Selasa, 05 Maret 2013

PENGAMPUNAN ITU MEMULIHKAN


Dalam komentarnya, B.J. Boland mengatakan Injil Lukas pasal 15, khususnya ayat 11-32 adalah Injil di dalam Injil. Judul “Anak Yang Hilang”, menurutnya dirasa kurang tepat, sebab peran utama dalam kisah ini bukanlah si bungsu yang meminta bagian warisannya kemudian berfoya-foya di negeri orang bersama para pelacur, melainkan bapa yang penuh kasih.

Kisah perumpamaan ini mengambil kisah yang bisa saja terjadi dalam hidup sehari-hari. Dari dahulu banyak orang Yahudi meninggalkan negerinya karena faktor ekonomi, untuk mencari nafkah di luar negeri. Menurut adat sedapat mungkin harta yang tidak bergerak (tanah dan rumah) tidak dapat dibagi (bnd. Imamat 25:23-28). Jadi dalam kisah perumpamaan itu, si  bungsu meminta dari bapanya sepertiga dari “harta yang bergerak” (anak sulung mendapat dua pertiga: Ulangan 21:17). Di waktu berbagi harta itu, pada saat si bapa masih hidup, maka anak sulung mendapat harta tidak bergerak, sehingga si bapa tidak boleh menjualnya lagi, namun demikian hak pemakaiannya masih berada di tangan si bapa sampai ia meninggal.

Permintaan si bungsu bisa dibilang kasar dan keterlaluan, walapun belum termasuk tindakan berdosa. Perumpaman itu tidak menyebutkan bahwa si bungsu membenci ayah dan kakaknya, namun yang terjadi kemudian, hasil dari pembagian harta itu ia gunakan untuk berfoya-foya, hidup dalam hedonisme yang merusak, merugikan dan membinasakan dirinya. Dalam taraf ini si bungsu berdosa.

Kemudian timbullah kelaparan di negeri itu, sehingga si bungsu juga mengalami kebangkrutan. Ia terpaksa bekerja pada seseorang yang memelihara banyak babi. Itu benar-benar aib; seorang muda Yahudi dari lingkungan orang terpandang, harus menjadi hamba seorang kafir dan menjadi penjaga binatang-binatang yang menurut adat dan hukum agama Yahudi merupakan binatang haram (Imamat 11:7). Namun, untungnya kesengsaraan yang dialaminya tidak menyebabkan dia putus asa dan bunuh diri. Ia teringat akan kondisi bapanya. Bapa yang kaya, penuh kasih dan kebaikan. Lalu ia menyadari keadaannya, ia sadar dan bertobat!

Si bungsu mengambil keputusan yang radikal untuk kembali kepada bapanya. Ia insaf bahwa dirinya telah merusak hubungan baik dengan bapa. Sebab itu ia bertekad akan meminta kepada bapanya supaya dijadikan salah satu budaknya. Apa yang dipikirkan si bungsu ini tidak berhenti dalam angan-angan. Ia memberanikan diri pulang! Itulah bertobat, menyesal dan kembali, apa pun resikonya!

Setelah bertemu dengan sang bapa, ternyata jauh dari yang ia pikir dan harapkan. Sebab si bapa telah lama sekali menantikan kembalinya si bungsu. Walau telah mengalami perubahan dasyat dari si bungsu. Bisa dibayangkan ketika ia pergi meninggalkan bapanya. Pasti tampangnya gagah, pakaiannya perlente dengan bekal uang sangat banyak, kini ia datang dengan pakaian compang-camping, kurus karena kurang makan. Sangat drastis dan tragis! Namun, si bapa masih mengenalinya. Bahkan jauh sebelum sampai rumah, bapanya berlari menyambut si bungsu yang pulang. Ia memeluk dan menciumnya sebagai tanda pengampunan sebelum si anak itu sendiri mengatakan sesuatu!

Si bungsu akhirnya mengutarakan penyesalannya, ia tidak layak lagi disebut anak bapa. Maka ia memohon untuk dijadikan salah seorang dari hamba-hambanya. Alih-alih mengabulkan permintaan si bungsu, bapanya memberikan jubah, sepatu dan mengenakan cincin. Kemudian memerintahkan seisi rumahnya mengadakan pesta perjamuan untuk menyambut anaknya yang hilang kini telah kembali! Ia yang sudah dianggap mati kini hidup kembali!

Ketika pesta itu dimulai, pulanglah si anak sulung dari pekerjaannya di ladang. Ia mendengar ingar-bingar suara pesta. Dari salah seorang hamba, si sulung mendengar kabar bahwa adiknya kini telah kembali. Si sulung menjadi marah, terutama karena sikap bapanya terhadap si bungsu. Si sulung menjelaskan sebab kemarahannya. Ia merasa bahwa dirinya selama ini selalu setia melayani bapa (yakni seperti seorang budak!) dan tidak pernah melanggar perintah bapa. “Tetapi”, kata si sulung “anak bapa itu (ungkapan ini mengandung hinaan dan sindiran, dan agaknya ia tidak suka menyebutnya ‘adik saya!’) telah menghabiskan harta kekayaan bapa dan bergaul dengan pelacur-pelacur! Untuk anak semacam ini, bapa sembelihkan dua anak lembu gemuk, tetapi untuk saya, bapa tidak pernah memberikan kesempatan untuk berpesta dengan teman-teman saya, bahkan anak kambing yang tidak berharga pun tidak pernah bapa berikan kepada saya!”

Dengan keterharuan yang besar, si bapa kira-kira menjawab saebagai berikut (Luk.15:31-32), “Ah, anak kesayanganku, bukankah engkau selalu ada bersama-sama dengan aku, dan segala yang ada padaku ini bukankah kepunyaanmu juga?” Dengan perkataan lain: “bukankah engkau turut sebagai yang empunya? Kepadamu tidak usah saya beri apa-apa lagi; engkau dapat mengambilnya begitu saja apa yang engkau kehendaki, sebab bukankah hubungan kita adalah cinta-kasih dan kepercayaan? Engkau bukan budakku tetapi anakku! Jadi jangan marah! Tidak bisa tidak saya harus bersukaria, dan sebenarnya engkau patut bergirang hati bersama-sama kami, sebab memanglah adikmu yang pulang itu (walaupun engkau tidak suka menyebutnya adik), dia seakan-akan sudah mati tadinya, tetapi sudah diketemukan sekarang, ia hidup lagi!”

Boland melanjutkan komentarnya: Ditinjau dari konteks Yesus, boleh dikatakan bahwa anak sulung itu adalah gambaran orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat di kalangan Yahudi (tentu tidak semua orang Yahudi –red). Seangkan anak bungsu itu pemungut-pemungut cukai dan orang-orang berdosa (yang mau bertobat –red). Jadi perumpamaan itu pertama-tama ditujukan kepada orang-orang seperti “anak sulung”, yakni orang-orang yang menjadi marah ketika mendengar Injil tentang kasih karunia Allah Bapa. Kasih karunia itu terwujud dalam pengutusan Yesus Kristus. Di dalam Dia, Allah Bapa telah memperlihatkan betapa besarnya kasih dan anugerah-Nya kepada orang-orang berdosa. Selama ini mereka menyangka dirinya adalah orang-orang benar karena melakukan apa yang diperintahkan Allah dan karena itu mereka pantas dan berhak menerima kasih dan anugerah-Nya.

Perumpamaan ini juga merupakan cermin di depan kita. Apakah kita sendiri seperti “si anak bungsu” itu, artinya sebagai orang-orang yang menjadi sadar akan kasih karunia Allah? Sehingga dengan demikian memberanikan diri untuk meninggalkan cara hidup lama yang berkanjang dan menikmati dosa. Lalu kini, bukan hanya merenungkan saja tentang kebaikan Bapa, melainkan berani beranjak mencari jalan pulang dan menemukan kembali kasih Bapa itu? Banyak orang sadar akan dosa-dosanya. Dalam hatinya masih punya iman bahwa Allah Bapa pasti mau mengampuni. Namun, tidak cukup keberanian untuk berkata “tidak” pada dosa yang sedang ia nikmati. Akhirnya kesempatan berlalu begitu saja.

Ingatlah, yang dibutuhkan adalah keberanian dari kita. Berani untuk putus hubungan dengan dosa! Berani mengakui kesalahan, seperti pemazmur mengatakan, “Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan: aku berkata: ‘Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku,’ dan Engkau mengampuni aku.”(Mazmur 32:5) Tuhan tidak menuntut lebih. Pengampunan dan pemulihan akan Dia berikan jika kita tulus dan tidak berjiwa penipu (Mzm 32:2). Bahkan Dia, seperti perumpamaan di atas, tidak memperhitungkan pelanggaran kita. Paulus pernah mengatakan, “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka...” (2 Korintus 5:19). Jadi, setiap orang yang berani “pulang” maka sebenarnya kini ia menjadi manusia ciptaan baru. Dulu, seperti anak yang hilang, telah mati dan kini hidup kembali. Kasih Allah Bapa di dalam Kristus itulah yang memungkinkan kita lahir kembali, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru; yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Kor. 5:17)

Perumpamaan ini pun bisa mengingatkan kita, apakah kita saat ini seperti “anak sulung” itu? Artinya sebagai orang-orang yang secara lahiriah melayani dan mentaati Allah Bapa. Sibuk melayani ini dan itu. Dengan demikian kita merasa punya “hak” untuk marah dan menggugat Bapa. Marah kalau ada orang berdosa disambut dan diberkati. Tidak rela kalau ada orang yang menurut penilaiannya kurang saleh tetapi lebih terberkati. Menggugat Allah untuk senantiasa memenuhi segala keinginannya. Jika kondisi kita saat ini seperti itu, maka sebenarnya kita pun sedang dalam keadaan ‘terhilang”. Ya, hilang dari jangkauan kasih Allah Bapa yang sebenarnya sangat kaya dan dalam! Ingat Allah Bapa menghendaki kita turut bergirang hati kalau kasih-Nya menjangkau orang yang paling berdosa sekali pun! Jangan marah karena itulah sifat kasih dan anugerah-Nya yang tidak bisa dipenjarakan oleh logika bahkan dogmatika manusia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar