Jumat Agung 2013

Atas persetujuan orang tuanya,
anak ini telah dibiarkan meninggal. Tapi karena tidak mau kepergiannya sia-sia,
maka organ-organ penting seperti bola mata, jantung, hati, paru-paru dan ginjal
akan diangkat dan didonorkan ke pasien-pasien yang membutuhkannya. Sampai
sekarang, sudah 3 orang yang tertolong setelah menerima transplantasi organnya.
Para dokter dan perawat membungkuk untuk memberikan penghormatan mereka (sumber
www.jepang.net).
Saya tidak dapat membayangkan
apabila saya sendiri yang menjadi ayah anak tersebut. Merelakannya “pergi”, oh..
tidak! Hal ini sungguh berat dan menyakitkan! Pada umumnya setiap orang tua
pasti akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan buah hatinya. Berat dan
menyakitkan! Mungkin itulah, kalau boleh menduga perasaan Bapa di Sorga ketika
merelakan Anak-Nya, Yesus Kristus menanggung penderitaan untuk dunia ini. Walau
menyakitkan, orang tua anak 6 tahun itu realistis. Tidak mungkin anaknya
dipertahankan dalam kondisi “mati otak”. Mereka sadar, anaknya masih punya
kesempatan pada saat-saat terakhir untuk menjadi berkat bagi anak-anak lain. Keputusan
orang tua ini membuat setidaknya tiga anak lain yang mengalami kelainan organ
tubuh masih bisa melangsungkan kehidupannya. Kematian sang anak, walau
menyakitkan namun telah memberi kehidupan bagi yang lain.
Sang anak yang mengalami
kematian otaknya pasti tidak menyadari apa yang diputuskan orang tuanya bersama
tim medis Universitas Toyama. Ia hanya tinggal pasrah menerima “nasib”. Berbeda
dengan Yesus yang menanggapi rencana Bapa-Nya. Ia sadar sesadar-sadarnya,
pergumulan-Nya di Taman Getsemani jelas mengindikasikan bahwa Yesus tahu apa
yang akan terjadi. Ia harus menjalani via
dolorosa, jalan penderitaan yang berujung maut di kayu salib. Yesus taat
kepada Bapa-Nya, “Dan sekalipun Ia adalah
Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya,...(Iberani
5:8). Ketaatan kepada “skenario” Sang Bapa sangat jelas ketika kita membaca
kisah penyaliban ini dalam Injil Yohanes. Berbeda dengan Injil sinoptik, kisah
penyaliban di Yohanes tidak ada olok-olok terhadap Yesus, tidak ada penjahat
yang bertobat, tidak ada kegelapan, tidak ada penghitungan jam, tidak ada tabir
Bait Allah yang terbelah, tidak ada seruan kenestapaan, tidak ada gempa, tidak
ada kubur-kubur yang terbuka, tidak ada perwira yang mengakui Yesus sebagai
Anak Allah.
Jalan salib yang ditempuh
Yesus adalah jalan salib personal. Ia sendiri yang menanggug susah payah salib
sebagai bagian dari cawan yang diberikan oleh Bapa-Nya. Tidak disebutkan
bantuan Simon dari Kirene. Tidak tampil para wanita yang menangis seperti dalam
Injil Lukas. Dalam Injil Yohanes, jalan salib itu bukan soal sentimen religius
atau tindakan pertobatan. Jalan salib adalah jalan menuju kemuliaan dengan
menaati sepenuhnya rencana Bapa. Ia mengerti dengan cara menanggung
kesengsaraan dan kematian itulah Ia akan kembali kepada Bapa-Nya.
Sekarang kita tengok Sang
Bapa. Berbeda dengan sikap orang tua anak itu; mereka mengambil keputusan untuk
mencabut alat bantu kehidupan dan mendonorkan organ-organ tubuhnya karena sudah
tidak ada pilihan hidup untuk anak mereka, sedangkan Allah Bapa menghendakinya
dari semula, “Tetapi TUHAN berkehendak
meremukkan dia dengan kesakitan....” (Yesaya 53:10) supaya oleh
kematian-Nya, manusia berdosa dapat diselamatkan! Tentu, tindakan Allah ini
bukan dilandasi oleh kemarahan dan kebencian terhadap Anak-Nya, melainkan
karena kasih. Karena kasih-Nya yang sedemikian besar, Ia merelakan Anak-Nya,
Yesus Kristus yang tidak mengenal dosa, menjadi penebus salah.
Saya mencoba berpikir dari
pihak anak-anak penerima donor sehingga masih bisa melangsungkan kehidupan ini.
Ketika mengetahui bahwa saya bisa hidup oleh karena ada orang yang rela
berkorban memberikan salah satu organ tubuhnya untuk saya, pastilah saya akan
sangat berterimakasih kepada orang itu meskipun saya tahu bahwa tindakannya itu
dilakukan karena ia sudah tidak punya peluang untuk melangsungkan kehidupan. Betapa
lebihnya, jika saya tahu bahwa Allah Bapa itu dengan rencangan yang cermat,
bukan karena tindakan terpaksa, telah mengorbankan Anak-Nya sendiri agar saya
mendapatkan kesempatan “hidup kekal”, maka tidak ada kata yang tepat selain
bersyukur!
Bersyukur dengan cara apa? Melakukan
kehendak Bapa seperti yang dilakukan Yesus dengan sukacita, bukan dengan
keterpaksaan. Kita semua bagaikan orang-orang yang menerima “donor”, diberi
kesempatan hidup lagi dengan kematian-Nya. Mestinya seluruh hidup kita
dipersembahkan kepada-Nya sebagai ungkapan syukur!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar