Rabu, 27 Maret 2013

KEMATIAN KRISTUS MEMBAWA KEHIDUPAN

 Jumat Agung 2013


Sebuah peristiwa mengharukan baru-baru ini terjadi di Jepang. Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun yang terbaring di Rumah Sakit Universitas Toyama. Kedua orang tuanya mencium kening sang anak untuk mengucapkan selamat tinggal. Anak itu akan segera dicabut alat bantu hidupnya. Menurut dokter, anak itu sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Dia adalah orang pertama dalam sejarah medis Jepang yang dinyatakan "mati otak" - sebuah kondisi dimana tubuhnya masih bernapas dan organ-organ lainnya berfungsi dengan baik, tapi otaknya sudah tidak berfungsi.

Atas persetujuan orang tuanya, anak ini telah dibiarkan meninggal. Tapi karena tidak mau kepergiannya sia-sia, maka organ-organ penting seperti bola mata, jantung, hati, paru-paru dan ginjal akan diangkat dan didonorkan ke pasien-pasien yang membutuhkannya. Sampai sekarang, sudah 3 orang yang tertolong setelah menerima transplantasi organnya. Para dokter dan perawat membungkuk untuk memberikan penghormatan mereka (sumber www.jepang.net).

Saya tidak dapat membayangkan apabila saya sendiri yang menjadi ayah anak tersebut. Merelakannya “pergi”, oh.. tidak! Hal ini sungguh berat dan menyakitkan! Pada umumnya setiap orang tua pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan buah hatinya. Berat dan menyakitkan! Mungkin itulah, kalau boleh menduga perasaan Bapa di Sorga ketika merelakan Anak-Nya, Yesus Kristus menanggung penderitaan untuk dunia ini. Walau menyakitkan, orang tua anak 6 tahun itu realistis. Tidak mungkin anaknya dipertahankan dalam kondisi “mati otak”. Mereka sadar, anaknya masih punya kesempatan pada saat-saat terakhir untuk menjadi berkat bagi anak-anak lain. Keputusan orang tua ini membuat setidaknya tiga anak lain yang mengalami kelainan organ tubuh masih bisa melangsungkan kehidupannya. Kematian sang anak, walau menyakitkan namun telah memberi kehidupan bagi yang lain.

Sang anak yang mengalami kematian otaknya pasti tidak menyadari apa yang diputuskan orang tuanya bersama tim medis Universitas Toyama. Ia hanya tinggal pasrah menerima “nasib”. Berbeda dengan Yesus yang menanggapi rencana Bapa-Nya. Ia sadar sesadar-sadarnya, pergumulan-Nya di Taman Getsemani jelas mengindikasikan bahwa Yesus tahu apa yang akan terjadi. Ia harus menjalani via dolorosa, jalan penderitaan yang berujung maut di kayu salib. Yesus taat kepada Bapa-Nya, “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya,...(Iberani 5:8). Ketaatan kepada “skenario” Sang Bapa sangat jelas ketika kita membaca kisah penyaliban ini dalam Injil Yohanes. Berbeda dengan Injil sinoptik, kisah penyaliban di Yohanes tidak ada olok-olok terhadap Yesus, tidak ada penjahat yang bertobat, tidak ada kegelapan, tidak ada penghitungan jam, tidak ada tabir Bait Allah yang terbelah, tidak ada seruan kenestapaan, tidak ada gempa, tidak ada kubur-kubur yang terbuka, tidak ada perwira yang mengakui Yesus sebagai Anak Allah.

Jalan salib yang ditempuh Yesus adalah jalan salib personal. Ia sendiri yang menanggug susah payah salib sebagai bagian dari cawan yang diberikan oleh Bapa-Nya. Tidak disebutkan bantuan Simon dari Kirene. Tidak tampil para wanita yang menangis seperti dalam Injil Lukas. Dalam Injil Yohanes, jalan salib itu bukan soal sentimen religius atau tindakan pertobatan. Jalan salib adalah jalan menuju kemuliaan dengan menaati sepenuhnya rencana Bapa. Ia mengerti dengan cara menanggung kesengsaraan dan kematian itulah Ia akan kembali kepada Bapa-Nya.

Sekarang kita tengok Sang Bapa. Berbeda dengan sikap orang tua anak itu; mereka mengambil keputusan untuk mencabut alat bantu kehidupan dan mendonorkan organ-organ tubuhnya karena sudah tidak ada pilihan hidup untuk anak mereka, sedangkan Allah Bapa menghendakinya dari semula, “Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan....” (Yesaya 53:10) supaya oleh kematian-Nya, manusia berdosa dapat diselamatkan! Tentu, tindakan Allah ini bukan dilandasi oleh kemarahan dan kebencian terhadap Anak-Nya, melainkan karena kasih. Karena kasih-Nya yang sedemikian besar, Ia merelakan Anak-Nya, Yesus Kristus yang tidak mengenal dosa, menjadi penebus salah.
Saya mencoba berpikir dari pihak anak-anak penerima donor sehingga masih bisa melangsungkan kehidupan ini. Ketika mengetahui bahwa saya bisa hidup oleh karena ada orang yang rela berkorban memberikan salah satu organ tubuhnya untuk saya, pastilah saya akan sangat berterimakasih kepada orang itu meskipun saya tahu bahwa tindakannya itu dilakukan karena ia sudah tidak punya peluang untuk melangsungkan kehidupan. Betapa lebihnya, jika saya tahu bahwa Allah Bapa itu dengan rencangan yang cermat, bukan karena tindakan terpaksa, telah mengorbankan Anak-Nya sendiri agar saya mendapatkan kesempatan “hidup kekal”, maka tidak ada kata yang tepat selain bersyukur!

Bersyukur dengan cara apa? Melakukan kehendak Bapa seperti yang dilakukan Yesus dengan sukacita, bukan dengan keterpaksaan. Kita semua bagaikan orang-orang yang menerima “donor”, diberi kesempatan hidup lagi dengan kematian-Nya. Mestinya seluruh hidup kita dipersembahkan kepada-Nya sebagai ungkapan syukur!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar