Jumat, 14 Juni 2013

PENGAKUAN DAN PERTOBATAN TITIK BALIK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK

Seorang bocah lelaki delapan tahun sebut saja Poltak namanya. Ia dengan teman-temannya sedang gandrung main bulu tangkis. Teman-teman Poltak sering menunjukkan kepadanya raket bulu tangkis bermerek dan mahal. Terkadang Poltak malu membawa raket ala kadarnya. Ia juga ingin punya raket bagus dan bermerek. Poltak ingat bahwa ayahnya juga sering main bulu tangkis. Sang ayah punya raket bagus dan bermerek. Pasti tidak kalah bila dibandingkan dengan milik teman-temannya. Timbullah niatnya untuk memakai raket sang ayah. Diam-diam ia mengambil dari tas olah raga ayahnya. Dengan bangga Poltak menunjukkan kepada teman-temannya bahwa ia juga punya raket bagus. Mulailah ia bermain. Namun, tanpa diduga, karena ia ingin memukul suttlecock dengan keras untuk menunjukkan kehebatan raketnya, raket itu lepas dari genggamannya dan membentur tiang kemudian patah! Betapa terkejutnya si Poltak. Ia bingung bagaimana bicara dengan ayahnya.

Poltak memungut raket yang patah itu. Kesedihan tidak dapat disembunyikan dari raut mukanya. Sesampainya di rumah, Poltak langsung masuk kamar dan berusaha menyembunyikan raket kesayangan sang ayah yang sudah patah itu. Ia bingung harus disembunyikan di mana? Seolah semua tempat tidak ada yang aman. Akhirnya, ia berpikir, di bawah kasur tempat tidur itulah yang paling aman! Poltak berharap si ayah dalam beberapa hari ini tidak main bulu tangkis. Benar, beberapa hari ternyata si ayah tidak berangkat main bulu tangkis. Namun, setiap kali si ayah masuk ke kamar Poltak ada perasaan was-was dan ngeri, “Jangan-jangan ayah mengingkapkan kasur tempat tidurku, bagaimana nanti aku harus bicara.” Itulah perasaan yang terus berkecamuk dalam hatinya. Maka setiap kali ayahnya masuk ke kamarnya, buru-buru ia duduk di atas kasur dan berharap semoga si ayah tidak lama-lama di kamar dan ngobrol dengannya.

Sehari, dua hari, terus sampai seminggu Poltak menyimpan “rahasia” itu. Ia enggan bicara terus terang kepada ayahnya. Ia takut dan tidak tahu harus bagaimana mempertanggungjawabkan kesalahannya itu. Namun, kini ia tidak tahan lagi menyimpan rasa bersalah itu. Kini Poltak bertekad untuk mengakui dan memohon ampun kepada ayahnya. Apa pun yang bakal menjadi sangsi akan dihadapinya ketimbang terus-menerus dihantui rasa bersalah dan tidak bisa lagi ngobrol dengan mesra bersama ayahnya. Selama seminggu ini Poltak kehilangan hubungan komunikasi yang baik dengan sang ayah.

Ketika si ayah mengetok pintu dan meminta masuk ke kamar, Poltak mempersilahkannya. Dengan muka pucat dan memberanikan diri, Poltak menyibakkan kasur tempat tidurnya. Ia menunjukkan kepada ayahnya raket yang sudah patah itu. “Ayah, maafkan aku! Aku sudah bersalah, raket ayah patah semunggu yang lalu karena aku ceroboh menggunakannya. Aku bersalah karena tidak minta izin dulu, aku sudah lancang dan karena itu aku takut. Takut ayah marah makanya aku sembunyikan raket yang rusak ini sambil berharap ayah melupakannya. Namun, ternyata apa yang kulakukan menyiksa diriku. Poltak tidak bisa lagi ngobrol leluasa bersama ayah karena terus dihinggapi rasa bersalah!”

“Poltak, anakku!” kata ayahnya, “sejak hari engkau mematahkan raketku, aku sudah tahu. Namun, aku membiarkannya dan menanti engkau mengakui sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Aku menginginkan pengakuan dan kejujuranmu. Sebelum kamu memintanya, aku sudah memaafkanmu! Kamu lebih berharga ketimbang raket itu!” Mereka berpelukan dan bersukacita.

Ketakutan, malu dan gengsi merupakan penghalang bagi kita untuk mengakui kesalahan dan dosa kita. Padahal, sama seperti ayah Poltak, Tuhan tahu segala apa yang kita lakukan. Tuhan ingin supaya kita tidak menghindar dengan menutupi kesalahan satu dengan kesalahan berikutnya. Yang Dia inginkan dari kita adalah pengakuan yang tulus. Tidak berkelit apalagi mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahan sendiri. Lagi pula apa untungnya menyembunyikan kesalahan? Jangankan Tuhan yang Mahamengetahui, nurani sendiri pun pasti akan menggugat. Raja Daud suatu kali pernah mencoba menutupi dan mengelak dari kesalahannya. Ketika ia mengambil isteri Uria, Bersyeba. Dosa dan aibnya berusaha ditutupi bahkan sampai mengorbankan Uria, prajurit yang penuh dedikasi itu. Apakah bisa dosa itu ditutupinya? Dalam pengakuannya, Daud berkata, “Selama aku berdiam diri, tulang-tulangku menjadi lesu karena aku mengeluh sepanjang hari; sebab siang malam tangan-Mu menekan aku dengan berat, sumsumku menjadi kering, seperti teriknya musim panas.” (Mazmur 32:3,4).

Persis seperti pengalaman si Poltak dengan raketnya, Raja Daud dan mungkin juga kita tidak pernah akan tenang ketika berusaha lari dari Tuhan untuk menutupi kesalahan dan dosa-dosa kita. Beruntunglah Daud, karena Tuhan memakai Nabi Natan untuk menegur dan mengingatkan akan segala kesalahannya. Dengan bijak memakai cerita perumpamaan si kaya dan si miskin. Orang kaya berlaku loba, menindas si miskin dan memaksanya memotong anak kambing satu-satunya kesayangan si miskin itu untuk dihidangkan kepada tamunya. Bagaimana reaksi Daud mendengar cerita Natan ini? Marah dan memerintahkan si kaya yang loba itu untuk dihukum! (2 Samuel 12:1-5). Lalu Natan mengingatkan Daud bahwa seperti itulah Daud dihadapan Tuhan. Daud telah berdosa mengambil Bersyeba dan mengorbankan Uria suaminya. Atas teguran itu Daud mengaku dan betobat, katanya, “Aku sudah berdosa kepada TUHAN.”(2 Samuel 12:13a). Atas pengakuan yang tulus itu, Natan menyampaikan berita anugerah, “TUHAN telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati.” (2 Samuel 12:13b). Meskipun demikian konsekuensi atau akibat dari dosa itu tetap harus dipertanggungjawabkan oleh Daud. Namun, setidaknya Daud sekarang lega oleh karena ia tahu Tuhan telah mengampuni dosanya, sehingga ia dapat berkata, “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia yang kesalahannya tidak diperhitungkan TUHAN dan yang tidak berjiwa penipu! (Mazmur 32:1,2).

Kebahagiaan akan dirasakan oleh orang yang sungguh-sungguh mengaku dosa dan tidak berjiwa penipu. Artinya, dosanya diberitahukan, diakui dan bertekad untuk tidak lagi melakukan dosa yang sama. Malah ia terus berusaha berjuang melawan dosa yang dulunya dilakukan dan menjadi kesukaannya. Itulah methanoia, hidup dalam pertobatan. Itulah orang yang tidak berjiwa penipu. Kebahagiaan orang yang diampuni dosanya sulit untuk digambarkan namun akan tampak dalam perbuatannya. Ia akan melakukan apa saja untuk menyenangkan hati Tuhan. tidak peduli apa kata orang. setidaknya itulah yang terekam dalam Lukas 7:36-8:3. Kisah yang oleh LAI diberi judul “Yesus diurapi oleh perempuan berdosa.”

Suatu ketika Yesus diundang makan oleh seorang Farisi, Simon namanya. Di kota itu ada seorang perempuan yang terkenal berdosa. Tidak diungkapkan dosanya apa. Namun, sebagian penafsir menduganya dosa-dosa perzinahan. Mendengar Yesus ada di rumah Simon, perempuan ini bergesas juga ke rumah itu sambil membawa buli-buli pualam berisi minyak wangi. Sambil menangis ia berdiri di belakang Yesus, lalu membasahi kaki-Nya itu dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya, kemudian ia mencium kaki-Nya dan meminyakinya dengan minyak wangi itu. Simon gusar melihat peristiwa ini, ia berkata dalam hatinya mengapa Yesus membiarkan dirinya dijamah oleh perempuan berdosa ini. Yesus mengetahui apa yang ada dalam benak Simon.

Lalu Yesus menegur Simon melalui perumpamaan, katan-Nya, “Ada dua orang yang berhutang kepada seorang pelepas uang. Yang seorang berhutang lima ratus dinar, yang lain lima puluh. Karena mereka tidak sanggup membayar, maka ia menghapuskan hutang kedua orang itu. siapakah di antara mereka yang terlebih mengasihi dia?” Jawab Simon, “Aku kira dia yang paling banyak dihapuskan hutangnya.”(Lukas 7:41-43) Yesus membenarkan pendapat Simon. Peristiwa ini dijadikan bahan ajar oleh Yesus kepada Simon dan juga semua orang yang menyimaknya. Ketika seseorang merasa diri tidak berdosa dan melakukan hukum-hukum Tuhan dengan baik maka baginya tidak merasa perlu terpanggil untuk melakukan tindakan kasih. Alih-alih mengerjakan kasih dengan sepenuh hati, orang seperti ini akan merasa punya “hak” menagih berkat-berkat Tuhan. karena pikirnya, “Aku telah mengerjakan apa yang menjadi perintah Tuhan, maka kini giliran Tuhan membayarnya. Tuhan berhutang kepadaku!”

Pemikiran dengan mengerjakan kehendak Allah melalui hukum Taurat lalu manusia berhak menagih imbalan keselamatan dari Tuhan, itulah yang dikecam oleh Paulus. Paulus mengatakan, “Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. sebab: ‘tidak seorang pun yang dibenarkan’ oleh karena melakukan hukum Taurat.” (Galatia 2:16)

Lalu apakah untuk mendapatkan keselamatan dan mereasakan besarnya karunia Tuhan itu, manusia harus punya deposito dosa yang besar terlebih dahulu? Sama seperti perumpamaan si penghutang 500 dinar dan 50 dinar yang dikatakan Yesus. Bukan! Bukan begitu, pada dasarnya semua manusia adalah orang berhutang di hadapan Allah. Tidak ada yang benar, pasti pernah melakukan dosa. Masalahnya ada yang menganggap diri telah melakukan perbuatan saleh dan dengan demikian merasa diri benar. Paulus sendiri mengatakan bahwa Yesus bukanlah “pelayan dosa”. Katanya, “Tetapi jika kami sendiri, sementara kami berusaha untuk dibenarkan dalam Kristus ternyata adalah orang-orang berdosa, apakah hal itu berarti, bahwa Kristus adalah pelayan dosa? Sekali-kali tidak.” (Galatia 2:17)

Ibarat ayah Poltak, Tuhan tahu akan segala kesalahan dan dosa kita. Tidak ada gunanya disembunyikan. Datang dan mengaku kepada Tuhan serta minta hidup kita dibarui oleh-Nya adalah jauh lebih penting daripada terus hidup di dalam kesalahan. Lihatlah, tangan-Nya selalu terbuka. Tidak ada kata terlambat untuk kembali kepada-Nya. Tidak ada kata terlambat untuk bertobat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar