Kasih mau tidak mau akan
berbuah tindakan. Memberi adalah buah dari kasih! Namun, tidak semua tindakan
memberi merupakan manifestasi cinta kasih terdalam. Buktinya? Banyak tindakan
kasih yang lahir dari motivasi politis. Tampaknya bermurah hati membagi-bagikan
uang konvensasi kenaikan harga BBM, namun mengapa dilakukan ketika akan PEMILU?
Kita sudah bisa menduganya. Rakyat selama ini dibuat seperti itu, bukan
diberdayakan melainkan diperdayakan agar tergantung dan mempunyai benefid bagi pemangku dan yang ingin
berkuasa. Wujud tindakan “kasih” seperti ini bukan membangkitkan dan
menghidupkan pengharapan namun sebaliknya membuat rakyat tidak berddaya! Kasih
hanya dipakai sebagai alar agar si pemberi mendapat keuntungan popularitas atau
menanam jasa, begitu kata orang. Sehingga muncullah istilah “tidak ada makan
siang gratis!” Lantas manifestasi kasih macam apa yang lahir dari hati yang dipenuhi
cinta kasih itu?
Alkitab banyak mengajarkan
tentang cinta kasih tulus: kepedulian yang memberdayakan bukan yang menciptakan
ketergantungan yang tidak berdaya. Marcus J Borg (lahir 1942 Ahli Perjanjian
Baru, anggota The Jesus Seminar)
dalam bukunya “Meeting Jesus Again for
the First Time” menjelaskan bahwa kata “bela
rasa” adalah ungkapan yang lebih tepat ketimbang “murah hati” atau berbelas
kasihan. Bela rasa adalah kata istimewa dalam kitab-kitab Injil. Yesus
memberitakan bela rasa Allah terhadap manusia, bahkan bela rasa itu menjelma
menjadi hidup dalam diri-Nya! Bagi Yesus, bela rasa adalah sifat Allah dan
sifat moral utama dari manusia yang hidupnya berpusat kepada Allah. Lukas 6:36
mencatat, “Hendaklah kamu murah hati,
sama seperti Bapamu adalah murah hati.”
Sehubungan dengan perasaan, bela rasa berarti “merasakan
bersama-sama, seperti yang disarankan oleh etimologi kata ini dari bahasa
Inggrisnya, “- passion” berasal dari
kata Latin yang berarti “merasakan” dan awalan “com” yang berarti “bersama”. Jadi, “compassion”, “bela rasa” secara harfiah berarti merasakan
perasaan-perasaan orang lain dengan cara yang mendalam, merasuk sampai ke organ
tubuh dalam, di bawah kepala, sampai ke hati, paru-paru, perut, jantung dan
sebagainya. Paling umum, bela rasa dikaitkan dengan penderitaan orang lain dan
digerakkan oleh penderitaan itu lalu ia bertindak untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian, perasaan bela rasa (compassion)
membawa orang pada “keadaan berbela rasa” (compassionate).
Sering kata ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “belas kasihan”,
“terharu”, atau “beriba hati”. Bela rasa dalam Alkitab menyiratkan sesuatu yang
lain dari sekedar terharu dan berbelas kasihan atau iba.
Ada dua kata dalam bahasa
Ibrani yang bermakna “bela rasa”. Kata itu lmk (khamal:
rakhmani ) dan \kr (rakham: rahimi). Kita perhatikan kata “rakham”,
kata ini adalah kata benda tunggal dari kata “rahim”. Dalam Alkitab Ibrani,
bela rasa hampir selalu ada kaitannya dengan rahim. Contohnya, Seorang ibu akan
berbela rasa terhadap anak yang dilahirkannya. I Raja-raja 3:26 mengisahkan suatu
ketika Raja Salomo harus memutuskan mana yang benar dari klaim-klaim kedua ibu
sejati dari satu bayi yang sama. Pada waktu Salomo memutuskan bahwa masalahnya
dapat disesesaikan dengan memotong bayi itu menjadi dua, maka ibu yang
sebenarnya, konon, rahim ibu yang sejati bergejolak sehingga ia tidak rela
kalau anak yang dilahirkan dari rahimnya itu dipotong dan akhirnya mati. Ia melepaskan bayi itu asalkan sang bayi tetap
hidup. Bela rasa rahim sang ibu memberikan kehidupan dan pengharapan untuk
hidup!
Contoh lain lagi dicatat dalam
Kejadian 43:30, Yusuf tidak tahan lagi melihat saudara-saudaranya yang lahir
dari “rahim” yang sama. Rasa pedih dan sakit hati sirna oleh karena Yusuf
dikuasai oleh rakham. Bela rasa Yusuf
berhasil mengenyahkan keinginan untuk membalas perlakuan saudara-saudaranya
yang sangat biadab! Bela rasa Yusuf menyelamtakan keluarga besar Yakub dari
kematian, memberikan kesempatan hidup dan harapan yang lebih baik!
Rakham, dalam bahasa Yunani σπλαγχνίζόμαι
(splagkhnizomai : terjemahan LAI
“tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan”) kata ini terdapat dalam bacaan Injil
hari ini. Lukas 7: 13, “Dan ketika Tuhan
melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya
oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepada-Nya: ‘Jangan menangis!” Ingat,
memakai terminologi “bela rasa”, mengapa Yesus berbela rasa dengan janda ini?
Mari kita telusuri.
Peristiwa ini terjadi di kota
Nain, letaknya satu hari perjalanan dari Kapernaum. Ketika itu ada sekelompok
orang mengusung keranda jenazah. Yang meninggal adalah anak dari si janda.
Bayangkan Anda menjadi janda yang punya anak satu-satunya dan mati! Hilang
sudah harapannya, satu-satunya orang yang kepadanya kelak akan dapat mengangkat
derajat dirinya kini telah terbujur kaku. Kesedihan ini mengingatkan kita
kepada janda di Sarfat yang sebelumnya menjamu Elia dengan bahan pangan yang
sangat terbatas (1 Raja-raja 17:17-24). Melihat nasib naas yang menimpa janda ini maka Yesus berbela
rasa. Yesus tergerak sampai lubuk hati-Nya. William Barclay menggambarkannya
dengan kalimat “tidak ada satu kata yang lebih kuat dalam bahasa Yunani untuk “simpati”
dan berkali-kali dipakai oleh Yesus (Matius 14:14, 15:32; 20:34; Markus 1:41;
8:2).
Dalam berbela rasa, Lukas
menambahkan kuasa Yesus. Ia menyentuh
usungan keranda mayat! Inilah momen dramatis. Mengapa? Oleh karena dalam
tradisi Taurat, mayat adalah najis. Menyentuhnya berarti membiarkan diri
menjadi najis! Bela rasa Yesus begitu kuat sehingga Ia tidak peduli dengan
akibat yang sedang Ia lakukan. Bukankah demikian dalam keseluruhan hidup Yesus,
Paulus mencataatnya, “Dia yang tidak
mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita...”(2 Kor.5:21). Bela rasa-Nya
terhadap dunia ini sehingga Ia rela melepaskan segala kemuliaan-Nya untuk yang
dikasihi-Nya, dunia ini termasuk Anda dan saya! Yesus menyentuh jasad itu, itu
artinya Yesus mengklaim dia sebagai milik-Nya apa yang oleh maut telah
ditetapkan sebagai mangsanya. Yesus mengklaim kehidupan pemuda ini sebagai
milik-Nya. Yesus bukan saja Tuhan atas kematian yang Ia sendiri kalahkan dan
yang telah menjanjikan bahwa, oleh sebab Dia hidup , maka kita juga akan hidup
(Yoh.14:19), itulah kuasa Yesus! Kuasa kasih yang membangkitkan dan memberikan
pengharapan baru.
Kini kita yang hidup di
dalam-Nya, tidak ada jalan lain selain mencontoh dan membuat ucapan serta
prilaku Yesus hidup kembali kini dan di sini. Ada begitu banyak orang yang
sedang menuju jalan putus asa dan kematian. Apa dan bagaimana sikap kita? Membiarkannya?
Karena mereka bukan kalangan dan kelompok kita! Ingatlah bahwa kata bela rasa
itu ada kaitannya dengan rahim, bukankah kita semua terlahir dari rahim yang
sama, rahim “Siti Hawa”! Bahkan dalam Matius 25 :41 dst. Yesus menggambarkan
diri-Nya dengan mereka yang tersisih dan ketiadaan pengharapan. Kalau pun tidak
mampu juga melakukannya, marilah kita belajar kepada komunitas orang utan.
Dalam kehidupan moyet, ada dua
jenis kera: orang utan dan babon. Meskipun mereka termasuk dari golongan
monyet, namun jenisnya berbeda. Orang utan dan babon punya banyak sekali
perbedaan dalam kebiasaan hidup, suasana hati dan lain sebagainya. Mereka hidup
di dua gunung yang berbeda, karena itu tidak bisa akur dan saling mengacuhkan.
Sebagian besar orang utan
bersifat tenang, tingkah lakunya tidak berangasan, suasana hati mereka hangat,
suka bergerombol menjadi satu. Tua, muda, lemah dan kuat, semuanya saling jaga
dan melindungi. Ada makanan, mereka saling mengalah satu terhadap yang lain. Saat
pergi ke luar mereka jalan berbaris, sangat teratur; saat berada di tepi sungai
minum air juga bergiliran. Apabila di perjalanan ada yang tersesat dan hilang,
para orang utan mengeluarkan suara sedih untuk memanggil teman yang hilang. Ketika
mereka menemui bahaya, para orang utan langsung bergerombol menjadi satu,
menjaga yang lemah dan kecil berada di tengah gerombolan agar tidak terluka dan
menjadi mangsa. Di hutan tempat tinggal mereka, tumbuh banyak sekali buah-buah
liar. Saat buah-buah belum masak, mereka tidak akan merusaknya, bahkan bergantian
menjaga pohon buah itu. setelah buah menjadi masak, para orang utan memanggil
teman-teman mereka, kemudian memakan buah-buahan itu bersama-sama, hal ini
menunjukkan bahwa mereka sangat akur. Rerumputan dan bunga-bunga yang tumbuh di
atas gunung pun tidak dirusak mereka. Ketika
mereka akan melewati bunga atau rumput yang sedang tumbuh, mereka pasti akan
memutarinya, berusaha sebisa mungkin melindungi tanaman. Karena itu, hutan yang
ditinggali orang utan selalu terlihat subur.
Sedangkan kehidupan babon sama
sekali berbeda. Sifat mereka berangasan dan seenaknya sendiri. Sekalipun berada
dalam gerombolan yang sama, selalu tidak bisa akur. Saat mereka makan, mereka
saling berebutan dan saling gigit, siapa pun tidak mau saling mengalah. Saat berjalan
keluar, para babon tidak berbaris dan beraturan. Waktu minum air semuanya
kacau-balau, saling berebut dan bertengkar. Apabila ada teman yang tersesat dan
hilang, jangan harap ada yang memikirkan dan mengasihani. Terlebih saat bertemu
dengan bahaya, mereka pasti akan menjadikan yang lemah dan yang kecil sebagai
kambing hitam serta mengorbankan mereka demi keselamatan diri sendiri. Mereka sering
menginjak dan merusak ladang manusia. Setiap tempat yang didatangi kawanan
babon pasti mengalami kerusakan bahkan kehancuran. Dalam hutan, buah-buahan
yang belum masak digigit dan dilemparkan. Mereka gemar mencuri makanan sesama
temannya. Mereka sering sembarangan mempermainkan rumput dan pepohonan,
membengkokan pohon, dipatahkan, sampai pohon itu jatuh barulah ditinggalkan. Karena
itu, hutan pegunungan yang ditinggali para babon seringkali terlihat tandus dan
kering.
Nah, kehidupan bangsa kita ini
mirip yang mana? Ya, saya setuju tidak mirip kedua-duanya karena kita bukan
bangsa moyet tapi manusia yang punya nalar, akal budi tetapi juga hati. Kalau komunitas
orang utan saja bisa sebaik itu, masakan kita tidak bisa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar