Kamis, 23 Mei 2013

SANG HIKMAT PENYATA ALLAH

Minggu Trinitas
Kepandaian tidak selalu berjalan berdampingan dengan kearifan atau hikmat. Buktinya, ada banyak orang yang dikenal dengan kepandaianya, ilmu pengetahuannya tidak diragukan lagi, gelar akademisnya berderet di depan dan belakang namanya, namun mereka bertindak ceroboh dan egois. Maka tidaklah mengherankan jika ada banyak hotel prodeo dihuni oleh orang-orang yang berpendidikan. Kalau begitu, apa sebenarnya hikmat? Secara umum kita memahaminya sebagai: kearifan, kebijaksanaan, “wisdom”. Dalam bahasa Ibrani חכמה (khokmah) artinya sangat luas dan dalam, sulit terdefinisikan. Namun, secara umum hikmat adalah sifat konsisten seseorang terhadap keyakinannya yang dinyatakan dalam tindakan. Orang berhikmat dapat memilih jalur, jalan atau cara yang terbaik untuk melangkah sekalipun melewati “jalan” kehidupan yang serb sulit. Orang yang bijaksana atau berhikmat adalah mereka yang dapat menerapkan pengetahuannya atau yang dipenganginya sebagai kebenaran untuk mengatasi masalah-masalah pelik dalam hidup sehari-hari. Seorang petani misalnya, akan diakui sebagai petani yang berhikmat apabila wawasannya tentang dunia cocok tanam cukup luas. Ia juga harus membuktikan bahwa dengan kearifannya, ia dapat menagatasi pelbagai kendala,  di mana di ujungnya nanti ia akan memanen hasil cocok-tanamnya itu dengan baik. Seorang pelaut, ia dapat dikatakan sebagai pelaut ulung dan berhikmat apabila ia mempunyai pengetahuan yang luas dan dalam tentang bagaimana mengendalikan kapal dalam menghadapi gelombang laut. Tidak cukup sampai di situ, ia harus membuktikan bahwa dengan hikmat pengetahuannya itu, ia dapat menaklukan badai dan membawa bahteranya sampai di pelabuhan dengan selamat. Seseorang dapat dikatakan berhikmat di dalam iman, jika imannya itu dapat ia gunakan untuk menaklukan badai hidup sehingga ia akan tiba di pelabuhan damai!

Iman seperti apa yang dapat menaklukan badai hidup hingga berhasil sampai di dermaga “pelabuhan damai” itu? Bagi seorang kristiani tidak ada figur lain sebaik Yesus yang kepada-Nya orang dapat belajar tentang iman yang dimaksud. Kita dapat belajar bagaimana Yesus dapat mengatasi pencobaan di padang gurun (Lukas 4:1-13). Iman dan ketergantungan kreatif kepada Bapa-Nya yang memungkinkan Yesus menepis setiap pencobaan itu. Ia menang atas pencobaan itu! Ketika Ia berhadapan dengan pemuka-pemuka agama munafik yang sering membuat perangkap terhadap diri-Nya dengan sengaja membuat-Nya berada dalam situasi dilematis: misalnya, memulihkan penderitaan orang pada hari Sabat. Para ahli agama itu mempertanyakan “Hukum Sabat” kepada-Nya (Lukas 6:6-11). Lalu tentang membayar pajak kepada Kaisar (Markus 12:13-17) , semua itu dapat ditaklukan dengan bingai konsistensi mengembalikan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan kehendak Bapa-Nya. Kesengsaraan via dolorosa yang berujung pada kematian mengerikan di bukit Tengkorak, badai hidup terbesar dalam hidup-Nya, sehingga pergumulan-Nya di Getsemani begitu hebat, ini badai dasyat ini pun dapat dilalui karena Ia menyakini bahwa Bapa-Nya menghendaki demikian. Yesus tidak mengingkari kehendak Bapa-Nya! Keintiman, keakraban dengan Sang Bapa tidak terpisahkan sehingga dalam seluruh lampah hidup-Nya orang dapat melihat di dalam Dia, gambaran Sang Bapa menjadi nyata dan dapat disentuh manusia. Di dalam Yesus, Firman itu kelihatan. Yesus adalah Sang Hikmat yang menyatakan Bapa sehingga dapat difahami dan disentuh manusia!

Dalam Kristus itulah manusia mengerti bahasa yang tadinya “abstrak” dan samar. Allah, sejak dari leluhur Israel memang benar diyakini sebagai sumber kasih. Dari padanyalah segala kebajikan mengalir. Ia seperti Bapa yang mengasihi anak-anak-Nya, Allah yang rahmani dan rahimi! Namun, bagaimana pun keyakinan ini masih absur. Orang belum melihat wujud konkritnya. Barulah ketika kasih itu menjelma di dalam bentuk diri Yesus, akhirnya manusia, atau setidaknya orang yang mau belajar kepada Yesus melihat kasih Bapa itu begitu nyata! Seumur hidup-Nya di dunia, orang melihat Yesus sebagai “terjemahan lengkap” dari belas kasih, belarasa Sang Bapa, khususnya bagi mereka yang tersisih, menderita dan dianggap sampah masyarakat.

Allah selama ini juga dikenal sebagai Bapa yang penuh dengan pengampunan. Lagi-lagi pengampunan ini pun masih samar, lalu Yesus menjelaskan dengan kisah pengampunan seorang bapa terhadap anak bungsunya (kisah anak yang hilang, Lukas 15:11-32). Semua ini menjadi teramat jelas ketika Yesus sendiri membuat pengampunan itu hidup di dalam diri-Nya. Di atas kayu salib, meski dihina, disakiti luar biasa, Ia tidak meminta kepada Bapa-Nya untuk membalaskan kepedihan-Nya itu terhadap orang-orang yang telah menganiaya diri-Nya. Ia memohon kepada Bapa-Nya, “Ya, Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat!” (Lukas 23:34). Maka lengkap sudah di dalam Yesus orang melihat karakter Sang Bapa, seperti yang dicatat Yohanes, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah....Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Yohanes 1:1,14). Atau dalam bahasa Amsal, “aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya.” (Amsal 8:30). Amsal membahasakan bahwa Sang Hikmat itu bagaikan hubungan kasih yang takterpisahkan semenjak permulaan penciptaan. Yesus adalah Hikmat dan inkarnasi Firman di dunia ini yang dari semula adalah menyatu dengan Sang Bapa supaya di dalam Dia Sang Firman itu dapat disentuh manusia! Supaya manusia belajar Hikmat dari pada-Nya!

Kesaksian Yohanes lainnya mencatat bahwa Yesus, di dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya (ta erga) menyatakan atau tepatnya “membuat di dalam diri-Nya” manusia melihat dan merasakan Sang Bapa yang di sorga itu kini hadir dalam ruang dan waktu mereka. Namun demikian, meskipun telah dengan gamlang Yesus memperagakan karakter Sang Bapa, tidak semua orang dapat melihatnya dengan lengkap. Contohnya, ketika Yesus menyatakan bahwa tidak akan lama lagi diri-Nya ada bersama para murid, Ia akan segera pergi ke Rumah Bapa, Yesus menegaskan “Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh.14:7). Namun, bagaimana reaksi para murid? Filipus mewakili mereka dan kita juga. Ia memohon, “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.”(14:8) Kata Yesus kepadanya: “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dalam diri-Ku sendiri, tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.” (14:9,10). Dari pernyataan Yesus ini menjadi jelas buat kita bahwa Yesus dengan Sang Bapa adalah satu. Yesus mengerjakan dan menerjemahkan seluruh eksistensi Sang Bapa kepada dunia ini agar dunia mengerti karya Sang Bapa. Yesus adalah Sang Hikmat yang menyatakan Bapa secara konkrit!

Setiap manusia pasti menyadari bahwa kemampuannya nalarnya pasti tidak sanggup memahami karya Agung Sang Pencipta. Mengapa? Ya, Bisa jadi, benar apa yang dikatakan Albert Einstein bahwa otak manusia terbatas, dan yang terbatas itu hanya digunakan 5% saja! Bukan karya Bapa di dalam Kristus yang mustahil namun bisa jadi kitalah yang terbatas memahaminya. Maka sangat relevan jika ada pepatah mengatakan, “Jangan memaksa memasukkan Tuhan ke dalam kepalamu, tetapi masukkanlah kepalamu ke dalam karya Tuhan, maka di sana engkau akan menemukan rahasia karya Tuhan itu!” Sikap yang bijak adalah dalam keterbatasan, kita memohon pertolongan-Nya untuk dapat mengerti hikmat Allah ini.

Di lain pihak, justeru karena Allah tahu bahwa kita ini terbatas Ia memberikan pertolongan-Nya melalui Roh Kudus: Roh Penolong atau Penghibur (Yoh.16:12-15). Yesus menegaskan bahwa sebelum Roh Kudus datang, para murid Yesus belum mampu menanggung/memahami seluruh perkataan-Nya (16:12). Pada saatnya akan tiba, parakletos sebagai Roh Kebenaran bekerja dan memimpin para murid ke dalam seluruh kebenaran sehingga mereka memahami, menyelami, dan menghidup seluruh pekerjaan Yesus. Yesus sebelumnya menyatakan kepada Filipus bahwa Ia tidak berkata-kata dalam diri-Nya sendiri, melainkan sepenuhnya berasal dari Bapa. Kini, ketika Ia akan kembali kepada Bapa, Yesus menjanjikan Roh Kudus, Yesus menyatakan bahwa parakletos itu akan berbicara menyampaikan segala sesuatu yang diterimanya dari Yesus. Roh Kudus itu akan mengingatkan dan membimbing orang kepada apa yang dikerjakan dan dikatakan Yesus. Jika kita cermati relasi Sang Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus adalah unik. Mengapa? Ya, ada kontinuitas, kesinambungan: Sang Bapa mengutus Yesus ke dalam dunia ini, Yesus menjalani kehidupan di dunia. Ia menjelaskan dan menterjemahkan pesan Bapa dalam diri-Nya. Ia melakukan dan mengatakan segala sesuatu dari Bapa-Nya. Ketika Yesus kembali kepada Sang Bapa, Yesus menjanjikan parakletos, Roh Kebenaran. Roh Kudus ini akan menyampaikan kebenaran yang bersumber dari apa yang dikerjakan dan dikatakan Yesus. Dilihat dari pola relasi ini kita, minimal saya akan mengatakan bahwa Sang Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus merupakan satu kesatuan Ilahi: semuanya menyatakan kepedulian Ilahi terhadap dunia ciptaan, khususnya manusia agar manusia mengenal kebenaran, cinta kasih, pengampunan dan pertolongan Allah. 

Saya mengenal Trinitas itu sebagai upaya Allah menyatakan diri-Nya. Dengan penyataan-Nya itu, Dia mengasihi saya dan dunia ini. Dengan caranya itu kini saya tahu betapa cintanya Dia kepada saya. Maka tidak ada alasan untuk tidak bersyukur dengan menjadikan Yesus sebagai figur teladan agar dalam setiap kehidupan saya orang mengenal Sang Bapa. Bagaimana dengan Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar