“Ambisi” dapat diartikan
sebagai keinginan, hasrat atau nafsu yang besar dari seseorang untuk meraih apa
yang selama ini didambakannya. Banyak orang memberi pandangan negatif terhadap ambisi. Betulkah Ambisi itu tidak baik?
Coba kita bayangkan kalau seseorang hidup tampa ambisi, tidak mempunyai
keinginan menggapai sesuatu! Apa jadinya? Pasti dia tidak akan melakukan
apa-apa, karena tidak ada yang memotivasi tindakannya. Ambisi, menurut Napoleon
Hills, penulis buku Think and Grow Rich, mengatakan
bahwa kurangnya ambisi adalah satu foktor yang menyebabkan gagalnya seseorang
meraih sukses. Ambisi erat kaitannya
dengan idealisme seseorang. Idealisme itulah yang membuat orang termotivasi
mengerakkan segala daya untuk memujudkannya. Ambisi akan menjadi hal negatif
apabila seseorang terbuai dengan idealismenya sehingga jatuh dalam obsesi:
bahwa idenyalah yang paling baik dan harus segera terwujud.
Tujuh orang murid Yesus pergi
menangkap ikan di Danau Tiberias (Yohanes 21:1-19). Petrus dan teman-temannya
kembali ke pekerjaan lama mereka sebelum ikut Yesus : menjadi nelayan. Mereka
kecewa karena ambisi dan obsesinya dalam mengikut Yesus akan melihat Israel
dipulihkan seperti pada zaman Daud tidak terwujud. Petrus mengambil inisiatif
untuk menangkap ikan di danau itu, murid-murid yang lain mengikutinya. Mereka bekerja
semalaman tetapi tidak memperoleh apa-apa. Ketika siang tiba, Yesus berdiri di
tepi pantai. Para murid tidak mengenalinya. Ada suara menyapa dari pantai, “Hai
anak-anak, adakah kamu memperoleh lauk-pauk?” Mereka menjawab, “Tidak ada!”
(Yohanes 21:5). Yesus meminta mereka menebarkan jala di sebelah kanan perahu
mereka. Dan, lihatlah jala mereka penuh dengan ikan-ikan. 157 ekor banyaknya! Segera
mata mereka terbuka. Mereka sekarang mengenali siapa orang yang di tepi pantai
itu. Ialah Yesus yang bangkit!
Narasi itu berlanjut, kini
terjadi dialog antara Yesus dan Petrus. Petrus dihadapkan pada tiga pertanyaan
yang sama, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Ada perbedaan kata kerja yang
digunakan dalam dialog ini: mengasihi (agapan
dan filein), menggembalakan (boskein dan pomainein), domba (probata
dan arnia), tentu penulis Injil
Yohanes punya maksud tersendiri dari penggunaan kata-kata itu. Namun, penting
untuk kita renungkan dalam perjumpaan itu Yesus bertanya, “Apakah engkau mengasihi aku lebih dari mereka?” Ada juga yang
menerjemahkan frase ini, “Apakah engkau mengasihi aku lebih dari hal-hal ini?”
Dalam terjemahan ini, Yesus bertanya, apakah Petrus mengasihi-Nya lebih dari
pekerjaannya yang sedang ia tekuni, juga ketika pekerjaan itu menghasilkan hasil
yang hebat seperti yang kini ia saksikan; ikan yang melimpah.
Perjumpaan itu mengubah ambisi
para murid, khususnya Petrus. Petrus disadarkan, mungkin ia telah mengalami
kekecewaan karena harapan dan obsesinya mengikut Yesus ternyata berbeda dengan
apa yang Yesus inginkan. Kini, dia diperhadapkan dengan Yesus yang bangkit.
Petrus menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini, bahkan sampai
menyangkal-Nya tiga kali adalah dalam rangka memenuhi ambisinya. Bisa jadi kita
pun seperti Petrus. Mengalami kekecewaan oleh karena ketika mau mengikut Tuhan
ada banyak ambisi dan obsesi yang kita letakan pada pundak Yesus. Ambisi itulah
yang membuat kita tidak lagi melihat rencana dan kehendak-Nya. Satu pertanyaan
serupa buat kita, “Apakah kita mengasihi-Nya melebih dari semua yang ada; sanak
saudara, kerabat, pekerjaan bahkan diri sendiri?” Seolah Yesus mengingatkan
kita, “Apakah kita siap mengasihi-Nya dengan meninggalkan segala ambisi dan obsesi
kita, meskipun itu kelihatannya ideal dan menyenangkan?”
Dalam Kitab Kisah Para Rasul, Saulus
adalah contoh orang yang berambisi memurnikan ajaran Yudaisme. Paulus
terobsesi, hatinya berkobar-kobar untuk menangkap, menganiaya, dan membunuh murid-murid
Tuhan. Merasa tidak cukup punya kewenangan, ia meminta fatwa dari Imam Besar,
agar dengan legitimasi itu, ia leluasa memenuhi ambisinya (Kisah Rasul 9:1). Ambisi
yang telah berubah menjadi ambisius, membuat Saulus lupa akan keluhuran Taurat
dan ajaran para nabi Perjanjian Lama. Bukankah ajaran-ajaran itu mengajak
manusia untuk saling mencintai? Bukankah ajaran itu juga mengingatkan manusia
untuk tidak saling menindas? Saulus yakin seyakin-yakinnya, dengan melakukan
pembantaian terhadap murid-murid Yesus, ia merasa sedang menegakkan jalan
Allah. Ia sedang membela Allah. Bukankah ada banyak orang seperti Saulus?
Merasa sedang berada di jalan Allah dan membela Allah, namun kenyataannya
melakukan tindakan anarkis, melukai, menzolimi, bahkan tidak segan membunuh
sesama manusia. Orang-orang seperti ini pada hakekatnya sedang terobsesi oleh
ambisinya sehingga ia tidak mampu melihat kebenaran secara utuh. Kebenaran yang
dipeganginya sempal. Dan yang sempal itu pun dipakai untuk menjadi pembenaran
dari tindakannya meraih ambisi.
Namun, dalam semangat
berkobar-kobar penuh kebencian, Saulus mengejar murid-murid Tuhan menuju
Damsyik, peristiwa yang mengubah hidupnya terjadi! Cahaya dari langit
menghampirinya, suara cahaya itu menggugat, merobek ambisinya. Suara itu
bersabda, “Saulus, Saulus, mengapakah
engkau menganiaya Aku?” Saulus
mengalami “jeda” dalam hidupnya. Sejak peristiwa itu, tiga hari ia buta. Kebutaannnya
justeru mencerahkan hatinya. Terkadang Tuhan memakai “cara”-Nya yang unik untuk
menghentikan obsesi ambisius manusia. Cara yang Dia pakai untuk menghentika
ambisi Saulus mungkin berbeda dengan yang Ia lakukan untuk Anda dan saya! Suara
itu akan menegur bahwa ada yang dibuat menderita oleh ambisi kita. Apakah kita
mendengar suara itu? Ataukah lebih memedulikan ambisi diri?
Saulus segera menanggapi Suara
Langit itu, “Siapakah Engkau, Tuhan?”. Suara itu menjawab, “Akulah Yesus yang
kauaniaya.” (Kis.9:5). Dialog ini meluluhlantakkan kekerasan hati Saulus. Saya
membayangkan hatinya hancur, ia meratap bukan semata karena kini mata fisiknya
yang tidak bisa melihat. Ia melihat! Ya, kini mata batinnya dibukakan, ia
melihat dan merasakan Yesus yang teraniaya kini ada di hadapannya. Saulus
mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit. Yesus yang bangkit ini
membangkitkan Saulus untuk menjadi saksi bagi banyak orang (Kis.9:15). Pengalaman Saulus mirip dengan refleksi Mazmur
30:4, “TUHAN, Engkau mengangkat aku dari
dunia orang mati, Engkau menghidupkan aku di antara mereka yang turun ke liang
kubur.”
Petrus, Saulus dan masih
banyak lagi tokoh Alkitab, mereka pernah jatuh dalam ambisinya yang keliru. Namun,
mereka mau dipulihkan melalui perjumpaan dengan Tuhan. Anda dan saya sangat
potensial terjatuh dalam ambisi kita. Namun, masalahnya apakah kita mau bangkit
kembali? Mau mendengar suara-Nya? Suara itu mungkin menyakitkan karena Ia
mencoba menghentikan ambisi keegoisan kita. Suara itu mungkin bisa membuat kita
tidak nyaman. Suara itu bisa membuat kita meratap. Apakah kita enggan
mendengarnya? Ingatlah apa yang dikatakan François
Fénelon,
“Allah
tidak pernah berhenti berbicara kepada kita; tetapi keributan dari dunia luar,
dan kebisingan dari nafsu-nafsu kita di dalam, membuat kita bingung dan
menjauhkan kita dari sikap mendengarkan. Semua di sekitar kita harus senyap,
dan semua di dalam diri kita harus hening, jika kita ingin mendengarkan
suara-Nya dengan segenap jiwa kita. Suara itu kecil dan tenang, dan hanya bisa
didengar oleh mereka yang tidak mendengarkan suara-suara lainnya. Aduh! Betapa
jarangnya jiwa berada dalam keadaan tenang sehingga bisa mendengar ketika Allah
berbicara.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar