Kamis, 06 Juni 2013

KASIH MEMBANGKITKAN DAN MENGHIDUPKAN HARAPAN

Kasih mau tidak mau akan berbuah tindakan. Memberi adalah buah dari kasih! Namun, tidak semua tindakan memberi merupakan manifestasi cinta kasih terdalam. Buktinya? Banyak tindakan kasih yang lahir dari motivasi politis. Tampaknya bermurah hati membagi-bagikan uang konvensasi kenaikan harga BBM, namun mengapa dilakukan ketika akan PEMILU? Kita sudah bisa menduganya. Rakyat selama ini dibuat seperti itu, bukan diberdayakan melainkan diperdayakan agar tergantung dan mempunyai benefid bagi pemangku dan yang ingin berkuasa. Wujud tindakan “kasih” seperti ini bukan membangkitkan dan menghidupkan pengharapan namun sebaliknya membuat rakyat tidak berddaya! Kasih hanya dipakai sebagai alar agar si pemberi mendapat keuntungan popularitas atau menanam jasa, begitu kata orang. Sehingga muncullah istilah “tidak ada makan siang gratis!” Lantas manifestasi kasih macam apa yang lahir dari hati yang dipenuhi cinta kasih itu?

Alkitab banyak mengajarkan tentang cinta kasih tulus: kepedulian yang memberdayakan bukan yang menciptakan ketergantungan yang tidak berdaya. Marcus J Borg (lahir 1942 Ahli Perjanjian Baru, anggota The Jesus Seminar) dalam bukunya “Meeting Jesus Again for the First Time” menjelaskan bahwa kata “bela rasa” adalah ungkapan yang lebih tepat ketimbang “murah hati” atau berbelas kasihan. Bela rasa adalah kata istimewa dalam kitab-kitab Injil. Yesus memberitakan bela rasa Allah terhadap manusia, bahkan bela rasa itu menjelma menjadi hidup dalam diri-Nya! Bagi Yesus, bela rasa adalah sifat Allah dan sifat moral utama dari manusia yang hidupnya berpusat kepada Allah. Lukas 6:36 mencatat, “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”

Sehubungan dengan perasaan, bela rasa berarti “merasakan bersama-sama, seperti yang disarankan oleh etimologi kata ini dari bahasa Inggrisnya, “- passion” berasal dari kata Latin yang berarti “merasakan” dan awalan “com” yang berarti “bersama”. Jadi, “compassion”, “bela rasa” secara harfiah berarti merasakan perasaan-perasaan orang lain dengan cara yang mendalam, merasuk sampai ke organ tubuh dalam, di bawah kepala, sampai ke hati, paru-paru, perut, jantung dan sebagainya. Paling umum, bela rasa dikaitkan dengan penderitaan orang lain dan digerakkan oleh penderitaan itu lalu ia bertindak untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian, perasaan bela rasa (compassion) membawa orang pada “keadaan berbela rasa” (compassionate). Sering kata ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “belas kasihan”, “terharu”, atau “beriba hati”. Bela rasa dalam Alkitab menyiratkan sesuatu yang lain dari sekedar terharu dan berbelas kasihan atau iba.

Ada dua kata dalam bahasa Ibrani yang bermakna “bela rasa”. Kata itu  lmk  (khamal: rakhmani ) dan \kr (rakham: rahimi). Kita perhatikan kata “rakham”, kata ini adalah kata benda tunggal dari kata “rahim”. Dalam Alkitab Ibrani, bela rasa hampir selalu ada kaitannya dengan rahim. Contohnya, Seorang ibu akan berbela rasa terhadap anak yang dilahirkannya. I Raja-raja 3:26 mengisahkan suatu ketika Raja Salomo harus memutuskan mana yang benar dari klaim-klaim kedua ibu sejati dari satu bayi yang sama. Pada waktu Salomo memutuskan bahwa masalahnya dapat disesesaikan dengan memotong bayi itu menjadi dua, maka ibu yang sebenarnya, konon, rahim ibu yang sejati bergejolak sehingga ia tidak rela kalau anak yang dilahirkan dari rahimnya itu dipotong dan akhirnya mati. Ia  melepaskan bayi itu asalkan sang bayi tetap hidup. Bela rasa rahim sang ibu memberikan kehidupan dan pengharapan untuk hidup!

Contoh lain lagi dicatat dalam Kejadian 43:30, Yusuf tidak tahan lagi melihat saudara-saudaranya yang lahir dari “rahim” yang sama. Rasa pedih dan sakit hati sirna oleh karena Yusuf dikuasai oleh rakham. Bela rasa Yusuf berhasil mengenyahkan keinginan untuk membalas perlakuan saudara-saudaranya yang sangat biadab! Bela rasa Yusuf menyelamtakan keluarga besar Yakub dari kematian, memberikan kesempatan hidup dan harapan yang lebih baik!

Rakham, dalam bahasa Yunani   σπλαγχνίζόμαι  (splagkhnizomai : terjemahan LAI “tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan”) kata ini terdapat dalam bacaan Injil hari ini. Lukas 7: 13, “Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepada-Nya: ‘Jangan menangis!” Ingat, memakai terminologi “bela rasa”, mengapa Yesus berbela rasa dengan janda ini? Mari kita telusuri.

Peristiwa ini terjadi di kota Nain, letaknya satu hari perjalanan dari Kapernaum. Ketika itu ada sekelompok orang mengusung keranda jenazah. Yang meninggal adalah anak dari si janda. Bayangkan Anda menjadi janda yang punya anak satu-satunya dan mati! Hilang sudah harapannya, satu-satunya orang yang kepadanya kelak akan dapat mengangkat derajat dirinya kini telah terbujur kaku. Kesedihan ini mengingatkan kita kepada janda di Sarfat yang sebelumnya menjamu Elia dengan bahan pangan yang sangat terbatas (1 Raja-raja 17:17-24). Melihat nasib naas yang menimpa janda ini maka Yesus berbela rasa. Yesus tergerak sampai lubuk hati-Nya. William Barclay menggambarkannya dengan kalimat “tidak ada satu kata yang lebih kuat dalam bahasa Yunani untuk “simpati” dan berkali-kali dipakai oleh Yesus (Matius 14:14, 15:32; 20:34; Markus 1:41; 8:2).

Dalam berbela rasa, Lukas menambahkan kuasa Yesus. Ia menyentuh usungan keranda mayat! Inilah momen dramatis. Mengapa? Oleh karena dalam tradisi Taurat, mayat adalah najis. Menyentuhnya berarti membiarkan diri menjadi najis! Bela rasa Yesus begitu kuat sehingga Ia tidak peduli dengan akibat yang sedang Ia lakukan. Bukankah demikian dalam keseluruhan hidup Yesus, Paulus mencataatnya, “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita...”(2 Kor.5:21). Bela rasa-Nya terhadap dunia ini sehingga Ia rela melepaskan segala kemuliaan-Nya untuk yang dikasihi-Nya, dunia ini termasuk Anda dan saya! Yesus menyentuh jasad itu, itu artinya Yesus mengklaim dia sebagai milik-Nya apa yang oleh maut telah ditetapkan sebagai mangsanya. Yesus mengklaim kehidupan pemuda ini sebagai milik-Nya. Yesus bukan saja Tuhan atas kematian yang Ia sendiri kalahkan dan yang telah menjanjikan bahwa, oleh sebab Dia hidup , maka kita juga akan hidup (Yoh.14:19), itulah kuasa Yesus! Kuasa kasih yang membangkitkan dan memberikan pengharapan baru.

Kini kita yang hidup di dalam-Nya, tidak ada jalan lain selain mencontoh dan membuat ucapan serta prilaku Yesus hidup kembali kini dan di sini. Ada begitu banyak orang yang sedang menuju jalan putus asa dan kematian. Apa dan bagaimana sikap kita? Membiarkannya? Karena mereka bukan kalangan dan kelompok kita! Ingatlah bahwa kata bela rasa itu ada kaitannya dengan rahim, bukankah kita semua terlahir dari rahim yang sama, rahim “Siti Hawa”! Bahkan dalam Matius 25 :41 dst. Yesus menggambarkan diri-Nya dengan mereka yang tersisih dan ketiadaan pengharapan. Kalau pun tidak mampu juga melakukannya, marilah kita belajar kepada komunitas orang utan.

Dalam kehidupan moyet, ada dua jenis kera: orang utan dan babon. Meskipun mereka termasuk dari golongan monyet, namun jenisnya berbeda. Orang utan dan babon punya banyak sekali perbedaan dalam kebiasaan hidup, suasana hati dan lain sebagainya. Mereka hidup di dua gunung yang berbeda, karena itu tidak bisa akur dan saling mengacuhkan.

Sebagian besar orang utan bersifat tenang, tingkah lakunya tidak berangasan, suasana hati mereka hangat, suka bergerombol menjadi satu. Tua, muda, lemah dan kuat, semuanya saling jaga dan melindungi. Ada makanan, mereka saling mengalah satu terhadap yang lain. Saat pergi ke luar mereka jalan berbaris, sangat teratur; saat berada di tepi sungai minum air juga bergiliran. Apabila di perjalanan ada yang tersesat dan hilang, para orang utan mengeluarkan suara sedih untuk memanggil teman yang hilang. Ketika mereka menemui bahaya, para orang utan langsung bergerombol menjadi satu, menjaga yang lemah dan kecil berada di tengah gerombolan agar tidak terluka dan menjadi mangsa. Di hutan tempat tinggal mereka, tumbuh banyak sekali buah-buah liar. Saat buah-buah belum masak, mereka tidak akan merusaknya, bahkan bergantian menjaga pohon buah itu. setelah buah menjadi masak, para orang utan memanggil teman-teman mereka, kemudian memakan buah-buahan itu bersama-sama, hal ini menunjukkan bahwa mereka sangat akur. Rerumputan dan bunga-bunga yang tumbuh di atas  gunung pun tidak dirusak mereka. Ketika mereka akan melewati bunga atau rumput yang sedang tumbuh, mereka pasti akan memutarinya, berusaha sebisa mungkin melindungi tanaman. Karena itu, hutan yang ditinggali orang utan selalu terlihat subur.

Sedangkan kehidupan babon sama sekali berbeda. Sifat mereka berangasan dan seenaknya sendiri. Sekalipun berada dalam gerombolan yang sama, selalu tidak bisa akur. Saat mereka makan, mereka saling berebutan dan saling gigit, siapa pun tidak mau saling mengalah. Saat berjalan keluar, para babon tidak berbaris dan beraturan. Waktu minum air semuanya kacau-balau, saling berebut dan bertengkar. Apabila ada teman yang tersesat dan hilang, jangan harap ada yang memikirkan dan mengasihani. Terlebih saat bertemu dengan bahaya, mereka pasti akan menjadikan yang lemah dan yang kecil sebagai kambing hitam serta mengorbankan mereka demi keselamatan diri sendiri. Mereka sering menginjak dan merusak ladang manusia. Setiap tempat yang didatangi kawanan babon pasti mengalami kerusakan bahkan kehancuran. Dalam hutan, buah-buahan yang belum masak digigit dan dilemparkan. Mereka gemar mencuri makanan sesama temannya. Mereka sering sembarangan mempermainkan rumput dan pepohonan, membengkokan pohon, dipatahkan, sampai pohon itu jatuh barulah ditinggalkan. Karena itu, hutan pegunungan yang ditinggali para babon seringkali terlihat tandus dan kering.

Nah, kehidupan bangsa kita ini mirip yang mana? Ya, saya setuju tidak mirip kedua-duanya karena kita bukan bangsa moyet tapi manusia yang punya nalar, akal budi tetapi juga hati. Kalau komunitas orang utan saja bisa sebaik itu, masakan kita tidak bisa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar