Surat kabar “Kompas” tanggal
14 November 2012, dalam rubrik Laporan
Iptek menuliskan: Akhir Oktober 2012, dunia ilmuwan geofisika mendapat
serangan telak. Enam ilmuwan Italia dipenjara. Mereka dinyatakan bersalah atas
kasus pembunuhan. Pasalnya, lebih dari setahun sebelumnya, 309 orang meninggal
akibat gempa yang mengguncang L’Aquila, Italia. Mereka dihukum karena
menyatakan, “kemungkinan terjadi gempa besar, kecil.” Sementara itu Sri
Widiyantoro, Guru Besar Seismologi ITB dalam orasinya mengatakan bahwa saat ini
tak seorang pun mampu memprediksikan kapan, di mana, dan seberapa kuat gempa akan
terjadi. Ahli seismologi hanya bisa mengeluarkan peringatan dengan tingkat
ketidakpastian yang amat beragam tentang gempa yang akan terjadi.
Para ilmuwan selalu berusaha
memecahkan pertanyaan-pertanyaan manusia termasuk di dalamnya tentang
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Mereka terpanggil
melakukan kajian dan riset-riset agar dapat mengantisifasi dampak buruk dari
sebuah perkembangan. Ilmuwan terpanggil untuk mengembangkan ilmu bagi
kemaslahatan dan kenyamanan umat manusia serta keutuhan ciptaan. Seorang
ilmuwan sejati mempunyai tanggung jawab moral untuk menyampaikan apa yang
dipandangnya sebagai sebuah kebenaran meskipun ia menyadari akan menimbulkan
“guncangan” hebat dalam masyarakat. Galileo Galilei mengguncang dunia pada
jamannya ketika ia menyatakan teori yang berbeda tentang tata surya dengan
kebenaran yang berabad-abad dipegangi oleh penguasa dan gereja. Untuk itu
Galilei harus membayarnya dengan meringkuk di penjara. Demikian juga dengan
Charles Darwin (1809-1882) ketika mempopulerkan teori evolusi. Ia dipandang
menghianati gereja karena dianggap melawan kepercayaan tentang wahyu
penciptaan. Namun, tidak jarang kita mendengar pernyataan ilmuwan-ilmuwan
spekulatif yang sekedar mencari sensasi dan keuntungan sesaat. Dalam tataran
ini tidaklah mudah untuk memilah mana ilmuwan yang mempunyai integritas dan
dedikasi dan mana yang hanya sekedar mencari keuntungan bagi dirinya. Untuk itu
dibutuhkan kajian dan kewaspadaan, minimal kita tahu track recordnya.
Berharap dan menciptakan masa
depan lebih baik tentunya bukan hanya milik para ilmuwan, tetapi menjadi idaman
setiap manusia terlebih ketika manusia itu berada dalam titik nadir kesulitan,
penderitaan dan moralitas yang buruk. Ketika bangsa ini banyak ketimpangan:
kepemimpinan negara tidak dirasakan kehadirannya di daerah-daerah konflik, para
elit politik sibuk tebar pesona demi mengejar kekuasaan, hukum hanya tajam
terhadap kalangan jelata dan tak berdaya berhadapan dengan penguasan dan pengusaha,
korupsi melanda di pelbagai aras, di sinilah banyak orang mengharapkan akan
datangnya zaman baru, di mana penderitaan akan berlalu, kebenaran ditegakkan
dan hukum menjadi panglima.
Zaman baru itulah yang sedang
ditunggu oleh sebagian besar umat Tuhan pada zaman Daniel. Mereka sedang ada
dalam tekanan berat Antiokhus IV dengan gelarnya Epifanes (penampakan Tuhan). Seorang
Raja dari Wangs Seleukid yang memerintah pada tahun 175 -164 SM. Seorang yang
sangat ambisius ingin diakui sebagai tuhan oleh seluruh rakyat di bawah
kekuasaannya. Untuk meraih ambisinya itu, Antiokhus berusaha melawan Allah,
mengambil posisi TUHAN untuk disembah dan dimuliakan. Tidak segan baginya untuk
memaksa, menindas bahkan membunuh orang atau kelompok yang membangkang.
Dapat kita bayangkan orang-orang
yang setia kepada TUHAN. Mereka pasti mengalami penganiayaan yang hebat. Mereka
dikejar, diintimidasi, tempat-tempat ibadah dihina, dinaziskan dan diberangus,
para pemimpinnya dibunuh dengan sadis. Itulah kesesakan yang besar! Namun, pada
saat-saat sulit ini, penulis kitab Daniel memberikan pengharapan: “Pada waktu itu juga akan muncul Mikhael,
pemimpin besar itu yang akan memimpin anak-anak bangsamu;...”(Daniel 12:1a).
Betapa pun redupnya sebuah zaman, bagi orang percaya tetap ada pengharapan.
Penyertaan TUHAN dapat hadir melalui pelbagai sosok. Giliran umat kini dituntut
untuk setia. Mereka yang selamat adalah yang tercatat dalam Kitab kehidupan. “...Tetapi pada waktu itu bangsamu akan
terluput, yakni barang siapa yang didapati namanya tertulis dalam Kitab itu.”
(Daniel 12:1b).
“Didapati namanya tertulis
dalam Kitab itu.” Sebuah bahasa simbolik untuk orang-orang yang tetap setia
dalam segala kondisi. TUHAN tidak pernah akan melupakan mereka yang setia
kepada-Nya. Meskipun kematian telah mereka alami. Dia sanggup menghidupkan
kembali untuk mendapat bagian dalam kekelan (Daniel 12:2-3). Keyakinan serupa
pernah disenandungkan Daud, “ sebab
Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang
Kudus-Mu melihat kebinasaan.”( Mazmur 16:10).
Rupa-rupanya di setiap zaman
selalu ada tantangan bahkan penganiayaan terhadap orang-orang yang setia kepada
TUHAN. Pada zaman Yesus penganiayaan itu berlanjut tidak hanya dari bangsa
asing yakni Romawi, melainkan tantangan dari bangsanya sendiri : Ahli-ahli
Taurat dan orang Farisi. Yesus menyadari bisa saja dalam menghadapi masa-masa
sulit itu ada banyak pengikut-Nya tidak tahan lalu meninggalkan imannya. Sangat
logis dalam sebuah konteks penderitaan dan kesulitan hidup banyak orang
terpancing untuk berspekulasi. Kondisi inilah yang banyak dimanfaatkan oleh
spekulator (orang-orang yang tidak punya kapasitas baik pengetahuan maupun
integritas moral) untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
Yesus menengarai pada masa
sulit itu akan tampil para spekulator yang menawarkan kemudahan dan memberikan
pandangan-pandangan yang menyesatkan. Mereka itulah yang tampil seolah-olah
bagaikan mesias. “Akan datang banyak
orang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah dia, dan mereka akan
menyesatkan banyak orang.”(Markus 13:6). Bukankah kondisi seperti ini bisa
terjadi kapan saja dan di mana saja. Contoh: Ketika ada dalam kesulitan
ekonomi, keuangan yang mendesak, mungkin Anda akan segera menemukan orang yang
menawarkan kemudahan bahkan mengajak Anda untuk melakukan cara-cara yang tidak
disukai Tuhan. Mungkin sekali tawaran dan bujukan orang itu memakai dan
menggunakan nama Tuhan. Saat Anda sakit berat, akan ada orang yang tampaknya baik
tulus, seperti malaikat yang bersedia membantu Anda. Saya mengalami hal seperti
itu. Ada seorang teman baik menawarkan cara alternatif
agar sakit yang saya derita dapat dipulihkan. Ia mengatakan, “Asal bapak bersedia, datang di kuil itu,
lalu sujud sebentar dan memohon kesembuhan, pasti sembuh sesudah itu tidak ada
lagi ikatan. Bapak bisa beribadah lagi menurut keyakinan bapak!” Bayangkan
dalam keadaan kalut, bisa saja seseorang tergoda dan tersesat!
Apa yang Yesus katakan dalam
konteks itu? Waspada! “Waspadalah supaya
jangan ada orang yang menyesatkan kamu!”(Markus 13:6). Kewaspadaan anak-anak
Tuhan dibutuhkan bukan saja ketika menghadapi isu kiamat atau akhir zaman,
melainkan setiap saat. Setiap saat, ya karena kesulitan hidup dan tampilnya
penyesat bisa terjadi kapan saja. Penyesat atau orang-orang yang membelokkan
iman bisa tampil begitu halus dan meyakinkan sehingga tanpa sadar orang percaya
dapat meninggalkan imannya. Penyesat atau orang-orang yang anti dengan Kristus
tidaklah selalu tampil dengan sosok bengis seperti Antiokhus Efipanes, penguasa
yang non Kristen atau tokoh-tokoh agama-agama lain yang radikal. Ia bisa berada
di dalam “lingkaran” kita, berusaha
memutarbalikan ajaran sehat menurut kehendaknya sendiri.
Salah satu contoh yang ada
dalam “lingkaran dalam” kekristenan adalah kelompok antinomianisme (dari kata Yunani: anti dan nomos, yang berarti anti
terhadap hukum, hukum yang dimaksu adalah Taurat). Seorang antinomian bermula
dengan prinsip bahwa hukum sudah dihapus – dalam arti tertentu, ia benar. Ia lalu mengatakan bahwa yang ada
hanyalah anugerah Allah – lagi-lagi dalam arti tertentu, ia benar. Lalu ia
mengatakan – sebagaimana dinyatakan oleh Paulus dalam Roma 6 – demikian, “Anda
mengatakan bahwa anugerah Allah cukup luas untuk menutupi setiap dosa?” “Ya” “Anda
mengatakan bahwa anugerah Allah adalah hal terbesar dan paling menakjubkan di
alam semesta?” “Ya.” Lalu, antinomian tersebut menyimpulkan, “Kalau begitu,
marilah kita berbuat dosa terus sesuai dengan keinginan hati kita sebab semakin
banyak kita berbuat dosa, semakin banyak kesempatan kita berikan pada anugerah
Allah untuk bekerja. Karena itu, marilah kita lakukan apa saja semua yang kita
mau.” Anugerah Allah telah diputarbalikan supaya sesuai dengan keinginan
manusia untuk berbuat dosa.
Para penyesat seringkali juga
mengutamakan kekuatan akal. Semuanya harus masuk akal! Iman itu harus rasional,
itulah salah satu jargonnya. Namun, bagi orang percaya kita menyadari
keterbatasan akal budi manusia untuk menyimak karya agung Sang Pencipta. G.K.
Chesterton mengatakan, “ Hanya orang bodohlah yang berusaha memasukan sorga ke
dalam kepalanya dan wajar saja kalau kepalanya akan meledak. Orang bijak akan
berusaha memasukan kepalanya ke dalam sorga.
Apa yang harus kita lakukan
dalam dunia yang penuh dengan penyesat ini? Surat Ibrani mengingatkan, “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan
kita, sebab Ia yang menjanjikannya, setia. Dan marilah kita saling
memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan
baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita,
seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasehati,
dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani
10:23-25)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar