Kamis, 31 Januari 2013

ROH DAN KASIH TUHAN MEMBERANIKAN KITA MENYATAKAN KEBENARAN

Ada sebuah kisah menarik yang dituturkan oleh George W.  Burns, seorang ahli psikoterapi. Kisahnya begini: Malam itu, seorang guru meditasi pulang ke rumahnya. Betapa terkejutnya ia mendapati pintu rumahnya telah terbuka. “Aku jelas telah menutup dan mengunci pintu itu sebelum berangkat.” gumamnya. Dia masuk ke dalam rumahnya dengan berhati-hati. Tanpa bisa dihindari, ia berhadapan dengan si pencuri! Pada mulanya, dia didera perasaan takut luar biasa. Apakah pencuri itu akan menyerangnya? Jantungnya berdegub kencang dan tubuhnya gemetar. Dia menarik nafas dalam-dalam mencoba menguasai diri. “Hadapi rasa takutmu,” begitu kata hatinya. Dia pernah membaca dan mendengar kata-kata itu. Bahkan hal itulah yang sering ia ajarkan dalam pelatihan-pelatihan meditasi. Kini saatnya mempraktikannya!

Pelatihan yang dia berikan juga menekankan pada rasa belas kasih. Kini sang guru meditasi itu merasakan sendiri betapa tidak mudahnya mempraktikan teori yang selama ini diajarkannya. Dia mencobanya dan akhirnya berhasil menguasai diri dan menjadi tenang. “Kamu pasti sedang amat membutuhkan sesuatu,” katanya kepada pencuri itu, “hingga ingin mengambil milik orang lain. Ayo, duduklah, kubuatkan kopi untukmu. Mungkin ada yang bisa aku bantu.”

Ketika mereka sudah duduk dan berbicara. Sang guru mulai mengerti tentang kehidupan si pencuri itu. Ternyata ia seorang pengangguran, anak-anaknya masih kecil, mereka butuh makanan, pakaian dan tempat tinggal. Pencuri ini, begitu pikir guru itu, sedang menjadi guruku. Dia mengajarinya hal-hal penting tentang rasa takut. Pertama, dengan semakin akrab dan mengerti apa yang ditakutkan, maka ketakutannya semakin berkurang. Pencuri itu juga manusia seperti dirinya, yang didorong oleh ketakutan dan kecemasan sendiri. Dia merasa takut dan lemah. Mudah sekali merasa takut pada hal-hal yang tidak kita mengerti, pikir sang guru itu. Pada umumnya semakin kita mengenal seseorang atau sesuatu, semakin kecil rasa takut kita. Kedua, dia menyadari bahwa dengan memfokuskan perhatian kepada orang lain, dia tidak menyadari dan memanjakan perasaannya sendiri. Akan tetapi ketika perasaan itu kembali terfokus pada dirinya, saat itu juga perasaan takut menghinggapinya kembali.

Meskipun mendapatkan kesadaran baru seperti ini, sang guru ini masih sulit melepaskan rasa cemasnya. Tahu apa yang harus dilakukan, tidak berarti kita mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Emosi kadang ada di atas nalar dan mengendalikan tindakan kita. Guru itu mulai merasa jengkel dan marah bahwa pencuri itu mencoba memanfaatkannya. Dia sudah mencoba menjadi orang baik. Dia tak punya banyak harta benda. Mengapa harus ada orang lain yang mengambil barang-barangnya yang tidak seberapa ini? Mengapa dia harus dibiarkan lepas begitu saja? Enak saja dia! Dengan pikiran semacam itu, rahangnya terkatup, tubuhnya menjadi tegang, dan jemarinya bergerak membentuk kepalan tangan. Dia ingin memberi pelajaran kepada pencuri ini. Sang pencuri harus menerima akibat dari perbuatannya itu. Dia hendak memanggil polisi dan melihat keadilan ditegakkan.

Lalu sang guru mulai berpikir bahwa mungkin, dia bisa belajar dari pikiran dan perasaan ini. Mungkin pencuri ini telah menciptakan sebuah pengalaman yang bisa mempermudah pertumbuhan ilmunya. Dia seorang guru, bukan hanya guru meditasi, melainkan juga guru filosofi meditasi. Dia mengajarkan perlunya melepaskan diri dari benda-benda duniawi kepada anak didiknya. Dia mengajarkan kepada mereka sifat kefanaan. “Tidak ada yang abadi,” begitu sering ia katakan. Cepat atau lambat segala sesuatu akan musnah. Lalu mengapa harus resah kalau hal itu terjadi lebih cepat?

Sesudah menghabiskan kopinya, sang guru itu mengumpulkan pakaian, selimut dan makanan, kemudian memberikannya kepada pencuri itu. “Ini.” Katanya, “bawa pulang untuk keluargamu!” Ketika pencuri itu sudah pergi, ia duduk bersila di lantai rumahnya yang kini kosong dan mulai bermeditasi.

Sementara itu si pencuri belum pergi terlalu jauh ketika ia merasa bersalah. Memang mudah mengambil sesuatu dari orang yang tak dikenal. Sekarang, karena ia sudah mengenal wanita itu, dia merasa seperti mencuri dari teman sendiri. “Bukan begini cara hidup yang kuinginkan,” pikirnya. Dia kembali menyusuri jalan yang dilaluinya tadi dan menaruh barang-barang itu di tangga masuk rumah sang guru. Dalam perjalanan pulang, dia memikirkan cara lain untuk menghidupi keluarganya.

Di rumahnya, sang guru meditasi itu memandang ke luar jendela. Meski kehilangan banyak hartanya, ia merasakan ketenangan dan kebahagiaan batin. Dia berpikir, “Seandainya aku memberikan lebih banyak kepada si pencuri itu. Seandainya aku bisa memberikan perasaan ini, ketenangan dan kedamaian kepadanya!”

Begitulah cinta kasih. Memberi! Bergumul dan bergulat dengan sang ego dan akhirnya melahirkan sebuah tindakan demi kebaikan orang lain. Mudahkah? Jelas tidak! Bahkan menguras energi batin. Paulus menguraikan cinta kasih itu dalam 1 Korintus 13:1-13, apa yang dicatat tidak banyak gunanya jika tidak dilakukan. Pergumulan batin pasti ada ketika kita melakukan tindakan kasih itu. Dalam cerita di atas, sang guru bergulat hebat dengan perasaannya antara menerapkan teori yang selama ini ia ajarkan kepada anak muridnya dengan perasaan marah dalam dirinya. Sebagaimana sang guru itu dapat mengendalikan emosinya, mestinya setiap anak-anak Tuhan mampu melakukan tindakan kasih itu dengan setulus-tulusnya. Mengapa? Karena Allah adalah sumber kasih itu. 1 Yoh.4:8 mengatakan, “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.” Pada hakekatnya setiap orang yang mengenal Allah di hatinya ada Roh yang selalu “berbisik” untuk melakukan tindakan kasih itu.

Bisikan Roh agar kita melakukan tindakan kasih itu bisa saja kita bungkam oleh karena tidak cukup kebenarnian untuk menyatakannya. Selalu ada alasan dan pembenaran yang tampaknya logis untuk tidak mau dan tidak berani melakukannya. Yeremia berusaha berkelit ketika TUHAN memanggilnya sebagai nabi. Nabi yang menyatakan cinta kasih Tuhan kepada umat-Nya agar bertobat dan tidak mendengarkan nabi-nabi palsu. Yeremia mengatakan, “Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai bicara, sebab aku ini masih muda.” (Yeremia 1:6). Usia muda dan tidak pandai bicara sangat logis menjadi alasan Yeremia. Umumnya manusia tidak suka diperingatkan oleh orang yang lebih muda terlebih pada zaman itu Yeremia harus berhadapan dengan banyaknya nabi-nabi palsu yang sangat mahir bersilat lidah. Lantas, apakah Tuhan diam? Tidak! Tuhan melengkapi dan meneguhkan Yeremia (Yer.1:7-10). Di sini kita belajar, ketika Tuhan memanggil seseorang untuk menjadi alat di tangan-Nya, tidak mungkin Dia membiarkan orang itu pergi dengan tangan hampa. Pasti Dia memberikan apa yang dibutuhkan dalam tugas pengutusan itu.

Resikonya terlalu berat! Itulah juga yang sering dijadikan alasan untuk tidak berani menyampaikan kebenaran. Belajar dari sang guru meditasi tadi. Ketakutan menguasai dirinya ketika berhadapan dengan si pencuri. Namun, kemudian dia bisa menguasainya. Resiko jelas ada, tetapi ketika ia mengenali sumber ketakutan itu, ternyata tidak sehebat yang ia cemaskan semula. Kita ini sering dicengram dan tersandera oleh kekuatiran berlebih, padahal ketika dihadapi mungkin tidak seseram yang dibayangkan. Dan yakinlah bahwa Tuhan tidak tinggal diam. Yesus ketika tampil menyatakan kebenaran dan belarasa Allah terhadap yang miskin, papa dan menderita, Dia juga mendapat ancaman dan rencana pembunuhan. Lukas 4:30, “Tetapi Ia berjalan lewat di tengah-tengah mereka, lalu pergi.” Orang banyak yang berusaha mengenyahkan Yesus itu seolah tidak lagi melihat Yesus sehingga Ia lolos dari ancaman pembunuhan itu.

Mengapa orang Yahudi yang semula membenarkan dan takjub akan perkataan Yesus, lalu kemudian berubah dengan menolak dan berusaha mengenyahkan-Nya? Bukan saja karena mereka melihat latar belakang Yesus sebagai anak Yusuf si tukang kayu itu. Melainkan dan yang terutama yang menjadi kemarahan mereka oleh karena Yesus mengungkapkan dua contoh dalam Perjanjian Lama, yakni janda di Sarfrat dan Naaman, orang Siria kedua-duanya orang asing dan kedua-duanya yang mendapat belas kasih Tuhan melalui Elia dan Elisa (Lukas 4:26,27). Yesus menyampaikan kebenaran bahwa kasih Allah tidak dapat dibatasi oleh umat atau bangsa tertentu. Orang Yahudi menjadi geram oleh karena selama ini mereka mengira bahwa Allah tidak mungkin menyediakan keselamatan, apalagi mendahulukannya untuk bangsa asing.  

Sangat mungkin, Anda dan saya akan menghadapi ancaman seperti yang Yesus alami ketika menyatakan kebenaran dan cinta kasih Tuhan. Sangat mungkin musuh-musuh kita menjadi banyak seperti pengalaman pemazmur (Mazmur 71) Sangat mungkin Anda dan saya mengalami kekerasan, entah itu fisik maupun verbal. Namun, jangan lupa sangat mungkin juga Allah berpihak pada kita. Dan kalau Allah di pihak kita, siapakah yang menjadi lawan kita? (Roma 8:31b)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar