Minggu Trinitas
Kepandaian
tidak selalu berjalan berdampingan dengan kearifan atau hikmat. Buktinya, ada banyak orang yang dikenal dengan kepandaianya, ilmu pengetahuannya tidak diragukan lagi, gelar akademisnya berderet di
depan dan belakang namanya, namun mereka
bertindak ceroboh dan egois. Maka tidaklah mengherankan
jika ada banyak hotel prodeo dihuni oleh orang-orang yang berpendidikan. Kalau
begitu, apa sebenarnya hikmat? Secara umum kita memahaminya
sebagai: kearifan, kebijaksanaan,
“wisdom”. Dalam bahasa Ibrani חכמה (khokmah) artinya sangat luas dan dalam, sulit terdefinisikan. Namun, secara
umum hikmat adalah sifat konsisten seseorang terhadap keyakinannya yang dinyatakan dalam
tindakan. Orang berhikmat dapat memilih jalur, jalan atau cara yang terbaik untuk melangkah sekalipun
melewati “jalan” kehidupan yang serb sulit. Orang yang bijaksana
atau berhikmat adalah mereka yang dapat menerapkan pengetahuannya atau yang
dipenganginya sebagai kebenaran untuk
mengatasi masalah-masalah pelik dalam hidup sehari-hari. Seorang petani misalnya, akan diakui sebagai
petani yang berhikmat apabila wawasannya tentang dunia cocok tanam cukup luas. Ia
juga harus membuktikan bahwa dengan kearifannya, ia dapat menagatasi pelbagai
kendala, di mana di ujungnya nanti ia
akan memanen hasil cocok-tanamnya itu dengan baik. Seorang pelaut, ia dapat dikatakan sebagai pelaut ulung dan
berhikmat apabila ia mempunyai pengetahuan yang luas dan dalam tentang bagaimana mengendalikan kapal dalam menghadapi
gelombang laut. Tidak cukup sampai di
situ, ia harus membuktikan bahwa dengan hikmat pengetahuannya itu, ia dapat menaklukan badai dan membawa bahteranya sampai di pelabuhan
dengan selamat. Seseorang dapat dikatakan berhikmat di dalam iman, jika imannya itu dapat
ia gunakan untuk menaklukan
badai hidup sehingga ia akan tiba di
pelabuhan damai!
Iman seperti apa yang dapat menaklukan badai hidup
hingga berhasil sampai di dermaga “pelabuhan damai” itu? Bagi seorang kristiani
tidak ada figur lain sebaik Yesus yang kepada-Nya orang dapat belajar tentang
iman yang dimaksud. Kita dapat belajar bagaimana Yesus dapat mengatasi
pencobaan di padang gurun (Lukas 4:1-13). Iman dan ketergantungan kreatif kepada
Bapa-Nya yang memungkinkan Yesus menepis setiap pencobaan itu. Ia menang atas
pencobaan itu! Ketika Ia berhadapan dengan pemuka-pemuka agama munafik yang
sering membuat perangkap terhadap diri-Nya dengan sengaja membuat-Nya berada
dalam situasi dilematis: misalnya, memulihkan penderitaan orang pada hari Sabat.
Para ahli agama itu mempertanyakan “Hukum Sabat” kepada-Nya (Lukas 6:6-11).
Lalu tentang membayar pajak kepada Kaisar (Markus 12:13-17) , semua itu dapat
ditaklukan dengan bingai konsistensi mengembalikan segala sesuatu pada
tempatnya sesuai dengan kehendak Bapa-Nya. Kesengsaraan via dolorosa yang berujung pada kematian mengerikan di bukit
Tengkorak, badai hidup terbesar dalam hidup-Nya, sehingga pergumulan-Nya di
Getsemani begitu hebat, ini badai dasyat ini pun dapat dilalui karena Ia
menyakini bahwa Bapa-Nya menghendaki demikian. Yesus tidak mengingkari kehendak
Bapa-Nya! Keintiman, keakraban dengan Sang Bapa tidak terpisahkan sehingga
dalam seluruh lampah hidup-Nya orang dapat melihat di dalam Dia, gambaran Sang
Bapa menjadi nyata dan dapat disentuh manusia. Di dalam Yesus, Firman itu
kelihatan. Yesus adalah Sang Hikmat yang menyatakan Bapa sehingga dapat
difahami dan disentuh manusia!
Dalam Kristus itulah manusia mengerti bahasa yang
tadinya “abstrak” dan samar. Allah, sejak dari leluhur Israel memang benar
diyakini sebagai sumber kasih. Dari padanyalah segala kebajikan mengalir. Ia
seperti Bapa yang mengasihi anak-anak-Nya, Allah yang rahmani dan rahimi! Namun,
bagaimana pun keyakinan ini masih absur. Orang belum melihat wujud konkritnya. Barulah
ketika kasih itu menjelma di dalam bentuk diri Yesus, akhirnya manusia, atau setidaknya
orang yang mau belajar kepada Yesus melihat kasih Bapa itu begitu nyata! Seumur
hidup-Nya di dunia, orang melihat Yesus sebagai “terjemahan lengkap” dari belas kasih, belarasa Sang Bapa, khususnya
bagi mereka yang tersisih, menderita dan dianggap sampah masyarakat.
Allah selama ini juga dikenal sebagai Bapa yang penuh
dengan pengampunan. Lagi-lagi pengampunan ini pun masih samar, lalu Yesus
menjelaskan dengan kisah pengampunan seorang bapa terhadap anak bungsunya
(kisah anak yang hilang, Lukas 15:11-32). Semua ini menjadi teramat jelas
ketika Yesus sendiri membuat pengampunan itu hidup di dalam diri-Nya. Di atas
kayu salib, meski dihina, disakiti luar biasa, Ia tidak meminta kepada Bapa-Nya
untuk membalaskan kepedihan-Nya itu terhadap orang-orang yang telah menganiaya
diri-Nya. Ia memohon kepada Bapa-Nya, “Ya,
Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” (Lukas
23:34). Maka lengkap sudah di dalam Yesus orang melihat karakter Sang Bapa,
seperti yang dicatat Yohanes, “Pada mulanya
adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah
Allah....Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita
telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai
Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Yohanes 1:1,14).
Atau dalam bahasa Amsal, “aku ada
serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan
senantiasa bermain-main di hadapan-Nya.” (Amsal 8:30). Amsal membahasakan
bahwa Sang Hikmat itu bagaikan hubungan kasih yang takterpisahkan semenjak
permulaan penciptaan. Yesus adalah Hikmat dan inkarnasi Firman di dunia ini yang
dari semula adalah menyatu dengan Sang Bapa supaya di dalam Dia Sang Firman itu
dapat disentuh manusia! Supaya manusia belajar Hikmat dari pada-Nya!
Kesaksian Yohanes lainnya mencatat bahwa Yesus, di
dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya (ta erga)
menyatakan atau tepatnya “membuat di dalam diri-Nya” manusia melihat dan
merasakan Sang Bapa yang di sorga itu kini hadir dalam ruang dan waktu mereka. Namun
demikian, meskipun telah dengan gamlang Yesus memperagakan karakter Sang Bapa,
tidak semua orang dapat melihatnya dengan lengkap. Contohnya, ketika Yesus
menyatakan bahwa tidak akan lama lagi diri-Nya ada bersama para murid, Ia akan segera
pergi ke Rumah Bapa, Yesus menegaskan “Sekiranya
kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal
Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh.14:7). Namun, bagaimana reaksi para
murid? Filipus mewakili mereka dan kita juga. Ia memohon, “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.”(14:8)
Kata Yesus kepadanya: “Telah sekian lama
Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa
telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata:
Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau bahwa Aku di dalam
Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan
dalam diri-Ku sendiri, tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dialah yang
melakukan pekerjaan-Nya.” (14:9,10). Dari pernyataan Yesus ini menjadi
jelas buat kita bahwa Yesus dengan Sang Bapa adalah satu. Yesus mengerjakan dan
menerjemahkan seluruh eksistensi Sang Bapa kepada dunia ini agar dunia mengerti
karya Sang Bapa. Yesus adalah Sang Hikmat yang menyatakan Bapa secara konkrit!
Setiap manusia pasti menyadari bahwa kemampuannya
nalarnya pasti tidak sanggup memahami karya Agung Sang Pencipta. Mengapa? Ya, Bisa
jadi, benar apa yang dikatakan Albert Einstein bahwa otak manusia terbatas, dan
yang terbatas itu hanya digunakan 5% saja! Bukan karya Bapa di dalam Kristus
yang mustahil namun bisa jadi kitalah yang terbatas memahaminya. Maka sangat
relevan jika ada pepatah mengatakan, “Jangan memaksa memasukkan Tuhan ke dalam
kepalamu, tetapi masukkanlah kepalamu ke dalam karya Tuhan, maka di sana engkau
akan menemukan rahasia karya Tuhan itu!” Sikap yang bijak adalah dalam
keterbatasan, kita memohon pertolongan-Nya untuk dapat mengerti hikmat Allah
ini.
Di lain pihak, justeru karena
Allah tahu bahwa kita ini terbatas Ia memberikan pertolongan-Nya melalui Roh
Kudus: Roh Penolong atau Penghibur (Yoh.16:12-15). Yesus menegaskan bahwa
sebelum Roh Kudus datang, para murid Yesus belum mampu menanggung/memahami
seluruh perkataan-Nya (16:12). Pada saatnya akan tiba, parakletos sebagai Roh Kebenaran bekerja dan memimpin para murid ke
dalam seluruh kebenaran sehingga mereka memahami, menyelami, dan menghidup seluruh
pekerjaan Yesus. Yesus sebelumnya menyatakan kepada Filipus bahwa Ia tidak
berkata-kata dalam diri-Nya sendiri, melainkan sepenuhnya berasal dari Bapa.
Kini, ketika Ia akan kembali kepada Bapa, Yesus menjanjikan Roh Kudus, Yesus
menyatakan bahwa parakletos itu akan
berbicara menyampaikan segala sesuatu yang diterimanya dari Yesus. Roh Kudus
itu akan mengingatkan dan membimbing orang kepada apa yang dikerjakan dan
dikatakan Yesus. Jika kita cermati relasi Sang Bapa, Yesus Kristus dan Roh
Kudus adalah unik. Mengapa? Ya, ada kontinuitas, kesinambungan: Sang Bapa
mengutus Yesus ke dalam dunia ini, Yesus menjalani kehidupan di dunia. Ia menjelaskan
dan menterjemahkan pesan Bapa dalam diri-Nya. Ia melakukan dan mengatakan
segala sesuatu dari Bapa-Nya. Ketika Yesus kembali kepada Sang Bapa, Yesus menjanjikan
parakletos, Roh Kebenaran. Roh Kudus
ini akan menyampaikan kebenaran yang bersumber dari apa yang dikerjakan dan
dikatakan Yesus. Dilihat dari pola relasi ini kita, minimal saya akan
mengatakan bahwa Sang Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus merupakan satu kesatuan
Ilahi: semuanya menyatakan kepedulian Ilahi terhadap dunia ciptaan, khususnya
manusia agar manusia mengenal kebenaran, cinta kasih, pengampunan dan
pertolongan Allah.
Saya mengenal Trinitas itu sebagai upaya Allah menyatakan
diri-Nya. Dengan penyataan-Nya itu, Dia mengasihi saya dan dunia ini. Dengan
caranya itu kini saya tahu betapa cintanya Dia kepada saya. Maka tidak ada
alasan untuk tidak bersyukur dengan menjadikan Yesus sebagai figur teladan agar
dalam setiap kehidupan saya orang mengenal Sang Bapa. Bagaimana dengan Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar