Kamis Putih 2013
Aku memberi perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling
mengasihi;
sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling
mengasihi.
Yohanes 13:34
Dalam wasiat terakhir sebelum
menuju Golgota, Bukit Tengkorak, Yesus menyampaikan perintah baru, yakni agar para murid saling mengasihi. Benarkah perintah
ini merupakan hal baru? Bukankah perintah saling mengasihi sudah ada dalam
tradisi Yudaisme, salah satu contohnya tertulis dalam Imamat 19:18, “Janganlah engkau menuntut balas, dan
janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri; Akulah TUHAN.” Tradisi
di luar Yahudi juga sudah jauh mengenal bahwa saling mengasihi merupakan
prinsip hidup mumpuni yang tak terbantahkan. Kasih jelas bukan milik aliran
keyakinan atau agama tertentu. Ia universal!
Lantas, apa yang membuat
perintah Yesus ini menjadi sebuah perintah baru? Jawabnya sederhana: Kasih itu
menjadi baru bagi para murid oleh karena mereka melihat kasih itu menyatu dalam
diri Yesus. Kasih itu menjadi hidup karena diperagakan, bukan sebuah teori! Perintah
itu menjadi baru karena Yesus mengatakannya, “sama seperti Aku mengasihi kamu…”. Kasih para murid menjadi baru
karena aliran kasih yang mereka terima bukan berasal dari sumber lain, kecuali
Yesus. Aliran kasih itulah yang harus mereka teruskan kepada yang lain. Karenanya,
jika para murid mengasihi satu dengan yang lain, niatnya bukan hanya demi
kesejahteraan bersama, bukan pula demi terbangunnya solidaritas komunal, sebab
solidaritas komunal bisa salah arah dan menyesatkan: melainkan, dan yang paling
utama adalah agar sebanyak mungkin orang mengalami dan merasakan kasih Yesus.
Mengasihi bukan semata tuntutan tindakan etis, ia melampaui itu, yakni sebuah
tuntutan seorang murid yang telah merasakan sentuhan cinta kasih dari Tuhan dan
Gurunya. Hal ini menjadi jelas dalam pernyataan Yesus selanjutnya, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa
kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh.13:34).
Untuk menjadi murid Yesus,
tidak ada jalan lain selain hidup di dalam kasih. Kasih yang tidak
diterjemahkan sebagai sebuah perintah yang membebani hidup seseorang. Mengapa? Karena
sebagus apa pun konsep kasih, kalau hal itu ditanggapi sebagai sebuah “perintah”,
akan membuatnya menjadi beban. Tidak ada kasih yang tulus kalau ia lahir dari
sebuah beban! Oleh karenanya, Yesus memberi contoh dalam hidup-Nya bagaimana
kasih itu lahir semata-mata dari kasih yang bersumber kepada Bapa-Nya! Sehingga
segala sesuatu yang dikerjakan Yesus lahir dari sebuah kecintaan, sudah pasti
menghasilkan yang terbaik.
Salah satu contohnya, Yesus
membasuh kaki para murid (Yohanes 13:1-17). Tentu, hal ini dilakukan-Nya bukan
untuk mencari sensasi popularitas seperti lazimnya para pejabat dan politisi
di negeri ini. Yesus melakukan
pembasuhan itu semata-mata dalam kapasitas integritas-Nya sebagai Mesias yang
menghamba. Pembasuhan kaki oleh seorang budak sebelum pesta merupakan kebiasaan
umum yang terjadi dalam zaman Yesus. Yang dicuci memang hanya kaki, bukan
seluruh tubuh. Tentu mudah dibayangkan bahwa orang yang datang dalam perjamuan
pastilah sudah membersihkan diri terlebih dahulu. Hanya saja perjalanan menuju
tempat pesta tidak jarang membuat kaki mereka kotor, entah karena debu atau
bersentuhan dengan orang atau benda-benda yang tidak bersih. Untuk itulah
sebelum orang memasuki tempat perjamuan, terlebih dahulu mereka membasuh
kakinya. Gambaran tentang kebiasaan ini dipergunakan juga oleh Yesus ketika
Petrus meminta-Nya membasuh seluruh tubuhnya. Yesus menjawabnya bahwa siapa
yang telah mandi tidak perlu membasuh diri lagi kecuali bagian kakinya. “Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua.”
Pernyataan ini menampakkan pengetahuan Yesus bahwa ada di antara mereka yang
tidak bersih atau berhianat.
Walau bagaimana pun, kaki
merupakan bagian yang terendah dalam anatomi tubuh. Untuk bagian yang terbawah
itu, Yesus membungkukkan diri dan membasuh! “Kamu
menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat.” Guru dan Tuhan menyatakan jenis dan relasi
yang terbangun antara para murid dan Yesus. Yesus adalah Guru sehingga mereka
datang mengikuti Yesus untuk mendengarkan pengajaran-Nya. Sebagai seorang Guru,
Yesus memiliki juga otoritas atas mereka. Oleh karena itu, Yesus adalah tuan
bagi mereka. Baik Guru maupun tuan menunjukkan bahwa Yesus ada di atas mereka.
Yesus yang adalah Guru dan Tuan mereka, telah menanggalkan jubah-Nya (baca;
kemuliaan dan kekuasaan-Nya) dan menempatkan diri di hadapan mereka sebagai
budak! Ia mengerjakan pekerjaan budak, yakni membasuh kaki!
Yesus mewujudkan di dalam
diri-Nya apa yang Ia inginkan tumbuh di dalam diri setiap murid-Nya: kerendahan
hati, pelayanan dan kasih. Pembasuhan kaki itu oleh Yesus sendiri disebut
sebagai sebuah “teladan” atau contoh. Artinya, pembasuhan kaki itu merupakan
sebuah cara hidup yang harus dilaksanakan oleh para murid dalam relasi mereka
satu dengan yang lain. Mereka harus saling membasuh kaki karena Yesus terlebih
dahulu telah melakukannya untuk mereka. Pembasuhan kaki bukan soal meniru
tindakan Yesus, melainkan soal melakukan apa yang telah dilakukan Yesus:
kerendahan hati, pelayanan dan kasih itu. Ini sebenarnya apa yang kemudian
Yesus sebutkan sebagai sebuah perintah baru. Tidak ada sebelumnya seorang Guru
bahkan Tuhan yang melakukan seperti Yesus. Kualifikasi integritas cara hidup
Yesuslah yang membuat kasih itu nyata-nyata baru. Cara hidup seperti inilah
yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mengaku dirinya murid Yesus.
Namun, sayangnya banyak orang
mengaku sebagai murid Yesus, mereka pandai merumuskan dan mengajarkan tentang
kasih tetapi tidak tercermin dalam prilakunya sendiri. Mirip kaum shopis yang dikenal sebagai kaum
cendekiawan atau guru yang menjajakan kebenaran dalam filsafat hanya karena
imbalan kehormatan dan uang. Maka tidak mengherankan kalau konflik dan isu-isu
tidak sedap yang lebih bergema ketimbang prilaku cinta kasih itu yang dominan
terdengar. Bercermin dari kisah pembasuhan ini, mestinya kita mau belajar dan
diajar oleh Yesus: rendah hati, mau melayani dengan cinta kasih yang tulus dan
mengerjakan segala sesuatu, meskipun tampaknya kecil namun dilakukan dengan
cinta kasih yang besar, percayalah kita akan melihat keajaiban cinta itu!
Martin Luther King Jr, pernah
mengatakan, “Apabila seseorang bekerja
sebagai penyapu jalan, ia harus menyapu jalan, bahkan seperti Michelangelo
melukis, Beethoven mencipta musik, atau Shakespare menulis puisi. Ia harus
menyapu jalan dengan begitu baik hingga semua penghuni sorga dan bumi akan
berhenti dan berseru, ‘Di sini hidup seorang penyapu jalan yang besar yang
melakukan pekerjaannya dengan sangat baik!” Cintalah yang menghasilkan
prilaku seperti itu. Cinta kasih adalah energi yang mampu mengikat komitmen
menjadi prilaku dan tindakan nyata!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar