Dalam komentarnya, B.J. Boland
mengatakan Injil Lukas pasal 15, khususnya ayat 11-32 adalah Injil di dalam
Injil. Judul “Anak Yang Hilang”, menurutnya dirasa kurang tepat, sebab peran
utama dalam kisah ini bukanlah si bungsu yang meminta bagian warisannya kemudian
berfoya-foya di negeri orang bersama para pelacur, melainkan bapa yang penuh
kasih.
Kisah perumpamaan ini mengambil
kisah yang bisa saja terjadi dalam hidup sehari-hari. Dari dahulu banyak orang
Yahudi meninggalkan negerinya karena faktor ekonomi, untuk mencari nafkah di
luar negeri. Menurut adat sedapat mungkin harta yang tidak bergerak (tanah dan
rumah) tidak dapat dibagi (bnd. Imamat 25:23-28). Jadi dalam kisah perumpamaan
itu, si bungsu meminta dari bapanya
sepertiga dari “harta yang bergerak” (anak sulung mendapat dua pertiga: Ulangan
21:17). Di waktu berbagi harta itu, pada saat si bapa masih hidup, maka anak
sulung mendapat harta tidak bergerak, sehingga si bapa tidak boleh menjualnya
lagi, namun demikian hak pemakaiannya masih berada di tangan si bapa sampai ia
meninggal.
Permintaan si bungsu bisa
dibilang kasar dan keterlaluan, walapun belum termasuk tindakan berdosa. Perumpaman
itu tidak menyebutkan bahwa si bungsu membenci ayah dan kakaknya, namun yang
terjadi kemudian, hasil dari pembagian harta itu ia gunakan untuk berfoya-foya,
hidup dalam hedonisme yang merusak, merugikan dan membinasakan dirinya. Dalam taraf
ini si bungsu berdosa.
Kemudian timbullah kelaparan
di negeri itu, sehingga si bungsu juga mengalami kebangkrutan. Ia terpaksa
bekerja pada seseorang yang memelihara banyak babi. Itu benar-benar aib;
seorang muda Yahudi dari lingkungan orang terpandang, harus menjadi hamba
seorang kafir dan menjadi penjaga binatang-binatang yang menurut adat dan hukum
agama Yahudi merupakan binatang haram (Imamat 11:7). Namun, untungnya
kesengsaraan yang dialaminya tidak menyebabkan dia putus asa dan bunuh diri. Ia
teringat akan kondisi bapanya. Bapa yang kaya, penuh kasih dan kebaikan. Lalu ia
menyadari keadaannya, ia sadar dan bertobat!
Si bungsu mengambil keputusan
yang radikal untuk kembali kepada bapanya. Ia insaf bahwa dirinya telah merusak
hubungan baik dengan bapa. Sebab itu ia bertekad akan meminta kepada bapanya
supaya dijadikan salah satu budaknya. Apa yang dipikirkan si bungsu ini tidak
berhenti dalam angan-angan. Ia memberanikan diri pulang! Itulah bertobat,
menyesal dan kembali, apa pun resikonya!
Setelah bertemu dengan sang
bapa, ternyata jauh dari yang ia pikir dan harapkan. Sebab si bapa telah lama
sekali menantikan kembalinya si bungsu. Walau telah mengalami perubahan dasyat
dari si bungsu. Bisa dibayangkan ketika ia pergi meninggalkan bapanya. Pasti
tampangnya gagah, pakaiannya perlente dengan bekal uang sangat banyak, kini ia
datang dengan pakaian compang-camping, kurus karena kurang makan. Sangat drastis
dan tragis! Namun, si bapa masih mengenalinya. Bahkan jauh sebelum sampai
rumah, bapanya berlari menyambut si bungsu yang pulang. Ia memeluk dan
menciumnya sebagai tanda pengampunan sebelum si anak itu sendiri mengatakan
sesuatu!
Si bungsu akhirnya
mengutarakan penyesalannya, ia tidak layak lagi disebut anak bapa. Maka ia
memohon untuk dijadikan salah seorang dari hamba-hambanya. Alih-alih
mengabulkan permintaan si bungsu, bapanya memberikan jubah, sepatu dan
mengenakan cincin. Kemudian memerintahkan seisi rumahnya mengadakan pesta perjamuan
untuk menyambut anaknya yang hilang kini telah kembali! Ia yang sudah dianggap
mati kini hidup kembali!
Ketika pesta itu dimulai,
pulanglah si anak sulung dari pekerjaannya di ladang. Ia mendengar ingar-bingar
suara pesta. Dari salah seorang hamba, si sulung mendengar kabar bahwa adiknya
kini telah kembali. Si sulung menjadi marah, terutama karena sikap bapanya
terhadap si bungsu. Si sulung menjelaskan sebab kemarahannya. Ia merasa bahwa
dirinya selama ini selalu setia melayani bapa (yakni seperti seorang budak!)
dan tidak pernah melanggar perintah bapa. “Tetapi”, kata si sulung “anak bapa
itu (ungkapan ini mengandung hinaan dan sindiran, dan agaknya ia tidak suka
menyebutnya ‘adik saya!’) telah menghabiskan harta kekayaan bapa dan bergaul
dengan pelacur-pelacur! Untuk anak semacam ini, bapa sembelihkan dua anak lembu
gemuk, tetapi untuk saya, bapa tidak pernah memberikan kesempatan untuk
berpesta dengan teman-teman saya, bahkan anak kambing yang tidak berharga pun
tidak pernah bapa berikan kepada saya!”
Dengan keterharuan yang besar,
si bapa kira-kira menjawab saebagai berikut (Luk.15:31-32), “Ah, anak
kesayanganku, bukankah engkau selalu ada bersama-sama dengan aku, dan segala
yang ada padaku ini bukankah kepunyaanmu juga?” Dengan perkataan lain: “bukankah
engkau turut sebagai yang empunya? Kepadamu tidak usah saya beri apa-apa lagi;
engkau dapat mengambilnya begitu saja apa yang engkau kehendaki, sebab bukankah
hubungan kita adalah cinta-kasih dan kepercayaan? Engkau bukan budakku tetapi
anakku! Jadi jangan marah! Tidak bisa tidak saya harus bersukaria, dan
sebenarnya engkau patut bergirang hati bersama-sama kami, sebab memanglah
adikmu yang pulang itu (walaupun engkau tidak suka menyebutnya adik), dia
seakan-akan sudah mati tadinya, tetapi sudah diketemukan sekarang, ia hidup
lagi!”
Boland melanjutkan
komentarnya: Ditinjau dari konteks Yesus, boleh dikatakan bahwa anak sulung itu
adalah gambaran orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat di kalangan Yahudi
(tentu tidak semua orang Yahudi –red). Seangkan anak bungsu itu
pemungut-pemungut cukai dan orang-orang berdosa (yang mau bertobat –red). Jadi perumpamaan
itu pertama-tama ditujukan kepada orang-orang seperti “anak sulung”, yakni
orang-orang yang menjadi marah ketika mendengar Injil tentang kasih karunia
Allah Bapa. Kasih karunia itu terwujud dalam pengutusan Yesus Kristus. Di dalam
Dia, Allah Bapa telah memperlihatkan betapa besarnya kasih dan anugerah-Nya
kepada orang-orang berdosa. Selama ini mereka menyangka dirinya adalah
orang-orang benar karena melakukan apa yang diperintahkan Allah dan karena itu
mereka pantas dan berhak menerima kasih dan anugerah-Nya.
Perumpamaan ini juga merupakan
cermin di depan kita. Apakah kita sendiri seperti “si anak bungsu” itu, artinya
sebagai orang-orang yang menjadi sadar akan kasih karunia Allah? Sehingga dengan
demikian memberanikan diri untuk meninggalkan cara hidup lama yang berkanjang
dan menikmati dosa. Lalu kini, bukan hanya merenungkan saja tentang kebaikan
Bapa, melainkan berani beranjak mencari jalan pulang dan menemukan kembali
kasih Bapa itu? Banyak orang sadar akan dosa-dosanya. Dalam hatinya masih punya
iman bahwa Allah Bapa pasti mau mengampuni. Namun, tidak cukup keberanian untuk
berkata “tidak” pada dosa yang sedang ia nikmati. Akhirnya kesempatan berlalu
begitu saja.
Ingatlah, yang dibutuhkan
adalah keberanian dari kita. Berani untuk putus hubungan dengan dosa! Berani
mengakui kesalahan, seperti pemazmur mengatakan, “Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan:
aku berkata: ‘Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku,’ dan
Engkau mengampuni aku.”(Mazmur 32:5) Tuhan tidak menuntut lebih.
Pengampunan dan pemulihan akan Dia berikan jika kita tulus dan tidak berjiwa
penipu (Mzm 32:2). Bahkan Dia, seperti perumpamaan di atas, tidak
memperhitungkan pelanggaran kita. Paulus pernah mengatakan, “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan
diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka...”
(2 Korintus 5:19). Jadi, setiap orang yang berani “pulang” maka sebenarnya kini
ia menjadi manusia ciptaan baru. Dulu, seperti anak yang hilang, telah mati dan
kini hidup kembali. Kasih Allah Bapa di dalam Kristus itulah yang memungkinkan kita
lahir kembali, “Jadi siapa yang ada di
dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru; yang lama sudah berlalu, sesungguhnya
yang baru sudah datang.” (2 Kor. 5:17)
Perumpamaan ini pun bisa mengingatkan kita, apakah
kita saat ini seperti “anak sulung” itu? Artinya sebagai orang-orang yang
secara lahiriah melayani dan mentaati Allah Bapa. Sibuk melayani ini dan itu. Dengan
demikian kita merasa punya “hak” untuk marah dan menggugat Bapa. Marah kalau
ada orang berdosa disambut dan diberkati. Tidak rela kalau ada orang yang
menurut penilaiannya kurang saleh tetapi lebih terberkati. Menggugat Allah
untuk senantiasa memenuhi segala keinginannya. Jika kondisi kita saat ini
seperti itu, maka sebenarnya kita pun sedang dalam keadaan ‘terhilang”. Ya,
hilang dari jangkauan kasih Allah Bapa yang sebenarnya sangat kaya dan dalam!
Ingat Allah Bapa menghendaki kita turut bergirang hati kalau kasih-Nya
menjangkau orang yang paling berdosa sekali pun! Jangan marah karena itulah
sifat kasih dan anugerah-Nya yang tidak bisa dipenjarakan oleh logika bahkan
dogmatika manusia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar