Jumat, 08 Februari 2013

MELIHAT KEMULIAAN-NYA, MELANJUTKAN KARYA-NYA

Kata “blusukan” menjadi populer bahkan identik dengan gaya kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi). Selalu saja ada pro-kontra. Yang setuju dan menyenangi gaya kepemimpinan semacam ini akan mengapresiasinya bahwa ada pejabat mau turun tangan, melihat langsung keadaan masyarakatnya sehingga di sana ia akan memahami benar permasalahan yang sedang terjadi. Keputusan yang dibuat tidak seenak perut sendiri. Itulah simpati dan empati! Sebaliknya, tidak sedikit yang mencibir bahwa apa yang sedang diperlihatkan oleh Jokowi itu adalah tindakan mencari popularitas. Tebar pesona!

Apa sih sebenarnya arti kata blusukan yang sebelumnya tidak ada dalam Kamus Bahasa Jawa apalagi Kamus Besar Bahasa Indonesia? Blusukan  tidak ditemukan dalam Kamus Bahasa Jawa Online, yang ada kata blesek yang diartikan “membenamkan diri dalam tumpukan”. Orang Sunda memahaminya dengan kata kukurusukan. Ketika kata itu disandingkan dengan gaya kepemimpinan seorang pejabat, maka akan berkonotasi bahwa sang pejabat itu tidak hanya tinggal di “menara gading”, singgasana kemuliaan; di istana atau kantor yang mentereng dan megah. Melainkan ia “masuk ke tempat-tempat yang tidak lazim”, kawasan kumuh, bermasalah, dan mengandung resiko untuk mendengar langsung aspirasi rakyat dan kemudian mengolahnya sebagai sumber valid guna membangun kesejahteraan bersama.

Pertanyaannya, adakah para politisi, pejabat dan penyelenggara negara ini yang benar-benar melakukan blusukan dengan tidak mencari keuntungan popularitas diri sebagai orang yang peduli kepada wong cilik? Bukankah kebanyakan yang kita saksikan adalah orang-orang ambisius yang tega menjual kemiskinan demi kursi jabatan. Mendustai nurani, etika dan moralitas hanya untuk sehelai baju jabatan. Membungkam dan menikam lawan demi apa yang disebut kemuliaan? Benarkah kemuliaan yang dikejar itu adalah kemuliaan yang sesungguhnya? Saya tergelitik dengan kisah Nasruddin ini, di mana orang merasa dirinya dimuliakan kalau memakai baju kemuliaan.

Pada suatu hari hakim di negeri Nasruddin, yang dikenal suka mabuk-mabukan, pergi ke ladang. Di sana hakim itu minum minuman keras sehingga mabuk. Hakim itu kemudian mencopot jubah dan sorbannya. Kebetulan Nasruddin lewat di ladang itu. Ketika melihat sang hakim dalam keadaan mabuk setengah telanjang, Nasruddin mengambil jubah sang hakim, memakainya lalu pergi.

Ketika Sang hakim sadar dari mabuknya dan tidak melihat jubah kebesarannya, di segera memanggil bawahannya untuk mencari si pencuri jubah itu. Bawahannya segera berangkat untuk mencari si pencuri itu. Tidak lama si bawahan hakim itu berjumpa dengan Nasruddin yang sedang memakai jubah sang hakim. Pegawai itu segera menangkap Nasruddin dan membawanya menghadap sang hakim itu. Ketika Nasruddin telah menghadap, Sang hakim bertanya, “Nasruddin! Dari mana engkau mendapatkan jubah itu?”

Nasruddin menjawab, “Kemarin aku bersama beberapa temanku pergi ke sebuah ladang di pinggir kota ini. Di sana aku melihat ada seorang laki-laki sedang mabuk dan jatuh telentang di atas tanah dalam keadaan menyedihkan. Aku pun mengambil jubahnya dan memakainya. Aku bisa mendatangkan beberapa orang saksi yang dengan jujur mau menunjukkan kepada Pak Hakim dan hadirin, siapa orang yang mabuk dan menyedihkan itu!”

Mendengar jawaban Nasruddin, Sang Hakim berkata, “Aku tidak ingin mengetahui siapa orang yang mabuk itu. Pakailah jubah itu sekehendak hatimu dan bagiku tidak penting siapa pemilik jubah itu!”

“...dan bagiku tidak penting siapa pemilik jubah itu!” Kemuliaan hakim tidak terletak pada jubahnya. Demikian juga kemuliaan pendeta tidak terletak pada toganya. Melainkan pada apa yang dikerjakannya. Legitimasi memang dibutuhkan, namun jauh lebih berguna integritas dalam mengemban tugas.

Dalam Injil Lukas 9 :28-36 dikisahkan suatu ketika Yesus mengajak Petrus, Yohanes dan Yakubus naik ke atas gunung untuk berdoa. Ketika Yesus berdoa, ketiga murid-Nya tertidur. Di saat itu rupa wajah bahkan sampai pakaian Yesus berubah menjadi putih berkilau cahaya. Tampak bersamanya dua tokoh yang sangat dihormati oleh orang Yahudi, yakni Musa dan Elia.  Dua tokoh ini berbicara tentang tujuan Yesus yang akan segera digenapi-Nya di Yerusalem. Ketika para murid terbangun, mereka tercengang, takjub melihat Yesus dalam kemuliaan-Nya. Spontan Petrus meminta, “Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”

Petrus menginginkan keadaan yang menyenangkan: kemuliaan itu dapat dirasakan dan dipertahankan lebih lama sehingga ia memerlukan untuk membangun tenda. Alih-alih menggubris apa yang diinginkan Petrus, jawaban langit mengatakan, “Inilah Anak-Ku yang kupilih, dengarkanlah Dia.” Petrus mengingini suasana kemuliaan itu terus ada dalam jangkauannya. Ia tidak mengerti bahwa kemuliaan Yesus yang sesungguhnya bukan dalam bentuk wajah dan pakaian-Nya yang berkilau cahaya. Petrus juga tidak ngeh bahwa kemuliaan Yesus bukan terletak pada hadirnya tokoh-tokoh utama Perjanjian Lama, yakni Musa dan Elia. Kemuliaan Yesus yang sesungguhnya adalah ketika Ia menuju Yerusalem untuk menggenapi semua yang diperintahkan Bapa-Nya! Banyak orang seperti Petrus, menyangka bahwa kemuliaan itu dapat diperoleh pada tempat-tempat khusus: tempat ibadah, istana, kantor yang megah dan yang sejenis dengan itu.

Yesus tidak mau dipenjarakan dalam kemah buatan Petrus. Keesokan harinya Yesus “turun gunung”, blusukan, totalitas hidupnya melakukan banyak pelayanan sampai akhirnya harus menderita sengsara dan mati! Itulah kemuliaan yang sesungguh-Nya, mengerjakan tugas Bapa-Nya hingga rampung.

Jadi, jika Anda menginginkan kemulian yang sejati, bukan sekedar pujian manusia, tidak ada jalan lain selain belajar dari Yesus. Yesus menerima legitimasi dari Allah melalui Musa, Elia dan Suara Langit lalu menindaklanjuti dengan karya nyata. Paulus dalam uraiannya di 2 Korintus 3:1-18 tentang pelayan-pelayan Perjanjian Baru menyadarkan kita bahwa setiap orang yang berjumpa dengan Kristus adalah cerminan kemuliaan Tuhan. Ia bagaikan surat Kristus yang dikenal dan dibaca oleh setiap orang (ayat 2).

Meminjam peristiwa wajah Musa bersinar setelah berbicara dengan Allah di gunung Sinai (Keluaran 34:29-35), Paulus menginginkan bahwa kemuliaan Allah itu mestinya tidak mempunyai selubung (ayat 18). Selubung artinya sesuatu yang dapat menghalangi seseorang melihat kemuliaan Allah. Kita pun bisa gagal, sama seperti kebanyakan orang Yahudi pada zaman Paulus apabila hanya mau dihormati, dimuliakan tanpa mampu memancarkan kemuliaan-Nya dalam hidup sehari-hari.

Seharusnya ketika seseorang belajar dan melihat kemuliaan Yesus dengan tanpa selubung maka orang itu pun akan diubah dari kemuliaan yang satu kepada kemuliaan yang lain. Banyak tokoh dan pemimpin dunia mengejar kemuliaan dengan pelbagai cara termasuk membunuh lawan-lawan politiknya. Mereka dikenang, dicatat dalam sejarah. Apakah kemudian orang menghormatinya sebagai “seorang yang mulia”? Tidak! Namun, coba tengok mereka yang berusaha dengan gigih, memanfaatkan hidupnya demi memuliakan sesama manusia. Mereka diingat dan terus dihargai sebagai orang-orang yang berjasa bagi kemanusiaan. Lihat Mahatma Gandhi, tengoklah perjalanan hidup Martin Luther King Jr, Bunda Teresa, mereka telah menginspirasi dunia. Memberi contoh menjadi manusia mulia. Bagaimana dengan kita? Apakah orang lain di sekitar kita melihat kemuliaan Kristus terpancar dalam kehidupan kita? Ataukah justeru kita ini bagaikan selubung yang menghalangi kasih Tuhan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar