Ada kisah menarik dalam buku
karya Kornelius Sabat, “Chinese
Inspirative Stories.” Pada akhir 1980-an di Shanghai ada penjahat bernama
Lee San. Ia adalah seorang yang cerdas, tetapi sayang, kecerdasannya ia gunakan
untuk berbuat jahat. Mencuri! Oleh karena kepintarannya itu, ia tidak pernah
tertangkap oleh pihak yang berwajib. Sampai sejauh ini Lee San hidup “berkecukupan”
dari hasil mencuri dan berjudi.
Suatu saat Wang Wu, “teman
seperjuangannya”, memberi kabar bahwa ada sebuah keluarga yang baru saja
mendapatkan santunan beberapa ribu dolar. Mereka adalah sepasang kakek-nenek.
Namun, Wang Wu mengingatkan bahwa mereka mempunyai seekor anjing besar dan
buas. Lee San, dengan keahliannya mengganggap enteng. Malam itu juga dengan
membawa peralatannya, Lee San menuju rumah sepasang kakek-nenek itu. Ketika tiba
di sana, ia melihat sebuah lampu taplok besar tergantung tinggi di gerbang
rumah.
Lee San mengendap-endap di
depan gerbang rumah itu. Tiba-tiba terdengar suara anjing mengonggong. Dengan sigap
Lee San melemparkan sepotong daging ke arah anjing itu. Dagig itu sudah
dibubuhi racun yang mematikan. Kurang dari semenit anjing itu mati. Lee San pun
leluasa memasuki pekarangan rumah itu. Ia menuju pintu samping yang tak
terkunci, lalu menuju kamar tempat uang disimpan di bawah bantal, “Ini mudah
sekali. Mereka punya begitu banyak uang, tetapi tidak menyimpannya dalam
brankas.”
Sesaat kemudian, Lee San
mendengar ada suara dari ruangan sebelah. Ternyata wanita tua pemilik rumah
sedang bercakap-cakap dengan suaminya. Lee San terdiam, ia penasaran apa yang
mereka sedang bicarakan. Dengan seksama ia membuka kuping lebar-lebar.
“Pa, bukankah lebih baik kita
gunakan uang itu untuk menyewa pembantu? Kita sudah tua dan buta. Kita memerluka
orang untuk merawat kita.” Wanita tua itu berbicara.
Lee San terkejut. Jika mereka
buta, mengapa mereka meletakan lampu besar di depan pintu gerbang? Bukankah
orang buta tidak memerlukan lampu?
“Oh, ya, Sayangku, kamu benar.
Tetapi dari mana kita mendapatkan uang untuk membayar pembantu?” jawab lelaki
tua. “Bukankah kita baru saja mendapatkan beberapa ribu dolar santunan dari
pejabat? Mengapa tidak kita gunakan saja?” Si nenek memberikan alternatif.
“Apa kamu sudah lupa?” Jawab
sang kakek, “bukankah kita telah memutuskan menyumbangkan uang itu untuk
membangun panti asuhan?”
Mendengar percakapan itu, Lee
San merasa tidak nyaman.
“Oh, ya, betapa pelupnya aku.
Lagi pula kita masih bisa berhemat. Dengan tidak membeli minyak untuk lampu di
depan, dan menjual anjing kita, si Ding Ding. Anjing itu sudah tua dan mulai
senewen,” sahut wanita tua itu. “Jangan lakukan itu!” sergah si kakek. “Walau
kita tidak membutuhkan terang, kita harus menerangi orang-orang yang lewat sehingga
mereka tidak perlu jalan dalam kegelapan dan agar mereka tidak tersandung. Jika
si Ding Ding di sini, orang-orang tidak perlu kuatir terhadap penjahat atau
pencuri ketika mereka melewati rumah ini.”
“Kamu benar,” kata wanita tua
itu. “Sayang anak-anak kita sudah mulai jarang ke sini, tetapi kita masih bisa
bekerja. Kita masih memiliki setumpuk kertas untuk dilem dan dijadikan amplop. Lalu
kita bisa menjualnya.”
Perlahan, Lee San menyelinap
keluar. Kemudian sambil duduk di depan gerbang, ia menangis tersedu-sedu. Lee
San sendiri adalah yatim piatu. Ia dulu diasuh oleh ayah tiri yang jahat. Keluarganya
memperlakukan dia seperti pembantu. Lee tak tahan, akhirnya ia kabur dan mulai
hidup di jalanan beberapa tahun yang lalu.
Pagi berikutnya, ada tiga
benda yang ditinggalkan Lee San di depan rumah sepasang orang tua itu. Seekor anjing
herder yang masih kecil yang diikat di tiang dekat pintu rumah, setumpuk uang,
dan sebuah brankas besi lengkap dengan kuncinya untuk menyimpan uang.
Sejak saat itu, tidak ada lagi
orang yang melihat Lee San. Ia lenyap begitu saja. Ada kabar yang mengatakan
bahwa ia menjadi biarawan, ada pula yang mengatakan kalau ia sudah menjadi
pengusaha sukses yang sangat dermawan. Namun, beberapa tahun setelah peristiwa
itu, bermunculan beberapa panti asuhan dan rumah jompo yang dibangun atas nama
Lee San di China dan masih berdiri dengan kukuh sampai sekarang.
Lee San mmengakhiri
kejahatannya melalui sebuah peristiwa malam itu. Dialog kakek dan nenek itu
menjadi alat teguran baginya sehingga ia mengubah seluruh prilaku hidupnya.
Tuhan bisa menggunakan pelbagai cara untuk mengingatkan dan menegur kita. Bisa melalui
peristiwa seperti kisah Lee San, kejadian-kejadian yang tidak terduga,
pengalaman pahit-getir, teguran orang tua, teman dan sahabat, atau dapat juga
melalui pemberitaan firman, suara hamba Tuhan yang menyampaikan kebenaran
seperti Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan kepada umat Israel.
Kini tergantung pada kita,
apakah semua sarana yang Tuhan sediakan itu, kita manfaatkan dengan baik. Ataukah
kita mengeraskan hati seperti Farisi yang merasa benar dan berhak atas
keselamatan lantaran ia keturunan Abraham dan bangsa yang istimewa? (Bnd. Lukas
3:8). Kadang orang Kristen tergoda untuk bertindak sama seperti orang Yahudi,
khususnya ahli Tauran, orang Farisi. Yang merasa sudah pasti mendapatkan
keselamatan. Orang Kristen merasa diri sudah percaya Yesus maka otomatis
mendapat bagian dalam kerajaan sorga. Mempunyai keyakinan bahwa nanti di akhir
zaman akan di angkat Tuhan dalam kemuliaan-Nya. Itu benar, tepat sekali! Tetapi
orang Kristen yang bagaimana?
Banyak orang Kristen memahami
sambutan Tuhan di akhir zaman itu dengan berita sukacita. Kemenangandan sorak-sorai!
Orang-orang seperti ini memahami hanya sepenggal, persis seperti bacaan pertama
Minggu ini : Zefanya 3:14-20, jika hanya dibaca pada bagian ini; isinya sungguh
luar biasa! Berita kemenangan dan sorak-sorai! Sorak-sorai kemenangan Israel. “Bersorak-sorailah, hai puteri
Sion,...Bersukacitalah dan beria-rialah....TUHAN telah menyingkarkan hukuman
yang jatuh atasmu, telah menebas binasa musuhmu....”(Zefanya 3:14-15). Mereka
akan pulang kembali ke negeri perjanjian itu. Namun, kita lupa siapa yang akan
kembali itu? Siapa yang bersorak-sorai itu? Mari mundur satu ayat, ayat 13
mengatakan mereka adalah, “yakni sisa
Israel itu. Mereka tidak akan melakukan kelaliman atau berbicara bohon; dalam
mulut mereka tidak akan terdapat lidah penipu; ya, mereka akan seperti domba
yang makan rumput dan berbaring dengan tidak ada yang mengganggunya.” Jadi
tidak semua umat itu kembali ke tanah perjanjian dengan sorak sorai. Ingat,
hanya sisa Israel! Yakni mereka yang tetap setia hidup dalam pertobatan!
Yohanes menegaskan tidak ada
keistimewaan bagi siapa pun jika kehidupannya tidak menghasilkan buah-buah
pertobatan maka tidak mungkin akan mewarisi negeri perjanjian atau kerajaan
sorga itu. Yohanes mengingatkan bahwa kalau kita tidak berbuah, kapak sudah
tersedia untuk menebang pohon. Pohon yang tidak berbuah akan titebang dan
dibuang ke dalam api! (Lukas 3:9). Kita ibarat pohon itu. Apa yang sudah kita
hasilkan?
Lee San mendengar teguran
melalui “drama kakek-nenek” tua buta itu. Ia segera bertobat. Tidak cukup
menangis, namun ia mengubah hidupnya sehingga menghasilkan buah-buah nyata;
membangun beberapa panti asuhan dan panti jompo. Kebaikan hatinya nyata, banyak
orang melihat dan merasakannya (bnd. Filipi 4:5). Lee San tidak membuat
pengumuman bahwa kini ia bertobat dan “lahir baru” tetapi apa yang dilakukannya
sudah menandakan bahwa kini ia menjadi manusia baru. Ia menanggalkan nafsu
kedagingannya dan hidup membantu orang lain. Lee San menjadi seorang yang khunul khotimah : menjadi baik, saleh di
penghujung hidupnya. Dunia tidak membutuhkan pengumuman orang Kristen yang
lahir baru. Tetapi dunia menantikan buah nyata pertobatan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar