Kamis, 30 Mei 2013

KASIH TAK BERBATAS

Presiden Susilo Bambang Yudoyono hari Kamis malam ini (30 Mei 2013), waktu New York menerima penghargaan “World Statesman Award” atau “Anugerah Negarawan Dunia” dari The Appeal of Conscience Fondation. Organisasi lintas keyakinan yang bermarkas di New York ini setiap tahun memberikan penghargaan kepada pemimpin dunia yang berjuang mendukung toleransi dan penghormatan terhadap Hak Azazi Manusia (HAM). Sudah dapat diduga, pemberian penghargaan itu menuai kontroversi. Ada yang merasa bangga dan mendukung agar SBY menerima penghargaan tersebut. Misalnya MUI dan mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Namun tidak sedikit yang terheran-heran, oleh karena kenyataannya di negeri ini hak-hak minoritas cenderung terabaikan.




(sumber: www.voaindonesia.com/.../sby-tetap...terima-penghargaan.../1669504.)

Menjadi pemimpin di negara yang kaya dengan multi kultur, multi etnik, multi agama dan multi status tidaklah mudah. Selalu ada tarik-ulur kepentingan. Namun jika saja sang pemimpin dapat melihat ke kedalaman spiritualitas maka ia akan dapat mengayomi siapa saja yang dipimpinnya. Ia akan dapat melihat tidak hanya dari satu sudut pandang yang kadang sudah dipenuhi dengan selaput-selaput kepentingan tertentu sehingga tidak dapat lagi membedakan mana tindakan kasih yang sesungguhnya dan yang mana sekedar pencitraan. Betapa gelapnya kegelapan ini bila mata rohani telah tertutup. Ia hanya dapat melakukan tindakan yang menguntungkan diri dan kelompoknya saja!

Ada sebuah kisah menarik untuk kita dapat belajar menyibakan selaput-selaput pandang kita terhadap orang yang berbeda dengan kita. Ada seorang perempuan tua berumur 60 tahun yang akhirnya mau dibujuk untuk menjalani operasi katarak. Bertahun-tahun pandangan matanya suram, tidak pernah melihat dengan jelas meski dari jarak dekat. Selesai menjalani operasi katarak, si nenek diminta oleh dokternya untuk memandang ke jendela. Perempuan itu kagum dan berteriak, “Lho, saya sekarang bisa melihat puncak menara gereja, bukankah jaraknya cukup jauh dari sini?”

Dokternya menjawab, “Maksudnya, Anda selama ini tidak pernah bisa melihat puncak menara gereja pada jarak yang sedemikian dekat ini?” Kata perempuan itu, “Tidak, saya tidak pernah menyangka bahwa saya seharusnya bisa melihat pada jarak yang sedemikian jauh.”

“Nyonya,” kata dokter itu, “Anda selama ini hidup dengan mata setengah buta!”

Banyak orang tidak bisa melihat kebenaran yang sudah diperlihatkan Tuhan kepada dunia bahwa Allah mengasihi semua ciptaan-Nya. Bahwa Allah tidak rela ada manusia yang binasa. Mengapa mereka tidak bisa melihat kebenaran itu? Oleh karena mengalami “setengah buta rohani”. Apa penyebabnya? Ada banyaknya, salah satunya adalah ego komunal, yakni segala sesuatu yang benar itu berasal dari kelompok atau golongannya dan kebenaran itu diperuntukan bagi kelompok atau golongan yang menganutnya itu. Untuk yang lain tidak berlaku!  Akibatnya agama-agama bukan terpanggil meneruskan kasih dari yang ilahi kepada semua makhluk melainkan sibuk membangun tembok dan benteng yang memisah-belahkan sesamanya; mana yang beriman dan mana yang kafir, mana yang selamat dan mana penghuni neraka jahanam.

Di tangah kontroversi pemberian World Statesman Award, mari kita belajar pada seorang pemimpin, seorang panglima (Lukas 7:1-10). Tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang panglima Romawi. Seorang panglima Romawi menunjukkan status bahwa ia bukan orang biasa. Ia adalah seorang komandan resimen yang mengepalai seratus prajurit. Polybus, seorang ahli sejarah menggambarkan sifat-sifat para panglima sebagai seorang yang siap bertindak sebagai pemimpin yang berani menghadapi bahaya, dan dapat dipercayai; mereka tidak takut untuk menyerbu ke dalam kancah pertempuran, tetapi kalau keadaan meminta, mereka harus siap untuk mempertahankan posnya bahkan sampai gugur! Jadi tidak hanya pandai membuat statemen dan berpidato!

Panglima ini digambarkan mempunyai sikap luar biasa terhadap hambanya. Dan demi menolongnya, sang panglima rela mengalami kesulitan dan menanggalakan pakaian kebesarannya. Padahal dalam hukum Romawi, hamba status hamba ditetapkan sebagai sebuah alat yang hidup, ia tidak mempunyai hak; seorang tuan dapat memperlakukannya dengan semena-mena bahkan membunuhnya. Biasanya jika seorang hamba sudah tidak dapat bekerja lagi, ia kana dibuang dan dibiarkan sampai mati. Karenanya, perlakuan sang palingma terhadap hambanya ini sangat luarbiasa. Bukan demi pencitraan dan popularitas!

Panglima ini mempunyai spiritualitas yang matang. Ia adalah seorang yang bukan diluarnya saja tampak mendukung kehidupan beragama; giat mendirikan synagoge. Memang benar politik Romawi mendorong orang Yahudi untuk taat beragama, tetapi berdasarkan kebijakan politik yang sinis, yakni agar mereka tertib. Mereka memandang agama sebagai candu bagi masyarakat. Dengan alasan itu maka Kaisar Agustus mengizinkan pendirian synagoge-synagoge. Pemerintah dapat memanfaatkan dan mengendalikan setiap komunitas agama menurut kebijakan politiknya.

Panglima ini terkesan mempunyai sikap yang sangat luar biasa toleran terhadap orang Yahudi. Semua sudah mafhum bahwa orang Yahudi umumnya meremehkan komunitas di luar mereka. Mereka sebut kafir! Dan orang yang disebut kafri tentu saja membenci mereka. Panglima ini juga seorang yang rendah hati. Ia sangat memahami bahwa seorang Yahudi berdasarkan Taurat dilarang keras untuk memasuki rumah seorang kafir, demikian pula ia dilarang mengijinkan seorang kafir masuk ke dalam rumahnya atau berkomunikasi dengan mereka. Bahkan ia tidak boleh datang sendiri kepada Yesus. Ia meminta tolong kepada sahabat-sahabat Yahudinya untuk menemui Yesus dan menyampaikan permohonannya. Orang ini yang biasanya memerintahkan orang sekarang memperlihatkan kerendahan hatinya.

Panglima ini adalah seorang yang beriman, imannya didasarkan atas alasan yang sehat, yang bertolak dari pengalamannya sendiri. Jikalau kewibawaannya sebagai seorang panglima dapat membawa hasil, apalagi Yesus yang adalah Tuhan! Ia datang dengan keyakinan yang sempurna dan berkata, “Tuhan, aku tahu bahwa Tuhan dapat melakukan hal ini!”

Dari penelusuran seorang panglima Romawi menurut kacamata William Barclay ini kita dapat belajar tentang kasih yang tidak berbatas. Panglima ini adalah contoh atau model seseorang yang mempraktekan kepemimpinannya dengan hati, ia benar-benar seorang pemimpin yang melindungi anak buahnya. Hak-haknya sebagai manusia dia pulihkan. Perbedaan status, keyakinan agama, suku bangsa tidak menghalangi tindakan kasihnya untuk menolong si hamba ini.  Kasihnya tak berbatas. Dialah sebenarnya yang pantas mendapatkan World Statemen Award!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar