Mentari pagi selalu didambakan
kemunculannya. Sinarnya dipercaya banyak mengandung manfaat. Ilmu pengetahuan
mengajarkan bila saja tidak ada mentari, mustahil ada kehidupan yang baik
seperti yang kita nikmati sekarang. Fajar sering kali digambarkan sebagai
harapan. Sinar itu bisa menembus ruang kamar kita apabila kita bersedia membuka
jendela dan menyibakkan tirai. Selama kita menutupnya sinar terang yang memberi
banyak manfaat itu akan sirna seiring berjalannya sang waktu.
Ibarat sinar sang mentari, Firman
Tuhan dapat menerangi, menunjukkan jalan yang benar (Mazmur 119: 105) dan
memberikan pengharapan serta kekuatan bila saja kita bersedia membuka jendela hati.
Membuka diri terhadap firman Tuhan tidak sesederhana dengan membuka Alkitab
setiap hari, lalu membacanya. Melainkan berusaha mendalami, memahami dan
menerapkannya. Ada sebuah kisah menarik yang mengajarkan kepada kita untuk
tidak hanya sekedar membaca kitab Suci.
Ada seorang rahib muda duduk
di luar biara sedang berdoa dangan tangan terkatup. Ia terlihat sangat suci dan
mendaraskan ayat-ayat suci sepanjang hari. Hari demi hari ia mendaraskan
kata-kata itu, dan percaya ia pasti akan memperoleh rahmat.
Pada suatu hari, imam kepala
biara itu duduk di sampingnya dan memungut sepotong batu bata, kemudian
menggosokkannya pada batu bata yang lain. Dari hari ke hari ia menggosokkan satu
batu bata ke batu bata yang lainnya. Hal ini berlangsung terus minggu demi
minggu, sampai rahib muda itu tidak bisa lagi menahan keingintahuannya. Ia akhirnya
bertanya, “Bapa, apa yang sedang Bapa lakukan?”
“Saya sedang mencoba membuat
sebuah cermin!” Jawab imam kepala itu.
“Tetapi itu tidak mungkin!”
kata rahib muda itu. “Bapa tidak bisa membuat cermin dari batu bata!”
“Betul”, jawab imam kepala
itu. ”Sama halnya denganmu, tidak mungkin memperoleh rahmat dengan tidak melakukan
sesuatu yang kamu daraskan dari ayat-ayat suci sepanjang hari itu!”
Ayat-ayat suci bermanfaat bila
kita membuka jendela hati, mendalami hingga memahaminya dan kemudian menerapkan
dalam kehidupan. Selama itu tidak dijalani mustahil dapat memperoleh manfaat
dari padanya. Secara umum ada dua respon manusia dalam menanggapi Firman Tuhan.
Pertama, membuka diri terhadap Firman dan kedua menolaknya.
Setelah kembali dari
pembuangan cukup lama, sekitar 70 tahun, kini bangsa Israel di bawah pimpinan
Nehemia kembali ke tanah perjanjian. Mereka meminta seorang ahli kitab, Ezra namanya, untuk membacakan kitab Taurat
Musa (Nehemia 8:2). Mereka sangat merindukan firman itu! Telah lama sekali
mereka tidak mendengar firman Tuhan. Berbeda sebelum mereka mengalami
pembuangan. Sebelumnya para nabi berulang kali mengingatkan bangsa itu untuk
mendengar suara Tuhan dan bertobat. Alih-alih hati mereka terbuka, mereka
menolak dan menganiaya bahkan membunuh si pembawa pesan Allah itu. Namun, kali
ini mereka antusias menyimak firman yang dibacakan itu. “Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat
itu. (Nehemia 8:4b)” Mereka menaruh hormat pada firman itu. Terbukti ketika
firman itu dibacakan semua bangkit berdiri (Neh.8:6).
Melihat respon umat sedemikian
antusias, Ezra pun memuji Allah dan disambut oleh umat; “Amin, amin! Kemudian
mereka berlutut menyembah Tuhan” (Neh.8:7). Kemudian tampillah orang-orang Lewi
untuk menerangkan bagian-demi bagian kitab yang dibacakan itu kepada mereka
sehingga mereka memahaminya dengan baik. Kemudian Nehemia menyatakan hari itu
adalah hari yang kudus bagi Allah dan menyuruh mereka pergi dengan sukacita
(ayat 11).
Dari kisah umat Tuhan ini,
kita dapat belajar sikap terbuka pada Firman Allah:
1. Mempunyai
kerinduan untuk mendengar dan membaca kita suci. Dalam Nehemia 8 kerinduan ini
dinyatakan dengan mereka mendesak Ezra yang adalah ahli Kitab Suci untuk segera
membacakan Taurat Musa.
2. Perhatian
penuh pada Firman yang dibacakan.
3. Menaruh
hormat pada Firman Tuhan
4. Memberikan
pujian kepada Allah karena Ia berkenan menyapa umat-Nya.
5. Bersedia
mendalami kekayaan firman itu.
6. Mau
diutus pergi dengan sukacita dan menguduskan Allah.
Sikap sebaliknya, yakni
penolakan diperlihatkan dalam bacaan Injil Lukas 4:16-31. Yesus, setelah
mengalami pencobaan di padang gurun, Ia tampil di Galilea. Penampilannya di
Galilea menghebohkan masyarakat di sana (Lukas 4:15). Kemudian Ia datang di
Nazaret, tempat Ia dibesarkan. Ia masuk ke rumah ibadah dan kepada-Nya
diberikan kitab Nabi Yesaya untuk dibacakan. Layaknya sebagai seorang yang
dianggap rabbi (guru), Yesus menerima
kitab itu dan membacakan Yesaya 61:1-2, “Roh
Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar
baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan
pembebasanke pada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta,
untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat
Tuhan telah datang.” Sebagaimana lazimnya seorang rabbi, Yesus menguraikan
dan menjelaskan bagian kitab yang dibaca itu. Ia mengatakan, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu
mendengarnya.”(Luk.4:21b)
Mulanya orang-orang yang
mendengar Yesus membaca kitab dan mengajar itu antusias. Mereka membenarkan
ajaran Yesus dan mereka takjub akan kata-kata indah yang diucapkan-Nya. Namun,
sesaat kemudian mereka mulai mempertanyakan siapa Yesus ini? Bukankah Ia ini
anak Yusuf? Mereka menerima kebenaran yang disampaikan oleh Yesus namun,
kemudian mereka menolaknya oleh karena mereka tahu latar belakang Yesus yang
adalah anak Yusuf si tukang kayu itu! Selanjutnya Yesus benar-benar ditolak.
Mereka menghalau-Nya keluar kota dan membawa Yesus ke tebing gunung untuk
dijatuhkan. Namun, Yesus berjalan di tengah-tengah mereka dan pergi
(Luk.4:29-30). Nazaret, kampung halaman Yesus dibesarkan tidak pernah melihat
suatu mujizat yang dilakukan Yesus oleh karena mereka menutup diri untuk
kebenaran yang diberitakan Yesus.
Bukankah kita juga sering
seperti orang banyak yang mendengar ajaran Yesus itu? Sebenarnya ada banyak
kebenaran yang setiap hari terjadi, namun sering kali kita abaikan bahkan kita
menolaknya. Mengapa? Kita cenderung melihat siapa yang menyampaikannya
ketimbang berita apa yang disampaikan itu. Kita cenderung menolak kebenaran
oleh karena yang menyampaikan itu adalah orang-orang yang kita anggap level-nya di bawah kita: anak, bawahan,
pembantu atau orang di pinggir jalan. Kita memilih menutup jendela hati kita
untuk kebenaran itu.
Alih-alih menerima kebenaran,
banyak orang lebih dulu tersinggung, marah dan kemudian membenci si pembawa
pesan itu. Inilah ciri-ciri orang yang menutup diri bagi kebenaran Allah. Inilah
sebenarnya yang disebut kafir itu. Kata kafir
berasal dari kata kufur artinya,
menolak atau menutup. Sebelum istilah kafir
itu ngetren untuk meng-cap orang yang beda agama, kata “kafir” dipakai
untuk menyebut petani. Mengapa? Para petani biasanya setelah mengolah tanah,
mereka menaburkan benih. Nah, supaya benih ini tidak hilang dimakan burung atau
diterbangkan angin, mereka akan menutupnya dengan tanah. Istilah “menutup”
itulah yang disebut kufur, akar kata
dari “kafir”. Jadi makna “kafir” adalah: kalau seseorang
tahu kebenaran dan kemudian dia dengan sengaja menutup jendela hatinya lalu menolaknya.
Bukankah ada banyak orang
seperti ini di dalam gereja? Setiap minggu ia pergi ke gereja mendengarkan
firman Tuhan, belajar mendalaminya dalam PA supaya faham dan mengerti. Tetapi apa
yang dilakukannya setelah mengerti firman itu? Bagaimana dengan mengasihi?
Musuh harus dikasihi! Bagaimana dengan memaafkan dan mengampuni? Katanya harus
tujuh puluh kali tujuh! Bagaimana dengan memperlakukan dan melayani orang lain?
Bukankah seharusnya tidak ada pembedaan? Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Apakah ini dicerna dan dilakukan? Jika kita tahu dan mengerti firman Allah,
namun dengan sengaja tidak mau melakukannya maka kita ini termasuk golongan kafir
tulen. Nauzdubillah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar