Tahun 1960 untuk pertama
kalinya National Aeronautics and Spase Administration (NASA), Amerika Serikat
menampilkan gambar tentang dunia yang direkam oleh para astronaut dari pesawat
ruang angkasa. Ini menandakan era baru pemahaman manusia terhadap semesta alam.
Untuk pertama kalinya manusia melihat betapa indahnya bumi kita yang berwarna
biru. Mengambang dan bergerak di angkasa. Menakjubkan!
Dalam setiap peradaban
sebelumnya, manusia menegadah ke langit dan membuat penafsiran sendiri mengenai
apa yang dilihatnya dan bumi tempat berpijaknya. Menurut legenda Hindu, Bumi terletak di atas
lempengan emas yang didukung oleh gajah-gajah yang berdiri di atas kura-kura
raksasa yang dianggap sebagai dewa Wishnu. Bila terjadi gempa bumi, dianggap
sebagai bergeraknya para gajah.
Sederhana. Ya, tentu jika melihatnya dari kaca mata zaman Einstein sekarang. Namun,
apa yang sederhana itu bermakna pada era pra Pythagoras untuk menjelaskan
semesta alam dan posisi manusia di dalamnya.
Dunia Perjanjian Lama lain
lagi menggambarkan bumi dan alam semesta. Bumi merupakan dataran rata. Di ujung nya terdapat
jurang tembus menuju dunia orang mati. Di atas bumi ada langit, langit
mempunyai tingkap-tingkap. Jika tingkap-tingkap langit terbuka maka air yang di
atas langit itu akan tercurah ke bumi. Itulah hujan! Sangat simpel kosmologi
pada saat itu. Namun, itulah yang dimengerti pada zaman itu.
Al Idrisi (1154 M) membuat
peta bumi yang dianggap peta paling maju pada zaman itu. Bumi merupakan daratan
yang dikelilingi oleh air. Selatan letaknya di atas (kebalikan peta moderen,
Utara di atas). Pythagoras (abad ke-6 SM) sudah percaya bahwa bumi berbentuk
bola, menjadi pusat alam semesta dan benda-benda angkasa mengelilingi bumi. Pendapat
ini diikuti oleh Plato (427-347 SM) dan muridnya, Aristoteles (384-322 SM) sampai
Ptolomeus (140) dan dikenal sebagai Geosentrisme. Bumi sebagai pusat tata surya
dan kehidupan.
Tata surya, bumi dan benda-benda
langit telah lama menjadi obyek atau subyek penelitian manusia. Sejak lama
manusia percaya bahwa melalui ciptaan Sang Adikodrati itu komunikasi antara
Sang Khaliq dan ciptaan terjalin komunikasi. Alam raya dapat menjadi pertanda
yang ilahi. Kearifan, bukan sekedar
nalar dibutuhkan untuk menangkap sinyal Yang Mahatinggi itu. Kaum Majus adalah
kelompok orang yang terkenal dengan kearifan itu. Mereka dipercaya mampu
membaca “tanda langit”. Salah satunya tentang kelahiran Sang Mesias! Raja yang
telah lama dinantikan. Siapakah para Majus ini? Herodotus meyakini, Majus (Yun: magoi) berasal dari sebuah suku
bangsa Medi. Bangsa Medi adalah bagian dari warga kekaisaran Persia (Iran, sekarang).
Mereka pernah mencoba menggulingkan kekuasaan Persia namun tidak berhasil. Sejak
saat itu mereka tidak lagi punya ambisi untuk mempunyai kekuasaan dan pretise. Mereka
memilih menjadi para imam. Mirip kaum Lewi di tengah-tengah bangsa Israel. Mereka
menjadi pendidik, penasehat sampai memimpin ritual ibadah. Orang Majus
dipercaya sebagai orang suci dan bijaksana.
Sejarah mencatat dan mengakui
kepiawaian dan hikmat dari para Majusi dalam membaca “tanda langit” itu.
Suetonius seorang sejarawan mencatat dalam Life
of Hero, 13:1, bahwa Tiridates Raja Armenia diiringi oleh beberapa orang
Majus memberikan persembahan kepada Kaisar Nero di Roma. Seneka menulis dalam Epistles 58:31, adanya orang Majus yang
memberikan persembahan kepada Plato.
Kini, kita membaca dalam
Matius 2:1-12 bahwa para Majus itu mencari Mesias yang baru dilahirkan. Mereka membaca
“tanda langit”, bintang terang itu! Jarak yang cukup jauh. Mereka datang dari “Timur”.
Timur yang dimaksud bisa dari Arabia, Babel atau daerah-daerah di sekitar
Mesopotamia, yang jaraknya bisa ratusan kilometer menuju ke Yerusalem. Sudah tentu
mereka harus menyiapkan perbekalan dan segala sesuatunya dengan seksama agar
tidak mendapat kendala di perjalanan. Mereka sampai di Yerusalem, masuk dalam
istana Herodes. Mengapa tidak langsung ke Betlehem yang jaraknya 8 Km dari
Yerusalem? Di sinilah naluri manusia. Walau sebijak apa pun orang-orang Majus,
pastilah berpikir bahwa kalau seorang Raja Besar itu lahir tempatnya di istana.
Sangat mungkin sekali mereka tidak menduga bahwa Sang Mesias justeru lahir di
kandang yag hina.
Perjumpaan Majusi dengan
Herodes di istana Yerusalem menimbulkan kegundahan dalam diri Herodes. Herodes merasa
terancam dengan berita lahirnya Sang Raja ini. Betapa tidak! Setiap orang yang
berpotensi merongrong kekuasaannya sebagai raja harus lenyap dari muka bumi. Tak
peduli apakah ia adalah saudaranya, istri bahkan anaknya sendiri. Herodes ini
telah membunuh isterinya, Mariamne, beserta ibunya yang bernama Alexandra
bahkan anaknya yang tertua Antipater dan dua anaknya yang lain; Alexander dan
Aristobulus lantaran mereka dicurigai membahayakan kekuasaannya. Sehingga tak
heran kalau Agustus, sang kaisar Roma pernah berkata tentang Herodes ini, “Lebih
baik menjadi babi milik Herodes dari pada menjadi anak Herodes sendiri.”
Dalam keterkejutannya, Herodes
bertanya kepada para imam di mana Sang Mesias itu dilahirkan. Mereka menjawab
di Betlehem! Sesuai dengan nubuat Kitab Mikha 5:2. Herodes berpesan kepada para
Majusi itu untuk segera menemukan Anak itu dan memberitahukan kepadanya dengan
dalih supaya ia pun ikut menyembah-Nya. Padahal ia akan mempersiapkan
pasukannya untuk membantai Anak itu. Rencana busuknya terbukti ketika ia
memerintahkan agar seluruh anak laki-laki di bawah dua tahun dibunuh. Untunglah
Tuhan memerintahkan para Majusi ini tidak lagi menghadap Herodes, melainkan
pulang melalui jalan lain.
Benar! Para Majus dituntun
bintang Timur itu berjumpa di tempat di mana Anak itu berada. Mereka
bersukacita, bersujud menyembah dan memberikan mas, kemenyan dan mur sebagai
persembahan (Mat.2:9-11). Apa yang dapat
kita pelajari dari jiarah para Majus dalam menemukan Yesus, Sang Mesias itu?
1. Penulis
Injil Matius menyadari betul bahwa kedatangan para Majusi dari Timur itu
merupakan pertanda bahwa di dalam Kristus, nubuat-nubut Perjanjian Lama
digenapi. Dalam Mazmur 72:10 dicatat, bahwa bangsa-bangsa asing akan membawa
upeti dan persembahan kepada Raja Mesias. Sedangkan Yesaya menulisnya, “ Sejumlah besar unta akan menutupi
daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari
Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyur
TUHAN.” (Yesaya 60:6). Dan lihatlah, waktu Yesus masih kecil bangsa asing
benar membawa persembahan bagiNya. Allah menjamin bahwa di dalam Kristus, semua
janji-janji-Nya terpenuhi.
2. Matius
ingin memperlihatkan bahwa bangsa asing “mendahului” orang Yahudi. Sebagaimana
Pelayanan Paulus. Pemberitaan Injil Kristus disambut lebih baik oleh
orang-orang bukan Yahudi (bnd. Efesus 3:1-12). Orang Yahudi, melalui para imam
mestinya menyadari dan peka akan tanda-tanda kelahiran Mesias. Para imam hapal
di mana Mesias itu akan lahir. Ini terbukti ketika Herodes bertanya, mereka
langsung bisa menjawabnya. Di Betlehem! Namun, ternyata ritual ibadah dan
pengetahuan tentang kitab suci hanya sekedar tradisi. Hal ini menjadi
peringatan juga untuk kita. Natal, kelahiran Kristus yang dirayakan saban tahun
dan ritual liturgi gerejawi yang dilakukan setiap saat belum tentu mengasah
kepekaan kita yang kemudian memberi ruang yang paling terhormat bagi Sang
Mesias, yakni di lubuk hati yang terdalam. Belum tentu orang yang tampaknya “saleh-superkristiani”
itu di hatinya telah lahir Kristus!
3. Orang
Majus adalah orang yang bernalar dan sekaligus berhikmat. Mereka tidak
menggunakan akal budinya sebagai satu-satunya penentu kebenaran dan petunjuk
bagi kehidupannya. Masih ada yang terutama, yakni mendengar suara dan petunjuk
Tuhan! Ada banyak orang semakin pandai akal budinya menganggap kitab suci itu
tahyul karena ada banyak ketidaksesuaian dengan nalar. Nalar dijadikan sebagai
sumber penentu arah hidupnya. Ia lupa bahwa sebagaimana Albert Einstein pernah
mengatakan bahwa hanya 5% saja manusia menggunakan otaknya. Masih ada 95%
bagian lain yang belum digunakan. Itu berarti sepandai-pandainya manusia, masih
ada ruang yang tidak bakalan terselami oleh rasio manusia. Ada banyak perkara
yang mustahil difahami manusia. Ada orang bijak mengatakan: “Jangan berusaha
memasukan Kerajaan Sorga kedalam kepalamu. Tetapi masukkanlah kepalamu ke dalam
Kerajaan Sorga, maka engkau akan menikmati kasih dan karunia-Nya!”
4. Para
Majus datang menyembah dan memberikan persembahan. Perilaku Majusi ini memberi
contoh kepada kita bahwa mengakui Yesus sebagai Raja Mesias harus sesuai dengan
perilaku yang terjadi. Sejak awal keberangkatannya, para Majusi sudah menyakini
akan pertanda lahirnya Sang Raja. Mereka mencarinya, kini setelah menemukanNya,
mereka menyembah-Nya. Tidak hanya berhenti di sini. Mereka pun memberikan
persembahan! Mengaku Yesus sebagai Raja dan Mesias menuntut kita untuk sujud di
hadapanNya serta memberikan apa yang terbaik untuk-Nya. Tentu persembahan kini
tidak harus sama dengan apa yang diberikan oleh orang Majus. Intinya berikan
yang terbaik dalam hidupmu yakni hidup dan karyamu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar