Di sebuah bangsal rumah sakit,
seorang pasien tergolek tidak berdaya. Dia menderita penyakit parah hingga
kehilangan pengharapan. Kondisinya tetap tidak terdiagnosis. Tampaknya tidak
ada orang yang tahu penyakit apa yang sedang dideritanya. Kian hari kondisinya
kian memburuk dan putus asa. Perawatan dan tindakan medis apa pun yang
diberikan kepadanya sejauh ini sia-sia saja.
Di bagian lain rumah sakit
itu, dokter kepala dan asistennya baru
saja menyelesaikan pemeriksaan rutin dan sedang membicarakan kasus para pasien.
Dokter kepala memimpin pertemuan itu. Dia memberikan saran-saran berdasarkan pada
pengetahuan dan pengalamannya selama bertahun-tahun berkecimpung di dunia medis.
“Bagaimana Nona Smith?” Dia
bertanya tentang wanita yang tergolek tanpa diketahui menderita penyakit apa. “Tidak
ada kemajuan!,” Kata asisten yang bertanggungjawab untuk merawatnya. “Saya
sudah berusaha sekuat tenaga. Apa pun yang saya lakukan, tidak berhasil
menemukan apa penyakit yang dideritanya. Dia tidak merespon sama sekali
perawatan, dan kondisinya semakin memburuk. Dan yang memperparah keaadaannya
sekarang, dia terkena depresi.”
“Apa saja tindakan perawatan
yang kamu terapkan?” tanya dokter kepala itu dengan lembut.
“Pertama-tama, saya mengukur
temperatur tubuhnya, yang ternyata normal,” kata sang asisten itu. “Apa lagi?”
tanya dokter kepala itu.
“Saya ukur tekanan darahnya, yang
juga dalam batasan normal,” jawab asisten itu.
“Apa lagi yang kaulakukan
selain itu?” tanya dokter kepala lagi.
“Ya, saya sudah mengambil
contoh darah dan mengembangkan penelitian yang lengkap terhadap sampel itu. Patologi
rumah sakit tidak menemukan keanehan apa pun terhadap sampel darah itu. Saya melakukan
foto sinar X. Radiolog mempelajarinya dengan seksama. Semua hasil foto
sepertinya sangat jelas. Struktur tulangnya tampak baik-baik saja.”
“Begitu,” dokter kepala
berkata dengan pandangan bijak yang terpancar dari matanya. “Teruskan!”
“Saya sudah melakukan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan CT (comuter
Tomografi ) scan untuk seluruh tubuhnya. Lagi-lagi semuanya tanpa hasil. Kami
benar-benar bingung, apa dan sakit apa sebenarnya yang sedang ia hadapi. Dan yang
lebih membingungkan lagi kondisinya setiap hari semakin memburuk!”
Dokter kepala meletakkan
sikunya di meja dan berpikir keras sambil memegang kepalanya. Dia merenung
selama beberapa saat, kemudia dia berbicara pelan, “Kamu sudah mengukur temperatur
tubuhnya, tekanan darahnya, dan contoh darahnya. Kamu juga sudah melakukan foto
sinar X, CT-scan, dan MRI. Kamu tidak menemukan adanya abnormalitas dari semua
penelitian ini, tetapi keadaanya terus memburuk dan bahkan menderita depresi.”
Dengan pelan, dokter kepala
itu membuka matanya. Ditatapnya sang asistennya itu, lalu kemudian ia bertanya,
“Akan tetapi, sudahkah engkau genggam tangannya?”
Sakit yang dialami Nona Smith
berbeda dengan kondisi yang menimpa Tomas, salah seorang murid Yesus. Namun,
keduanya sama; tengah dilanda depresi. Tubuh Nona Smith tidak merespon semua
tindakan medis yang diberikan kepadanya. Tomas juga tidak merespon apalagi
percaya kepada teman-temannya yang menyatakan bahwa Yesus bangkit. Seseorang yang tengah dilanda depresi
cenderung mengasihani diri dan menolak menaruh percaya kepada orang lain. Tomas
sangat terpukul dengan kematian gurunya. Ia memilih kesepian daripada
kebersamaan dengan murid-murid yang lain. Tomas kecewa dan depresi. Akibatnya,
ketika Sang Guru menampakkan diri kepada para murid, Tomas tidak mengalaminya. Murid-murid
yang berjumpa dengan Yesus yang bangkit
itu berusah menyakinkan Tomas tentang
kebangkitan Sang Guru. Alih-alih Tomas percaya, ia menuntut bukti, “Sebelum aku melihat bekas paku pada
tangan-Nya dan sebelum aku mencucukan jariku ke dalam bekas paku itu dan
mencucukan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.”
(Yohanes 20:25).
Yesus memahami apa yang
terjadi dengan Tomas. Jauh sebelum dokter kepala meminta asisten rumah sakit
itu untuk menggenggam tangan Nona Smith, Yesus telah melakukannya untuk Tomas.
Tomas tidak membutuhkan teori dan penjelasan panjang lebar mengenai Yesus yang
bangkit itu. Tomas membutuhkan sentuhan dari Yesus sendiri! Melalui perjumpaan
itu Tuhan memulihkan Tomas. Ia pulih dari keterpurukannya dan kini, Tomas pun
dibangkitkan. Dari Tomas yang sudah pulih inilah meluncur pengakuan, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh.20:28).
Suatu pengakuan yang belum pernah terucap dari murid yang manapun! Bahkan selanjutnya, Tomas dipakai Tuhan secara
luar biasa. Sebuah buku apokrif The Act
of Tomas mengisahkan bagaimana Tomas dengan gigih memberitakan Injil sampai
ke India. Tomas mampu menjadi saksi kebangkitan Yesus karena terlebih dahulu ia
telah dipulihkan.
Tidak mudah seseorang percaya
kepada Yesus yang tersalib, mati dan bangkit, apalagi mempercayakan hidupnya
pada berita itu. Tidak cukup pula meyakinkan seseorang hanya dengan pemberitaan
verbal. Seseorang dapat percaya apabila ia mengalami perjumpaan dengan Kristus.
Seseorang akan menyambut Kristus apabila tangannya merasa “digenggam”. Lalu bagaimana
caranya memperjumpakan Yesus yang bangkit itu? Cukupkah hanya dengan
mendoakannya supaya Yesus sendiri menghampiri orang itu, sama seperti yang
dialami oleh Tomas? Ya, doa mutlak diperlukan! Namun, bukankah di dalam iman,
kita menyakini bahwa setiap murid Kristus, setiap orang Kristen adalah bagian
dari tubuh Kristus? Jika keyakinan ini kita hayati dengan benar pasti membawa dampak:
setidaknya orang yang berjumpa dengan kita akan merasakan kehadiran Kristus!
Kalau Kristus yang bangkit itu hidup dalam diri kita, maka tatapan mata kita akan
sama seperti Yesus menatap. Bukan sorot mata kebencian atau ketamakan,
melainkan pancaran kasih. Ucapan kita akan menjadi seperti Yesus berujar, bukan
gosip dan caci maki yang meluncur, namun kata-kata yang membangun, menguatkan
dan suara kebenaran. Telinga kita akan
sama seperti telinga Yesus mendengar kebenaran dan keluh kesah yang ada di
sekitar kita, bukan memanjakannya dengan berita keburukan orang lain. Dan
tangan kita sama seperti tangan Yesus yang lembut menyentuh dan memulihkan
kondisi yang buruk.
Dunia kita tengah dilanda
depresi, sindrom Tomas! Kecewa, putus
asa dan depresi. Akibatnya, saling tidak percaya kian merebak, terjadi di
mana-mana. Dalam keluarga, banyak orang tua tidak percaya kepada anak-anaknya
demikian pula sebaliknya. Karyawan tidak percaya terhadap bosnya, demikian juga
sebaliknya. Pemimpin tidak percaya kepada rakyatnya dan sebaliknya rakyat tidak
percaya kepada para pemimpinnya. Pendeta tidak percaya kepada umatnya, sebaliknya
umat tidak percaya kepada pendetanya. Apa yang dapat kita bayangkan dalam
kondisi seperti ini? Tinggal menunggu kehancuran! Banyak orang di sekitar kita
bukan membutuhkan ocehan dan pencitraan, tetapi sentuhan! Sentuhan tangan Tuhan
melalui orang-orang yang percaya kepada-Nya. Perjumpaan yang tulus dapat
terjadi manakala ada integritas apa yang dipercaya sebagai kebenaran itu pula
yang dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar