Miris rasanya menyaksikan
begitu banyak tindakan penyelewengan di negeri ini. Ada jendral polisi yang
seharusnya menjadi panutan dan pengayom dalam memberantas kejahatan, eh malah
masuk DPO (Daftar Pencarian Orang) alias buronan. Dalam pembelaannya, sang
jenderal berkilah bahwa ia sedang menegakan hukum! Adi Andojo Soetjipto, mantan hakim agung,
rupanya tidak tahan dengan ulah sang jenderal bintang tiga ini. Ia menyesalkan
tindakan sang jenderal ini. Sulit baginya untuk mengerti kalau ada seorang ahli
hukum kemudian mencari celah untuk melanggar esensi hukum itu sendiri. Adi
menutup tulisannya bahwa tindakan sang jenderal dan pembelanya ini sedang
melecehkan wibawa hukum di tanah air (Kompas,
3 Mei 2013). Ada pula jenderal
polisi berbintang tiga yang sedang diproses karena terjerat kasus pengadaan
alat simulator SIM (Surat Ijin Mengemudi), rakyat dibuat terheran-heran dengan
harta kekayaannya, selain puluhan milyar uang, mobil mewah, rumah dan tanah
juga berderet istri-istri yang cantik-cantik. Ada juga pemimpin partai yang berbaju agamis, eh jadi pesakitan KPK!
Masih banyak lagi para
pejabat, entah eksekutif di pemerintahan kalangan DPR, dan lembaga lainnya yang
melakukan tindakan-tindakan penyelewengan. Kita akan kekurangan waktu untuk
membicarakannya satu per satu, kasus demi kasus. Kita, atau setidaknya saya
sangat tidak mengerti. Mengapa mereka yang sudah diberikan gaji memadai,
fasilitas super premium, malah pertamax. Fasilitas istimewa! Toh, tinggal menjalankan tugasnya saja dengan benar.
Taat pada job desk yang ada, pasti
keadaan negara kita tidak seperti ini!
Hal ini sangat kontras dengan
para pejuang kemanusiaan. Meskipun minim fasilitas, sering kali menanggung
resiko, mereka melakukannya dengan setia. Ambil contoh apa yang dilakukan oleh
seorang Butet Manurung. Di tengah sulitnya akses pendidikan bagi anak-anak Suku
Anak Dalam, Butet hadir, ada bersama dengan mereka, mendidik mereka,
mengajarkan mereka baca tulis. Menjadi lentera yang menerangi anak-anak rimba.
Butet tidak mengutuki sistem pendidikan di negeri ini yang salah kaprah. Sebagai
sesama anak bangsa, ia memilih untuk berhenti menghujat pemeritah meskipun
pantas untuk dihujat. Apa yang dilakukannya tepat seperti pepatah, “Tak ada
gunanya mengutuki kegelapan, lebih baik nyalakan lentera!” Tidak sedikit
tantangan yang ia alami. Penolakan masyarakat lokal, tantangan medan yang
sulit, binatang buas, dan intimidasi dari pemalak kayu dan penambang liar yang
merasa terancam karena berkat bisa membaca dan menulis, mereka memahami bahwa
alam mereka sedang dirusak! Singkatnya, apa yang dilakukan Butet telah membuahkan
hasil menerbitkan terang bagi anak-anak buta huruf yang tidak mendapatkan
fasilitas sekolah formal dari pemerintah akibat banyak dikorupsi. Butet
mengembangkan pendidikan macam itu, yang ia namakan “Sokola”. Kini Sokola sudah
ada di delapan propinsi. (diambil
seperlunya dari sumber: lifestyle kompasiana.com, “Kartini Masa Kini, Wanita Penggiat Pendidikan
Alternatif).
Mengapa Butet mau mengambil resiko?
Dari jawabannya dalam acara Kick Andy
(19 April 2013), dapat disimpulkan oleh karena keprihatinannya terhadap mereka
yang tersisihkan dan kecintaannya kepada anak-anak bangsa inilah yang
mengenyahkan segala ketakutan dan ancaman resiko itu! Dari dua kontras di atas:
ada banyak pejabat yang tidak taat amanah dan kisah Butet Manurung, kita dapat
belajar. Di sekitar kita ada orang-orang yang tampaknya taat, seolah-olah ia
mengerjakan tugasnya ketika ada “ancaman”. Ia taat karena takut ditegur oleh
atasannya. Ia seolah-olah bekerja dengan baik, supaya rakyat menghargainya. Ia melakukan
ini dan itu untuk membangun citra. Intinya bukan dengan kesadaran sendiri. Ketaatan
seperti itu adalah topeng untuk menutup ambisi dan obsesinya. Maka jika ada
kesempatan, bahkan tidak ada pun dibuat-buat, akan mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya bagi dirinya. Berbeda dengan ketaatan yang diperlihatkan oleh
orang seperti Butet. Diawasi atau tidak, masuk koran atau tidak, diperhatikan
atau tidak dipedulikan pun tidak masalah. Mengapa? Karena tujuannya bukan untuk
itu. Tujuannya adalah menyampaikan cinta! Karena ia telah termotivasi oleh
cinta!
Bisakah kita menerapkan model
ketaatan itu berdasarkan cinta? Oh, tentu bisa! Kehidupan ini akan terasa indah
jika diwarnai dengan cinta. Begitu juga hubungan kita dengan Tuhan akan terasa
indah, bergairah, penuh semangat, dan... tidak dapat dikatakan lagi, jika cinta
menjadi dasar kita berpijak, ritual, kewajiban dan segala bentuk ibadah serta
kesalehan tidak lagi menjadi beban. Itu semua berubah menjadi ekspresi cinta!
Yesus pernah mengatakan kepada para murid-Nya, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan
mengasihi dia dan kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.”
Indah sekali! Cinta, akan membuat orang melakukan apa saja untuk yang
dicintainya. Bagi orang lain akan tampak seperti pengorbanan. Namun, bagi orang
yang sedang mencintai hal itu tidak dipandang sebagai pengorbanan. Begitu pula
ketaatan kepada yang dicintai, bukan dipandang sebagai tekanan dan beban
melainkan sebuah peluang dimana cintanya akan sampai pada kepada yang
dicintainya. Kisah ini menarik untuk menjelaskan cinta yang membebaskan orang
dari beban.
Ada seorang pemuda yang suka
mengeluh, pada suatu hari yang dingin dengan suhu di bawah nol derajat ia melihat
seorang peziarah sedang melakukan perjalanan menuju ke kuil suci di pegunungan
Himalaya. Ia bertanya, “Kakek, apakah kakek bisa sampai di sana dengan cuaca
sedingin ini?” Si kakek tersenyum, “Hatiku telah tiba di sana terlebih dahulu,
karena itu dengan sangat mudah bagi bagian tubuh lainnya untuk menyusulnya ke
sana!” Karena kerinduan dan kecintaan sang kakek ke kuil suci itu, perjalanan
terjal, cuaca dingin dan kondisi tubuh renta bukanlah hambatan.
Ketika cinta kepada Tuhan itu tulus
bersemayam di hati kita, maka perintah-perintah-Nya tidak akan membebani. Mengasihi
sesama seperti mengasihi diri sendiri, bahkan mengasihi orang yang membenci
kita sekalipun bukanlah beban yang sulit dipikul. Malah Anda dan saya akan
melihatnya sebagai momen berharga untuk menyenangkan hati Tuhan! Hal ini
setidaknya terjadi pada Paulus. Ketika perjumpaannya dengan Yesus dan ia
merasakan sentuhan cinta-Nya, serta-merta ia berubah. Tidak lagi menjadi
seorang penganiaya orang Kristen. Kini ia mengabarkan Injil ke pelbagai
manusia. Kisah Para Rasul dan tulisan-tulisan pastoral Paulus banyak merekam
jejak langkahnya. Kesulitan, penderitaan, ancaman dan intimidasi merupakan
makanannya sehari-hari. Namun, dalam semuanya itu ia mengatakan, “Bersukacitalah
senantiasa!” (1 Tesalonika 5:16). Lakukanlah segala sesuatu sama seperti untuk
Tuhan dan bersyukurlah! (Kolose 3:17).
Dalam ketaatannya, Paulus yakin,
Tuhan melalui Roh Kudus akan membimbingnya dengan baik. Manusia punya rencana,
namun rencana Tuhan jauh lebih baik. Alangkah bijaknya jika rencana yang kita
miliki disesuaikan dengan rencana-Nya. Paulus bersama Silas punya rencana
(Kisah Para Rasul 16:4-18). Mereka hendak pergi ke Asia dan mencoba masuk ke
tanah Bitinia. Namun, Roh Kudus tidak menghendakinya. Paulus dan Silas diminta
untuk pergi ke Makedonia. Mereka bersedia mengubah rencananya. Rupanya ketaatan
kepada Tuhan menghantar mereka tiba di Makedonia, pintu gerbang Eropa. Kota yang
dituju adalah Filipi di kota ini Paulus dan Silas berjumpa dengan Lidia seorang
saudagar kain ungu dari kota Tiatira. Lidia merupkan orang pertama di Eropa
yang menjadi Kristen. Dari sinilah kemudian Injil tersebar ke seluruh Eropa!
Ketaatan Paulus kepada suara Tuhan
membuktikan bahwa rancangan Tuhan jauh lebih indah dari keinginan manusia. Namun,
sering kali kita ngotot dengan keinginan sendiri. Belajarlah mempercayakan diri
kepada kehendak-Nya, maka kita akan melihat hal-hal yang luar biasa. Kisah ini
mengajar kita untuk taat dan percaya keapada kehendak-Nya.
Seorang perempuan saleh sedang
bercakap-cakap dengan keponakannya tentang keampuhan doa. Tiba-tiba anak kecil
itu bertanya, “Jika aku memohon Tuhan agar Dia membantu menemukan
kelereng-kelerengku, akankah Dia menjawab doaku?”
“Tentu saja! Dia selalu
menjawab doa-doa kita.” perempuan itu meyakinkan keponakannya.”Bolehkah aku
berlutut dan berdoa kepada Tuhan sekarang?” tanya anak itu. segera setelah mendapat persetujuan dari
bibinya, anak kecil itu berlutut di kursinya, menutup mata dan berdoa dalam
hati. Kemudian ia bangkit dan memulai pencarian dengan hati lega dan gembira. Hari
berikutnya, perempuan itu bertanya kepada keponakannya apakah dia sudah
menemukan kelerengnya. Perempuan itu berharap iman sederhana anak kecil itu
tidak perlu menghadap cobaan keras. “Belum, Bibi, aku belum menemukan
kelereng-kelerengku,” jawab anak itu. “Tapi Tuhan telah membuatku tidak ingin
lagi menemukan kelereng-kelereng itu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar