Yohanes Pembaptis memulai debutnya dengan tipikal nabi-nabi
Perjanjian Lama. Khotbahnya berdasarkan pemberitahuan tentang hukuman Allah
yang akan datang. Jalan untuk menghindari penghukuman itu adalah “baptisan
sebagai tanda pertobatan untuk pengampunan dosa.” Artinya, Yohanes mengajak
orang supaya bertobat, yaitu supaya undur dari dosa dengan kembali kepada jalan
Tuhan. Sebagai bukti penyesalan dan sebagai jalan penyucian serta tanda
pengampunan dosa maka orang dibaptisan, yaitu dengan jalan dibenamkan dalam
sungai Yordan.
Yesus dibaptiskan? Apakah gak salah? Oleh Yohanes pula, sepupunya! Lantas apa perlunya Yesus
dibaptiskan? Bukankah Ia bebas dari dosa? Orang yang bebas dari dosa, logikanya
tidak perlu bertobat! Membingungkan? Ya, mungkin saja banyak orang yang bingung
atas keyakian kristian ini: Yesus dipercayai sebagai Tuhan tetapi Dia
ikut-ikutan dibaptis seperti orang banyak yang mendengarkan seruan Yohanes lalu
dibaptiskan. Ataukah pada kesempatan itu Yesus sedang berusaha membangun citra,
menumpang popularitas demi menjaring pengikut?
Ketika Yohanes muncul, orang banyak datang kepadanya
untuk mendengarkan seruannya dan merespon dengan baptisan sebagai anda
pertobatan. Dari seluruh negeri, tampaknya terjadi gerakan tobat nasuha. Mereka menyadari kesalahan dan dosa-dosanya, kini
berbalik kepada Allah. Apa yang terjadi dengan Yesus? Bukan karena Yesus sadar
akan dosa-Nya dan membutuhkan pertobatan atau sekedar ikut-ikutan orang banyak.
Namun, Dia tahu bahwa Ia juga harus menyamakan diri-Nya dengan gerakan menuju
kepada Allah ini. Bagi Yesus munculnya gerakan Yohanes ini adalah panggilan Allah
untuk bertindak; dan langkah pertamanya adalah berderap menyamakan diri-Nya
dengan umat yang sedang mencari Allah. Ada kesamaan dan keberpihakan, tetapi
bukan iku-ikutan! Yesus solider dengan manusia berdosa yang sedang mencari
Allah! Kisah berikut telah menyadarkan saya akan makna solidaritas yang benar.
Seorang gadis kecil, Mirta suatu ketika merengek
kepada ayahnya agar si ayah memenuhi permintaanya,” Yah, bolehkah saya meminta
sesuatu? Ijinkan saya untuk menggunduli rambutku. Sekali ini saja!” Sontak si
ayah kaget, “Mana boleh anak perempuan digunduli?” Ayahnya mencoba memberikan
pengertian kepada Mirta.” Mirta tampaknya tidak mau menyerah, “Tidak apa-apa
ayah, saya tahu resikonya, boleh ya?”
“Teman-temanmu itu cantik-cantik karena rambut mereka
panjang. Kalau kamu gundul, mana bisa dibilang cantik. Kamu mau diejek sama
teman-temanmu?” Kata si ayah membujuk untuk Mirta mengurungkan niatnya. “Tidak
apa-apa ayah, Mirta janji deh tidak akan marah jika ada yang mengejek! Mirta
janji juga setelah ini Mirta tidak akan minta apa-apa lagi”. Sang ayah pun
menyerah. Dengan berat hati, ia berkata kepada gadis kesayangannya itu, “Ya
sudah kalau memang begitu mau mu, tapi jangan menangis ya kalau diejek oleh
teman-temanmu!”
Keeseokan harinya, sang ayah mengantar Mirta yang
kepalanya sudah plontos ke sekolah. Setelah sampai di sekolah, mata sang ayah
menangkap sosok gadis seusia anaknya yang kepalanya plontos juga berdiri di
bawah pohon. “Apa sekarang sedang ngetren potongan rambut gundul?” Pikir
si ayah dalam hati. “Mirta pergi dulu yah!” seru Mirta dengan wajah penuh
ceria. Sang ayah memandangi gadis kecilnya yang kini menghampiri gadis gundul
yang berada di bawah pohon. Keduanya pun berjalan masuk menuju ke dalam kelas
dengan penuh tawa.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita datang
menghampiri sang ayah dan berkata, “Wah, anak Anda sungguh hebat! Anak saya
menderita leukimia. Ia harus menjalani banyak terapi sehingga
merontokkan rambut di kepalanya dan menjadi botak. Ia malu pergi ke sekolah
dengan penampilan seperti itu. Tetapi kemudian anak Anda berkata bahwa ia akan
menggunduli kepalanya juga supaya anak saya punya teman yang sama-sama botak.
Asal Anda tahu, anak saya tidak lagi malu berangkat ke sekolah berkat anak
Anda. Terima kasih banyak!”
Mirta bukan sekedar ikut-ikutan kepalanya diplontos. Dia
juga tidak sedang membela membabi-buta temannya yang sedang sakit. Motivasi yang
utamanya adalah agar si teman yang sedang menjalani kemoterapi tetap optimis,
tidak minder dan dapat melangsungkan kehidupan tidak dengan kelu-kesah! Kebotakan
Mirta jelas bukan kerontokan rambut sebagai dampak kemoterapi. Ia tidak
menyidap kanker dan harus dikemoterapi. Mirta sehat!
Yesus tidak berdosa, Ia juga tidak perlu bertobat dan
mestinya juga tidak harus dibaptiskan oleh Yohanes. Itulah sikap solider atau
tepatnya belarasa Tuhan bagi umat yang berdosa. Dengan cara demikian Kristus
masuk sepenuhnya ke dalam kehidupan umat manusia. Ia menjadi manusia sejati
dalam derap langkah menuju Allah. Dan di dalam diri-Nya manusia menemukan siapa
yang sedang dicari itu. Dalam pembaptisan-Nya itu terdengar Suara Langit, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah
Aku berkenan.” (Lukas 3:22b). Jika Allah di dalam Kristus meneladankan solideritas yang baik, maka mestinya kita juga melakukannya.
Solideritas kerap diartikan sebagai sebuah tindakan
membela kepada siapa seseorang berpihak. Sekelompok buruh, atas nama
solideritas mengajak semua buruh untuk berdemo. Memprotes, melawan bahkan
melakukan tindakan anarkis terhadap kebijakan-kebijakan pengusaha dan
pemerintah. Sekelompok pelajar, atas nama solideritas, membela membabi-buta
temannya. Benar atau salah, atas nama solideritas harus dibela dan didukung.
Benarkah solideritas harus diartikan seperti itu? Membela, berpihak, mendukung
membabi-buta? Dapatkah dibenarkan kalau Allah di dalam Kristus solider dengan
orang berdosa, maka Dia mendukung, menebus, berpihak, membela dengan
membabi-buta orang-orang yang berdosa?
Tentu, solideritas atau sikap keberpihakan yang baik
tidak seperti itu. Seseorang atau sebuah kelompok, entah itu buruh, kaula muda,
pelajar, siapa pun yang menyederhanakan solideritas dengan membela
membabi-buta, pada dasarnya ia atau mereka sedang menjerumuskan sesamanya
kepada keburukan. Meskipun perasaan senasib dan sepenanggungan terhadap sesama
merupakan unsur yang ada dalam solidaritas, tetap menuntut diri untuk
memberdayakan sesama itu sehingga dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik. Allah yang kita percayai adalah Allah yang
solider dengan penderitaan manusia. Tentu bukan Allah yang selalu membenarkan
tindakan yang salah. Kesalahan tetap mendapat teguran dan hukuman. Namun, Allah
memberikan solusi dan pengampunan.
Allah tidak pernah kompromi dengan dosa. Israel
dihukum karena mereka melakukan tindakan salah. Pada saat yang sama Allah
memberi solusi supaya setiap orang yang bertobat melihat dan merasakan
kelepasan dari hukuman itu. Allah juga tidak melenyapkan segala kesulitan yang
dihadapi manusia, meski manusia itu telah bertobat dan hidup benar. Allah yang
solider itu tetap membiarkan rintangan dan tantangan ada dalam kehidupan setiap
orang. Yesaya 43:1-7 mencatat Allah yang telah menebus umat-Nya itu berjanji, “Apabila engkau menyeberang melalui air, ‘Aku
akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan
dihanyutkan, apa bila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan
dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau.” (Yes.43:2).
Allah tidak membebaskan umat-Nya untuk tidak melalui
air dan api. Melewati air pasti basah! Demikian juga dengan api, pasti panas!
Ada arus hidup yang deras, dan pergumulan yang panas membara. Namun, Tuhan
berjanji akan menyertai umat-Nya! Solideritas Allah tidak melepaskan manusia
dari pergumulan dan penderitaan. Lewat “air” dan “api” itu manusia bertumbuh
menjadi dewasa dan menikmati hidup! Bahkan pemazmur meyakini bahwa di balik
suara air, air bah, guntur dan ganasnya penomena Allah di sana pula ada
kemuliaan-Nya (Mazmur 29).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar