Jumat, 30 November 2012

PANGGILAN MENJADI KUDUS DAN TAK BERCACAT


Maranatha! Tuhan masih mengijinkan kita memasuki dan menikmati kembali Adven. Adven adalah masa penantian atau persiapan menyambut kelahiran Yesus. Kata “adven” sendiri berasal dari bahasa Latin “adventus” yang berarti kedatangan. Dalam tradisi Romawi, jika kaisar memimpin pertempuran dan menang perang, maka akan ada seorang pelari cepat untuk memberitakan kemenangan itu kepada seluruh penduduk kota. Segenap penduduk akan menyiapkan pelbagai acara dan pesta untuk menyambut kedatangan sang kaisar yang menang.

Setelah Kaisar Roma menyatakan Kristen sebagai agama resmi negara, umat kristiani memberi makna baru dari adven. Adven merupakan momentum untuk persiapan menyambut kedatangan Kristus. Adven tidak lagi ditujukan untuk menyambut kaisar Roma yang menang perang, melainkan tertuju pada peristiwa Krsitus. Dialah Kaisar di atas segala kaisar. Raja yang telah menang dari kuasa kegelapan.

Masa Adven biasanya dirayakan empat Minggu sebelum 25 Desember. Adven tidak hanya dimaknai sebagai persiapan menantikan kelahiran Kristus. Karena Kristus memang sudah lahir,  namun kita percaya Ia akan datang kembali. Nah, masa Adven ini merupakan saat yang tepat untuk kita merenung: apakah kedatangan-Nya yang pertama sudah kita sambut dalam hati kita? Sudahkah Kristus lahir dan menguasai hati kita. Ia menyucikan hati kita dari anasir-anasir jahat: pementingan diri, kesombongan, keserakahan dan hedonisme sehingga kita hidup selalu berada dalam kekudusan? Inilah saatnya kita berbenah untuk menyambut kedatangan-Nya kembali di akhir zaman sebagai hakim Agung.

Tuhan, sebagaimana nasihat Paulus kepada jemaat Tesalonika menghendaki bahwa kedatangan-Nya kembali akan disambut dengan keadaan umat tak bercacat dan kudus (1 Tesalonika 3:13).  Paulus menyadari untuk hidup tak bercacat dan kudus itu tidaklah mudah, mengingat kondisi umat Tuhan pada saat itu tidak menguntungkan, mereka sedang berada dalam penganiayaan. Oleh karenanya Paulus mendoakan agar Tuhan menguatkan mereka. Yang perlu dikuatkan dan dikuduskan ialah hati mereka. Injil menuntut hidup kudus, hal itu dimulai dari bathin manusia. Bukankah segala prilaku manusia dimulai dari niatan bathinnya? Kekudusan bukan tampak dari luarnya saja dengan menjalankan syareat-syareat agamawi seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang Yahudi. Kekudusan yang benar, yakni penyerahan diri secara total kepada Allah, yang terwujud dalam prilaku melayani Allah melalui sesama.

Kekudusan yang diinginkan Tuhan bukanlah tercapai dengan jalan beraskese, bertarak atau hidup memperbanyak pantangan, mematikan tubuh jasmani lalu memisahkan diri terasing dari kebanyakan orang. Bukan, bukan seperti itu, melainkan setia dalam tugas panggilan melakukan firman-Nya. Kasihlah yang menyempurnakan keadaan kita sehingga ada dalam keadaan tak bercacat. Kita dapat mencapai tarap kekudusan itu hanya dengan mengubur dalam-dalam ambisi, keserakahan dan nafsu duniawi dan pada saat yang sama mengabdikan hidup ini untuk melaksanakan cinta kasih itu dalam kehidupan sehari-hari.

Ingatlah yang akan menjadi hakim untuk menimbang kekudusan itu bukanlah mahkamah manusiawi karena mahkamah manusia tidaklah bebas dari cacat cela. Lihat saja para hakim yang mulia di negeri ini! Mahkamah yang menghakimi seberapa kudusnya kita adalah Allah dan Bapa kita, pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita! Pada saat itulah akan nyata siapa yang telah memberi hatinya disucikan oleh kasih Yesus! Bagi mereka yang setia, Tuhan memberi kemuliaan dan kelepasan.

Hidup dalam setiap zaman tidaklah mudah untuk menjaga hati agar tetap kudus dan menjadi orang benar. Ronggowarsito (1802-1873) pernah menulis, dalam Serat Kalatidha, terejemahan bebasnya begini:

“Datanglah suatu ketika zaman edan, dimana sulit menjalankan kehidupan; banyak orang tak tahan dengan godaan, lupa diri dan ikut menjadi edan. Mereka tak segan menindas sesama dengan menghalalkan segara cara, demi kepentingan dirinya saja. Namun, sebahagia apa pun mereka, tetaplah lebih bahagia mereka yang sadar dan senantiasa waspada, tidak ikut menjadi edan, di zaman yang serba edan.”

Ronggowarsito tampaknya menyadari akan datang suatu zaman yang tidak mudah bagi orang-orang yang setia dengan kebenaran. Kebanyakan orang memilih untuk melacurkan iman dan menjual kebenaran demi keluar dari kesulitan dan menikmati kesenangan hidup. Namun ternyata apa yang dikejar manusia itu semu.
         
Bukankah jauh sebelum Ronggowarsito dilahirkan, Yesus telah mengingatkan hal yang senada. Dalam bahasa Ronggowarsito, Yesus mengingatkan supaya para murid jangan ikut-ikutan “edan” dengan pesta pora dan kemabukan. Apa maksudnya? Maksudnya, supaya para murid itu tetap waspada memelihara imannya apa pun yang terjadi di sekitarnya; entah penganiayaan atau pun godaan untuk hidup senang. Yesus menghendaki supaya hidup mereka berbeda dari orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi dan nafsunya. Bukankah arti kudus itu memang seperti itu, yakni hidup berbeda dari kebanyakan orang karena setia kepada Tuhannya? Jika para murid ikut-ikutan hidup seperti kebanyakan orang, apa bedanya? Apa yang kudus? Tidak ada! Jika anak-anak Tuhan ikut-ikutan cara-cara dunia untuk memeperoleh kekuasaan, kekayaan, dan ketenaran, layakah ia disebut anak Tuhan?

Kini peringatan Yesus pun tertuju kepada kita. Barangsiapa menginginkan kemulian dan menyambut hari Tuhan dengan sukacita, maka tidak ada jalan lain kecuali hidup kudus dan tak bercacat. Tanda-tanda dan peringatan sudah disampaikan Yesus melalui pelbagai perumpamaan supaya kita waspada.

Ada seorang pedagang tua meninggal dan mewariskan harta banyak sekali untuk anak lelaki satu-satunya. Namun karena anak itu sangat gemar berpestapora dan foya-foya, dalam sekejap harta warisannya itu habis. Kawan-kawannya segera menjauhi dia. Ketika ia benar-benar miskin dan sebatangkara, ia menemui Nasruddin yang dikenal bijak dan dapat menolong siapa pun yang sedang dalam kesulitan. “Hartaku sudah habis dan kawan-kawanku semua sudah meninggalkan aku,” kata anak lelaki itu. “Tolong ramalkan apa yang akan terjadi pada saya.”

‘Oh, jangan kuatir,” jawab Nasruddin, “segalanya akan beres kembali. Tunggu beberapa hari, kau akan senang dan bahagia melebihi sebelum hari ini.” Anak itu gembira bukan main mendengar kata-kata itu. “Jadi, saya akan kembali menjadi kaya raya?” tanyanya. “O, tidak, bukan itu maksudku. Kau salah tafsir. Maksudku ialah tidak lama lagi kamu akan terbiasa menjadi orang miskin dan terbiasa pula tidak mempunyai teman.”

Kebahagiaan sejati justeru diraih oleh orang-orang yang tetap hidup benar dan selalu waspada bukan dengan jalan pesta pora dan melampiaskan hawa nafsu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar