mereka tidak sanggup membayar, maka
ia menghapuskan hutang kedua orang itu. siapakah di antara mereka yang terlebih
mengasihi dia?” Jawab Simon, “Aku kira dia yang paling banyak dihapuskan
hutangnya.”(Lukas 7:41-43) Yesus membenarkan pendapat Simon. Peristiwa ini
dijadikan bahan ajar oleh Yesus kepada Simon dan juga semua orang yang
menyimaknya. Ketika seseorang merasa diri tidak berdosa dan melakukan
hukum-hukum Tuhan dengan baik maka baginya tidak merasa perlu terpanggil untuk
melakukan tindakan kasih. Alih-alih mengerjakan kasih dengan sepenuh hati,
orang seperti ini akan merasa punya “hak” menagih berkat-berkat Tuhan. karena
pikirnya, “Aku telah mengerjakan apa yang menjadi perintah Tuhan, maka kini
giliran Tuhan membayarnya. Tuhan berhutang kepadaku!”
Pemikiran dengan mengerjakan
kehendak Allah melalui hukum Taurat lalu manusia berhak menagih imbalan
keselamatan dari Tuhan, itulah yang dikecam oleh Paulus. Paulus mengatakan, “Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang
dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya karena iman dalam
Kristus Yesus. Sebab itu kami telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami
dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum
Taurat. sebab: ‘tidak seorang pun yang dibenarkan’ oleh karena melakukan hukum
Taurat.” (Galatia 2:16)
Lalu apakah untuk mendapatkan
keselamatan dan mereasakan besarnya karunia Tuhan itu, manusia harus punya
deposito dosa yang besar terlebih dahulu? Sama seperti perumpamaan si
penghutang 500 dinar dan 50 dinar yang dikatakan Yesus. Bukan! Bukan begitu,
pada dasarnya semua manusia adalah orang berhutang di hadapan Allah. Tidak ada
yang benar, pasti pernah melakukan dosa. Masalahnya ada yang menganggap diri
telah melakukan perbuatan saleh dan dengan demikian merasa diri benar. Paulus
sendiri mengatakan bahwa Yesus bukanlah “pelayan dosa”. Katanya, “Tetapi jika kami sendiri, sementara kami
berusaha untuk dibenarkan dalam Kristus ternyata adalah orang-orang berdosa,
apakah hal itu berarti, bahwa Kristus adalah pelayan dosa? Sekali-kali tidak.” (Galatia
2:17)
Ibarat ayah Poltak, Tuhan tahu
akan segala kesalahan dan dosa kita. Tidak ada gunanya disembunyikan. Datang dan
mengaku kepada Tuhan serta minta hidup kita dibarui oleh-Nya adalah jauh lebih
penting daripada terus hidup di dalam kesalahan. Lihatlah, tangan-Nya selalu
terbuka. Tidak ada kata terlambat untuk kembali kepada-Nya. Tidak ada kata
terlambat untuk bertobat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar