Maranatha! Tuhan masih mengijinkan kita memasuki dan
menikmati kembali Adven. Adven adalah masa penantian atau persiapan menyambut
kelahiran Yesus. Kata “adven” sendiri berasal dari bahasa Latin “adventus” yang berarti kedatangan. Dalam
tradisi Romawi, jika kaisar memimpin pertempuran dan menang perang, maka akan
ada seorang pelari cepat untuk memberitakan kemenangan itu kepada seluruh
penduduk kota. Segenap penduduk akan menyiapkan pelbagai acara dan pesta untuk
menyambut kedatangan sang kaisar yang menang.
Setelah Kaisar Roma menyatakan Kristen sebagai agama
resmi negara, umat kristiani memberi makna baru dari adven. Adven merupakan
momentum untuk persiapan menyambut kedatangan Kristus. Adven tidak lagi
ditujukan untuk menyambut kaisar Roma yang menang perang, melainkan tertuju
pada peristiwa Krsitus. Dialah Kaisar di atas segala kaisar. Raja yang telah
menang dari kuasa kegelapan.
Masa Adven biasanya dirayakan empat Minggu sebelum
25 Desember. Adven tidak hanya dimaknai sebagai persiapan menantikan kelahiran
Kristus. Karena Kristus memang sudah lahir,
namun kita percaya Ia akan datang kembali. Nah, masa Adven ini merupakan
saat yang tepat untuk kita merenung: apakah kedatangan-Nya yang pertama sudah
kita sambut dalam hati kita? Sudahkah Kristus lahir dan menguasai hati kita. Ia
menyucikan hati kita dari anasir-anasir jahat: pementingan diri, kesombongan, keserakahan
dan hedonisme sehingga kita hidup selalu berada dalam kekudusan? Inilah saatnya
kita berbenah untuk menyambut kedatangan-Nya kembali di akhir zaman sebagai
hakim Agung.
Tuhan, sebagaimana nasihat Paulus kepada jemaat
Tesalonika menghendaki bahwa kedatangan-Nya kembali akan disambut dengan keadaan
umat tak bercacat dan kudus (1 Tesalonika 3:13). Paulus menyadari untuk hidup tak bercacat dan
kudus itu tidaklah mudah, mengingat kondisi umat Tuhan pada saat itu tidak
menguntungkan, mereka sedang berada dalam penganiayaan. Oleh karenanya Paulus
mendoakan agar Tuhan menguatkan mereka. Yang perlu dikuatkan dan dikuduskan
ialah hati mereka. Injil menuntut hidup kudus, hal itu dimulai dari bathin
manusia. Bukankah segala prilaku manusia dimulai dari niatan bathinnya? Kekudusan
bukan tampak dari luarnya saja dengan menjalankan syareat-syareat agamawi
seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang Yahudi. Kekudusan yang benar,
yakni penyerahan diri secara total kepada Allah, yang terwujud dalam prilaku
melayani Allah melalui sesama.
Kekudusan yang diinginkan Tuhan bukanlah tercapai
dengan jalan beraskese, bertarak atau hidup memperbanyak pantangan, mematikan
tubuh jasmani lalu memisahkan diri terasing dari kebanyakan orang. Bukan, bukan
seperti itu, melainkan setia dalam tugas panggilan melakukan firman-Nya. Kasihlah
yang menyempurnakan keadaan kita sehingga ada dalam keadaan tak bercacat. Kita
dapat mencapai tarap kekudusan itu hanya dengan mengubur dalam-dalam ambisi,
keserakahan dan nafsu duniawi dan pada saat yang sama mengabdikan hidup ini
untuk melaksanakan cinta kasih itu dalam kehidupan sehari-hari.
Ingatlah yang akan menjadi hakim untuk menimbang
kekudusan itu bukanlah mahkamah manusiawi karena mahkamah manusia tidaklah
bebas dari cacat cela. Lihat saja para hakim yang mulia di negeri ini! Mahkamah
yang menghakimi seberapa kudusnya kita adalah Allah dan Bapa kita, pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita! Pada
saat itulah akan nyata siapa yang telah memberi hatinya disucikan oleh kasih
Yesus! Bagi mereka yang setia, Tuhan memberi kemuliaan dan kelepasan.
Hidup dalam
setiap zaman tidaklah mudah untuk menjaga hati agar tetap kudus dan menjadi
orang benar. Ronggowarsito (1802-1873) pernah menulis, dalam Serat Kalatidha, terejemahan bebasnya
begini:
“Datanglah suatu ketika zaman edan, dimana sulit menjalankan
kehidupan; banyak orang tak tahan dengan godaan, lupa diri dan ikut menjadi
edan. Mereka tak segan menindas sesama dengan menghalalkan segara cara, demi
kepentingan dirinya saja. Namun, sebahagia apa pun mereka, tetaplah lebih
bahagia mereka yang sadar dan senantiasa waspada, tidak ikut menjadi edan, di
zaman yang serba edan.”
Ronggowarsito
tampaknya menyadari akan datang suatu zaman yang tidak mudah bagi orang-orang
yang setia dengan kebenaran. Kebanyakan orang memilih untuk melacurkan iman dan
menjual kebenaran demi keluar dari kesulitan dan menikmati kesenangan hidup.
Namun ternyata apa yang dikejar manusia itu semu.
Bukankah jauh
sebelum Ronggowarsito dilahirkan, Yesus telah mengingatkan hal yang senada. Dalam
bahasa Ronggowarsito, Yesus mengingatkan supaya para murid jangan ikut-ikutan “edan”
dengan pesta pora dan kemabukan. Apa maksudnya? Maksudnya, supaya para murid
itu tetap waspada memelihara imannya apa pun yang terjadi di sekitarnya; entah
penganiayaan atau pun godaan untuk hidup senang. Yesus menghendaki supaya hidup
mereka berbeda dari orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi
ambisi dan nafsunya. Bukankah arti kudus itu memang seperti itu, yakni hidup
berbeda dari kebanyakan orang karena setia kepada Tuhannya? Jika para murid
ikut-ikutan hidup seperti kebanyakan orang, apa bedanya? Apa yang kudus? Tidak
ada! Jika anak-anak Tuhan ikut-ikutan cara-cara dunia untuk memeperoleh
kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran, layakah ia disebut anak Tuhan?
Kini peringatan
Yesus pun tertuju kepada kita. Barangsiapa menginginkan kemulian dan menyambut
hari Tuhan dengan sukacita, maka tidak ada jalan lain kecuali hidup kudus dan
tak bercacat. Tanda-tanda dan peringatan sudah disampaikan Yesus melalui
pelbagai perumpamaan supaya kita waspada.
Ada seorang
pedagang tua meninggal dan mewariskan harta banyak sekali untuk anak lelaki
satu-satunya. Namun karena anak itu sangat gemar berpestapora dan foya-foya,
dalam sekejap harta warisannya itu habis. Kawan-kawannya segera menjauhi dia. Ketika
ia benar-benar miskin dan sebatangkara, ia menemui Nasruddin yang dikenal bijak
dan dapat menolong siapa pun yang sedang dalam kesulitan. “Hartaku sudah habis
dan kawan-kawanku semua sudah meninggalkan aku,” kata anak lelaki itu. “Tolong
ramalkan apa yang akan terjadi pada saya.”
‘Oh, jangan
kuatir,” jawab Nasruddin, “segalanya akan beres kembali. Tunggu beberapa hari,
kau akan senang dan bahagia melebihi sebelum hari ini.” Anak itu gembira bukan
main mendengar kata-kata itu. “Jadi, saya akan kembali menjadi kaya raya?”
tanyanya. “O, tidak, bukan itu maksudku. Kau salah tafsir. Maksudku ialah tidak
lama lagi kamu akan terbiasa menjadi orang miskin dan terbiasa pula tidak
mempunyai teman.”
Kebahagiaan
sejati justeru diraih oleh orang-orang yang tetap hidup benar dan selalu
waspada bukan dengan jalan pesta pora dan melampiaskan hawa nafsu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar