Ketika sedang mengadakan
perjalanan keliling Amerika dengan kereta api, Presiden Thomas Woodrow Wilson
berhenti di Billings, Montana untuk memberikan pidato singkat di peron kereta. Di
sampingnya berdiri Nyonya Wilson dan beberapa petinggi negara itu. Entah dengan
cara bagaimana, dua anak kecil berhasil lolos dari barisan penjagaan polisi dan
berlari ke arah presiden. Mereka berhenti persis di depan presiden. Mereka memandangi
wajah presiden. Salah seorang dari kedua anak itu memberikan bendera Amerika
Serikat yang sebelumnya dilambai-lambaikannya. Nyonya Wilson turun dari peron
dan menerima bendera itu dari tangan anak kecil tersebut, sambil mengucapkan
terima kasih kepadanya atas hadiah itu.
Anak yang satunya lagi berdiri
di sana dengan wajah sedikit bingung dan sedih. Dia tidak membawa apa-apa untuk
diberikan kepada Presiden. Tertegun beberapa saat, tangannya merogoh ke dalam
saku celananya. Ia menemukan sesuatu dalam saku itu. Uang logam recehan! Ia
genggam uang recehan itu, sambil memandang ke atas, ia memberikan uang logam
recehan itu kepada Presiden Amerika Serikat! Presiden Amerika Serikat ke-28 ini
menunduk ke bawah dan menerima uang receh itu. kemudian ia mengucapkan terima
kasih.
Ceritanya tidak berhenti di
situ. Lima tahun kemudian, Presiden Wilson meninggal pada tahun 1921. Dalam keadaan
diliputi dukacita mendalam, Nyonya Wilson menemukan dompet suaminya, ia membuka
dompet itu. Di dalamnya, di tempat khusus terpisah dan dibungkus rapi dengan
secarik kertas, tersimpan uang receh dari anak laki-laki dahulu. Selama lima
tahun uang receh itu telah menyertai dan ada bersama dengan sang Presiden
setiap hari, ke mana pun ia pergi. Dia menghargai uang itu sehingga
menyimpannya di tempat yang istimewa sepanjang hidupnya. (diceritakan oleh : John B. Wilder).
Pemberian tulus adalah pemberian
yang berasal dari cinta. Pemberian seperti ini tidak pernah berhitung berapa
harganya. Mungkin saja bagi anak kecil dalam kisah di atas uang logam receh itu
sangat berharga. Satu-satunya yang ia punya saat itu. Bekal untuk menyaksikan
keramaian menyambut presiden. Ia rela memberikannya untuk presiden yang ia
cintai. Bagi sang Presiden, tentu nilai nominal uang itu tidak ada artinya. Masih
banyak lembaran dollar yang ia punya. Tapi bukan itu, Presiden Wilson menyambut
pemberian cinta yang tulus dari anak kecil itu.
Hal serupa dilakukan Maria. Ia
memberikan yang terbaik yang ia punya kepada Yesus, seperti yang dicatat dalam
Injil Yohanes 12:1-8. Enam hari sebelum perayaan Paskah, Yesus mampir ke
Betania. Di sana keluarga Lazarus mengadakan perjamuan. Maria mengambil minyak
narwastu murni, yang menurut Yudas kira-kira harganya tiga ratus dinar
(Yoh.12:5). Harga yang fantastis, sama dengan jumlah uang yang dikumpulkan
seorang pekerja selama satu tahun! Minyak itu dituangkannya di kaki Yesus.
Seolah Maria tidak menganggap penting uang. Tidak hanya berhenti di situ,
bahkan Maria menguraikan rambut dan menggunakannya untuk menyeka kaki Yesus. Sebuah
tindakan kurang elok. Rambut, adalah mahkota bagi seorang perempuan, kini ditempatkan
di kaki, untuk menyekanya!
Apa yang dilakukan Maria
sangat kontradiktif dengan kebanyakan orang. Maria seolah-olah tidak menganggap
nilai materi narwastu yang dibeli dengan mahal. Tindakannya seakan tidak
menghargai uang. Bahkan oleh Yudas Iskaryot memprotesnya bahwa Maria melakukan
tindakan bodoh dan pemborosan, seharusnya minyak berharga itu bisa dijual dan
uangnya dapat diberikan untuk orang miskin (Yohanes 12:5). Maria sedang mempertontonkan
pemutarbalika hal-hal yang jasmaniah. Minyak yang mahal dituangkan ke kaki. Rambut
yang indah dipakai untuk menyeka bagian tubuh baling bawah, yakni kaki. Bagi Maria,
yang sangat berharga secara material duniawi (minyak narwastu dan rambut
kepala) hanya tepat tempatnya di kaki Yesus. Tindakan Maria diprotes Yudas,
namun dibenarkan oleh Yesus
Yesus menghubungkan pemberian
minyak oleh Maria itu dengan kematian-Nya. Meskipun saat itu Yesus masih hidup.
Yesus sepertinya mengingatkan bahwa tidak lama lagi Ia akan mati dan
jenazah-Nya akan diminyaki seperti sekarang Maria meminyaki-Nya. Tetapi,
kematian Yesus juga mau menjelaskan mengapa perkara materi seperti yang
dikemukakan Yudas menjadi tidak penting lagi. Kalau kita mau jujur memang
realitasnya seperti itu. Mana kala ajal menjemput, maka segala bentuk material
itu tidak lagi bernilai. Kematian adalah pelepasan terhadap semua yang materiil.
Pembenaran sikap yang
dilakukan Maria didasarkan pada kematian Yesus. Memang bukan berasal dari
pernyataan Maria. Mungkin saja Maria tidak berpikir sampai ke sana; bahwa Yesus
sebentar lagi akan menemui ajal-Nya. Meskipun demikian, Maria telah melakukan
hal yang sejalan dengan apa yang dilakukan Yesus. Kematian Yesus merupakan
wujud dari pemberian-Nya yang terbaik kepada umat manusia. Pemberian nyawa
tidak dapat disangkal lagi merupakan pemberian yang paling berharga. Yesus
tidak pernah memperhitungkan nilai dari nyawa-Nya. Perhatian-Nya tertuju kepada
umat manusia yang dikasihi-Nya. Untuk yang dikasihi-Nya, Yesus rela memberikan
yang terbaik. Bukankah Maria melakukan yang selaras? Memang bukan nyawanya,
karena hanya Yesus saja yang dapat mempersembahkan nyawa ganti orang berdosa.
Narwastu dan rambut yang indah, itulah yang terbaik yang ada pada Maria dan
dengan suka cita ia mempersembahkannya kepada Yesus. Persembahan Maria itu
menjadi berarti bukan pada seberapa mahal harga minyak itu, namun pada hati
yang meluap dengan cinta!
Seseorang yang menyadari dan
merasakan bahwa Tuhan mengasihinya, maka ia akan melakukan apa saja agar
Tuhannya senang. Ia akan memberikan apa saja yang terbaik untuk Tuhannya, bukan
karena keterpaksaan, melainkan terdorong oleh cintanya kepada Tuhan. Paulus rela
melepaskan semua atribut kebanggaannya demi cintanya kepada Tuhan. Paulus
mengatakan, “Tetapi apa yang dahulu
merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala
sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih
mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu
dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,..”(Filipi 3:7-8).
Anda dan saya bisa mempunyai
cara pandang dan tindakan nyata seperti Maria dan Paulus. Tidak lagi menjadikan
materi sebagai tujuan hidup bahkan menggunakannya sebagai alat untuk
memuliakan-Nya, jika saja kita telah mengalami perjumpaan dan merasakan kasih
Bapa melalui Yesus Kristus. Mungkin saja di sekeliling kita ada orang seperti
Yudas, yang memandang sikap dan perbuatan kita sebagai pemborosan,
memnghambur-hamburkan uang dan tenaga serta merugikan diri sendiri. Bukankah hal
yang sama terjadi? Ketika kita sedang jatuh cinta, kita mau melakukan apa saja
agar orang yang kita cintai dapat tersenyum bahagia? Bagi orang lain, tampaknya
kita sedang melakukan “pengorbanan”. Namun, bagi kita yang menjalaninya enjoy aja, tidak merasa ada yang
dikorbankan! Begitulah cinta!
Saya teringat cerita pendek karya O. Henry yang berjudul The Gift of the Magi. Ada sepasang suami isteri Amerika yang masih muda, Della dan Jim. Secara materi kehidupan mereka sangat miskin. Namun, mereka sangat mencintai satu terhadap yang lain. Masing-masing mempunyai sesuatu yang unik dan berharga. Rambut Della merupakan rambut yang luar biasa indah. Jika rambut itu terurai ke bawah, maka tampak bagaikan jubah berkilau. Jim memiliki jam emas yang diwariskan dari ayahnya, dan ia amat bangga dengan jam itu.
Tibalah sehari sebelum hari Natal. Della hanya mempunyai uang satu dollar delapan puluh tujuh sen untuk membeli hadiah bagi Jim. Dia lalu pergi ke luar dan menjual rambutnya seharga dua puluh dollar. Dengan uang itu dan ditambah dengan yang dia miliki sebelumnya, Della membeli sebuah kotak kecil terbuat dari platina untuk jam kesayangan Jim. Ketika Jim pulang ke rumah pada malam hari dan melihat rambut Della yang sudah dipotong, dia berhenti dan tertegun penuh keheranan. Bukan karena Jim tidak menyukainya atau kurang mencintai lagi, malah kini penampilan Della lebih cantik dari sebelumnya. Dengan perlahan-lahan, Jim mengeluarkan hadiahnya, yaitu sebuah kerang terbuat dari kulit kura-kura dihiasi intan pada ujung-ujungnya. Jim membelikan itu sebagai hadiah bagi Della. Dia membelikan itu untuk hiasan rambut Della! Jim telah menjual jam tangan emas kebanggaannya agar ia dapat membeli hadiah untuk Della. Masing-masing berusaha memberikan apa yang terbaik dan paling berharga untuk yang dicintainya. Kasih sejati tidak bisa berbuat lain, kecuali menuntut pada diri sendiri untuk memberi yang terbaik!
Lalu kapan terakhir kita melakukan tindakan kasih seperti ini. Kapan kita mau melakukan ini dan itu, melayani sesama dengan tulus dengan tidak merasa sedang dimanfaatkan atau dirugikan? Kapan terakhir kita memberikan yang terbaik seagai persembahan buat Tuhan, tidak dengan paksa tetapi dengan senyum ketulusan? Jika kita mampu melakukannya, itu berarti kasih Tuhan telah menjamah pada kedalaman hati kita yang terdalam. Namun, jika selama ini kita masih mengharapkan pamrih, itu artinya kita belum merasakan sentuhan kasih-Nya. Belum mengalami pemulihan! Untuk itu bukalah hati kita untuk kasih-Nya.
Saya teringat cerita pendek karya O. Henry yang berjudul The Gift of the Magi. Ada sepasang suami isteri Amerika yang masih muda, Della dan Jim. Secara materi kehidupan mereka sangat miskin. Namun, mereka sangat mencintai satu terhadap yang lain. Masing-masing mempunyai sesuatu yang unik dan berharga. Rambut Della merupakan rambut yang luar biasa indah. Jika rambut itu terurai ke bawah, maka tampak bagaikan jubah berkilau. Jim memiliki jam emas yang diwariskan dari ayahnya, dan ia amat bangga dengan jam itu.
Tibalah sehari sebelum hari Natal. Della hanya mempunyai uang satu dollar delapan puluh tujuh sen untuk membeli hadiah bagi Jim. Dia lalu pergi ke luar dan menjual rambutnya seharga dua puluh dollar. Dengan uang itu dan ditambah dengan yang dia miliki sebelumnya, Della membeli sebuah kotak kecil terbuat dari platina untuk jam kesayangan Jim. Ketika Jim pulang ke rumah pada malam hari dan melihat rambut Della yang sudah dipotong, dia berhenti dan tertegun penuh keheranan. Bukan karena Jim tidak menyukainya atau kurang mencintai lagi, malah kini penampilan Della lebih cantik dari sebelumnya. Dengan perlahan-lahan, Jim mengeluarkan hadiahnya, yaitu sebuah kerang terbuat dari kulit kura-kura dihiasi intan pada ujung-ujungnya. Jim membelikan itu sebagai hadiah bagi Della. Dia membelikan itu untuk hiasan rambut Della! Jim telah menjual jam tangan emas kebanggaannya agar ia dapat membeli hadiah untuk Della. Masing-masing berusaha memberikan apa yang terbaik dan paling berharga untuk yang dicintainya. Kasih sejati tidak bisa berbuat lain, kecuali menuntut pada diri sendiri untuk memberi yang terbaik!
Lalu kapan terakhir kita melakukan tindakan kasih seperti ini. Kapan kita mau melakukan ini dan itu, melayani sesama dengan tulus dengan tidak merasa sedang dimanfaatkan atau dirugikan? Kapan terakhir kita memberikan yang terbaik seagai persembahan buat Tuhan, tidak dengan paksa tetapi dengan senyum ketulusan? Jika kita mampu melakukannya, itu berarti kasih Tuhan telah menjamah pada kedalaman hati kita yang terdalam. Namun, jika selama ini kita masih mengharapkan pamrih, itu artinya kita belum merasakan sentuhan kasih-Nya. Belum mengalami pemulihan! Untuk itu bukalah hati kita untuk kasih-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar