Jumat, 01 Maret 2013

PENCARIAAN AKAN TUHAN MENDATANGKAN PERTOBATAN


Harian Nasional Kompas (1 Maret 2013) mengulas “Sisi Lain Senayan” dengan judul , Kampung Maling. Istilah itu sempat memicu kericuhan dalam rapat kerja gabungan Jaksa Agung (saat itu) Abdul Rahman Saleh dengan Komisi II dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat pada 17 Februari 2005. Saat itu, anggota Komisi III, Anhar mengatakan, “Jangan sampai Bapak Jaksa Agung seperti ustadz di kampung maling.  Anhar mengatakan hal itu untuk meminta Jaksa Agund lebih serius menindak bawahannya yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Namun, Jaksa Agung keberatan dengan istilah itu dan meminta Anhar mencabut omongannya.

Mungkin terinspirasi oleh peristiwa itu, buku memoar Abdul Ramhan saat menjadi Jaksa Agung diberi judul, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz; Memoar 930 hari di Puncak Gedung Bundar. Tidak hanya Abdul Rahman yang keberatan dengan istilah kampung maling, pada 17 Oktober 2012, Ketua DPR Marzuki Alie juga keberatan jika parlemen disebut dengan kampong maling. Pernyataan itu disapaikan Marzuki menanggapi tudingan maraknya korupsi di lingkungan DPR. Buktinya ada sejumlah anggota DPR yang harus diproses hukum karena kasus korupsi.

Siapa pun tidak menginginkan dan tidak rela kalau “Rumah Rakyat” Senaya atau lebih tepatnya parlemen kita diberi gelar baru yakni “kampong maling”. Namun, hal ini sulit dihindari oleh karena kenyataan membuktikan demikianlah prilaku yang sedang kita saksikan! Mungkin ada politisi yang membantah dan mengatakan, itukan hanya sebagian kecil oknum, masih banyak anggota dewan yang jujur! Bisakah citra buruk itu ditepis dengan sebuah kalimat seperti itu? Saya kira sulit! Nyanyian mantan bendahara umum Partai Demokrat, Nazarrudin satu per satu menjadi kenyataan. Ia tidak mau dibui sendiri, kini ia menyeret rekannya untuk diadili! Bagaimana mungkin Partai yang mengusung slogan anti korupsi, namun para petingginya sekarang sedang berhadapan dengan vonis korupsi.

Semua partai dan politisi di Indonesia mempunyai slogan, visi, misi bagus. Menjanjikan mengutamakan rakyat, mengedepankan keadilan, pemberantasan korupsi, menjunjung tinggi demokrasi, dan yang sejenis dengan itu. Nyatanya? Antara slogan dan janji kampanye jauh panggang dari api! Kalau di bidang politik orang sudah mafhum, banyak prilaku anomaly. Karena citra politik  sudah tersandera dengan mendapatkan, memperluas dan mempertahankan kekuasaan. Namun, bagaimana dengan aspek-aspek lainnya? Agama, misalnya? Kalau mau jujur, tidak jauh beda! Sewaktu saya kecil, SD, bapak-ibu guru mengajarkan bahwa Indonesia adalah negeri yang menjunjung tinggi gotong-royong, bangsa yang ramah-tamah, toleran dan agamis. Pertanyaanya, apakah semboyan itu sekarang tepat? Apakah pendidikan iman atau tepatnya agama itu kini menghasilkan buah yang diharapkan? Mungkin jawabannya “ya” tapi itu minoritas. Hasil survey beberapa lembaga survey di negeri ini (antara lain, Indonesian Legal Resource Centre dan Centre of Strategic and International Studies; yang dirilis Juni-Juli 2012) hal ini mengisyaratkan bahwa makin kemari masyarakat Indonesia makin tidak toleran dan jauh dari nilai-nilai luhur keberagamaan itu!

Sementara kementrian pendidikan dan kebudayaan kini sedang sibuk mengubah kurikulum yang ada dengan kurikulum baru yang memperbanyak jam pendidikan agama yang konon katanya untuk memperbaiki prilaku anak bangsa. Di beberapa daerah diberlakukan perda-perda beraroma agama. Namun, kenyataannya prilaku kejahatan tetap meningkat. Apa yang salah? Yang keliru adalah bahwa pencarian akan Tuhan hanya mengutamakan “baju”-nya saja! Yakni, dengan memperbanyak jumlah jam pelajaran agama, memperbanyak menghafal ayat-ayat kitab suci, mem-“perda”-kan syariaat-syariat agama dan mempertontonkan ritual ibadah. Apakah “baju” itu tidak penting! Tentu saja penting! Ritual itu harus diteruskan dalam hidup sehari-hari! Mencari Tuhan berarti menghidupkan ritus menjadi prilaku. Menghidupkan rancangan dan kehendak-Nya menjadi nyata, dialami dan dirasakan oleh orang disekitarnya. Jika tidak, munafik itulah sebutan yang tepat.

Tuhan tidak suka kemunafikan, seolah beribadah kepada-Nya tetapi sesungguhnya yang sedang terjadi adalah memanipulasi dan mengekspoitasi ibadah itu untuk kepentingan sesaat. Menukar nilai-nilai kekal dan sacral dengan prinsil-prinsip dangkal demi kepentingan kesenangan dan popularitas ambisi sesaat. Paulus memberi contoh perjalanan kehidupan bangsa Israel di padang gurun. Sebagian besar mereka binasa karena melakukan apa yang jahat di mata Tuhan (1 Korintus 10:5-6). Mereka yang binasa adalah orang-orang yang menukarkan apa yang sacral dengan kesenangan sesaat, “Maka duduklah bangsa itu untuk makan dan minum; kemudian bangunlah mereka dan bersukaria,” (ay. 7).

Kitab Yesaya merekam dengan baik jatuh bangunya bangsa Israel. Jatuh bangunnya umat ini erat kaitannya dengan prilaku ibadah dan ketaatan mereka kepada TUHAN. TUHAN menegur dan menghukum bangsa itu melalui bangsa lain jika mereka melakukan apa yang jahat di mata-Nya. Pada dasarnya TUHAN setia dan mengasihi umat-Nya. Hukuman berupa penderitaan yang dialami umat-Nya merupakan bagian dari kasih-Nya. Tidak mungkin TUHAN membiarkan, tanpa menegur umat-Nya manakala mereka melakukan apa yang jahat.

Pembuangan ke Babel selama 70 tahun memang menyakitkan. Mereka menderita! Makanan dan minuman sangat sulit diperoleh. Setelah 40 tahun lebih, Israel berada dalam pembuangan, mereka mendengar kabar gembira. “Ayo, bagi semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli, dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran! (Yesaya 55:1). Tentu seruan ini sangat menggembirakan. Kehidupan yang bebas, makanan dan minuman yang berlimpah tanpa harus membeli. Itulah gambaran di mana TUHAN berkenan kepada umat-Nya. Namun, kondisi ini hanya dapat dinikmati ketika umat itu mencari dan mendengarkan TUHAN. “Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; dengarkanlah, maka kamu akan hidup!” (Yes.55:3), “Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserahlah kepada-Nya selama Ia dekat!” (Yes.55:6)

TUHAN menginginkan pertobatan nyata dari umat-Nya, bertobat berarti menyelaraskan rancangan dan kehendak diri sendiri dengan kehendak-Nya. Bertobat berate hidup dalam persekutuan dengan-Nya, hidup dalam hikmat-Nya. Bertobat menurut Yesaya, “Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya.” (Yes.55:7)
Hukuman, penderitaan dan kehidupan yang tidak nyaman bisa dipakai TUHAN menegur umat-Nya agar berbalik kepada-Nya. Kita dapat berkaca pada peristiwa-peristiwa mengerikan yang terjadi di sekitar kita. Tujuannya bukan pertama-tama menghakimi dan menuduh bahwa  orang-orang yang mengalami penderitaan mengeritakan itu akibat dosa dan kesalahannya. Sama seperti uraian Paulus dalam 1 Korintus 10, yang menjadikan perjalanan hidup Israel sebagai peringatan orang Kristen di Korintus itu hidup dalam pertobatan, demikian pula dengan Yesus ketika kepada-Nya dilaporkan dua peristiwa mengerikan yang menimpa orang-orang Galilea yang darahnya dicampur dengan darah korban oleh Pilatus dan 18 orang yang tertimpa menara air di dekat Siloam.

Sangat masuk akal bila orang-orang itu menyimpulkan bahwa mereka yang terbunuh itu akibat dosa mereka. Pilatus membunuh orang-orang Galilea karena orang-orang ini selalu menentang kebijakan Pilatus dalam membangun saluran air. Pilatus menumpas mereka dengan cara pasukannya menyamar dan menyusup ke Bait Allah. Dalam ritual persembahan korban itulah mereka membantai orang Galilea sehingga darah mereka bercampur dengan darah hewan korban. Mengerikan! Lalu mereka menyimpulkan pastilah orang-orang Galilea ini telah berdosa sebab darah mereka bercampur dengan darah hewan, menjadi korban. Peristiwa lain adalah tewasnya 18 orang yang tertimpa menara. Mereka menilai kedelapan belas orang ini wajar tewas mengerikan sebab mereka mau bekerja untuk Pilatus membangun saluran air, sementara untuk membayar mereka, Pilatus mengambil uang dari perbendaharaan Bait Allah. Tindakan ini sangat dibenci orang Yahudi, maka mereka menyimpulkan orang-orang itu tewas dengan cara demikian adalah sebagai hukuman dari Allah, sebab mereka memakan uang dari Bait Allah!

Apa jawab Yesus? “Tidak! Kata-Ku kepadamu. Tetapi jika kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.” (Lukas 13:3 dan 5). Dua kali Yesus menyatakan penolakan terhadap penghakiman bahwa mereka binasa karena dosa mereka. Yesus mengajak pendengarnya untuk tidak melakukan penghakiman dan tuduhan kepada orang lain yang menerima malapetaka, melainkan mengambil contoh dari malapetaka itu untuk berbenah diri melalui hidup dalam pertobatan.

Bangsa ini pun akan mengalami kebinasaan mengerikan jika kita semua tidak mengalami pertobatan. Sebab yang terjadi sekarang adalah adanya keserakahan dan pemuasan diri, mengorbankan kebenaran dan keadilan demi ambisi, keserakahan dan popularitas sesaat. Yang terjadi sekarang adalah “Satu kenyang seribu kelaparan”, kata Alm. Franky Sahilatua. Tidak ada jalan lain, kecuali carilah TUHAN selagi IA berkenan ditemui dan baiklah orang pasik meninggalkan jalannya dan orang jahat meninggalkan rancangannya! Pastilah kita akan mengalami kehidupan yang berlimpah, semua keperluan penduduknya akan mudah diperoleh karena TUHAN lebih dari cukup melimpahi negeri ni dengan anugerah-Nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar