Jumat, 25 Januari 2013

MENJADI UMAT TUHAN YANG TERBUKA PADA FIRMAN-NYA

Mentari pagi selalu didambakan kemunculannya. Sinarnya dipercaya banyak mengandung manfaat. Ilmu pengetahuan mengajarkan bila saja tidak ada mentari, mustahil ada kehidupan yang baik seperti yang kita nikmati sekarang. Fajar sering kali digambarkan sebagai harapan. Sinar itu bisa menembus ruang kamar kita apabila kita bersedia membuka jendela dan menyibakkan tirai. Selama kita menutupnya sinar terang yang memberi banyak manfaat itu akan sirna seiring berjalannya sang waktu.

Ibarat sinar sang mentari, Firman Tuhan dapat menerangi, menunjukkan jalan yang benar (Mazmur 119: 105) dan memberikan pengharapan serta kekuatan bila saja kita bersedia membuka jendela hati. Membuka diri terhadap firman Tuhan tidak sesederhana dengan membuka Alkitab setiap hari, lalu membacanya. Melainkan berusaha mendalami, memahami dan menerapkannya. Ada sebuah kisah menarik yang mengajarkan kepada kita untuk tidak hanya sekedar membaca kitab Suci.

Ada seorang rahib muda duduk di luar biara sedang berdoa dangan tangan terkatup. Ia terlihat sangat suci dan mendaraskan ayat-ayat suci sepanjang hari. Hari demi hari ia mendaraskan kata-kata itu, dan percaya ia pasti akan memperoleh rahmat.

Pada suatu hari, imam kepala biara itu duduk di sampingnya dan memungut sepotong batu bata, kemudian menggosokkannya pada batu bata yang lain. Dari hari ke hari ia menggosokkan satu batu bata ke batu bata yang lainnya. Hal ini berlangsung terus minggu demi minggu, sampai rahib muda itu tidak bisa lagi menahan keingintahuannya. Ia akhirnya bertanya, “Bapa, apa yang sedang Bapa lakukan?”

“Saya sedang mencoba membuat sebuah cermin!” Jawab imam kepala itu.
“Tetapi itu tidak mungkin!” kata rahib muda itu. “Bapa tidak bisa membuat cermin dari batu bata!”
“Betul”, jawab imam kepala itu. ”Sama halnya denganmu, tidak mungkin memperoleh rahmat dengan tidak melakukan sesuatu yang kamu daraskan dari ayat-ayat suci sepanjang hari itu!”

Ayat-ayat suci bermanfaat bila kita membuka jendela hati, mendalami hingga memahaminya dan kemudian menerapkan dalam kehidupan. Selama itu tidak dijalani mustahil dapat memperoleh manfaat dari padanya. Secara umum ada dua respon manusia dalam menanggapi Firman Tuhan. Pertama, membuka diri terhadap Firman dan kedua menolaknya.

Setelah kembali dari pembuangan cukup lama, sekitar 70 tahun, kini bangsa Israel di bawah pimpinan Nehemia kembali ke tanah perjanjian. Mereka meminta seorang ahli kitab,  Ezra namanya, untuk membacakan kitab Taurat Musa (Nehemia 8:2). Mereka sangat merindukan firman itu! Telah lama sekali mereka tidak mendengar firman Tuhan. Berbeda sebelum mereka mengalami pembuangan. Sebelumnya para nabi berulang kali mengingatkan bangsa itu untuk mendengar suara Tuhan dan bertobat. Alih-alih hati mereka terbuka, mereka menolak dan menganiaya bahkan membunuh si pembawa pesan Allah itu. Namun, kali ini mereka antusias menyimak firman yang dibacakan itu. “Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu. (Nehemia 8:4b)” Mereka menaruh hormat pada firman itu. Terbukti ketika firman itu dibacakan semua bangkit berdiri (Neh.8:6).

Melihat respon umat sedemikian antusias, Ezra pun memuji Allah dan disambut oleh umat; “Amin, amin! Kemudian mereka berlutut menyembah Tuhan” (Neh.8:7). Kemudian tampillah orang-orang Lewi untuk menerangkan bagian-demi bagian kitab yang dibacakan itu kepada mereka sehingga mereka memahaminya dengan baik. Kemudian Nehemia menyatakan hari itu adalah hari yang kudus bagi Allah dan menyuruh mereka pergi dengan sukacita (ayat 11).

Dari kisah umat Tuhan ini, kita dapat belajar sikap terbuka pada Firman Allah:

1.    Mempunyai kerinduan untuk mendengar dan membaca kita suci. Dalam Nehemia 8 kerinduan ini dinyatakan dengan mereka mendesak Ezra yang adalah ahli Kitab Suci untuk segera membacakan Taurat Musa.
2.       Perhatian penuh pada Firman yang dibacakan.
3.       Menaruh hormat pada Firman Tuhan
4.       Memberikan pujian kepada Allah karena Ia berkenan menyapa umat-Nya.
5.       Bersedia mendalami kekayaan firman itu.
6.       Mau diutus pergi dengan sukacita dan menguduskan Allah.

Sikap sebaliknya, yakni penolakan diperlihatkan dalam bacaan Injil Lukas 4:16-31. Yesus, setelah mengalami pencobaan di padang gurun, Ia tampil di Galilea. Penampilannya di Galilea menghebohkan masyarakat di sana (Lukas 4:15). Kemudian Ia datang di Nazaret, tempat Ia dibesarkan. Ia masuk ke rumah ibadah dan kepada-Nya diberikan kitab Nabi Yesaya untuk dibacakan. Layaknya sebagai seorang yang dianggap rabbi (guru), Yesus menerima kitab itu dan membacakan Yesaya 61:1-2, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasanke pada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” Sebagaimana lazimnya seorang rabbi, Yesus menguraikan dan menjelaskan bagian kitab yang dibaca itu. Ia mengatakan, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”(Luk.4:21b)

Mulanya orang-orang yang mendengar Yesus membaca kitab dan mengajar itu antusias. Mereka membenarkan ajaran Yesus dan mereka takjub akan kata-kata indah yang diucapkan-Nya. Namun, sesaat kemudian mereka mulai mempertanyakan siapa Yesus ini? Bukankah Ia ini anak Yusuf? Mereka menerima kebenaran yang disampaikan oleh Yesus namun, kemudian mereka menolaknya oleh karena mereka tahu latar belakang Yesus yang adalah anak Yusuf si tukang kayu itu! Selanjutnya Yesus benar-benar ditolak. Mereka menghalau-Nya keluar kota dan membawa Yesus ke tebing gunung untuk dijatuhkan. Namun, Yesus berjalan di tengah-tengah mereka dan pergi (Luk.4:29-30). Nazaret, kampung halaman Yesus dibesarkan tidak pernah melihat suatu mujizat yang dilakukan Yesus oleh karena mereka menutup diri untuk kebenaran yang diberitakan Yesus.

Bukankah kita juga sering seperti orang banyak yang mendengar ajaran Yesus itu? Sebenarnya ada banyak kebenaran yang setiap hari terjadi, namun sering kali kita abaikan bahkan kita menolaknya. Mengapa? Kita cenderung melihat siapa yang menyampaikannya ketimbang berita apa yang disampaikan itu. Kita cenderung menolak kebenaran oleh karena yang menyampaikan itu adalah orang-orang yang kita anggap level-nya di bawah kita: anak, bawahan, pembantu atau orang di pinggir jalan. Kita memilih menutup jendela hati kita untuk kebenaran itu.

Alih-alih menerima kebenaran, banyak orang lebih dulu tersinggung, marah dan kemudian membenci si pembawa pesan itu. Inilah ciri-ciri orang yang menutup diri bagi kebenaran Allah. Inilah sebenarnya yang disebut kafir itu. Kata kafir berasal dari kata kufur artinya, menolak atau menutup. Sebelum istilah kafir  itu ngetren untuk meng-cap orang yang beda agama, kata “kafir” dipakai untuk menyebut petani. Mengapa? Para petani biasanya setelah mengolah tanah, mereka menaburkan benih. Nah, supaya benih ini tidak hilang dimakan burung atau diterbangkan angin, mereka akan menutupnya dengan tanah. Istilah “menutup” itulah yang disebut kufur, akar kata dari “kafir”.  Jadi makna “kafir” adalah: kalau seseorang tahu kebenaran dan kemudian dia dengan sengaja menutup jendela hatinya lalu menolaknya.

Bukankah ada banyak orang seperti ini di dalam gereja? Setiap minggu ia pergi ke gereja mendengarkan firman Tuhan, belajar mendalaminya dalam PA supaya faham dan mengerti. Tetapi apa yang dilakukannya setelah mengerti firman itu? Bagaimana dengan mengasihi? Musuh harus dikasihi! Bagaimana dengan memaafkan dan mengampuni? Katanya harus tujuh puluh kali tujuh! Bagaimana dengan memperlakukan dan melayani orang lain? Bukankah seharusnya tidak ada pembedaan? Dan masih banyak lagi yang lainnya. Apakah ini dicerna dan dilakukan? Jika kita tahu dan mengerti firman Allah, namun dengan sengaja tidak mau melakukannya maka kita ini termasuk golongan kafir tulen. Nauzdubillah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar