Besok (14 Februari) Valentine day, kata orang merupakan hari
kasih sayang. Hari yang tepat menyatakan dan mengekspresikan isi hati kepada
seseorang yang kita cintai. Namun, sayang cinta yang Tuhan benamkan dalam diri
setiap insan banyak dicemari oleh pementingan dan kepuasan diri. Saya tergelitik
membaca salah satu jok di sebuah buku humor “ Berani Menertawakan Diri
Sendiri” karangan Sulaiman Budiman. Kisahnya seperti ini:
Suatu hari, seorang pria
berwajah tampan melayangkan sebuah e-mail kepada seorang wanita cantik yang
belum lam dikenalnya melalui jejaring Facebook.
“Saya Ronny, salah seorang
sahabat baru kamu. Setelah mengamati wajah dan kepribadian kamu, terus terang
saya jatuh cinta dengan kamu, dan saya bersedia menjadi pendamping hidup kamu
jika kamu menyetujui beberapa persyaratan yang kuajukan di bawah ini:
Hubungan kita bisa dimulai
dengan masa percobaan selama tiga bulan untuk menjajagi kecocokan antara kita
berdua. Bila telah ada kesesuaian, kita bisa melakukan ikatan kontrak selama
satu tahun. Jika tahun pertama masih ada keragu-raguan, masa kontrak masih bisa
diperpanjang satu tahun lagi. Setelah kontrak kedua berakhir saya akan
mengambil keputusan. Jika saya tidak puas, hubungan ini dapat kita sudahi. Namun,
jika saya masih ragu-ragu, kita bisa melakukan pembaruan kontrak, tetapi jika
saya puas dengan penampilan dan pelayananmu, hubungan kita bisa ditingkatkan ke
jenjang pernikahan.
Selama menjalani masa
percobaan semua biaya kita tanggung bersama. Dan, jika terjadi pemutusan
kontrak, kamu tidak berhak menuntut pesangon dan harta gono-gini.
Saya menunggu jawabanmu. Jika dalam
waktu sepuluh hari tidak ada jawaban, kesempatan ini akan ditawarkan kepada
orang lain. Oh, ya, jika kamu tidak tertarik, penawaran ini bisa diteruskan ke
kakak atau adik perempuanmu.
Sahabat kamu, Ronny.”
Beberapa hari kemudian muncul
surat balasan yang dikirim ke alamat E-mail Ronny.
“Saya Novy, calon pasangan
hidup kamu. Saya tertarik dengan tawaran kontrak kamu dan saya bersedia menjadi
kekasih kamu jika kamu memenuhi beberapa persyaratan yang saya ajukan ini:
Untuk menjaga penampilan saya
dan demi kepuasan kamu, saya membutuhkan perawatan tubuh di salon-salon
kecantikan kelas atas. Pakaian saya harus buatan luar negeri dan dari perancang
ternama. Agar masa percobaan kita berjalan dengan lancar, kita harus menginap
di hotel-hotel bintang lima di mancanegara. Untuk meyakinkan saya tentang
posisi keuanganmu, saya minta kamu melampirkan bank garansi, buku tabungan,
sertifikat rumah, BPKB mobil mewah, dan surat berharga lainnya. Oh, ya, satu
lagi, mengenai kepuasan, bukan kamu yang menentukan, tetapi saya yang akan
menilai layak atau tidaknya hubungan kita untuk dilanjutkan.
Bila kamu berminat, silahkan
secepatnya untuk membalas surat ini, karena sudah banyak calon lain yang
menunggu. Dan..sebagai imformasi, posisi kaka dan adik perempuan saya sudah sold out.
Calon kekasihmu (jika
persyaratan cocok): Novy.”
Demi egoisme, cinta kasih yang
adalah bersifat ilahi - mengapa ilahi? Ya, karena cinta itu pasti berasal dari
Allah. Dan Allah itu pada hakekatnya cinta (1 Yohanes 4:7,8) – kini rela
berubah menjadi hubungan transaksional. Seperti transaksi bisnis: aku memberi
ini, maka aku dapat itu. Apa keuntungan yang akan aku dapatkan jika aku melakukan
tindakan ini dan itu? Aku akan mengasihi dia dengan sepenuh hati, jika saja dia
begini dan begitu! Jika tidak, ya lihat saja nanti.
Mau untung sendiri pun
diperlihatkan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Ada banyak orang datang,
beribadah dan menyembah Tuhan tujuannya agar dirinya mendapat balasan dari yang
kuasa berupa berkat melimpah. Dalam kitab Yesaya 58 :1-12, Allah menegur
sekaligus mengoreksi cara ibadah Israel yang tampaknya sangat saleh. Setiap hari
berdoa seolah mencari wajah Tuhan. Mereka terlihat kusuq membaca kitab suci. Tidak
ketinggalan puasa menahan lapar dan dahaga! Mereka menyangka dengan demikian
Tuhannya menjadi senang dan membalasnya dengan ganjaran berkat. Ah,..sayang
Allah bukanlah seperti pejabat kita yang doyan disuap. Allah tidak mau memandang kemunafikan itu! Bagaimana
mungkin mereka bisa beribadah kepada Allah namun menindas sesamanya. Allah
menghendaki ibadah kepada-Nya itu bukan dilakukan dengan kepura-puraan. Tetapi berdampak
pada sesama.
Ketika Israel menggugat
mengapa Allah tidak membalas ibadah dan puasa mereka, Allah menjawab, “Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah
supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk,
supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk,
supaya engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke
rumahmu orang miskin yang tidak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang
telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri
terhadap saudaramu sendiri! (Yesaya 58:6-7) Israel lupa, dulu ketika mereka
dihukum dan di buang ke Babel karena mencoba memisahkan antara ritual ibadah
dan prilaku sosial mereka. Ritual ibadah okay tapi moralitas bobrok. Kini, tampaknya
kesalahan yang sama hendak diulang kembali. Mereka mencoba menyuap Allah dengan
kesalehan semu!
Jika kita amati Matius 6
:1-18, pada zaman Yesus, di sana pun tergambar bahwa orang-orang melakukan
manipulasi ibadah (memberi sedekah, berdoa dan berpuasa) dengan tujuannya untuk
mencari popularitas supaya mereka dihormati sebagai orang yang menjalankan
syariat agama. Lagi-lagi, Tuhan mengoreksi cari ibadah seperti itu. Bukan! Bukan
ibadah seperti itu yang diinginkan Tuhan. Dia menginginkan ketulusan yang lahir
dari hati yang mencintai Tuhannya.
Kalau cara ibadah kita saat
ini motivasinya sama seperti orang-orang pada zaman Yesaya dan Yesus, lebih
baik tidak usah beribadah! Karena mungkin lebih baik orang yang tidak beribadah
kepada Tuhan melakukan kezoliman dari pada orang yang tampaknya beribadah namun
hatinya penuh dengki dan kebusukan, serakah dan siap menumpahkan darah! Hanya buang
waktu, tenaga, dan uang. Hanya mendapat lelah, lapar dan dahaga sesudah itu
ditolak dan dicampakan Tuhan!
Tidak ada kata terlambat untuk
berubah. Mestinya ketika menyadari cara dan motivasi kita beribadah saat ini
sama saja seperti orang-orang yang dikecam Allah, tidak ada jalan lain selain
bertobat. Berbenah diri! Memohon ampunan ilahi apabila selama ini menggunakan
syariat ibadah secara politis untuk memupuk narsisme, popularitas dan egosentrisme.
Memohonlah ampun seperti ketika Daud menyadari dosa-dosanya di hadapan Tuhan
(Mazmur 51). Daud pernah mengatakan dan meyakini bahwa Tuhan lebih melihat
ketulusan hati manusia ketimbang ritual korban persembahan. Daud sangat
menyadari bahwa Allah tidak suka dengan pertobatan sebatas ritual, yakni hanya
sekedar mempersembahkan korban. Tanda pertobatan yang sesungguhnya adalah hati
yang hancur; jujur terhadap kesalahan. “Sebab
Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban
bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa
yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.”(Mzm.51:18-19)
Hanya manusia yang telah remuk
hatinya karena menyadari akan dosa-dosanyalah yang dapat merasakan begitu besar
cinta kasih Allah itu. Mereka inilah orang-orang yang telah diperdamaikan.
Sehingga mereka mampu menjadi mitra Allah yang baik dalam memulihkan kondisi
dunia yang penuh kemunafikan dan menuju kehancuran. Sekalipun untuk itu harus
meninggalkan kenyamanan yang didambakan banyak orang.
Paulus adalah salah seorang
yang telah mengalami pemulihan itu. Ia berjumpa dengan Yesus yang sebelumnya ia
tolak, kini pertobatannya membuahkan hidup yang sama sekali baru. Ia telah
diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus dan kini menjadi alat di tangan-Nya.
Ia menjadi kawan sekerja Allah dan ia mengajak jemaat di Korintus (2
Kor.6:1-2), termasuk kita juga untuk menjadi mitra Allah sebagai utusan
pendamaian bagi dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar