Kamis, 16 Mei 2013

BERKATA-KATA DALAM ROH

Hari Minggu ini (19 Mei 2013) gereja-gereja merayakan Pentakosta. Selalu saja ada yang tanya, “Pak, yang benar itu Pantekosta atau Pentakosta?” Dari ungkapan pertanyaan itu, saya mendapat gambaran bahwa tidak semua orang Kristen memahami asal-usul hari raya gerejawi yang satu ini.

Meski ada banyak orang yang menyebut perayaan gerejawi ini dengan pantekosta dan menjadikannya sebuah aliran gereja, namun Alkitab tidak memakai kata itu, melainkan dengan kata pentakosta ( Kisah Para Rasul 2:1, 20:16, I Korintus 16:8). Jadi lebih baik kita gunakan kata yang dipakai Alkitab, yakni “Pentakosta”. Pentakosta adalah kata yang diadaptasi dari bahasa Yunani: pentêkonta hêmeras, harafiah sering disebut “lima puluh hari”. Lantas, lima puluh dari peristiwa apa? Orang Kristen meyakini bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dicatat dalam Perjanjian Baru merupakan penggenapan atau penyataan lebih jelas dari apa yang tergambar dalam Perjanjian Lama. Perayaan Pentakosta terdapat dalam Perjanjian Lama dan juga ada pada Perjanjian Baru. Mari kita telusuri.

Kitab Keluaran 34:22 mencatat ada “Hari Raya Tujuh Minggu” yakni hari raya buah bungaran dari penuaian gandum,..Kemudian dijelaskan dalam Imamat 23:15-21, “Kemudian kamu harus menghitung, mulai dari hari sesudah sabat itu, yaitu waktu kamu membawa berkas persembahan unjukan, harus ada genap tujuh minggu; sampai pada hari sesudah sabt yang ketujuh kamu harus hitung lima puluh hari; lalu kamu harus mempersembahkan korban sajian yang baru kepada TUHAN.” (Im.23:15,16) Singkatnya perayaan ini adalah ungkapan syukur umat Israel atas berkat yang Tuhan curahkan kepada mereka sehingga bisa memanen hasil pertanian. Ungkapan syukur itu dinyatakan dengan membawa berkas (hasil panen) terbaik sebagai persembahan kepada Tuhan. Beberapa gereja menggunakan simbolis hasil panen dalam perayaan Pentakosta. Dekorasi dan prosesi persembahan pada perayaan Pentakosta kini mengingatkan kita pada ritual syukur Perjanjian Lama. Mestinya gereja dapat menjelaskan, bukan hanya sebagai dekorasi. Maknanya bahwa jika orang Israel dulu dapat memanen hasil pertanian dengan baik itu karena pertolongan Tuhan. Tuhanlah yang memberikan kesehatan bagi tubuh mereka sehingga bisa menggarap ladang dengan baik. Tuhan juga yang memberikan hujan agar tanaman tumbuh. Tuhan yang menjauhkan dari hama dan penyakit tanaman, maka selayaknya mereka bersyukur kepada Tuhan. Bukankah hal itu juga yang harus dihayati oleh setiap orang Kristen ketika menyampaikan persembahan tahunannya kepada Tuhan. jagan dimaknai sebagai pajak tahunan atau sebagai alat menyuap agar tahun ke depan Tuhan lebih lagi mencurahkan berkatnya. Maknailah sebagai ungkapan syukur. Bersyukur karena Tuhan sudah memberikan kesehatan sehingga kita dapat bekerja dan menghasilkan uang. Bersyukur ataus bisnis yang Tuhan percayakan, bersyukur atas segala daya dan karya yang Tuhan berikan. Dengan penghayatan itu, kita akan dapat memberikan yang terbaik bukan dengan sedih dan terpaksa tetapi dengan hati gembira dan senyum syukur.

Pesta syukur ini oleh umat Israel kemudian digabungkan dengan kesadaran sejarah nasional Israel bahwa mereka adalah umat perjanjian Allah. Taurat sebagai pengikat perjanjian itu. Maka Pentakosta juga dimaknai sebagai hari “Pemberian Taurat” di Gunung Sinai. Karena jarak waktu antara Paskah dan kedatangan umat Israel di Gunung Sinai dihitung sebagai lima puluh hari (Keluaran 19:1).

Mari kita lihat Pentakosta dalam terang Perjanjian Baru. Cerita Pentakosta terekam baik dalam Kisah Para Rasul 2:1-13. Orang Kristen memaknai bahwa Pentakosta adalah Hari Pencurahan Roh Kudus. Peristiwa Pencurahan Roh Kudus bukanlah kebetulan terjadi pada saat umat Yahudi merayakan Pentakosta, “Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu tempat.”(Kis.2:1). Ayat ini menjelaskan kenapa ada begitu banyak orang saat itu berkumpul di Yerusalem. Terang saja, Pentakosta merupakan salah satu perayaan terpenting bagi umat Israel di samping Paskah. Sama halnya ketika Paskah, pada perayaan Pentakosta juga orang Yahudi yang banyak tersebar ke berbagai negara akan kembali ke Yerusalem untuk merayakan syukur. Orang-orang yang datang dari pelbagai negeri itu tidak lagi bisa berbahasa Iberani, mereka menggunakan bahasa di tempat mereka berada. Pada waktu itulah Roh Kudus dicurahkan secara komunal. Para murid dikaruniai kemampuan berbahasa dengan baik. Para murid mampu berbicara dalam bahasa orang-orang yang datang ke Yerusalem itu. Kemampuan para murid mencengangkan banyak orang karena sebelumnya mereka tidak pernah belajar bahasa-bahasa itu. “Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita: kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah.” (Kis.2:8-11)

Roh Kudus memampukan para murid berkata-kata dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh orang-orang “asing” yang berkunjung ke Yerusalem. Perkembangan kemudian orang menyebutnya dengan istilah karunia bahasa roh. Padahal dalam Alkitab tidak mengenal istilah bahasa roh. Bahkan naskah Perjanjian Baru pun tidak pernah mengungkapkan karunia ini dengan istilah “bahasa lidah” (glosolalia) atau “bahasa asing” (xenolalia). Kedua istilah ini hanyalah istilah dalam kajian teologi. "glôssolalia" merupakan gabungan dari kata γλωσσα = glôssa, yang berarti lidah, organ tubuh yang digunakan untuk berbicara, dan kata kerja λαλεω = laleô, berbicara, berkata, mengeluarkan suara dari mulut. Sedangkan istilah Xenolalia, "bahasa asing", adalah gabungan dari kata ξενος = xenos artinya: orang asing, alien, dan λαλεω = laleô. Istilah Xenolalia menurut beberapa sumber adalah istilah yang kemudian diambil dari peristiwa yang dicatat dalam Kitab Kisah Para Rasul pasal 2 ini, namun secara harfiah kata ξενος = xenos tidak terdapat dalam naskah aslinya, yang ada adalah kata έτερος = heteros, 'lain'.

Perkembangan kemudian, khususnya dalam jemaat Korintus muncul karunia berbahasa yang tidak lazim, misalnya dicatat dalam 1 Korintus 14 (λαλων = lalôn “berkata-kata”; γλωσση = glôssê “dengan (bahasa) lidah”). Belakangan orang menyebutnya dengan “bahasa roh”. Lalu orang memperdebatkan istilah-istilah itu, membeda-bedakannya antara “bahasa lidah” dan “bahasa roh”. Padahal dalam Alkitab kedua istilah itu bersumber dari kata yang sama, yakni kata γλωσσα (glôssa). Celakanya ada yang menganggap bahwa semakin tidak mengerti apa yang dikatakan seseorang, khususnya ketika ia beribadah atau berdoa, orang segera mengklaim bahwa itu adalah karunia bahasa roh. Ada kebanggaan tersendiri atau komunal! Perkembangan kemudian ada kelompok Kristen tertentu yang berani menyatakan bahwa “bahasa roh” adalah tanda seseorang telah mencapai tingkatan iman yang tinggi. Gejala seperti ini bukan hanya terjadi baru-baru ini. Untuk orang yang membanggakan karunia ini, Paulus menegur, “Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda, bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman; sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak beriman, tetapi untuk orang yang beriman.” (I Kor.14:22). Lagi, Paulus mengingatkan,  “Demikianlah juga kamu yang berkata-kata dengan bahasa roh: jika kamu tidak menggunakan kata-kata yang jelas, bagaimanakah orang dapat mengerti apa yang kamu katakan? Kata-katamu sia-sia saja kamu ucapkan di udara!” (I Kor.14:9).

Dari teguran Paulus terhadap orang yang mementingkan atau menyalahartikan bahasa roh, kita dapat memahami bahwa sebenarnya Tuhan, melalui Paulus dalam hal ini, menginginkan jika kita berkata-kata maka hendaklah itu dikendalikan oleh Roh Kudus sehingga kata-kata itu berguna untuk membangun kehidupan iman bersama bukan sebagai kebanggaan bagi orang yang mengatakannya. Bukankah dengan jelas peristiwa Pentakosta menuturkan kepada kita bahwa rasul-rasul itu berbicara bukan atas kehendaknya sendiri dan bukan pula sedang mencari sensasi agar orang kagum dan memberi cap jempol. Mereka memberikan diri, termasuk lidah mereka sebagai alat di mana Roh Kudus dengan leluasa dapat bekerja. Injil dipahami dan dimengerti oleh pelbagai orang yang ada di Yerusalem. Sehingga tepatlah apa yang dikatakan Yesus bahwa mereka akan mendapat kuasa jika Roh Kudus itu turun dan mereka akan menjadi saksi Tuhan mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ujung-ujung bumi!

Pentakosta di Yerusalem bagi orang Kristen adalam tranformasi dari Pentakosta Perjanjian Lama kepada Pentakosta sesungguhnya, yakni pencurahan Roh Kudus. Cerita Pentakosta dalam Kisah Rasul 2 jika kita analogikan dalam Perjanjian Lama, seperti ini. Di dalam Perjanjian Lama, Pentakosta adalah juga perayaan akan turunnya Taurat, umat dituntun oleh Taurat dalam pengembaraan di padang gurun menuju tanah perjanjian. Kini, umat Perjanjian Baru, seperti yang sering dikatakan Paulus, hidup di bawah pimpinan Roh Kudus tidak lagi dalam kungkungan Taurat. Umat Tuhan setelah dibebaskan dari belenggu dosa kini hidup seperti di “padang gurun” dunia yang penuh dengan onak duri pencobaan. Roh Kudus menghibur, menguatkan dan menuntun sampai negeri “perjanjian baru”, yakni Kerajaan Sorga!

Pentakosta dalam Perjanjian Lama erat kaitannya dengan pesta menuai panen. Bukankah dalam Perjanjian Baru kita lihat bagaimana Petrus berkhotbah tentang Injil Yesus Kristus, dan hari itu “panen” tiga ribu orang yang diselamatkan! Dan yang menjadi tema kita hari ini, “Berkata-kata dalam Roh”, karunia  berkomunikasi yang diberikan Roh Kudus agar semua orang mengerti Injil adalah isyarat yang mengingatkan kebalikkannya dari umat Tuhan yang tercerai-berai menjadi bangsa-bangsa dengan peristiwa menara “Babel” (Kej.11), kini Kuasa Roh mempersatukan kembali. Roh Kudus memampukan Injil itu dimengerti oleh setiap suku bangsa manusia di dunia ini. Agar segala suku bangsa bersatu menyambut Tuhan. Bukankah Roh Kudus kita imani sebagai Roh Pemersatu. Jadi jika sekarang dalam kehidupan orang percaya masih gemar memecah belah, maka di sana masih berkuasa “roh Babel”!

Masalahnya sekarang, apakah melalui tutur ucap kita, orang mengenal dan mengerti karya cinta Allah di dalam Kristus dengan membiarkan lidah bibir kita dikuasai-Nya? Ataukah kita lebih suka mengumbar perkataan yang sia-sia, yang dengannya justeru menghalangi orang berjumpa dengan Kristus?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar