Presiden Susilo Bambang
Yudoyono hari Kamis malam ini (30 Mei 2013), waktu New York menerima
penghargaan “World Statesman Award”
atau “Anugerah Negarawan Dunia” dari The Appeal of Conscience Fondation.
Organisasi lintas keyakinan yang bermarkas di New York ini setiap tahun
memberikan penghargaan kepada pemimpin dunia yang berjuang mendukung toleransi
dan penghormatan terhadap Hak Azazi Manusia (HAM). Sudah dapat diduga,
pemberian penghargaan itu menuai kontroversi. Ada yang merasa bangga dan
mendukung agar SBY menerima penghargaan tersebut. Misalnya MUI dan mantan wakil
presiden Jusuf Kalla. Namun tidak sedikit yang terheran-heran, oleh karena
kenyataannya di negeri ini hak-hak minoritas cenderung terabaikan.
Ketua
SETARA Institute Hendardi menilai, pemberian penghargaan untuk kebebasan
beragama kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah sebuah kekeliruan.
Menurutnya, dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh SETARA Institute,
terjadi peningkatan 20-30 persen praktek intoleransi selama tahun 2006-2012.
Maraknya kasus intoleransi tambah Hendardi didorong oleh tidak adanya penegakan
hukum yang tegas dari pemerintah. Untuk itu menurutnya, Presiden sebaiknya
menolak pemberian penghargaan itu.
"Sesungguhnya,
menurut saya, jika Presiden bersikap sebagai negarawan, dia tidak menerima
penghargaan ini," kata Hendardi.
Sementara,
rohaniawan Romo Antonius Beni Susetyo mengatakan Presiden mempunyai kewajiban
untuk melindungi setiap warga negara untuk menjalankan kebebasan beragama.
Romo Beni mengatakan, "Kekerasan, intoleransi
kemudian penyegelan rumah ibadah marak terjadi. Kekerasan itu berlangsung terus
menerus tapi tali kekerasan tidak pernah diputus. Persoalannya, kewajiban
kepala Negara memberi perlindungan kepada setiap warganegara, ini kan diatur
dan konstitusi kita mengatakan itu. Jadi konstitusi memberikan jaminan
kebebasan beragama melindungi setiap warganegara. Jadi setiap orang harus
mendapat perlindungan. Tidak bisa dengan seenaknya orang menindas yang lain,
menakut-nakuti bahkan membunuh..ini harus kita akui. Jadi ini sebenarnya
momentum bagi Presiden untuk mengatakan bahwa saatnyalah kekerasan ini
dihentikan. Kalau tidak tali kekerasan terus menerus tidak pernah putus. Jadi
selama ini pembiaran berlangsungnya kekerasan itu terus terjadi."
Kritik
yang sama juga dilontarkan Pakar Etika Politik Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara Romo Franz Magnis Suseno SJ dengan menyampaikan surat protes kepada
ACF. Dalam suratnya, Romo Magnis menulis, penghargaan itu hanya akan membuat
malu ACF. Menurut Magnis, selama 8,5 tahun kepemimpinan Presiden Yudhoyono,
kaum minoritas Indonesia justru berada dalam situasi tertekan.
(sumber: www.voaindonesia.com/.../sby-tetap...terima-penghargaan.../1669504.)
Menjadi pemimpin di negara
yang kaya dengan multi kultur, multi etnik, multi agama dan multi status
tidaklah mudah. Selalu ada tarik-ulur kepentingan. Namun jika saja sang
pemimpin dapat melihat ke kedalaman spiritualitas maka ia akan dapat mengayomi
siapa saja yang dipimpinnya. Ia akan dapat melihat tidak hanya dari satu sudut
pandang yang kadang sudah dipenuhi dengan selaput-selaput kepentingan tertentu
sehingga tidak dapat lagi membedakan mana tindakan kasih yang sesungguhnya dan
yang mana sekedar pencitraan. Betapa gelapnya kegelapan ini bila mata rohani
telah tertutup. Ia hanya dapat melakukan tindakan yang menguntungkan diri dan
kelompoknya saja!
Ada sebuah kisah menarik untuk
kita dapat belajar menyibakan selaput-selaput pandang kita terhadap orang yang
berbeda dengan kita. Ada seorang perempuan tua berumur 60 tahun yang akhirnya
mau dibujuk untuk menjalani operasi katarak. Bertahun-tahun pandangan matanya
suram, tidak pernah melihat dengan jelas meski dari jarak dekat. Selesai menjalani
operasi katarak, si nenek diminta oleh dokternya untuk memandang ke jendela. Perempuan
itu kagum dan berteriak, “Lho, saya sekarang bisa melihat puncak menara gereja,
bukankah jaraknya cukup jauh dari sini?”
Dokternya menjawab, “Maksudnya,
Anda selama ini tidak pernah bisa melihat puncak menara gereja pada jarak yang
sedemikian dekat ini?” Kata perempuan itu, “Tidak, saya tidak pernah menyangka
bahwa saya seharusnya bisa melihat pada jarak yang sedemikian jauh.”
“Nyonya,” kata dokter itu, “Anda
selama ini hidup dengan mata setengah buta!”
Banyak orang tidak bisa
melihat kebenaran yang sudah diperlihatkan Tuhan kepada dunia bahwa Allah
mengasihi semua ciptaan-Nya. Bahwa Allah tidak rela ada manusia yang binasa.
Mengapa mereka tidak bisa melihat kebenaran itu? Oleh karena mengalami “setengah
buta rohani”. Apa penyebabnya? Ada banyaknya, salah satunya adalah ego komunal,
yakni segala sesuatu yang benar itu berasal dari kelompok atau golongannya dan
kebenaran itu diperuntukan bagi kelompok atau golongan yang menganutnya itu.
Untuk yang lain tidak berlaku! Akibatnya
agama-agama bukan terpanggil meneruskan kasih dari yang ilahi kepada semua
makhluk melainkan sibuk membangun tembok dan benteng yang memisah-belahkan
sesamanya; mana yang beriman dan mana yang kafir, mana yang selamat dan mana
penghuni neraka jahanam.
Di tangah kontroversi
pemberian World Statesman Award, mari kita belajar pada seorang pemimpin,
seorang panglima (Lukas 7:1-10). Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang
panglima Romawi. Seorang panglima Romawi menunjukkan status bahwa ia bukan
orang biasa. Ia adalah seorang komandan resimen yang mengepalai seratus
prajurit. Polybus, seorang ahli sejarah menggambarkan sifat-sifat para panglima
sebagai seorang yang siap bertindak sebagai pemimpin yang berani menghadapi
bahaya, dan dapat dipercayai; mereka tidak takut untuk menyerbu ke dalam kancah
pertempuran, tetapi kalau keadaan meminta, mereka harus siap untuk
mempertahankan posnya bahkan sampai gugur! Jadi tidak hanya pandai membuat
statemen dan berpidato!
Panglima ini digambarkan
mempunyai sikap luar biasa terhadap hambanya. Dan demi menolongnya, sang
panglima rela mengalami kesulitan dan menanggalakan pakaian kebesarannya. Padahal
dalam hukum Romawi, hamba status hamba ditetapkan sebagai sebuah alat yang
hidup, ia tidak mempunyai hak; seorang tuan dapat memperlakukannya dengan
semena-mena bahkan membunuhnya. Biasanya jika seorang hamba sudah tidak dapat
bekerja lagi, ia kana dibuang dan dibiarkan sampai mati. Karenanya, perlakuan
sang palingma terhadap hambanya ini sangat luarbiasa. Bukan demi pencitraan dan
popularitas!
Panglima ini mempunyai
spiritualitas yang matang. Ia adalah seorang yang bukan diluarnya saja tampak
mendukung kehidupan beragama; giat mendirikan synagoge. Memang benar politik
Romawi mendorong orang Yahudi untuk taat beragama, tetapi berdasarkan kebijakan
politik yang sinis, yakni agar mereka tertib. Mereka memandang agama sebagai
candu bagi masyarakat. Dengan alasan itu maka Kaisar Agustus mengizinkan pendirian
synagoge-synagoge. Pemerintah dapat memanfaatkan dan mengendalikan setiap
komunitas agama menurut kebijakan politiknya.
Panglima ini terkesan
mempunyai sikap yang sangat luar biasa toleran terhadap orang Yahudi. Semua
sudah mafhum bahwa orang Yahudi umumnya meremehkan komunitas di luar mereka. Mereka
sebut kafir! Dan orang yang disebut kafri tentu saja membenci mereka. Panglima
ini juga seorang yang rendah hati. Ia sangat memahami bahwa seorang Yahudi
berdasarkan Taurat dilarang keras untuk memasuki rumah seorang kafir, demikian
pula ia dilarang mengijinkan seorang kafir masuk ke dalam rumahnya atau
berkomunikasi dengan mereka. Bahkan ia tidak boleh datang sendiri kepada Yesus.
Ia meminta tolong kepada sahabat-sahabat Yahudinya untuk menemui Yesus dan
menyampaikan permohonannya. Orang ini yang biasanya memerintahkan orang
sekarang memperlihatkan kerendahan hatinya.
Panglima ini adalah seorang
yang beriman, imannya didasarkan atas alasan yang sehat, yang bertolak dari
pengalamannya sendiri. Jikalau kewibawaannya sebagai seorang panglima dapat
membawa hasil, apalagi Yesus yang adalah Tuhan! Ia datang dengan keyakinan yang
sempurna dan berkata, “Tuhan, aku tahu bahwa Tuhan dapat melakukan hal ini!”
Dari penelusuran seorang panglima Romawi menurut
kacamata William Barclay ini kita dapat belajar tentang kasih yang tidak
berbatas. Panglima ini adalah contoh atau model seseorang yang mempraktekan
kepemimpinannya dengan hati, ia benar-benar seorang pemimpin yang melindungi
anak buahnya. Hak-haknya sebagai manusia dia pulihkan. Perbedaan status,
keyakinan agama, suku bangsa tidak menghalangi tindakan kasihnya untuk menolong
si hamba ini. Kasihnya tak berbatas. Dialah
sebenarnya yang pantas mendapatkan World Statemen Award!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar