Kata “blusukan” menjadi populer bahkan identik dengan gaya kepemimpinan
Joko Widodo (Jokowi). Selalu saja ada pro-kontra. Yang setuju dan menyenangi
gaya kepemimpinan semacam ini akan mengapresiasinya bahwa ada pejabat mau turun
tangan, melihat langsung keadaan masyarakatnya sehingga di sana ia akan
memahami benar permasalahan yang sedang terjadi. Keputusan yang dibuat tidak
seenak perut sendiri. Itulah simpati dan empati! Sebaliknya, tidak sedikit yang
mencibir bahwa apa yang sedang diperlihatkan oleh Jokowi itu adalah tindakan
mencari popularitas. Tebar pesona!
Apa sih sebenarnya arti kata blusukan yang sebelumnya tidak ada dalam
Kamus Bahasa Jawa apalagi Kamus Besar Bahasa Indonesia? Blusukan tidak ditemukan
dalam Kamus Bahasa Jawa Online, yang ada kata blesek yang diartikan “membenamkan diri dalam tumpukan”. Orang Sunda
memahaminya dengan kata kukurusukan. Ketika
kata itu disandingkan dengan gaya kepemimpinan seorang pejabat, maka akan
berkonotasi bahwa sang pejabat itu tidak hanya tinggal di “menara gading”,
singgasana kemuliaan; di istana atau kantor yang mentereng dan megah. Melainkan
ia “masuk ke tempat-tempat yang tidak lazim”, kawasan kumuh, bermasalah, dan
mengandung resiko untuk mendengar langsung aspirasi rakyat dan kemudian mengolahnya
sebagai sumber valid guna membangun kesejahteraan bersama.
Pertanyaannya, adakah para
politisi, pejabat dan penyelenggara negara ini yang benar-benar melakukan blusukan dengan tidak mencari keuntungan
popularitas diri sebagai orang yang peduli kepada wong cilik? Bukankah kebanyakan yang kita saksikan adalah
orang-orang ambisius yang tega menjual kemiskinan demi kursi jabatan. Mendustai
nurani, etika dan moralitas hanya untuk sehelai baju jabatan. Membungkam dan
menikam lawan demi apa yang disebut kemuliaan? Benarkah kemuliaan yang dikejar
itu adalah kemuliaan yang sesungguhnya? Saya tergelitik dengan kisah Nasruddin
ini, di mana orang merasa dirinya dimuliakan kalau memakai baju kemuliaan.
Pada suatu hari hakim di
negeri Nasruddin, yang dikenal suka mabuk-mabukan, pergi ke ladang. Di sana
hakim itu minum minuman keras sehingga mabuk. Hakim itu kemudian mencopot jubah
dan sorbannya. Kebetulan Nasruddin lewat di ladang itu. Ketika melihat sang
hakim dalam keadaan mabuk setengah telanjang, Nasruddin mengambil jubah sang
hakim, memakainya lalu pergi.
Ketika Sang hakim sadar dari
mabuknya dan tidak melihat jubah kebesarannya, di segera memanggil bawahannya
untuk mencari si pencuri jubah itu. Bawahannya segera berangkat untuk mencari
si pencuri itu. Tidak lama si bawahan hakim itu berjumpa dengan Nasruddin yang
sedang memakai jubah sang hakim. Pegawai itu segera menangkap Nasruddin dan
membawanya menghadap sang hakim itu. Ketika Nasruddin telah menghadap, Sang
hakim bertanya, “Nasruddin! Dari mana engkau mendapatkan jubah itu?”
Nasruddin menjawab, “Kemarin
aku bersama beberapa temanku pergi ke sebuah ladang di pinggir kota ini. Di sana
aku melihat ada seorang laki-laki sedang mabuk dan jatuh telentang di atas
tanah dalam keadaan menyedihkan. Aku pun mengambil jubahnya dan memakainya. Aku
bisa mendatangkan beberapa orang saksi yang dengan jujur mau menunjukkan kepada
Pak Hakim dan hadirin, siapa orang yang mabuk dan menyedihkan itu!”
Mendengar jawaban Nasruddin,
Sang Hakim berkata, “Aku tidak ingin mengetahui siapa orang yang mabuk itu. Pakailah
jubah itu sekehendak hatimu dan bagiku tidak penting siapa pemilik jubah itu!”
“...dan bagiku tidak penting siapa pemilik jubah itu!” Kemuliaan
hakim tidak terletak pada jubahnya. Demikian juga kemuliaan pendeta tidak
terletak pada toganya. Melainkan pada apa yang dikerjakannya. Legitimasi memang
dibutuhkan, namun jauh lebih berguna integritas dalam mengemban tugas.
Dalam Injil Lukas 9 :28-36 dikisahkan
suatu ketika Yesus mengajak Petrus, Yohanes dan Yakubus naik ke atas gunung
untuk berdoa. Ketika Yesus berdoa, ketiga murid-Nya tertidur. Di saat itu rupa
wajah bahkan sampai pakaian Yesus berubah menjadi putih berkilau cahaya. Tampak
bersamanya dua tokoh yang sangat dihormati oleh orang Yahudi, yakni Musa dan
Elia. Dua tokoh ini berbicara tentang
tujuan Yesus yang akan segera digenapi-Nya di Yerusalem. Ketika para murid
terbangun, mereka tercengang, takjub melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya. Spontan
Petrus meminta, “Guru, betapa bahagianya
kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk
Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”
Petrus menginginkan keadaan
yang menyenangkan: kemuliaan itu dapat dirasakan dan dipertahankan lebih lama
sehingga ia memerlukan untuk membangun tenda. Alih-alih menggubris apa yang
diinginkan Petrus, jawaban langit mengatakan, “Inilah Anak-Ku yang kupilih, dengarkanlah Dia.” Petrus mengingini
suasana kemuliaan itu terus ada dalam jangkauannya. Ia tidak mengerti bahwa
kemuliaan Yesus yang sesungguhnya bukan dalam bentuk wajah dan pakaian-Nya yang
berkilau cahaya. Petrus juga tidak ngeh
bahwa kemuliaan Yesus bukan terletak pada hadirnya tokoh-tokoh utama Perjanjian
Lama, yakni Musa dan Elia. Kemuliaan Yesus yang sesungguhnya adalah ketika Ia
menuju Yerusalem untuk menggenapi semua yang diperintahkan Bapa-Nya! Banyak
orang seperti Petrus, menyangka bahwa kemuliaan itu dapat diperoleh pada tempat-tempat
khusus: tempat ibadah, istana, kantor yang megah dan yang sejenis dengan itu.
Yesus tidak mau dipenjarakan
dalam kemah buatan Petrus. Keesokan harinya Yesus “turun gunung”, blusukan, totalitas hidupnya melakukan
banyak pelayanan sampai akhirnya harus menderita sengsara dan mati! Itulah kemuliaan
yang sesungguh-Nya, mengerjakan tugas Bapa-Nya hingga rampung.
Jadi, jika Anda menginginkan
kemulian yang sejati, bukan sekedar pujian manusia, tidak ada jalan lain selain
belajar dari Yesus. Yesus menerima legitimasi dari Allah melalui Musa, Elia dan
Suara Langit lalu menindaklanjuti dengan karya nyata. Paulus dalam uraiannya di
2 Korintus 3:1-18 tentang pelayan-pelayan Perjanjian Baru menyadarkan kita bahwa
setiap orang yang berjumpa dengan Kristus adalah cerminan kemuliaan Tuhan. Ia
bagaikan surat Kristus yang dikenal dan dibaca oleh setiap orang (ayat 2).
Meminjam peristiwa wajah Musa
bersinar setelah berbicara dengan Allah di gunung Sinai (Keluaran 34:29-35), Paulus
menginginkan bahwa kemuliaan Allah itu mestinya tidak mempunyai selubung (ayat 18).
Selubung artinya sesuatu yang dapat menghalangi seseorang melihat kemuliaan
Allah. Kita pun bisa gagal, sama seperti kebanyakan orang Yahudi pada zaman
Paulus apabila hanya mau dihormati, dimuliakan tanpa mampu memancarkan
kemuliaan-Nya dalam hidup sehari-hari.
Seharusnya ketika seseorang belajar dan melihat
kemuliaan Yesus dengan tanpa selubung maka orang itu pun akan diubah dari
kemuliaan yang satu kepada kemuliaan yang lain. Banyak tokoh dan pemimpin dunia
mengejar kemuliaan dengan pelbagai cara termasuk membunuh lawan-lawan
politiknya. Mereka dikenang, dicatat dalam sejarah. Apakah kemudian orang
menghormatinya sebagai “seorang yang mulia”? Tidak! Namun, coba tengok mereka
yang berusaha dengan gigih, memanfaatkan hidupnya demi memuliakan sesama
manusia. Mereka diingat dan terus dihargai sebagai orang-orang yang berjasa
bagi kemanusiaan. Lihat Mahatma Gandhi, tengoklah perjalanan hidup Martin
Luther King Jr, Bunda Teresa, mereka telah menginspirasi dunia. Memberi contoh
menjadi manusia mulia. Bagaimana dengan kita? Apakah orang lain di sekitar kita
melihat kemuliaan Kristus terpancar dalam kehidupan kita? Ataukah justeru kita
ini bagaikan selubung yang menghalangi kasih Tuhan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar