Palmarum 2013
“Taat” mengandung pengertian:
senantiasa tunduk, patuh, tidak berlaku curang, setia, disiplin. Sedangkan ketaatan
berarti ketertundukan, kepatuhan, dan kesetiaan seseorang terhadap pihak lain. Jika
dikaitkan dengan kehidupan spiritualitas ketaatan itu tertuju kepada yang ilahi
atau Tuhan. “Ketaatan untuk menderita?” Kalimat tema ini sulit untuk
dimengerti! Mengapa? Lumrahnya orang akan bela-belain
taat kalau ujung-ujungnya ia tahu bahwa di balik ketaatannya itu akan
membuahkan keuntungan bagi dirinya dan orang lain. Orang mentaati peraturan dan
rambu lalu-lintas. Mengapa? Sebab dengan berlaku taat, polisi pasti tidak akan
menilangnya. Dampaknya, ia terhindar dari kecelakaan lalu-lintas. Seorang siswa
taat belajar dan menghormati tata tertib di sekolahnya. Mengapa? Dengan
ketaatan itu, ia berharap mendapatkan keuntungan, yakni mudah mengikuti
pelajaran dan pasti nilainya bagus. Setiap warga negara menghormati dan taat
pada hukum yang berlaku di negaranya. Mengapa? Sebab dengan demikian akan menguntungkan
bagi negara itu: terciptanya ketertiban, keamanan dan kenyamanan. Lha, kalau taat kemudian menderita,
apakah ada orang yang mau melakukannya?
Pada umumnya manusia dapat
melakukan sebuah ketaatan karena dua hal. Pertama,
ia taat karena ada undang-undang atau otoritas di atasnya yang “mengancaman” bahwa
kalau melanggar maka ia akan mendapat sangsi atau hukuman. Konon, undang-undang
atau hukum itu diciptakan agar dapat membatasi dan mengendalikan potensi “liar”
manusia yang bisa mengganggu kenyamanan atau hak orang lain. Contoh, ketika
Anda mengemudikan kendaraan di jalan raya. Anda tidak bisa bebas semaunya
seruduk sana, seruduk sini. Ada aturannya. Ada batas kecepatan, ada jalan yang
tidak boleh dimasuki, ada rambu-rambu yang harus ditaati. Anda tidak bisa bebas. Mengapa? Karena ada
kepentingan orang lain yang harus juga dihormati! Untuk ketaatan seperti ini,
manusia diajak melihat kepentingan dan keuntungan bersama.
Kedua, ketaatan yang didasari oleh cinta kasih. Seorang suami atau
isteri yang saling mencintai, maka mereka otomatis akan taat dan setia. Di mana
pun suami atau istri berada, jauh dari pasangannya, mungkin ada banyak
kesempatan untuk selingkuh tetapi mereka tidak melakukannya. Mengapa? Karena
ada cinta! Ketaatan kepada pasangan idealnya bukan didasari karena takut atau
mengharapkan imbalan. Namun, kenyataannya banyak pasangan suami-isteri
mengembangkan hubungannya didasarkan karena takut! Apa yang terjadi jika
hubungan suami-isteri didasarkan pada takut? Bisa saja di “depan” pasangannya ia berlaku
seolah-olah taat. Namun, di luar sepengetahuan pasangannya banyak tindakan yang
tidak disukai oleh pasangannya justeru dilakukannya.
Seorang murid ketika ia
mencintai gurunya pasti dengan sendirinya akan mengerjakan apa pun yang
diperintahkan sang guru. Tugas yang diberikan oleh sang guru akan dikerjakannya
dengan senang hati. Seorang hamba yang tahu bahwa tuannya mengasihi dirinya,
pasti ia akan taat. Ia akan bersuka cita melayani tuannya, mengerjakan
tugas-tugasnya meskipun berat. Ketaatannya bukan karena terpaksa atau takut
dihukum dan dikurangi bayarannya. Tetapi karena ia ingin menyenangkan sang
tuan. Demikian juga seorang hamba Tuhan yang tahu bahwa Tuhannya mengasihinya,
Tuhannya pasti merancangan rancangan yang baik, maka ia akan melakukan apa
saja, termasuk ketika harus menderita sekalipun, demi menyenangkan Tuhannya
(Yesaya 50:4-9). Cinta kasih yang tulus pasti dengan sendirinya membuahkan
ketaatan kepada yang dicintainya.
Jadi, sebenarnya tema kita
dalam Minggu Palmarum ini tidak menjadi sulit atau aneh jika saja kita meletakkan
ketaatan itu sebagai buah dari cinta.
Ya, cinta kepada Tuhan. Bukankah untuk cinta kepada sesama manusia, kita rela
menderita. Bahkan penderitaan itu tidak lagi dipandang sebagai hal menyakitkan.
Mestinya kita bisa lebih melakukannya untuk Tuhan! Yesus mengajarkan kepada
kita tentang ketaatan itu. Filipi 2:5-11 dengan sangat indah, Paulus
menggambarkan ketaatan Yesus kepada Bapa-Nya sebagai contoh teladan bagi siapa
saya yang mengaku sebagai pengikut-Nya.
Paulus menyebut Yesus bukan
hanya sebagai “Yesus”, melainkan lengkap dengan gelar Kristus atau Mesias.
Artinya, sebagai yang dipilih dan diurapi oleh Allah sendiri. Yesus memiliki
rupa Allah dan setara dengan Allah. Dalam uraiannya, Paulus menegaskan bahwa
Yesus telah meninggalkan status yang sangat tinggi itu demi ketaatan kepada
Bapa-Nya. Hal ini berbeda dengan apa yang dicari manusia pada umumnya dan orang-orang
di Filipi khususnya, yang dengan pelbagai cara berusaha mencari tempat
kedudukan tinggi dan terhormat! Mungkin kita juga sekarang sedang berjuang
mencari tempat kedudukan tinggi dan terhormat. Apa yang salah jika kita
mengejar tempat itu? Sepintas mungkin wajar, tapi ada bahaya besar yang sedang
mengancam. Ketika fokus kita tertuju meraih tempat itu maka kita tidak pernah
bisa memberi ruang kepada orang lain. Kita menjadi tidak nyaman dengan
kehadiran orang lain, apalagi jika ia sukses mengerjakan apa yang selama ini
menjadi mimpi-mimpi kita.
Status terhormat itu
ditinggalkan-Nya. Yesus mengosongkan diri-Nya mengambil rupa seorang hamba,
menjadi manusia yang terbatas. Bahkan ketaatan-Nya dibuktikan dengan
kesengsaraan dan kematian-Nya di kayu salib, yang oleh semua orang dihindari.
Yesus membalikkan paradigma berpikir yang biasanya ada di antara masyarakat, di
antara kita: ingin berkuasa dan terkemuka, serta dihormati dan dilayani! Ketaatan
seorang hamba yang diperagakan Yesus merupakan ketaatan total. Namun, ketaatan total
Yesus itu bukanlah ketaatan membabi buta, yang tidak tahu apa yang akan
terjadi, melainkan ketaatan penuh seorang hamba dengan kesadaran penuh. Ketaatan
yang lahir dari cinta yang terdalam, jauh di lubuk jiwa-Nya kepada Sang Bapa. Ketaatan yang tahu tujuan Bapa-Nya dalam rangka
mengasihi manusia dan dunia ini. Apa buah dari ketaatan Yesus? Singkat kata,
Paulus menjelaskan bahwa Allah meninggikan Dia dan mengaruniakan nama di atas
segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit
dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku:
“Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Fil.2:9-11)
Yesus tidak pernah
mencanangkan tujuan ketaatan diri-Nya yang sampai mati di kayu Salib itu
semata-mata untuk peninggian atau keuntungan diri-Nya. Akan tetapi sungguh pun
itu terjadi sebagai dampak dari ketaatan-Nya. Banyak orang justeru terbalik:
melakukan tindakan seolah-olah taat: beribadah, melakukan segala kebajikan
dengan tujuan pemuliaan dan keuntungan diri sendiri! Jelas, ketaatan seperti
ini tidak lahir dari cinta kasih, melainkan dari ketakutan: kalau tidak taat,
takut tidak dapat sorga! Takut tidak mulia dan dipuji! Kisah berikut
mengajarkan kepada kita untuk mencintai dan mengerjakan segala sesuatu dengan
cinta walaupun terasa sulit dan menyesakan dada.
Pada tahun 1818 di Perancis,
Louis, seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun, sedang duduk dalam
bengkel pembuatan pakaian kuda milik ayahnya. Anak itu mulai senang dan tumbuh
kecintaan akan apa yang dikerjakan sang ayah. “Suatu hari nanti, ayah”, kata
Louis, “saya ingin menjadi pembuat pakaian kuda seperti ayah!”
“Mengapa tidak mulai sekarang?”
kata ayahnya. Ia mengambil sepotong kulit dan menggambarkan sebuah pola
rancangan kepadanya. “Sekarang, putraku,” katanya, “ambilah pahat, alat
pelubang itu serta sebuah martil dan ikutilah rancangan ini, tetapi
berhati-hatilah agar tanganmu tidak terpukul oleh martil itu!”
Dengan senang hati, anak itu
mulai bekerja. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Ketika ia memukul alat
pelubang dengan martil, pukulan martil itu tidak tepat, alat itu melenceng dari
tangannya dan menghujam matanya! Ia tidak dapat melihat dengan mata itu.
kemudian hari, mata yang lainnya tidak dapat berfungsi lagi. Louis mengalami
kebutaan total!
Beberapa minggu kemudian,
Louis sedang duduk di taman keluarga. Ketika itu seorang temannya memberikan
buah cemara. Ia meraba-raba buah cemara itu dengan jari-jarinya yang amat peka,
sebuah gagasan muncul dalam pikirannya. Ia menjadi antusias dan mulailah saat
itu ia menciptakan abjad dalam bentuk titik-titik timbul pada kertas sehingga
orang buta dapat merasakan dan menafsirkan apa yang ditulis. Dengan pengalaman
hidupnya itu Louis Braille membuka lebar suatu dunia baru bagi orang buta!
Tentu, sang ayah tidak menginginkan anaknya, Louis mengalami kebutaan sejak
usia yang sangat muda. Ia tidak merancangkan hal buruk. Louis pun tidak pernah
bercita-cita menjadi penemu huruf Braille. Namun, melaluinya Tuhan memberikan
jalan agar orang yang tidak melihat kini memungkinkan mengenal dunia. Braille
dikenang sepanjang zaman.
Berusahalah
untuk mencintai Tuhan, maka ketaatan itu akan datang dengan sendirinya. Setiap orang
yang mencintai Tuhan pasti akan berbuat, melakukan segala sesuatu dengan
sebaik-baiknya bukan dengan keterpaksaan! Sekalipun mungkin saja ia mengalami
hal-hal yang tidak menyenangkan bahkan mungkin orang lain akan mengatakannya “bodoh”,
namun ia tetap setia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar