Jumat, 12 April 2013

RATAPAN YANG DIUBAH MENJADI PENGAKUAN IMAN



“Ambisi” dapat diartikan sebagai keinginan, hasrat atau nafsu yang besar dari seseorang untuk meraih apa yang selama ini didambakannya. Banyak orang memberi pandangan negatif terhadap ambisi. Betulkah Ambisi itu tidak baik? Coba kita bayangkan kalau seseorang hidup tampa ambisi, tidak mempunyai keinginan menggapai sesuatu! Apa jadinya? Pasti dia tidak akan melakukan apa-apa, karena tidak ada yang memotivasi tindakannya. Ambisi, menurut Napoleon Hills, penulis buku Think and Grow Rich, mengatakan bahwa kurangnya ambisi adalah satu foktor yang menyebabkan gagalnya seseorang meraih sukses.  Ambisi erat kaitannya dengan idealisme seseorang. Idealisme itulah yang membuat orang termotivasi mengerakkan segala daya untuk memujudkannya. Ambisi akan menjadi hal negatif apabila seseorang terbuai dengan idealismenya sehingga jatuh dalam obsesi: bahwa idenyalah yang paling baik dan harus segera terwujud.

Tujuh orang murid Yesus pergi menangkap ikan di Danau Tiberias (Yohanes 21:1-19). Petrus dan teman-temannya kembali ke pekerjaan lama mereka sebelum ikut Yesus : menjadi nelayan. Mereka kecewa karena ambisi dan obsesinya dalam mengikut Yesus akan melihat Israel dipulihkan seperti pada zaman Daud tidak terwujud. Petrus mengambil inisiatif untuk menangkap ikan di danau itu, murid-murid yang lain mengikutinya. Mereka bekerja semalaman tetapi tidak memperoleh apa-apa. Ketika siang tiba, Yesus berdiri di tepi pantai. Para murid tidak mengenalinya. Ada suara menyapa dari pantai, “Hai anak-anak, adakah kamu memperoleh lauk-pauk?” Mereka menjawab, “Tidak ada!” (Yohanes 21:5). Yesus meminta mereka menebarkan jala di sebelah kanan perahu mereka. Dan, lihatlah jala mereka penuh dengan ikan-ikan. 157 ekor banyaknya! Segera mata mereka terbuka. Mereka sekarang mengenali siapa orang yang di tepi pantai itu. Ialah Yesus yang bangkit!

Narasi itu berlanjut, kini terjadi dialog antara Yesus dan Petrus. Petrus dihadapkan pada tiga pertanyaan yang sama, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Ada perbedaan kata kerja yang digunakan dalam dialog ini: mengasihi (agapan dan filein), menggembalakan (boskein dan pomainein), domba (probata dan arnia), tentu penulis Injil Yohanes punya maksud tersendiri dari penggunaan kata-kata itu. Namun, penting untuk kita renungkan dalam perjumpaan itu Yesus bertanya, “Apakah engkau mengasihi aku lebih dari mereka?” Ada juga yang menerjemahkan frase ini, “Apakah engkau mengasihi aku lebih dari hal-hal ini?” Dalam terjemahan ini, Yesus bertanya, apakah Petrus mengasihi-Nya lebih dari pekerjaannya yang sedang ia tekuni, juga ketika pekerjaan itu menghasilkan hasil yang hebat seperti yang kini ia saksikan; ikan yang melimpah.

Perjumpaan itu mengubah ambisi para murid, khususnya Petrus. Petrus disadarkan, mungkin ia telah mengalami kekecewaan karena harapan dan obsesinya mengikut Yesus ternyata berbeda dengan apa yang Yesus inginkan. Kini, dia diperhadapkan dengan Yesus yang bangkit. Petrus menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini, bahkan sampai menyangkal-Nya tiga kali adalah dalam rangka memenuhi ambisinya. Bisa jadi kita pun seperti Petrus. Mengalami kekecewaan oleh karena ketika mau mengikut Tuhan ada banyak ambisi dan obsesi yang kita letakan pada pundak Yesus. Ambisi itulah yang membuat kita tidak lagi melihat rencana dan kehendak-Nya. Satu pertanyaan serupa buat kita, “Apakah kita mengasihi-Nya melebih dari semua yang ada; sanak saudara, kerabat, pekerjaan bahkan diri sendiri?” Seolah Yesus mengingatkan kita, “Apakah kita siap mengasihi-Nya dengan meninggalkan segala ambisi dan obsesi kita, meskipun itu kelihatannya ideal dan menyenangkan?”

Dalam Kitab Kisah Para Rasul, Saulus adalah contoh orang yang berambisi memurnikan ajaran Yudaisme. Paulus terobsesi, hatinya berkobar-kobar untuk menangkap, menganiaya, dan membunuh murid-murid Tuhan. Merasa tidak cukup punya kewenangan, ia meminta fatwa dari Imam Besar, agar dengan legitimasi itu, ia leluasa memenuhi ambisinya (Kisah Rasul 9:1). Ambisi yang telah berubah menjadi ambisius, membuat Saulus lupa akan keluhuran Taurat dan ajaran para nabi Perjanjian Lama. Bukankah ajaran-ajaran itu mengajak manusia untuk saling mencintai? Bukankah ajaran itu juga mengingatkan manusia untuk tidak saling menindas? Saulus yakin seyakin-yakinnya, dengan melakukan pembantaian terhadap murid-murid Yesus, ia merasa sedang menegakkan jalan Allah. Ia sedang membela Allah. Bukankah ada banyak orang seperti Saulus? Merasa sedang berada di jalan Allah dan membela Allah, namun kenyataannya melakukan tindakan anarkis, melukai, menzolimi, bahkan tidak segan membunuh sesama manusia. Orang-orang seperti ini pada hakekatnya sedang terobsesi oleh ambisinya sehingga ia tidak mampu melihat kebenaran secara utuh. Kebenaran yang dipeganginya sempal. Dan yang sempal itu pun dipakai untuk menjadi pembenaran dari tindakannya meraih ambisi.

Namun, dalam semangat berkobar-kobar penuh kebencian, Saulus mengejar murid-murid Tuhan menuju Damsyik, peristiwa yang mengubah hidupnya terjadi! Cahaya dari langit menghampirinya, suara cahaya itu menggugat, merobek ambisinya. Suara itu bersabda, “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?”  Saulus mengalami “jeda” dalam hidupnya. Sejak peristiwa itu, tiga hari ia buta. Kebutaannnya justeru mencerahkan hatinya. Terkadang Tuhan memakai “cara”-Nya yang unik untuk menghentikan obsesi ambisius manusia. Cara yang Dia pakai untuk menghentika ambisi Saulus mungkin berbeda dengan yang Ia lakukan untuk Anda dan saya! Suara itu akan menegur bahwa ada yang dibuat menderita oleh ambisi kita. Apakah kita mendengar suara itu? Ataukah lebih memedulikan ambisi diri?

Saulus segera menanggapi Suara Langit itu, “Siapakah Engkau, Tuhan?”. Suara itu menjawab, “Akulah Yesus yang kauaniaya.” (Kis.9:5). Dialog ini meluluhlantakkan kekerasan hati Saulus. Saya membayangkan hatinya hancur, ia meratap bukan semata karena kini mata fisiknya yang tidak bisa melihat. Ia melihat! Ya, kini mata batinnya dibukakan, ia melihat dan merasakan Yesus yang teraniaya kini ada di hadapannya. Saulus mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang bangkit. Yesus yang bangkit ini membangkitkan Saulus untuk menjadi saksi bagi banyak orang (Kis.9:15).  Pengalaman Saulus mirip dengan refleksi Mazmur 30:4, “TUHAN, Engkau mengangkat aku dari dunia orang mati, Engkau menghidupkan aku di antara mereka yang turun ke liang kubur.”

Petrus, Saulus dan masih banyak lagi tokoh Alkitab, mereka pernah jatuh dalam ambisinya yang keliru. Namun, mereka mau dipulihkan melalui perjumpaan dengan Tuhan. Anda dan saya sangat potensial terjatuh dalam ambisi kita. Namun, masalahnya apakah kita mau bangkit kembali? Mau mendengar suara-Nya? Suara itu mungkin menyakitkan karena Ia mencoba menghentikan ambisi keegoisan kita. Suara itu mungkin bisa membuat kita tidak nyaman. Suara itu bisa membuat kita meratap. Apakah kita enggan mendengarnya? Ingatlah apa yang dikatakan François Fénelon,

“Allah tidak pernah berhenti berbicara kepada kita; tetapi keributan dari dunia luar, dan kebisingan dari nafsu-nafsu kita di dalam, membuat kita bingung dan menjauhkan kita dari sikap mendengarkan. Semua di sekitar kita harus senyap, dan semua di dalam diri kita harus hening, jika kita ingin mendengarkan suara-Nya dengan segenap jiwa kita. Suara itu kecil dan tenang, dan hanya bisa didengar oleh mereka yang tidak mendengarkan suara-suara lainnya. Aduh! Betapa jarangnya jiwa berada dalam keadaan tenang sehingga bisa mendengar ketika Allah berbicara.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar