Ada dua orang sufi besar, mereka adalah Ibrahim bin Adham
dan muridnya Syaqiq al Balki. Ibrahim dulunya seorang pangeran, setelah
mendapat pencerahan maka ia memutuskan meninggalkan kehidupan duniawi yang
serba gemerlap. Kini ia memilih menjadi seorang sufi. Sedangkan Syaqiq al Balki
adalah mantan pengusaha. Al Balki meskipun menempuh kehidupan sebagai sufi
namun hatinya masih selalu gelisah mengenai darimana mendapatkan rezeki.
Suatu hari keduanya berjalan-jalan di pinggir hutan dan
mereka melihat seekor burung menggelepar di tanah karena sayapnya patah. Tetapi
tiba-tiba pemandangan menakjubkan terjadi. Seekor burung lain hinggap di sisi
burung yang tidak berdaya itu. Burung itu membawa makanan dan melolohkan ke
paruh burung yang patah sayapnya itu. Melihat itu al Balki bergumam, “Luar
biasa kalau burung saja dijamin rezekinya oleh Allah, apalagi saya!” Mendengar
ucapan si murid, Ibrahim malah menegurnya, “Aneh kamu ini, kenapa kamu hanya
melihat burung yang patah sayapnya dan tidak berdaya? Mestinya kamu belajar
dari burung yang sehat itu, yang dengan kemampuannya mencari nafkah tidak hanya
untuk dirinya tetapi dapat menolong yang lain!”
Manusia pada umumnya sering memusatkan perhatian pada
diri sendiri. Kesusahan dan penderitaan yang dialaminya dianggap sebagai alasan
untuk dikasihani. Kita sering memposisikan diri seperti burung yang tidak
berdaya. Dalam nasihatnya kepada Jemaat di Filipi (2:4), Paulus yang sedang
mengalami penderitaan akibat penganiayaan tidak memposisikan diri seperti
burung yang tidak berdaya itu tetapi dalam segala keterbatasannya ia terus
memberdayakan umat agar mampu menolong sesamanya. Paulus mengajak umat tidak
egois melainkan mengutamakan kepentingan orang lain. Hidup tidak egois dapat
menolong kita terbebas dari rasa kuatir yang berlebih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar