Kamis, 13 Desember 2012

PANDAI MENYAMBUT SUATU AKHIR

Ada kisah menarik dalam buku karya Kornelius Sabat, “Chinese Inspirative Stories.” Pada akhir 1980-an di Shanghai ada penjahat bernama Lee San. Ia adalah seorang yang cerdas, tetapi sayang, kecerdasannya ia gunakan untuk berbuat jahat. Mencuri! Oleh karena kepintarannya itu, ia tidak pernah tertangkap oleh pihak yang berwajib. Sampai sejauh ini Lee San hidup “berkecukupan” dari hasil mencuri dan berjudi.

Suatu saat Wang Wu, “teman seperjuangannya”, memberi kabar bahwa ada sebuah keluarga yang baru saja mendapatkan santunan beberapa ribu dolar. Mereka adalah sepasang kakek-nenek. Namun, Wang Wu mengingatkan bahwa mereka mempunyai seekor anjing besar dan buas. Lee San, dengan keahliannya mengganggap enteng. Malam itu juga dengan membawa peralatannya, Lee San menuju rumah sepasang kakek-nenek itu. Ketika tiba di sana, ia melihat sebuah lampu taplok besar tergantung tinggi di gerbang rumah.

Lee San mengendap-endap di depan gerbang rumah itu. Tiba-tiba terdengar suara anjing mengonggong. Dengan sigap Lee San melemparkan sepotong daging ke arah anjing itu. Dagig itu sudah dibubuhi racun yang mematikan. Kurang dari semenit anjing itu mati. Lee San pun leluasa memasuki pekarangan rumah itu. Ia menuju pintu samping yang tak terkunci, lalu menuju kamar tempat uang disimpan di bawah bantal, “Ini mudah sekali. Mereka punya begitu banyak uang, tetapi tidak menyimpannya dalam brankas.”

Sesaat kemudian, Lee San mendengar ada suara dari ruangan sebelah. Ternyata wanita tua pemilik rumah sedang bercakap-cakap dengan suaminya. Lee San terdiam, ia penasaran apa yang mereka sedang bicarakan. Dengan seksama ia membuka kuping lebar-lebar.

“Pa, bukankah lebih baik kita gunakan uang itu untuk menyewa pembantu? Kita sudah tua dan buta. Kita memerluka orang untuk merawat kita.” Wanita tua itu berbicara.

Lee San terkejut. Jika mereka buta, mengapa mereka meletakan lampu besar di depan pintu gerbang? Bukankah orang buta tidak memerlukan lampu?

“Oh, ya, Sayangku, kamu benar. Tetapi dari mana kita mendapatkan uang untuk membayar pembantu?” jawab lelaki tua. “Bukankah kita baru saja mendapatkan beberapa ribu dolar santunan dari pejabat? Mengapa tidak kita gunakan saja?” Si nenek memberikan alternatif.

“Apa kamu sudah lupa?” Jawab sang kakek, “bukankah kita telah memutuskan menyumbangkan uang itu untuk membangun panti asuhan?”

Mendengar percakapan itu, Lee San merasa tidak nyaman.

“Oh, ya, betapa pelupnya aku. Lagi pula kita masih bisa berhemat. Dengan tidak membeli minyak untuk lampu di depan, dan menjual anjing kita, si Ding Ding. Anjing itu sudah tua dan mulai senewen,” sahut wanita tua itu. “Jangan lakukan itu!” sergah si kakek. “Walau kita tidak membutuhkan terang, kita harus menerangi orang-orang yang lewat sehingga mereka tidak perlu jalan dalam kegelapan dan agar mereka tidak tersandung. Jika si Ding Ding di sini, orang-orang tidak perlu kuatir terhadap penjahat atau pencuri ketika mereka melewati rumah ini.”

“Kamu benar,” kata wanita tua itu. “Sayang anak-anak kita sudah mulai jarang ke sini, tetapi kita masih bisa bekerja. Kita masih memiliki setumpuk kertas untuk dilem dan dijadikan amplop. Lalu kita bisa menjualnya.”

Perlahan, Lee San menyelinap keluar. Kemudian sambil duduk di depan gerbang, ia menangis tersedu-sedu. Lee San sendiri adalah yatim piatu. Ia dulu diasuh oleh ayah tiri yang jahat. Keluarganya memperlakukan dia seperti pembantu. Lee tak tahan, akhirnya ia kabur dan mulai hidup di jalanan beberapa tahun yang lalu.

Pagi berikutnya, ada tiga benda yang ditinggalkan Lee San di depan rumah sepasang orang tua itu. Seekor anjing herder yang masih kecil yang diikat di tiang dekat pintu rumah, setumpuk uang, dan sebuah brankas besi lengkap dengan kuncinya untuk menyimpan uang.

Sejak saat itu, tidak ada lagi orang yang melihat Lee San. Ia lenyap begitu saja. Ada kabar yang mengatakan bahwa ia menjadi biarawan, ada pula yang mengatakan kalau ia sudah menjadi pengusaha sukses yang sangat dermawan. Namun, beberapa tahun setelah peristiwa itu, bermunculan beberapa panti asuhan dan rumah jompo yang dibangun atas nama Lee San di China dan masih berdiri dengan kukuh sampai sekarang.

Lee San mmengakhiri kejahatannya melalui sebuah peristiwa malam itu. Dialog kakek dan nenek itu menjadi alat teguran baginya sehingga ia mengubah seluruh prilaku hidupnya. Tuhan bisa menggunakan pelbagai cara untuk mengingatkan dan menegur kita. Bisa melalui peristiwa seperti kisah Lee San, kejadian-kejadian yang tidak terduga, pengalaman pahit-getir, teguran orang tua, teman dan sahabat, atau dapat juga melalui pemberitaan firman, suara hamba Tuhan yang menyampaikan kebenaran seperti Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan kepada umat Israel.

Kini tergantung pada kita, apakah semua sarana yang Tuhan sediakan itu, kita manfaatkan dengan baik. Ataukah kita mengeraskan hati seperti Farisi yang merasa benar dan berhak atas keselamatan lantaran ia keturunan Abraham dan bangsa yang istimewa? (Bnd. Lukas 3:8). Kadang orang Kristen tergoda untuk bertindak sama seperti orang Yahudi, khususnya ahli Tauran, orang Farisi. Yang merasa sudah pasti mendapatkan keselamatan. Orang Kristen merasa diri sudah percaya Yesus maka otomatis mendapat bagian dalam kerajaan sorga. Mempunyai keyakinan bahwa nanti di akhir zaman akan di angkat Tuhan dalam kemuliaan-Nya. Itu benar, tepat sekali! Tetapi orang Kristen yang bagaimana?

Banyak orang Kristen memahami sambutan Tuhan di akhir zaman itu dengan berita sukacita. Kemenangandan sorak-sorai! Orang-orang seperti ini memahami hanya sepenggal, persis seperti bacaan pertama Minggu ini : Zefanya 3:14-20, jika hanya dibaca pada bagian ini; isinya sungguh luar biasa! Berita kemenangan dan sorak-sorai! Sorak-sorai kemenangan Israel. “Bersorak-sorailah, hai puteri Sion,...Bersukacitalah dan beria-rialah....TUHAN telah menyingkarkan hukuman yang jatuh atasmu, telah menebas binasa musuhmu....”(Zefanya 3:14-15). Mereka akan pulang kembali ke negeri perjanjian itu. Namun, kita lupa siapa yang akan kembali itu? Siapa yang bersorak-sorai itu? Mari mundur satu ayat, ayat 13 mengatakan mereka adalah, “yakni sisa Israel itu. Mereka tidak akan melakukan kelaliman atau berbicara bohon; dalam mulut mereka tidak akan terdapat lidah penipu; ya, mereka akan seperti domba yang makan rumput dan berbaring dengan tidak ada yang mengganggunya.” Jadi tidak semua umat itu kembali ke tanah perjanjian dengan sorak sorai. Ingat, hanya sisa Israel! Yakni mereka yang tetap setia hidup dalam pertobatan!

Yohanes menegaskan tidak ada keistimewaan bagi siapa pun jika kehidupannya tidak menghasilkan buah-buah pertobatan maka tidak mungkin akan mewarisi negeri perjanjian atau kerajaan sorga itu. Yohanes mengingatkan bahwa kalau kita tidak berbuah, kapak sudah tersedia untuk menebang pohon. Pohon yang tidak berbuah akan titebang dan dibuang ke dalam api! (Lukas 3:9). Kita ibarat pohon itu. Apa yang sudah kita hasilkan?

Lee San mendengar teguran melalui “drama kakek-nenek” tua buta itu. Ia segera bertobat. Tidak cukup menangis, namun ia mengubah hidupnya sehingga menghasilkan buah-buah nyata; membangun beberapa panti asuhan dan panti jompo. Kebaikan hatinya nyata, banyak orang melihat dan merasakannya (bnd. Filipi 4:5). Lee San tidak membuat pengumuman bahwa kini ia bertobat dan “lahir baru” tetapi apa yang dilakukannya sudah menandakan bahwa kini ia menjadi manusia baru. Ia menanggalkan nafsu kedagingannya dan hidup membantu orang lain. Lee San menjadi seorang yang khunul khotimah : menjadi baik, saleh di penghujung hidupnya. Dunia tidak membutuhkan pengumuman orang Kristen yang lahir baru. Tetapi dunia menantikan buah nyata pertobatan!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar