Selasa, 12 Februari 2013

PANGGILAN KASIH MENJADI PARTNER ALLAH (RABU ABU 13 FEBRUARI 2013)

Besok (14 Februari) Valentine day, kata orang merupakan hari kasih sayang. Hari yang tepat menyatakan dan mengekspresikan isi hati kepada seseorang yang kita cintai. Namun, sayang cinta yang Tuhan benamkan dalam diri setiap insan banyak dicemari oleh pementingan dan kepuasan diri. Saya tergelitik membaca salah satu jok  di sebuah buku humor “ Berani Menertawakan Diri Sendiri” karangan Sulaiman Budiman. Kisahnya seperti ini:

Suatu hari, seorang pria berwajah tampan melayangkan sebuah e-mail kepada seorang wanita cantik yang belum lam dikenalnya melalui jejaring Facebook.

“Saya Ronny, salah seorang sahabat baru kamu. Setelah mengamati wajah dan kepribadian kamu, terus terang saya jatuh cinta dengan kamu, dan saya bersedia menjadi pendamping hidup kamu jika kamu menyetujui beberapa persyaratan yang kuajukan di bawah ini:

Hubungan kita bisa dimulai dengan masa percobaan selama tiga bulan untuk menjajagi kecocokan antara kita berdua. Bila telah ada kesesuaian, kita bisa melakukan ikatan kontrak selama satu tahun. Jika tahun pertama masih ada keragu-raguan, masa kontrak masih bisa diperpanjang satu tahun lagi. Setelah kontrak kedua berakhir saya akan mengambil keputusan. Jika saya tidak puas, hubungan ini dapat kita sudahi. Namun, jika saya masih ragu-ragu, kita bisa melakukan pembaruan kontrak, tetapi jika saya puas dengan penampilan dan pelayananmu, hubungan kita bisa ditingkatkan ke jenjang pernikahan.

Selama menjalani masa percobaan semua biaya kita tanggung bersama. Dan, jika terjadi pemutusan kontrak, kamu tidak berhak menuntut pesangon dan harta gono-gini.
Saya menunggu jawabanmu. Jika dalam waktu sepuluh hari tidak ada jawaban, kesempatan ini akan ditawarkan kepada orang lain. Oh, ya, jika kamu tidak tertarik, penawaran ini bisa diteruskan ke kakak atau adik perempuanmu.

Sahabat kamu, Ronny.”

Beberapa hari kemudian muncul surat balasan yang dikirim ke alamat E-mail Ronny.
“Saya Novy, calon pasangan hidup kamu. Saya tertarik dengan tawaran kontrak kamu dan saya bersedia menjadi kekasih kamu jika kamu memenuhi beberapa persyaratan yang saya ajukan ini:
Untuk menjaga penampilan saya dan demi kepuasan kamu, saya membutuhkan perawatan tubuh di salon-salon kecantikan kelas atas. Pakaian saya harus buatan luar negeri dan dari perancang ternama. Agar masa percobaan kita berjalan dengan lancar, kita harus menginap di hotel-hotel bintang lima di mancanegara. Untuk meyakinkan saya tentang posisi keuanganmu, saya minta kamu melampirkan bank garansi, buku tabungan, sertifikat rumah, BPKB mobil mewah, dan surat berharga lainnya. Oh, ya, satu lagi, mengenai kepuasan, bukan kamu yang menentukan, tetapi saya yang akan menilai layak atau tidaknya hubungan kita untuk dilanjutkan.

Bila kamu berminat, silahkan secepatnya untuk membalas surat ini, karena sudah banyak calon lain yang menunggu. Dan..sebagai imformasi, posisi kaka dan adik perempuan saya sudah sold out.
Calon kekasihmu (jika persyaratan cocok): Novy.”

Demi egoisme, cinta kasih yang adalah bersifat ilahi - mengapa ilahi? Ya, karena cinta itu pasti berasal dari Allah. Dan Allah itu pada hakekatnya cinta (1 Yohanes 4:7,8) – kini rela berubah menjadi hubungan transaksional. Seperti transaksi bisnis: aku memberi ini, maka aku dapat itu. Apa keuntungan yang akan aku dapatkan jika aku melakukan tindakan ini dan itu? Aku akan mengasihi dia dengan sepenuh hati, jika saja dia begini dan begitu! Jika tidak, ya lihat saja nanti.
Mau untung sendiri pun diperlihatkan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Ada banyak orang datang, beribadah dan menyembah Tuhan tujuannya agar dirinya mendapat balasan dari yang kuasa berupa berkat melimpah. Dalam kitab Yesaya 58 :1-12, Allah menegur sekaligus mengoreksi cara ibadah Israel yang tampaknya sangat saleh. Setiap hari berdoa seolah mencari wajah Tuhan. Mereka terlihat kusuq membaca kitab suci. Tidak ketinggalan puasa menahan lapar dan dahaga! Mereka menyangka dengan demikian Tuhannya menjadi senang dan membalasnya dengan ganjaran berkat. Ah,..sayang Allah bukanlah seperti pejabat kita yang doyan disuap.  Allah tidak mau memandang kemunafikan itu! Bagaimana mungkin mereka bisa beribadah kepada Allah namun menindas sesamanya. Allah menghendaki ibadah kepada-Nya itu bukan dilakukan dengan kepura-puraan. Tetapi berdampak pada sesama.

Ketika Israel menggugat mengapa Allah tidak membalas ibadah dan puasa mereka, Allah menjawab, “Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tidak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yesaya 58:6-7) Israel lupa, dulu ketika mereka dihukum dan di buang ke Babel karena mencoba memisahkan antara ritual ibadah dan prilaku sosial mereka. Ritual ibadah okay tapi moralitas bobrok. Kini, tampaknya kesalahan yang sama hendak diulang kembali. Mereka mencoba menyuap Allah dengan kesalehan semu!

Jika kita amati Matius 6 :1-18, pada zaman Yesus, di sana pun tergambar bahwa orang-orang melakukan manipulasi ibadah (memberi sedekah, berdoa dan berpuasa) dengan tujuannya untuk mencari popularitas supaya mereka dihormati sebagai orang yang menjalankan syariat agama. Lagi-lagi, Tuhan mengoreksi cari ibadah seperti itu. Bukan! Bukan ibadah seperti itu yang diinginkan Tuhan. Dia menginginkan ketulusan yang lahir dari hati yang mencintai Tuhannya.

Kalau cara ibadah kita saat ini motivasinya sama seperti orang-orang pada zaman Yesaya dan Yesus, lebih baik tidak usah beribadah! Karena mungkin lebih baik orang yang tidak beribadah kepada Tuhan melakukan kezoliman dari pada orang yang tampaknya beribadah namun hatinya penuh dengki dan kebusukan, serakah dan siap menumpahkan darah! Hanya buang waktu, tenaga, dan uang. Hanya mendapat lelah, lapar dan dahaga sesudah itu ditolak  dan dicampakan Tuhan!

Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Mestinya ketika menyadari cara dan motivasi kita beribadah saat ini sama saja seperti orang-orang yang dikecam Allah, tidak ada jalan lain selain bertobat. Berbenah diri! Memohon ampunan ilahi apabila selama ini menggunakan syariat ibadah secara politis untuk memupuk narsisme, popularitas dan egosentrisme. Memohonlah ampun seperti ketika Daud menyadari dosa-dosanya di hadapan Tuhan (Mazmur 51). Daud pernah mengatakan dan meyakini bahwa Tuhan lebih melihat ketulusan hati manusia ketimbang ritual korban persembahan. Daud sangat menyadari bahwa Allah tidak suka dengan pertobatan sebatas ritual, yakni hanya sekedar mempersembahkan korban. Tanda pertobatan yang sesungguhnya adalah hati yang hancur; jujur terhadap kesalahan. “Sebab Engkau tidak berkenan kepada korban sembelihan; sekiranya kupersembahkan korban bakaran, Engkau tidak menyukainya. Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.”(Mzm.51:18-19)

Hanya manusia yang telah remuk hatinya karena menyadari akan dosa-dosanyalah yang dapat merasakan begitu besar cinta kasih Allah itu. Mereka inilah orang-orang yang telah diperdamaikan. Sehingga mereka mampu menjadi mitra Allah yang baik dalam memulihkan kondisi dunia yang penuh kemunafikan dan menuju kehancuran. Sekalipun untuk itu harus meninggalkan kenyamanan yang didambakan banyak orang.

Paulus adalah salah seorang yang telah mengalami pemulihan itu. Ia berjumpa dengan Yesus yang sebelumnya ia tolak, kini pertobatannya membuahkan hidup yang sama sekali baru. Ia telah diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus dan kini menjadi alat di tangan-Nya. Ia menjadi kawan sekerja Allah dan ia mengajak jemaat di Korintus (2 Kor.6:1-2), termasuk kita juga untuk menjadi mitra Allah sebagai utusan pendamaian bagi dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar