Jumat, 11 Januari 2013

KEMULIAAN ALLAH DINYATAKAN DALAM SOLIDARITAS-NYA


Yohanes Pembaptis memulai debutnya dengan tipikal nabi-nabi Perjanjian Lama. Khotbahnya berdasarkan pemberitahuan tentang hukuman Allah yang akan datang. Jalan untuk menghindari penghukuman itu adalah “baptisan sebagai tanda pertobatan untuk pengampunan dosa.” Artinya, Yohanes mengajak orang supaya bertobat, yaitu supaya undur dari dosa dengan kembali kepada jalan Tuhan. Sebagai bukti penyesalan dan sebagai jalan penyucian serta tanda pengampunan dosa maka orang dibaptisan, yaitu dengan jalan dibenamkan dalam sungai Yordan.

Yesus dibaptiskan? Apakah gak salah? Oleh Yohanes pula, sepupunya! Lantas apa perlunya Yesus dibaptiskan? Bukankah Ia bebas dari dosa? Orang yang bebas dari dosa, logikanya tidak perlu bertobat! Membingungkan? Ya, mungkin saja banyak orang yang bingung atas keyakian kristian ini: Yesus dipercayai sebagai Tuhan tetapi Dia ikut-ikutan dibaptis seperti orang banyak yang mendengarkan seruan Yohanes lalu dibaptiskan. Ataukah pada kesempatan itu Yesus sedang berusaha membangun citra, menumpang popularitas demi menjaring pengikut?

Ketika Yohanes muncul, orang banyak datang kepadanya untuk mendengarkan seruannya dan merespon dengan baptisan sebagai anda pertobatan. Dari seluruh negeri, tampaknya terjadi gerakan tobat nasuha. Mereka menyadari kesalahan dan dosa-dosanya, kini berbalik kepada Allah. Apa yang terjadi dengan Yesus? Bukan karena Yesus sadar akan dosa-Nya dan membutuhkan pertobatan atau sekedar ikut-ikutan orang banyak. Namun, Dia tahu bahwa Ia juga harus menyamakan diri-Nya dengan gerakan menuju kepada Allah ini. Bagi Yesus munculnya gerakan Yohanes ini adalah panggilan Allah untuk bertindak; dan langkah pertamanya adalah berderap menyamakan diri-Nya dengan umat yang sedang mencari Allah. Ada kesamaan dan keberpihakan, tetapi bukan iku-ikutan! Yesus solider dengan manusia berdosa yang sedang mencari Allah! Kisah berikut telah menyadarkan saya akan makna solidaritas yang benar.

Seorang gadis kecil, Mirta suatu ketika merengek kepada ayahnya agar si ayah memenuhi permintaanya,” Yah, bolehkah saya meminta sesuatu? Ijinkan saya untuk menggunduli rambutku. Sekali ini saja!” Sontak si ayah kaget, “Mana boleh anak perempuan digunduli?” Ayahnya mencoba memberikan pengertian kepada Mirta.” Mirta tampaknya tidak mau menyerah, “Tidak apa-apa ayah, saya tahu resikonya, boleh ya?”

“Teman-temanmu itu cantik-cantik karena rambut mereka panjang. Kalau kamu gundul, mana bisa dibilang cantik. Kamu mau diejek sama teman-temanmu?” Kata si ayah membujuk untuk Mirta mengurungkan niatnya. “Tidak apa-apa ayah, Mirta janji deh tidak akan marah jika ada yang mengejek! Mirta janji juga setelah ini Mirta tidak akan minta apa-apa lagi”. Sang ayah pun menyerah. Dengan berat hati, ia berkata kepada gadis kesayangannya itu, “Ya sudah kalau memang begitu mau mu, tapi jangan menangis ya kalau diejek oleh teman-temanmu!”

Keeseokan harinya, sang ayah mengantar Mirta yang kepalanya sudah plontos ke sekolah. Setelah sampai di sekolah, mata sang ayah menangkap sosok gadis seusia anaknya yang kepalanya plontos juga berdiri di bawah pohon. “Apa sekarang sedang ngetren potongan rambut gundul?” Pikir si ayah dalam hati. “Mirta pergi dulu yah!” seru Mirta dengan wajah penuh ceria. Sang ayah memandangi gadis kecilnya yang kini menghampiri gadis gundul yang berada di bawah pohon. Keduanya pun berjalan masuk menuju ke dalam kelas dengan penuh tawa.

Beberapa saat kemudian, seorang wanita datang menghampiri sang ayah dan berkata, “Wah, anak Anda sungguh hebat! Anak saya menderita leukimia. Ia harus menjalani banyak terapi sehingga merontokkan rambut di kepalanya dan menjadi botak. Ia malu pergi ke sekolah dengan penampilan seperti itu. Tetapi kemudian anak Anda berkata bahwa ia akan menggunduli kepalanya juga supaya anak saya punya teman yang sama-sama botak. Asal Anda tahu, anak saya tidak lagi malu berangkat ke sekolah berkat anak Anda. Terima kasih banyak!”

Mirta bukan sekedar ikut-ikutan kepalanya diplontos. Dia juga tidak sedang membela membabi-buta temannya yang sedang sakit. Motivasi yang utamanya adalah agar si teman yang sedang menjalani kemoterapi tetap optimis, tidak minder dan dapat melangsungkan kehidupan tidak dengan kelu-kesah! Kebotakan Mirta jelas bukan kerontokan rambut sebagai dampak kemoterapi. Ia tidak menyidap kanker dan harus dikemoterapi. Mirta sehat!

Yesus tidak berdosa, Ia juga tidak perlu bertobat dan mestinya juga tidak harus dibaptiskan oleh Yohanes. Itulah sikap solider atau tepatnya belarasa Tuhan bagi umat yang berdosa. Dengan cara demikian Kristus masuk sepenuhnya ke dalam kehidupan umat manusia. Ia menjadi manusia sejati dalam derap langkah menuju Allah. Dan di dalam diri-Nya manusia menemukan siapa yang sedang dicari itu. Dalam pembaptisan-Nya itu terdengar Suara Langit, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Lukas 3:22b). Jika Allah di dalam Kristus meneladankan solideritas yang baik, maka mestinya kita juga melakukannya.

Solideritas kerap diartikan sebagai sebuah tindakan membela kepada siapa seseorang berpihak. Sekelompok buruh, atas nama solideritas mengajak semua buruh untuk berdemo. Memprotes, melawan bahkan melakukan tindakan anarkis terhadap kebijakan-kebijakan pengusaha dan pemerintah. Sekelompok pelajar, atas nama solideritas, membela membabi-buta temannya. Benar atau salah, atas nama solideritas harus dibela dan didukung. Benarkah solideritas harus diartikan seperti itu? Membela, berpihak, mendukung membabi-buta? Dapatkah dibenarkan kalau Allah di dalam Kristus solider dengan orang berdosa, maka Dia mendukung, menebus, berpihak, membela dengan membabi-buta orang-orang yang berdosa?

Tentu, solideritas atau sikap keberpihakan yang baik tidak seperti itu. Seseorang atau sebuah kelompok, entah itu buruh, kaula muda, pelajar, siapa pun yang menyederhanakan solideritas dengan membela membabi-buta, pada dasarnya ia atau mereka sedang menjerumuskan sesamanya kepada keburukan. Meskipun perasaan senasib dan sepenanggungan terhadap sesama merupakan unsur yang ada dalam solidaritas, tetap menuntut diri untuk memberdayakan sesama itu sehingga dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik.  Allah yang kita percayai adalah Allah yang solider dengan penderitaan manusia. Tentu bukan Allah yang selalu membenarkan tindakan yang salah. Kesalahan tetap mendapat teguran dan hukuman. Namun, Allah memberikan solusi dan pengampunan.

Allah tidak pernah kompromi dengan dosa. Israel dihukum karena mereka melakukan tindakan salah. Pada saat yang sama Allah memberi solusi supaya setiap orang yang bertobat melihat dan merasakan kelepasan dari hukuman itu. Allah juga tidak melenyapkan segala kesulitan yang dihadapi manusia, meski manusia itu telah bertobat dan hidup benar. Allah yang solider itu tetap membiarkan rintangan dan tantangan ada dalam kehidupan setiap orang. Yesaya 43:1-7 mencatat Allah yang telah menebus umat-Nya itu berjanji, “Apabila engkau menyeberang melalui air, ‘Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan, apa bila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau.” (Yes.43:2).

Allah tidak membebaskan umat-Nya untuk tidak melalui air dan api. Melewati air pasti basah! Demikian juga dengan api, pasti panas! Ada arus hidup yang deras, dan pergumulan yang panas membara. Namun, Tuhan berjanji akan menyertai umat-Nya! Solideritas Allah tidak melepaskan manusia dari pergumulan dan penderitaan. Lewat “air” dan “api” itu manusia bertumbuh menjadi dewasa dan menikmati hidup! Bahkan pemazmur meyakini bahwa di balik suara air, air bah, guntur dan ganasnya penomena Allah di sana pula ada kemuliaan-Nya (Mazmur 29).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar