Hari Minggu ini (19 Mei 2013)
gereja-gereja merayakan Pentakosta. Selalu saja ada yang tanya, “Pak, yang
benar itu Pantekosta atau Pentakosta?” Dari ungkapan pertanyaan
itu, saya mendapat gambaran bahwa tidak semua orang Kristen memahami asal-usul
hari raya gerejawi yang satu ini.
Meski ada banyak orang yang
menyebut perayaan gerejawi ini dengan pantekosta
dan menjadikannya sebuah aliran gereja, namun Alkitab tidak memakai kata itu,
melainkan dengan kata pentakosta (
Kisah Para Rasul 2:1, 20:16, I Korintus 16:8). Jadi lebih baik kita gunakan
kata yang dipakai Alkitab, yakni “Pentakosta”. Pentakosta adalah kata yang diadaptasi
dari bahasa Yunani: pentêkonta hêmeras, harafiah sering disebut “lima puluh hari”. Lantas, lima puluh
dari peristiwa apa? Orang Kristen meyakini bahwa peristiwa-peristiwa yang
terjadi dan dicatat dalam Perjanjian Baru merupakan penggenapan atau penyataan
lebih jelas dari apa yang tergambar dalam Perjanjian Lama. Perayaan Pentakosta
terdapat dalam Perjanjian Lama dan juga ada pada Perjanjian Baru. Mari kita
telusuri.
Kitab Keluaran 34:22 mencatat ada
“Hari Raya Tujuh Minggu” yakni hari
raya buah bungaran dari penuaian gandum,..Kemudian dijelaskan dalam Imamat
23:15-21, “Kemudian kamu harus
menghitung, mulai dari hari sesudah sabat itu, yaitu waktu kamu membawa berkas
persembahan unjukan, harus ada genap tujuh minggu; sampai pada hari sesudah
sabt yang ketujuh kamu harus hitung lima puluh hari; lalu kamu harus
mempersembahkan korban sajian yang baru kepada TUHAN.” (Im.23:15,16)
Singkatnya perayaan ini adalah ungkapan syukur umat Israel atas berkat yang
Tuhan curahkan kepada mereka sehingga bisa memanen hasil pertanian. Ungkapan syukur
itu dinyatakan dengan membawa berkas (hasil panen) terbaik sebagai persembahan
kepada Tuhan. Beberapa gereja menggunakan simbolis hasil panen dalam perayaan
Pentakosta. Dekorasi dan prosesi persembahan pada perayaan Pentakosta kini
mengingatkan kita pada ritual syukur Perjanjian Lama. Mestinya gereja dapat
menjelaskan, bukan hanya sebagai dekorasi. Maknanya bahwa jika orang Israel
dulu dapat memanen hasil pertanian dengan baik itu karena pertolongan Tuhan.
Tuhanlah yang memberikan kesehatan bagi tubuh mereka sehingga bisa menggarap
ladang dengan baik. Tuhan juga yang memberikan hujan agar tanaman tumbuh. Tuhan
yang menjauhkan dari hama dan penyakit tanaman, maka selayaknya mereka
bersyukur kepada Tuhan. Bukankah hal itu juga yang harus dihayati oleh setiap
orang Kristen ketika menyampaikan persembahan tahunannya kepada Tuhan. jagan
dimaknai sebagai pajak tahunan atau sebagai alat menyuap agar tahun ke depan
Tuhan lebih lagi mencurahkan berkatnya. Maknailah sebagai ungkapan syukur. Bersyukur
karena Tuhan sudah memberikan kesehatan sehingga kita dapat bekerja dan
menghasilkan uang. Bersyukur ataus bisnis yang Tuhan percayakan, bersyukur atas
segala daya dan karya yang Tuhan berikan. Dengan penghayatan itu, kita akan
dapat memberikan yang terbaik bukan dengan sedih dan terpaksa tetapi dengan
hati gembira dan senyum syukur.
Pesta syukur ini oleh umat
Israel kemudian digabungkan dengan kesadaran sejarah nasional Israel bahwa
mereka adalah umat perjanjian Allah. Taurat sebagai pengikat perjanjian itu.
Maka Pentakosta juga dimaknai sebagai hari “Pemberian Taurat” di Gunung Sinai. Karena
jarak waktu antara Paskah dan kedatangan umat Israel di Gunung Sinai dihitung
sebagai lima puluh hari (Keluaran 19:1).
Mari kita lihat Pentakosta
dalam terang Perjanjian Baru. Cerita Pentakosta terekam baik dalam Kisah Para
Rasul 2:1-13. Orang Kristen memaknai bahwa Pentakosta
adalah Hari Pencurahan Roh Kudus. Peristiwa Pencurahan Roh Kudus bukanlah
kebetulan terjadi pada saat umat Yahudi merayakan Pentakosta, “Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang
percaya berkumpul di satu tempat.”(Kis.2:1). Ayat ini menjelaskan kenapa
ada begitu banyak orang saat itu berkumpul di Yerusalem. Terang saja,
Pentakosta merupakan salah satu perayaan terpenting bagi umat Israel di samping
Paskah. Sama halnya ketika Paskah, pada perayaan Pentakosta juga orang Yahudi
yang banyak tersebar ke berbagai negara akan kembali ke Yerusalem untuk
merayakan syukur. Orang-orang yang datang dari pelbagai negeri itu tidak lagi bisa
berbahasa Iberani, mereka menggunakan bahasa di tempat mereka berada. Pada waktu
itulah Roh Kudus dicurahkan secara komunal. Para murid dikaruniai kemampuan
berbahasa dengan baik. Para murid mampu berbicara dalam bahasa orang-orang yang
datang ke Yerusalem itu. Kemampuan para murid mencengangkan banyak orang karena
sebelumnya mereka tidak pernah belajar bahasa-bahasa itu. “Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata
dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita:
kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia,
Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang
berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, baik orang Yahudi
maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka
berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang
dilakukan Allah.” (Kis.2:8-11)
Roh Kudus memampukan para murid berkata-kata dalam
bahasa yang dapat dimengerti oleh orang-orang “asing” yang berkunjung ke Yerusalem.
Perkembangan kemudian orang menyebutnya dengan istilah karunia bahasa roh. Padahal
dalam Alkitab tidak mengenal istilah bahasa roh. Bahkan naskah Perjanjian Baru
pun tidak pernah mengungkapkan karunia ini dengan istilah “bahasa lidah” (glosolalia) atau “bahasa asing” (xenolalia). Kedua istilah ini hanyalah
istilah dalam kajian teologi. "glôssolalia"
merupakan gabungan dari kata γλωσσα = glôssa, yang berarti lidah,
organ tubuh yang digunakan untuk berbicara, dan kata kerja λαλεω =
laleô, berbicara, berkata,
mengeluarkan suara dari mulut. Sedangkan istilah Xenolalia, "bahasa asing", adalah gabungan
dari kata ξενος = xenos artinya:
orang asing, alien, dan λαλεω
= laleô. Istilah
Xenolalia menurut beberapa sumber adalah istilah yang kemudian diambil dari
peristiwa yang dicatat dalam Kitab Kisah Para Rasul pasal 2 ini, namun secara
harfiah kata ξενος = xenos tidak terdapat dalam naskah aslinya, yang ada adalah
kata έτερος = heteros, 'lain'.
Perkembangan kemudian, khususnya dalam jemaat Korintus
muncul karunia berbahasa yang tidak lazim, misalnya dicatat dalam 1 Korintus 14
(λαλων = lalôn “berkata-kata”; γλωσση = glôssê “dengan (bahasa) lidah”). Belakangan orang menyebutnya
dengan “bahasa roh”. Lalu orang
memperdebatkan istilah-istilah itu, membeda-bedakannya antara “bahasa lidah”
dan “bahasa roh”. Padahal dalam Alkitab kedua istilah itu bersumber dari kata
yang sama, yakni kata γλωσσα (glôssa).
Celakanya ada yang menganggap bahwa semakin tidak mengerti apa yang dikatakan
seseorang, khususnya ketika ia beribadah atau berdoa, orang segera mengklaim
bahwa itu adalah karunia bahasa roh. Ada kebanggaan tersendiri atau komunal!
Perkembangan kemudian ada kelompok Kristen tertentu yang berani menyatakan
bahwa “bahasa roh” adalah tanda seseorang telah mencapai tingkatan iman yang
tinggi. Gejala seperti ini bukan hanya terjadi baru-baru ini. Untuk orang yang
membanggakan karunia ini, Paulus menegur, “Karena itu karunia bahasa roh adalah tanda,
bukan untuk orang yang beriman, tetapi untuk orang yang tidak beriman;
sedangkan karunia untuk bernubuat adalah tanda, bukan untuk orang yang tidak
beriman, tetapi untuk orang yang beriman.” (I Kor.14:22). Lagi, Paulus
mengingatkan, “Demikianlah juga kamu yang
berkata-kata dengan bahasa roh: jika kamu tidak menggunakan kata-kata yang
jelas, bagaimanakah orang dapat mengerti apa yang kamu katakan? Kata-katamu
sia-sia saja kamu ucapkan di udara!” (I Kor.14:9).
Dari teguran Paulus terhadap orang yang mementingkan
atau menyalahartikan bahasa roh, kita dapat memahami bahwa sebenarnya Tuhan,
melalui Paulus dalam hal ini, menginginkan jika kita berkata-kata maka
hendaklah itu dikendalikan oleh Roh Kudus sehingga kata-kata itu berguna untuk
membangun kehidupan iman bersama bukan sebagai kebanggaan bagi orang yang
mengatakannya. Bukankah dengan jelas peristiwa Pentakosta menuturkan kepada
kita bahwa rasul-rasul itu berbicara bukan atas kehendaknya sendiri dan bukan
pula sedang mencari sensasi agar orang kagum dan memberi cap jempol. Mereka memberikan
diri, termasuk lidah mereka sebagai alat di mana Roh Kudus dengan leluasa dapat
bekerja. Injil dipahami dan dimengerti oleh pelbagai orang yang ada di
Yerusalem. Sehingga tepatlah apa yang dikatakan Yesus bahwa mereka akan
mendapat kuasa jika Roh Kudus itu turun dan mereka akan menjadi saksi Tuhan
mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ujung-ujung bumi!
Pentakosta di Yerusalem bagi
orang Kristen adalam tranformasi dari Pentakosta Perjanjian Lama kepada
Pentakosta sesungguhnya, yakni pencurahan Roh Kudus. Cerita Pentakosta dalam
Kisah Rasul 2 jika kita analogikan dalam Perjanjian Lama, seperti ini. Di dalam
Perjanjian Lama, Pentakosta adalah juga perayaan akan turunnya Taurat, umat
dituntun oleh Taurat dalam pengembaraan di padang gurun menuju tanah perjanjian.
Kini, umat Perjanjian Baru, seperti yang sering dikatakan Paulus, hidup di bawah
pimpinan Roh Kudus tidak lagi dalam kungkungan Taurat. Umat Tuhan setelah
dibebaskan dari belenggu dosa kini hidup seperti di “padang gurun” dunia yang
penuh dengan onak duri pencobaan. Roh Kudus menghibur, menguatkan dan menuntun
sampai negeri “perjanjian baru”, yakni Kerajaan Sorga!
Pentakosta dalam Perjanjian
Lama erat kaitannya dengan pesta menuai panen. Bukankah dalam Perjanjian Baru
kita lihat bagaimana Petrus berkhotbah tentang Injil Yesus Kristus, dan hari
itu “panen” tiga ribu orang yang diselamatkan! Dan yang menjadi tema kita hari
ini, “Berkata-kata dalam Roh”, karunia berkomunikasi
yang diberikan Roh Kudus agar semua orang mengerti Injil adalah isyarat yang
mengingatkan kebalikkannya dari umat Tuhan yang tercerai-berai menjadi
bangsa-bangsa dengan peristiwa menara “Babel” (Kej.11), kini Kuasa Roh
mempersatukan kembali. Roh Kudus memampukan Injil itu dimengerti oleh setiap
suku bangsa manusia di dunia ini. Agar segala suku bangsa bersatu menyambut
Tuhan. Bukankah Roh Kudus kita imani sebagai Roh Pemersatu. Jadi jika sekarang
dalam kehidupan orang percaya masih gemar memecah belah, maka di sana masih
berkuasa “roh Babel”!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar