Ada sebuah kisah menarik yang
dituturkan oleh George W. Burns, seorang
ahli psikoterapi. Kisahnya begini: Malam itu, seorang guru meditasi pulang ke
rumahnya. Betapa terkejutnya ia mendapati pintu rumahnya telah terbuka. “Aku
jelas telah menutup dan mengunci pintu itu sebelum berangkat.” gumamnya. Dia masuk
ke dalam rumahnya dengan berhati-hati. Tanpa bisa dihindari, ia berhadapan
dengan si pencuri! Pada mulanya, dia didera perasaan takut luar biasa. Apakah pencuri
itu akan menyerangnya? Jantungnya berdegub kencang dan tubuhnya gemetar. Dia menarik
nafas dalam-dalam mencoba menguasai diri. “Hadapi rasa takutmu,” begitu kata
hatinya. Dia pernah membaca dan mendengar kata-kata itu. Bahkan hal itulah yang
sering ia ajarkan dalam pelatihan-pelatihan meditasi. Kini saatnya
mempraktikannya!
Pelatihan yang dia berikan
juga menekankan pada rasa belas kasih. Kini sang guru meditasi itu merasakan
sendiri betapa tidak mudahnya mempraktikan teori yang selama ini diajarkannya. Dia
mencobanya dan akhirnya berhasil menguasai diri dan menjadi tenang. “Kamu pasti
sedang amat membutuhkan sesuatu,” katanya kepada pencuri itu, “hingga ingin
mengambil milik orang lain. Ayo, duduklah, kubuatkan kopi untukmu. Mungkin ada
yang bisa aku bantu.”
Ketika mereka sudah duduk dan berbicara.
Sang guru mulai mengerti tentang kehidupan si pencuri itu. Ternyata ia seorang
pengangguran, anak-anaknya masih kecil, mereka butuh makanan, pakaian dan
tempat tinggal. Pencuri ini, begitu pikir guru itu, sedang menjadi guruku. Dia mengajarinya
hal-hal penting tentang rasa takut. Pertama,
dengan semakin akrab dan mengerti apa yang ditakutkan, maka ketakutannya
semakin berkurang. Pencuri itu juga manusia seperti dirinya, yang didorong oleh
ketakutan dan kecemasan sendiri. Dia merasa takut dan lemah. Mudah sekali
merasa takut pada hal-hal yang tidak kita mengerti, pikir sang guru itu. Pada umumnya
semakin kita mengenal seseorang atau sesuatu, semakin kecil rasa takut kita. Kedua, dia menyadari bahwa dengan
memfokuskan perhatian kepada orang lain, dia tidak menyadari dan memanjakan
perasaannya sendiri. Akan tetapi ketika perasaan itu kembali terfokus pada
dirinya, saat itu juga perasaan takut menghinggapinya kembali.
Meskipun mendapatkan kesadaran
baru seperti ini, sang guru ini masih sulit melepaskan rasa cemasnya. Tahu apa
yang harus dilakukan, tidak berarti kita mempunyai kemampuan untuk
melakukannya. Emosi kadang ada di atas nalar dan mengendalikan tindakan kita. Guru
itu mulai merasa jengkel dan marah bahwa pencuri itu mencoba memanfaatkannya. Dia
sudah mencoba menjadi orang baik. Dia tak punya banyak harta benda. Mengapa harus
ada orang lain yang mengambil barang-barangnya yang tidak seberapa ini? Mengapa
dia harus dibiarkan lepas begitu saja? Enak saja dia! Dengan pikiran semacam
itu, rahangnya terkatup, tubuhnya menjadi tegang, dan jemarinya bergerak
membentuk kepalan tangan. Dia ingin memberi pelajaran kepada pencuri ini. Sang pencuri
harus menerima akibat dari perbuatannya itu. Dia hendak memanggil polisi dan
melihat keadilan ditegakkan.
Lalu sang guru mulai berpikir
bahwa mungkin, dia bisa belajar dari pikiran dan perasaan ini. Mungkin pencuri
ini telah menciptakan sebuah pengalaman yang bisa mempermudah pertumbuhan
ilmunya. Dia seorang guru, bukan hanya guru meditasi, melainkan juga guru
filosofi meditasi. Dia mengajarkan perlunya melepaskan diri dari benda-benda
duniawi kepada anak didiknya. Dia mengajarkan kepada mereka sifat kefanaan. “Tidak
ada yang abadi,” begitu sering ia katakan. Cepat atau lambat segala sesuatu
akan musnah. Lalu mengapa harus resah kalau hal itu terjadi lebih cepat?
Sesudah menghabiskan kopinya,
sang guru itu mengumpulkan pakaian, selimut dan makanan, kemudian memberikannya
kepada pencuri itu. “Ini.” Katanya, “bawa pulang untuk keluargamu!” Ketika
pencuri itu sudah pergi, ia duduk bersila di lantai rumahnya yang kini kosong
dan mulai bermeditasi.
Sementara itu si pencuri belum
pergi terlalu jauh ketika ia merasa bersalah. Memang mudah mengambil sesuatu
dari orang yang tak dikenal. Sekarang, karena ia sudah mengenal wanita itu, dia
merasa seperti mencuri dari teman sendiri. “Bukan begini cara hidup yang
kuinginkan,” pikirnya. Dia kembali menyusuri jalan yang dilaluinya tadi dan
menaruh barang-barang itu di tangga masuk rumah sang guru. Dalam perjalanan
pulang, dia memikirkan cara lain untuk menghidupi keluarganya.
Di rumahnya, sang guru
meditasi itu memandang ke luar jendela. Meski kehilangan banyak hartanya, ia
merasakan ketenangan dan kebahagiaan batin. Dia berpikir, “Seandainya aku
memberikan lebih banyak kepada si pencuri itu. Seandainya aku bisa memberikan
perasaan ini, ketenangan dan kedamaian kepadanya!”
Begitulah cinta kasih. Memberi!
Bergumul dan bergulat dengan sang ego dan akhirnya melahirkan sebuah tindakan demi
kebaikan orang lain. Mudahkah? Jelas tidak! Bahkan menguras energi batin. Paulus
menguraikan cinta kasih itu dalam 1 Korintus 13:1-13, apa yang dicatat tidak
banyak gunanya jika tidak dilakukan. Pergumulan batin pasti ada ketika kita
melakukan tindakan kasih itu. Dalam cerita di atas, sang guru bergulat hebat
dengan perasaannya antara menerapkan teori yang selama ini ia ajarkan kepada
anak muridnya dengan perasaan marah dalam dirinya. Sebagaimana sang guru itu
dapat mengendalikan emosinya, mestinya setiap anak-anak Tuhan mampu melakukan
tindakan kasih itu dengan setulus-tulusnya. Mengapa? Karena Allah adalah sumber
kasih itu. 1 Yoh.4:8 mengatakan, “Barangsiapa
tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.” Pada
hakekatnya setiap orang yang mengenal Allah di hatinya ada Roh yang selalu “berbisik”
untuk melakukan tindakan kasih itu.
Bisikan Roh agar kita
melakukan tindakan kasih itu bisa saja kita bungkam oleh karena tidak cukup
kebenarnian untuk menyatakannya. Selalu ada alasan dan pembenaran yang
tampaknya logis untuk tidak mau dan tidak berani melakukannya. Yeremia berusaha
berkelit ketika TUHAN memanggilnya sebagai nabi. Nabi yang menyatakan cinta kasih
Tuhan kepada umat-Nya agar bertobat dan tidak mendengarkan nabi-nabi palsu.
Yeremia mengatakan, “Ah, Tuhan ALLAH!
Sesungguhnya aku tidak pandai bicara, sebab aku ini masih muda.” (Yeremia 1:6).
Usia muda dan tidak pandai bicara sangat logis menjadi alasan Yeremia. Umumnya manusia
tidak suka diperingatkan oleh orang yang lebih muda terlebih pada zaman itu
Yeremia harus berhadapan dengan banyaknya nabi-nabi palsu yang sangat mahir
bersilat lidah. Lantas, apakah Tuhan diam? Tidak! Tuhan melengkapi dan
meneguhkan Yeremia (Yer.1:7-10). Di sini kita belajar, ketika Tuhan memanggil
seseorang untuk menjadi alat di tangan-Nya, tidak mungkin Dia membiarkan orang
itu pergi dengan tangan hampa. Pasti Dia memberikan apa yang dibutuhkan dalam
tugas pengutusan itu.
Resikonya terlalu berat! Itulah
juga yang sering dijadikan alasan untuk tidak berani menyampaikan kebenaran. Belajar
dari sang guru meditasi tadi. Ketakutan menguasai dirinya ketika berhadapan
dengan si pencuri. Namun, kemudian dia bisa menguasainya. Resiko jelas ada,
tetapi ketika ia mengenali sumber ketakutan itu, ternyata tidak sehebat yang ia
cemaskan semula. Kita ini sering dicengram dan tersandera oleh kekuatiran
berlebih, padahal ketika dihadapi mungkin tidak seseram yang dibayangkan. Dan yakinlah
bahwa Tuhan tidak tinggal diam. Yesus ketika tampil menyatakan kebenaran dan
belarasa Allah terhadap yang miskin, papa dan menderita, Dia juga mendapat
ancaman dan rencana pembunuhan. Lukas 4:30, “Tetapi Ia berjalan lewat di tengah-tengah mereka, lalu pergi.”
Orang banyak yang berusaha mengenyahkan Yesus itu seolah tidak lagi melihat
Yesus sehingga Ia lolos dari ancaman pembunuhan itu.
Mengapa orang Yahudi yang
semula membenarkan dan takjub akan perkataan Yesus, lalu kemudian berubah
dengan menolak dan berusaha mengenyahkan-Nya? Bukan saja karena mereka melihat
latar belakang Yesus sebagai anak Yusuf si tukang kayu itu. Melainkan dan yang
terutama yang menjadi kemarahan mereka oleh karena Yesus mengungkapkan dua
contoh dalam Perjanjian Lama, yakni janda di Sarfrat dan Naaman, orang Siria kedua-duanya
orang asing dan kedua-duanya yang mendapat belas kasih Tuhan melalui Elia dan
Elisa (Lukas 4:26,27). Yesus menyampaikan kebenaran bahwa kasih Allah tidak
dapat dibatasi oleh umat atau bangsa tertentu. Orang Yahudi menjadi geram oleh
karena selama ini mereka mengira bahwa Allah tidak mungkin menyediakan
keselamatan, apalagi mendahulukannya untuk bangsa asing.
Sangat mungkin, Anda dan saya
akan menghadapi ancaman seperti yang Yesus alami ketika menyatakan kebenaran
dan cinta kasih Tuhan. Sangat mungkin musuh-musuh kita menjadi banyak seperti
pengalaman pemazmur (Mazmur 71) Sangat mungkin Anda dan saya mengalami
kekerasan, entah itu fisik maupun verbal. Namun, jangan lupa sangat mungkin
juga Allah berpihak pada kita. Dan kalau Allah di pihak kita, siapakah yang
menjadi lawan kita? (Roma 8:31b)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar