Rabu, 27 Maret 2013

SALING MENGASIHI SEBAGAI PERINTAH BARU



Kamis Putih 2013
Aku memberi perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi;
sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.
Yohanes 13:34

Dalam wasiat terakhir sebelum menuju Golgota, Bukit Tengkorak, Yesus menyampaikan perintah baru, yakni agar para murid saling mengasihi. Benarkah perintah ini merupakan hal baru? Bukankah perintah saling mengasihi sudah ada dalam tradisi Yudaisme, salah satu contohnya tertulis dalam Imamat 19:18, “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri;  Akulah TUHAN.” Tradisi di luar Yahudi juga sudah jauh mengenal bahwa saling mengasihi merupakan prinsip hidup mumpuni yang tak terbantahkan. Kasih jelas bukan milik aliran keyakinan atau agama tertentu. Ia universal!

Lantas, apa yang membuat perintah Yesus ini menjadi sebuah perintah baru? Jawabnya sederhana: Kasih itu menjadi baru bagi para murid oleh karena mereka melihat kasih itu menyatu dalam diri Yesus. Kasih itu menjadi hidup karena diperagakan, bukan sebuah teori! Perintah itu menjadi baru karena Yesus mengatakannya, “sama seperti Aku mengasihi kamu…”. Kasih para murid menjadi baru karena aliran kasih yang mereka terima bukan berasal dari sumber lain, kecuali Yesus. Aliran kasih itulah yang harus mereka teruskan kepada yang lain. Karenanya, jika para murid mengasihi satu dengan yang lain, niatnya bukan hanya demi kesejahteraan bersama, bukan pula demi terbangunnya solidaritas komunal, sebab solidaritas komunal bisa salah arah dan menyesatkan: melainkan, dan yang paling utama adalah agar sebanyak mungkin orang mengalami dan merasakan kasih Yesus. Mengasihi bukan semata tuntutan tindakan etis, ia melampaui itu, yakni sebuah tuntutan seorang murid yang telah merasakan sentuhan cinta kasih dari Tuhan dan Gurunya. Hal ini menjadi jelas dalam pernyataan Yesus selanjutnya, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh.13:34).

Untuk menjadi murid Yesus, tidak ada jalan lain selain hidup di dalam kasih. Kasih yang tidak diterjemahkan sebagai sebuah perintah yang membebani hidup seseorang. Mengapa? Karena sebagus apa pun konsep kasih, kalau hal itu ditanggapi sebagai sebuah “perintah”, akan membuatnya menjadi beban. Tidak ada kasih yang tulus kalau ia lahir dari sebuah beban! Oleh karenanya, Yesus memberi contoh dalam hidup-Nya bagaimana kasih itu lahir semata-mata dari kasih yang bersumber kepada Bapa-Nya! Sehingga segala sesuatu yang dikerjakan Yesus lahir dari sebuah kecintaan, sudah pasti menghasilkan yang terbaik.

Salah satu contohnya, Yesus membasuh kaki para murid (Yohanes 13:1-17). Tentu, hal ini dilakukan-Nya bukan untuk mencari sensasi popularitas seperti lazimnya para pejabat dan politisi di  negeri ini. Yesus melakukan pembasuhan itu semata-mata dalam kapasitas integritas-Nya sebagai Mesias yang menghamba. Pembasuhan kaki oleh seorang budak sebelum pesta merupakan kebiasaan umum yang terjadi dalam zaman Yesus. Yang dicuci memang hanya kaki, bukan seluruh tubuh. Tentu mudah dibayangkan bahwa orang yang datang dalam perjamuan pastilah sudah membersihkan diri terlebih dahulu. Hanya saja perjalanan menuju tempat pesta tidak jarang membuat kaki mereka kotor, entah karena debu atau bersentuhan dengan orang atau benda-benda yang tidak bersih. Untuk itulah sebelum orang memasuki tempat perjamuan, terlebih dahulu mereka membasuh kakinya. Gambaran tentang kebiasaan ini dipergunakan juga oleh Yesus ketika Petrus meminta-Nya membasuh seluruh tubuhnya. Yesus menjawabnya bahwa siapa yang telah mandi tidak perlu membasuh diri lagi kecuali bagian kakinya. “Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua.” Pernyataan ini menampakkan pengetahuan Yesus bahwa ada di antara mereka yang tidak bersih atau berhianat.

Walau bagaimana pun, kaki merupakan bagian yang terendah dalam anatomi tubuh. Untuk bagian yang terbawah itu, Yesus membungkukkan diri dan membasuh! “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat.”  Guru dan Tuhan menyatakan jenis dan relasi yang terbangun antara para murid dan Yesus. Yesus adalah Guru sehingga mereka datang mengikuti Yesus untuk mendengarkan pengajaran-Nya. Sebagai seorang Guru, Yesus memiliki juga otoritas atas mereka. Oleh karena itu, Yesus adalah tuan bagi mereka. Baik Guru maupun tuan menunjukkan bahwa Yesus ada di atas mereka. Yesus yang adalah Guru dan Tuan mereka, telah menanggalkan jubah-Nya (baca; kemuliaan dan kekuasaan-Nya) dan menempatkan diri di hadapan mereka sebagai budak! Ia mengerjakan pekerjaan budak, yakni membasuh kaki!

Yesus mewujudkan di dalam diri-Nya apa yang Ia inginkan tumbuh di dalam diri setiap murid-Nya: kerendahan hati, pelayanan dan kasih. Pembasuhan kaki itu oleh Yesus sendiri disebut sebagai sebuah “teladan” atau contoh. Artinya, pembasuhan kaki itu merupakan sebuah cara hidup yang harus dilaksanakan oleh para murid dalam relasi mereka satu dengan yang lain. Mereka harus saling membasuh kaki karena Yesus terlebih dahulu telah melakukannya untuk mereka. Pembasuhan kaki bukan soal meniru tindakan Yesus, melainkan soal melakukan apa yang telah dilakukan Yesus: kerendahan hati, pelayanan dan kasih itu. Ini sebenarnya apa yang kemudian Yesus sebutkan sebagai sebuah perintah baru. Tidak ada sebelumnya seorang Guru bahkan Tuhan yang melakukan seperti Yesus. Kualifikasi integritas cara hidup Yesuslah yang membuat kasih itu nyata-nyata baru. Cara hidup seperti inilah yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mengaku dirinya murid Yesus.   

Namun, sayangnya banyak orang mengaku sebagai murid Yesus, mereka pandai merumuskan dan mengajarkan tentang kasih tetapi tidak tercermin dalam prilakunya sendiri. Mirip kaum shopis yang dikenal sebagai kaum cendekiawan atau guru yang menjajakan kebenaran dalam filsafat hanya karena imbalan kehormatan dan uang. Maka tidak mengherankan kalau konflik dan isu-isu tidak sedap yang lebih bergema ketimbang prilaku cinta kasih itu yang dominan terdengar. Bercermin dari kisah pembasuhan ini, mestinya kita mau belajar dan diajar oleh Yesus: rendah hati, mau melayani dengan cinta kasih yang tulus dan mengerjakan segala sesuatu, meskipun tampaknya kecil namun dilakukan dengan cinta kasih yang besar, percayalah kita akan melihat keajaiban cinta itu!

Martin Luther King Jr, pernah mengatakan, “Apabila seseorang bekerja sebagai penyapu jalan, ia harus menyapu jalan, bahkan seperti Michelangelo melukis, Beethoven mencipta musik, atau Shakespare menulis puisi. Ia harus menyapu jalan dengan begitu baik hingga semua penghuni sorga dan bumi akan berhenti dan berseru, ‘Di sini hidup seorang penyapu jalan yang besar yang melakukan pekerjaannya dengan sangat baik!” Cintalah yang menghasilkan prilaku seperti itu. Cinta kasih adalah energi yang mampu mengikat komitmen menjadi prilaku dan tindakan nyata!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar