Francðis
Bozize, Presiden Republik Afrika Tengah menggegerkan dunia. Pada bulan
November yang
lalu, ia memerintahkan aparat kepolisian
untuk menangkap, mengadili dan memenjarakan anaknya sendiri, Kevin Bozize.
Pasalnya, sang anak dilaporkan telah menolak membayar tagihan senilai € 12.000
atau sekitar Rp. 146 juta dari sebuah hotel di Bangui. Kevin yang juga seorang
perwira berpangkat kapten telah menyalahgunakan jabatannya untuk tidak membayar
tagihan hotel itu. Mungkinkah hal ini terjadi di Indonesia?
Setiap orang tua pada umumnya mempunyai
naluri untuk melindungi anak-anaknya. Pelbagai cara dilakukan orang tua agar
anaknya terhindar dari kesengsaraan dan jerat hukum. Sebaliknya, banyak
anak-anak merasa mempunyai perlindungan manakala bapak atau ibunya mempunyai
pengaruh signifikan dalam sebuah komunitas. Tidak sedikit anak-anak pejabat,
penguasa yang membuat ulah melanggar hukum dan moralitas, bertindak
sewenang-wenang lantaran dia beranggapan tidak bakal kena jerat hukum. Kekuasaan
orang tua pasti melindunginya. Bozize adalah salah satu orang tua yang menyadari
melindungi anak yang bersalah sebenarnya sedang menjerumuskannya dalam jurang
malapetaka tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi berdampak pada kehidupan
moral bangsanya.
Sindrom Kevin Bozize, bukankah
bisa menghinggapi siapa saja. Saya dan Anda pun mungkin tidak bebas. Kita
sering menginginkan kemudahan dengan bekal pengaruh jabatan atau beking
seseorang. Coba lihat dalam antrian, entah pembuatan KTP, SIM, perpanjang STNK,
pembuatan Pasport, selalu saja ada orang-orang yang diperlakukan istimewa. Kita
marah melihat pemandangan seperti itu. Coba sekarang dibalik posisinya, Anda
yang dapat kemudahan itu, pasti kita pun merasa senang, apabila dalam antrian
itu mendapatkan perlakukan khusus. Didahulukan!
“Sindrom Kevin Bozize” dapat
masuk menelisik kehidupan rohani. Seseorang merasa berhak menerima previlage,
keistimewaan lantaran ia berasal dari keturunan istimewa. Israel merasa diri
sebagai umat istimewa, berasal dari bapak leluhur Abraham. Keyakinan ini
membuat mereka sudah pasti mendapatkan hak-hak istimewa turun-temurun dari
Allah meski kehidupan mereka tidak seperti prilaku Abraham ketika hidup.
Keyakinan seperti ini membuat mereka merasa aman dan nyaman meski tidak
melakukan tugas panggilan sebagai umat yang kudus!
Dalam optimisme seperti ini,
tampillah Yohanes Pembaptis. Ia menyerukan agar setiap orang bertobat supaya
dapat diampuni. Pertobatan yang Yohanes serukan menurut saya bukan perkara
menangis, mengaku dengan mulut dan menyesal saja. Itu baru setengahnya. Yang terpenting
adalah menghasilkan buah dari pertobatan itu (bnd. Lukas 3:7). Untuk dapat
menghasilkan buah maka seseorang harus bekerja. Bekerja dengan gigih! Bagi Yohanes,
untuk setiap orang tidak ada previlega atau hak istimewa di hadapan Tuhan. Semua
orang tanpa kecuali harus menghasilkan buah dari pertobatan itu. Israel yang
punya “sindrom Kevin Bozize” tak luput dari teguran keras. Jangan merasa diri
keturunan Abraham lalu bebas untuk tidak melakukan pekerjaan baik! “Allah dapat
menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!” (Lukas 3:8), katanya.
Yohanes Pembaptis yang tampil
pada masa Tiberius menjadi Kaisar (14-37 M), Pontius Pilatus menjadi gubernur
Yudea dan Herodes Agung sebagai raja boneka untuk wilayah Galilea. Ia datang
mendahului Sang Mesias yang sesungguhnya. Tanpa takut dan tedeng aling-aling,
Yohanes memenuhi apa yang dinubutakan Perjanjian Lama. Maleakhi 3 :1-5
mencatatnya bahwa ia adalah seorang utusan yang bertugas menyiapkan jalan untuk
kedatangan Tuhan.
Kedatangan Mesias yang
memberikan kelepasan bagi orang-orang berdosa telah digenapi di dalam Yesus.
Namun, kini apa yang menjadi nubuat dan peringatan Yohanes kita refleksikan
dalam masa penantian Sang Mesias itu datang kembali. Ia akan datang kembali
tentu dengan peran yang berbeda. Bukan lagi sebagai penyelamat. Melainkan sebagai
hakim yang menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Maleakhi mengingatkan,
apabila Ia datang siapa yang dapat tahan? Siapa yang dapat berdiri di
hadapan-Nya? (Maleakhi 3:2). Artinya, tidak ada seorang pun dengan kebanggaan
diri dan kesalehannya dapat bertahan di hadapan-Nya.
Dia yang akan datang itu,
duduk seperti orang yang memurnikan dan mentahirkan perak. Kaum Lewi yang tugas
utamanya adalah memimpin ritual di Bait Allah akan dimurnikan seperti orang memurnikan
emas dan perak supaya mereka menjadi orang-orang yang mempersembahkan korban
dengan benar (Mal.3:3). Setelah umat Israel dibuang, mereka melakukan
penyembahan dan ritual ibadah yang sudah bercampur aduk dengan tradisi
penyembahan lain. Di sinilah pentingnya pemurnian kembali. Agar ibadah itu
berkenan. Inilah sebuah gambaran bahwa Allah menghendaki persembahan yang
kudus. Pemurnian dilakukan agar apa yang cemar tidak mengotori apa yang kudus.
Hanya persembahan yang kudus itulah yang berkenan kepada Allah. Pemilahan
itulah tugas Sang Hakim Agung.
Sang Hakim Agung itu pasti
datang memenuhi janji-Nya. “Aku mendekati
kamu untuk menghakimi dan akan segera menjadi saksi....”(Mal.3:5) Dalam
konteks hari ini, kalau Ia datang pasti juga akan memisahkan mana emas dan mana
loyang. Siapa yang sungguh-sungguh hidup dalam pertobatan dan menghasilkan buah untuk dipersembahkan
bagi Tuhan dan siapa yang hanya hidup dalam keyakinan dan ibadah semu!
Banyak orang Kristen terjebak
dalam “Sindrom Kevin Bozize”, seperti halnya orang Yahudi. Merasa sudah percaya
Yesus yang menebus dosa-dosanya kini mereka aman. Meraka beranggapan perbuatan
tidak lagi menentukan keselamatan. Akibatnya kehidupan keseharian tidak
mencerminkan sebagai anak tebusan. Prilaku hidup tidak jauh berbeda dengan
orang yang tidak mengenal Tuhan. Dosa terus mereka lakukan karena pikirnya, “Toh Tuhan itu baik, penuh anugerah. Tinggal
aku mengaku dosa, pastilah pengampunan diberikan.” Pemahaman ini keliru,
justeru karena sudah ditebus, sudah dimurnikan bagaikan tukang emas memurnikan
emas, anak-anak tebusan harus menghasilkan buah-buah kebenaran.
Filipi adalah sebuah jemaat
yang tidak mempunyai pemahaman seperti itu. Mereka, malaupun mengalami
kesulitan, terus mengerjakan buah-buah kebenaran. Sehingga Paulus memberikan
pujian kepada jemaat ini. Ia menyakini bahwa jemaat itu akan terus mengerjakan
apa yang baik. Tidak hanya menunggu dengan pasif. “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan
yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada Hari
Yesus Kristus.”(Filipi 1:6)
Tuhan menghendaki kita semua
untuk bekerja, melakukan pekerjaan baik sebagai buah pertobatan karena kelak
akan datang penghakiman atas semua orang. Tidak ada lagi yang dapat dibanggakan
di hadapan Sang Hakim Agung itu kecuali kesungguhan kita dalam bertobat dan
menghasilkan buah-buah kebenaran. Ketika kita gagal menghasilkan buah kebenaran
dari pertobatan itu, maka di situlah cerminan seberapa seriusnya kita bertobat.
Seorang yang sungguh-sungguh bertobat, merasakan jamahan kasih Tuhan, sudah
pasti ia akan bersyukur kepada Tuhan. Ungkapan syukur itu terus mengalir dalam
kehidupannya sehingga sudah pasti ia akan mengerjakan apa yang baik bukan lagi
karena terpaksa, melainkan karena berterimakasih buat karya Tuhan bagi
diri-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar