Memberi adalah sebuah tindakan
menyerahkan, membagikan, menyediakan, dan menyampaikan sesuatu yang dimiliki
seseorang kepada pihak atau orang lain. Ada pelbagai alasan atau motivasi
seseorang memberikan sesuatu kepada pihak atau orang lain. Memberi karena
diminta oleh orang atau pihak lain. Ada
yang mencanangkannya sebagai “investasi” budi baik. Agar kelak orang yang
ditolongnya akan menghormati dan mengingatnya. Ada pula yang menginginkan
dirinya dikenal sebagai seorang dermawan. Tidak sedikit orang yang beranggapan
bahwa dengan memberikan sesuatu kepada orang lain, maka Tuhan akan membalasnya
berkali-kali lipat. Ada juga orang yang memberi karena takut. Takut Tuhannya
marah lalu “kran” berkatnya ditutup. Syukurlah, masih ada orang yang memberi
oleh karena panggilan hidupnya, ia tidak tahan melihat sesamanya menderita,
maka jika ia memberikan sesuatu, itu dilakukannya semata-mata untuk
memberdayakan orang yang dibantunya itu.
Banyak orang beralasan tidak
dapat memberi oleh karena dirinya tidak mempunyai sesuatu yang layak diberikan
kepada orang lain. Ya, sangat logis! Sebab apa yang dapat kita berikan kepada
orang lain kalau diri kita sendiri tidak mempunyai apa-apa. Untuk dapat
memberi, paling tidak kita harus mempunyai sesuatu. Namun, betulkah ada manusia
hidup tidak mempunyai apa pun? Jangan-jangan sepenggal kalimat itu adalah
alasan karena niat hati memang tidak tergerak untuk memberi.
Alkisah ada seorang raja yang
tidak mempunyai anak. Ia sangat merindukan kehadiran seorang anak agar dapat
meneruskan takhta kerajaannya. Raja itu menempelkan pengumuman. Ia mengundang
orang-orang muda untuk mendaftar sehingga dapat diangkat anak dan menjadi
keluarganya serta menjadi putra mahkota raja itu. Sayaratnya sederhana: orang
itu harus mencintai Tuhan dan sesamanya.
Seorang anak petani miskin
melihat pengumuman itu, hatinya bergelora. Ia berniat mendaftarkan diri, namun
kemudian ia berpikir bahwa tidak mungkin bagi dirinya untuk diangkat anak
karena ia benar-benar anak seorang petani miskin. Penampilan pun rasanya kurang
pas. Ia hanya punya satu baju yang lusuh. Tidak mau menyerah dengan keadaan, si
anak petani miskin ini kemudian bekerja keras siang-malam sehingga ia dapat
membeli satu stel baju yang bagus. Kini dengan memakai baju bagus itu, ia
hendak pergi ke istana untuk mendaftarakan diri menjadi anak raja.
Dalam perjalanan ke istana, ia
bertemu dengan seorang pengemis kumal yang miskin. Orang tua itu menggigil
kedinginan, anak muda itu mengamati dan merasa kasihan. Ia melepas bajunya yang
baru itu lalu menukarkan bajunya dengan baju yang dipakai orang tua itu agar si
pengemis tua itu tidak kedinginan. Sekarang ia
kembali memakai baju kumal compamg-camping, baju pengemis, dan
sepertinya akan sia-sia perjalanannya. Bagaimana pun ia sudah pergi terlalu
jauh dari kampungnya. Untuk kembali ke rumahnya dengan tangan kosong, bukanlah
pilihan yang bagus. Ia memutuskan untuk terus berjalan, paling tidak ia ingin
melihat istana dari luar.
Sesampainya di kawasan istana
ia disambut sebagai bahan tertawaan oleh para penjaga istana dan sindiran dari
pembantu raja. Tetapi akhirnya ia diijinkan masuk juga. Ada sesuatu yang sangat
aneh tapi sangat familiar juga dengan rajanya itu, pertamanya ia tidak dapat
menjelaskan perasaan apa itu, tetapi kemudian ia sadar, bajunya. Ia kemudian
menyadari bahwa rajanya itu memakai bajunya yang tadi dipakainya sebelum
bertukar dengan pengemis di jalan. Raja kemudian turun dari takhtanya dan
memeluk anak itu, katanya, “Selamat datang anakku!”
Janda miskin dengan dua peser uang
dalam gengamannya masuk ke “istana” Allah. Bait Suci itu. Bagaikan pengalaman
anak petani miskin itu. Sudah pasti janda itu tidak dipandang sebelah mata
bahkan cenderung menerima cibiran dari orang-orang “istana” itu, mengingat
penampilannya apalagi uang yang dibawanya adalah mata uang terkecil yang ada
saat itu. Hal ini sangat kontras dengan orang-orang kaya yang membawa
persembahan dalam jumlah besar dan memasukkannya ke dalam peti persembahan.
Namun, di luar dugaan, Yesus yang melihat peristiwa itu menghargai pemberian
janda ini. “Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang
memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari
kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada
padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” (Markus 12: 43-44).
Mengapa Yesus mengapresiasi
pemberian janda miskin ini? Ya, karena janda ini memberi dengan pengurbanan. Ia
mempertaruhkan seluruh hidupnya. Sesudah ia memberikan uangnya maka secara
manusiawi ia tidak lagi mempunyai jaminan hidup minimal untuk hari itu pun
tidak. Hidupnya kita hanya bergantung kepada Tuhan. Bisa saja si janda itu
memberikan hanya sebagian dan sepeser lagi untuk membeli makanan agar dia bisa
hidup hari itu. Namun, Alkitab menceritakan semuanya dipersembahkan. Janda ini
memberi contoh buat kita. Terkadang ada bagian hidup kita yang “disisakan”,
tidak dipersembahkan untuk Tuhan. Bagi Yesus, besarnya jumlah pemberian itu
tidak pernah dipersoalkan yang penting adalah ketulusan hati dan pengurbanan.
Pernahkah kita dalam hidup ini memberi bukan dari kelimpahan dan kelebihan
kita, melainkan dari kekurangan kita?
Memberi dari kekurangan? Bukankah
hal itu mengandung resiko yang besar? Bagaimana mungkin jaminan kehidupan itu
diserahkan semuanya? Manusiawi dan rasional jika kita berpikir bahwa hidup ini
memerlukan ongkos dan untuk itu manusia berlomba mengumpulkan banyak materi
bagi dirinya sendiri dan jika harus memberi, itu pun dilakukan kalau sudah
lebih atau sisa. Apakah hal seperti itu yang Tuhan inginkan? Tidak sanggupkah
Dia menjamin kehidupan untuk anak-anakNya yang dengan tulus menyalurkan berkat
Tuhan bagi sesamanya? Cerita janda di Sarfat (I Raja-raja 17:8-16) yang
memberikan persediaan makanan mereka untuk Elia, padahal hidup janda dan
anaknya itu tergantung pada bekalnya itu. Kisah ini setidaknya memberi gambaran
bagi kita bahwa Allah sanggup memelihara hamba-hambaNya bahkan melampaui nalar
dan pertimbangan manusia ketika mereka taat dan memberi dengan tulus.
Musthil untuk jaman sekarang?
Tidak juga! Simak kisah berikut:
Bai Fang Li tinggal sebagai
seorang pendatang di sebuah gubuk reot daerah kumuh Tian Jin, China. Hanya ada
sebuah tikar tua yang ujung-ujungnya sudah robek, tempat ia merebahkan tubuhnya
yang sudah mulai tua. Beberapa potong pakaian kumal dan selimut tipis tua
menghiasi gubuk itu. Li dikenal sebagai tukang becak ramah. Keramahannya
membuat ia mudah dikenal dan menjadi sahabat para jelata. Tidak pernah ia
menentukan tarif terhadap penumpangnya. Dengan sikapnya itu banyak penumpang
justeru memberi lebih atas jasanya.
Dari penghasilan yang ia
peroleh setelah seharian mengayuh becak, sebenarnya ia mampu mendapatkan
makanan dan minuman yang layak dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk
menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu butut yang sudah tidak
layak pakai karena telah lama robek. Namun, ia tidak melakukannya! Semua uang
penghasilannya ia sumbangkan kepada yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan
menyantuni sekitar 300 anak yatim piatu yang miskin di Tian Jin.
Suatu ketika saat ia sedang
beristirahat setelah mengantar pelanggan, hatinya sangat tersentuh menyaksikan
seorang anak kurus, berusia sekitar 6 tahun tengah menawarkan jasa mengangkat
barang kepada seorang ibu yang sedang berbelanja. Beberapa kali ia
memperhatikan anak itu, lalu ia menghampirinya lalu berdialog. Anak kecil itu
mengungkapkan bahwa dirinya bekerja untuk menafkahi kedua adiknya yang berumur
4 dan 5 tahun. Ia menjadi tulang punggung keluarga sejak ayah dan ibu mereka
pergi memulung dan tidak pulang kembali. Bai Fang Li kemudian membawa tiga
orang anak ini ke yayasan yang menampung anak yatim piatu.
Ia merasa sangat bahagia
melakukan semuanya itu. Di tengah kesederhanaan dan keterbatasannya,
mendapatkan pakaian rombeng yang masih layak dikenakan dari tempat sampah
merupakan kemewahan yang luar biasa. Ia hanya perlu menjahit sedikit bagian
yang terkoyak dengan kain yang berbeda warna.
Bai Fang Li mengayuh becak
tuanya selama 365 hari dalam setahun. Ia tidak memedulikan cuaca yang silih
berganti, baik ketika badai salju yang turun membekukan tubuh maupun ketika
panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya. “Tidak apa-apa
saya menderita, hal yang penting biarlah anak-anak miskin mendapat makanan yang
layak dan bisa bersekolah. Saya bahagia melakukan semuanya ini...” katanya bila
ada orang yang menanyakan alasan ia mau berkorban sedemikian besar untuk orang
lain tanpa memedulikan diri sendiri.
Bai Fang Li mengayuh becak
selama hampir 20 tahun demi memperoleh uang yang secara rutin ia berikan kepada
yayasan yatim piatu di Tian Jin. Saat usianya menginjak 90 tahun, ia
mengantarkan tabungan terakhirnya sekitar Rp.650 ribu (kurs pada saat itu) yang
ia simpan dengan rapi dalam sebuah kotak dan menyerahkannya kepada sekolah Yao
Hua. Bai Fang Li berkata dengan sendu, “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak
lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya
berikan.”
Semua guru yang ada di sekolah
itu menangis. Bai Fang Li meninggal pada usia 93 tahun dalam kesederhanaan. Namun
demikian total sumbangan yang ia telah berikan kepada yayasan yatim piatu dan
sejumlah sekolah di Tian Jin untuk menolong kurang lebih 300 anak miskin dalam
sepanjang hidupnya adalah sebesar Rp. 455 juta rupiah (kurs pada saat itu).
Sebuah foto terakhir mengenai dirinya bertuliskan, “Sebuah cinta yang istimewa
untuk seorang yang luar biasa.”
Jadikanlah diri Anda orang
yang berbahagia. Kebahagiaan bukan diukur dari seberapa banyak Anda
mengumpulkan harta benda untuk diri sendiri, melainkan seberapa banyak Anda
peduli dan memberi!
“Ketika mencintai dan melayani dilakukan
terus-menerus dengan penuh ketulusan,
perasaan berkorbannya menghilang,
yang muncul hanyalah senyuman
yang membahagiakan.
(Gede Prama)
artikel yang menarik. memang kuasa Tuhan tidak akan pernah masuk di pikiran kita. Memang terkadang ajaran Yesus bertolak belakang dengan dunia. Orang seharusnya memberi dari kelimpahan, tapi Yesus menekankan pada janda miskin yang memberi dengan nominal sedikit ini. Di saat kita memberi dari kekurangan, Tuhan sanggup melimpahkan kasih karunia dengan jalan yang gk bisa kita tebak dan gk masuk di akal.
BalasHapusvisit my blog opinika.blogspot.com