Kamis, 04 April 2013

MENJADI KOMUNITAS YANG SALING PERCAYA



Di sebuah bangsal rumah sakit, seorang pasien tergolek tidak berdaya. Dia menderita penyakit parah hingga kehilangan pengharapan. Kondisinya tetap tidak terdiagnosis. Tampaknya tidak ada orang yang tahu penyakit apa yang sedang dideritanya. Kian hari kondisinya kian memburuk dan putus asa. Perawatan dan tindakan medis apa pun yang diberikan kepadanya sejauh ini sia-sia saja.

Di bagian lain rumah sakit itu, dokter kepala dan asistennya  baru saja menyelesaikan pemeriksaan rutin dan sedang membicarakan kasus para pasien. Dokter kepala memimpin pertemuan itu. Dia memberikan saran-saran berdasarkan pada pengetahuan dan pengalamannya selama bertahun-tahun berkecimpung di dunia medis.

“Bagaimana Nona Smith?” Dia bertanya tentang wanita yang tergolek tanpa diketahui menderita penyakit apa. “Tidak ada kemajuan!,” Kata asisten yang bertanggungjawab untuk merawatnya. “Saya sudah berusaha sekuat tenaga. Apa pun yang saya lakukan, tidak berhasil menemukan apa penyakit yang dideritanya. Dia tidak merespon sama sekali perawatan, dan kondisinya semakin memburuk. Dan yang memperparah keaadaannya sekarang, dia terkena depresi.”

“Apa saja tindakan perawatan yang kamu terapkan?” tanya dokter kepala itu dengan lembut.

“Pertama-tama, saya mengukur temperatur tubuhnya, yang ternyata normal,” kata sang asisten itu. “Apa lagi?” tanya dokter kepala itu.
“Saya ukur tekanan darahnya, yang juga dalam batasan normal,” jawab asisten itu.
“Apa lagi yang kaulakukan selain itu?” tanya dokter kepala lagi.
“Ya, saya sudah mengambil contoh darah dan mengembangkan penelitian yang lengkap terhadap sampel itu. Patologi rumah sakit tidak menemukan keanehan apa pun terhadap sampel darah itu. Saya melakukan foto sinar X. Radiolog mempelajarinya dengan seksama. Semua hasil foto sepertinya sangat jelas. Struktur tulangnya tampak baik-baik saja.”

“Begitu,” dokter kepala berkata dengan pandangan bijak yang terpancar dari matanya. “Teruskan!”

“Saya sudah melakukan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan CT  (comuter Tomografi ) scan untuk seluruh tubuhnya. Lagi-lagi semuanya tanpa hasil. Kami benar-benar bingung, apa dan sakit apa sebenarnya yang sedang ia hadapi. Dan yang lebih membingungkan lagi kondisinya setiap hari semakin memburuk!”

Dokter kepala meletakkan sikunya di meja dan berpikir keras sambil memegang kepalanya. Dia merenung selama beberapa saat, kemudia dia berbicara pelan, “Kamu sudah mengukur temperatur tubuhnya, tekanan darahnya, dan contoh darahnya. Kamu juga sudah melakukan foto sinar X, CT-scan, dan MRI. Kamu tidak menemukan adanya abnormalitas dari semua penelitian ini, tetapi keadaanya terus memburuk dan bahkan menderita depresi.”

Dengan pelan, dokter kepala itu membuka matanya. Ditatapnya sang asistennya itu, lalu kemudian ia bertanya, “Akan tetapi, sudahkah engkau genggam tangannya?”

Sakit yang dialami Nona Smith berbeda dengan kondisi yang menimpa Tomas, salah seorang murid Yesus. Namun, keduanya sama; tengah dilanda depresi. Tubuh Nona Smith tidak merespon semua tindakan medis yang diberikan kepadanya. Tomas juga tidak merespon apalagi percaya kepada teman-temannya yang menyatakan bahwa Yesus bangkit.  Seseorang yang tengah dilanda depresi cenderung mengasihani diri dan menolak menaruh percaya kepada orang lain. Tomas sangat terpukul dengan kematian gurunya. Ia memilih kesepian daripada kebersamaan dengan murid-murid yang lain. Tomas kecewa dan depresi. Akibatnya, ketika Sang Guru menampakkan diri kepada para murid, Tomas tidak mengalaminya. Murid-murid yang  berjumpa dengan Yesus yang bangkit itu berusah menyakinkan Tomas  tentang kebangkitan Sang Guru. Alih-alih Tomas percaya, ia menuntut bukti, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.” (Yohanes 20:25).

Yesus memahami apa yang terjadi dengan Tomas. Jauh sebelum dokter kepala meminta asisten rumah sakit itu untuk menggenggam tangan Nona Smith, Yesus telah melakukannya untuk Tomas. Tomas tidak membutuhkan teori dan penjelasan panjang lebar mengenai Yesus yang bangkit itu. Tomas membutuhkan sentuhan dari Yesus sendiri! Melalui perjumpaan itu Tuhan memulihkan Tomas. Ia pulih dari keterpurukannya dan kini, Tomas pun dibangkitkan. Dari Tomas yang sudah pulih inilah meluncur pengakuan, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh.20:28). Suatu pengakuan yang belum pernah terucap dari murid yang manapun!  Bahkan selanjutnya, Tomas dipakai Tuhan secara luar biasa. Sebuah buku apokrif The Act of Tomas mengisahkan bagaimana Tomas dengan gigih memberitakan Injil sampai ke India. Tomas mampu menjadi saksi kebangkitan Yesus karena terlebih dahulu ia telah dipulihkan.

Tidak mudah seseorang percaya kepada Yesus yang tersalib, mati dan bangkit, apalagi mempercayakan hidupnya pada berita itu. Tidak cukup pula meyakinkan seseorang hanya dengan pemberitaan verbal. Seseorang dapat percaya apabila ia mengalami perjumpaan dengan Kristus. Seseorang akan menyambut Kristus apabila tangannya merasa “digenggam”. Lalu bagaimana caranya memperjumpakan Yesus yang bangkit itu? Cukupkah hanya dengan mendoakannya supaya Yesus sendiri menghampiri orang itu, sama seperti yang dialami oleh Tomas? Ya, doa mutlak diperlukan! Namun, bukankah di dalam iman, kita menyakini bahwa setiap murid Kristus, setiap orang Kristen adalah bagian dari tubuh Kristus? Jika keyakinan ini kita hayati dengan benar pasti membawa dampak: setidaknya orang yang berjumpa dengan kita akan merasakan kehadiran Kristus! Kalau Kristus yang bangkit itu hidup dalam diri kita, maka tatapan mata kita akan sama seperti Yesus menatap. Bukan sorot mata kebencian atau ketamakan, melainkan pancaran kasih. Ucapan kita akan menjadi seperti Yesus berujar, bukan gosip dan caci maki yang meluncur, namun kata-kata yang membangun, menguatkan dan suara kebenaran.  Telinga kita akan sama seperti telinga Yesus mendengar kebenaran dan keluh kesah yang ada di sekitar kita, bukan memanjakannya dengan berita keburukan orang lain. Dan tangan kita sama seperti tangan Yesus yang lembut menyentuh dan memulihkan kondisi yang buruk.

Dunia kita tengah dilanda depresi, sindrom Tomas! Kecewa, putus asa dan depresi. Akibatnya, saling tidak percaya kian merebak, terjadi di mana-mana. Dalam keluarga, banyak orang tua tidak percaya kepada anak-anaknya demikian pula sebaliknya. Karyawan tidak percaya terhadap bosnya, demikian juga sebaliknya. Pemimpin tidak percaya kepada rakyatnya dan sebaliknya rakyat tidak percaya kepada para pemimpinnya. Pendeta tidak percaya kepada umatnya, sebaliknya umat tidak percaya kepada pendetanya. Apa yang dapat kita bayangkan dalam kondisi seperti ini? Tinggal menunggu kehancuran! Banyak orang di sekitar kita bukan membutuhkan ocehan dan pencitraan, tetapi sentuhan! Sentuhan tangan Tuhan melalui orang-orang yang percaya kepada-Nya. Perjumpaan yang tulus dapat terjadi manakala ada integritas apa yang dipercaya sebagai kebenaran itu pula yang dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar