Kamis, 22 November 2012

MENGAKUI KRISTUS SEBAGAI RAJA

Domitianus, menurut catatan sejarawan Suetonius adalah seorang kaisar Romawi pada zaman kitab Wahyu ditulis, ia menuntut agar semua orang menyebutnya ‘dominus et deus noster’ (“tuhan dan allah kita”). Tampaknya ia adalah seorang kaisar yang tidak puas hanya dengan memiliki kekuasaan biasa, ia menginginkan dirinya diagungkan dan menjadi penentu hidup bagi rakyatnya. Gelar “tuhan dan allah kita” mengisyaratkan ia harus diperlakukan layaknya Tuhan. Kita dapat membayangkan orang-orang yang setia kepada Tuhan pasti mendapat penganiayaan dan ancaman hukuman jika tidak memperlakukan kaisar seperti tuhan. Domitianus menampilkan sosok ekstrem manusia yang haus kekuasaan, haus untuk dihormati dan dilayani.

Bukankah naluri manusia, generiknya seperti itu? Maunya dilayani, disanjung dan menjadi penentu. Coba tilik prilaku manusia di sekitar kita! Pergulatan politik di negeri ini nyata-nyata dan dengan vulgar memperlihatkan kehausan orang-orang untuk merebut kekuasaan dengan pelbagai cara. Tidak ada kawan sejati dan lawan sejati yang ada adalah kepentingan sejati untuk meraih kekuasaan. Perekonomian nyaris sama. Iklan-iklan produk tidak segan melanggar code etik, menjelekkan produk lain agar produk sendiri laku dan menguasai pangsa pasar, tidak canggung pula memanifulasi dan menyesatkan. Dunia hukum? Rela menjual keadilan dengan uang dan fasilitas.

Di tengah kancah dunia yang sibuk mencari popularitas, pengagungan diri dan memupuk kekuasaan, tema “Mengakui Kristus Sebagai Raja” tentunya tidak mudah diterima begitu saja. Mengapa? Ya, karena Yesus menampilkan diri bukan sebagai sosok raja ideal. Ia tidak bisa menaklukan kaisar Romawi pada zaman-Nya seperti yang diharapkan para pengikut-Nya. Dia tidak seperti Domitianus atau Hitler. Ia tampil teramat sederhana. Jauh dari hitungan sebagai penguasa. Pengakuan-Nya sebagai Raja itu pun terjadi di ruang interograsi ketika Ia digelandang oleh serdadu Romawi yang berkolusi dengan petinggi Yahudi. Ia Dituduh makar terhadap otoritas kekaisaran Romawi (Yohanes 18:33-37). Justeru di tempat inilah dengan gamlang Yesus berkata, “Engkau mengatakan bahwa Aku adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.” (Yoh.18:37) Ketika Pilatus mempertanyakan apakah Yesus adalah seorang raja.

Rupanya konsep raja dalam pemahaman Pilatus, yang mewakili manusia pada umumnya berbeda dari apa yang Yesus perankan. Bukan hanya berbeda melainkan bertolak belakang. Konsep raja yang ada dalam benak Pilatus adalah seorang penakluk. Raja adalah orang yang menaklukkan sebanyak mungkin orang, kemudian orang yang ditaklukannya itu harus tunduk dan melayani sang penakluk. Sedangkan Yesus mengatakan bahwa diri-Nya adalah raja yang memberi kesaksian tentang kebenaran. Kesaksian itu Ia lakukan dengan gaya hidup-Nya: Raja yang rela menderita, mengajarcontohkan bagaimana melayani, memperlakukan orang lain lebih utama. Dia adalah Raja yang meneladankan pengampunan dan belarasa. Hidup-Nya menggambarkan cinta kasih Bapa yang sejati. Ya, Yesus adalah Raja yang menaklukan hati manusia. Hati nurani di mana suara kebenaran itu terus bergaung! Kebenaran vs naluri berkuasa!

Mengakui Yesus Raja berarti, “setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengar suara-Ku”. Tidak mungkin bagi seseorang yang mengaku Yesus sebagai Raja dalam hidup kemudian ia dapat mengabaikan kehendak-Nya. Mendengar suara Yesus berarti mengerjakan, mencotoh dan mengamalkan apa yang Ia nyatakan. Seorang mengaku Yesus adalah Raja itu berarti pada saat yang sama ia adalah hamba atau abdi dari Sang Raja itu. Apa yang dikerjakan sang hamba? Tentu, apa yang dikehendaki tuannya.

Ada sebuah dongeng dari negeri Perancis yang berkisah tentang bagaimana pelayan pribadi raja terpercaya. Suatu hari, ia berjalan-jalan di tengah hutan lebat tidak jauh dari istana. Ditengah hutan itu ia tersandung ketika kakinya terantuk sebuah balok. Ketika ia menyingkirkan dedaunan dan puing-puing, ia membungkuk dan melihat tidak jauh dari kakinya ada benda mencurigakan. Benda itu adalah lampu ajaib yang terkenal.

Abdi raja itu segera membersihkan lampu ajaib. Mirip cerita Aladin, ketika sedang mengelap lampu itu, keluarlah Jin. Jin dalam lampu itu berkata, “Penemuanmu akan lampu ini bukan kebetulan. Anda telah bekerja keras selama hidup. Sekarang Anda boleh mengajukan satu keinginan. Tetapi lakukanlah itu dengan hati-hati karena Anda hanya boleh mengajukan satu saja keinginan, setelah itu tidak bisa lagi!”

Abdi raja itu menjawab, “Selama hidup saya telah berada pada posisi yang mengharuskan saya melayani orang lain. Kenyataannya, saya dikenal sebagai “pelayan kerajaan”. Pada masa yang akan datang, aku minta kepadamu, supaya orang-orang lain melayani saya. Dan, saya menginginkan kalau orang lain melayani saya, standarnya harus sama seperti saya melayani raja!”

Benar! Ketika sang abdi itu kembali ke istana, pintu dibukakan baginya. Makanannya dimasak, hidangan dilayani, piring-piring dicuci, pakaian-pakaiannya dicucikan oleh orang lain dan semua yang diinginkannya pasti disediakan dan dilayankan dengan baik. Kini ia sendiri tidak diizinkan melakukan pekerjaan yang biasanya ia kerjakan. Sebulan pertama pengalaman itu begitu memikatnya, ia menikmati dan merasa tersanjung. Pada bulan kedua, ia mualai bosan. Perlakuan orang-orang lain terhadap dirinya mulai menjengkelkannya. Memasuki bulan ketiga ia mulai tidak tahan lagi. Karena itu ia segera kembali ke hutan tempat lampu ajaib itu ditemukan. Ia mencari-cari lampu itu. Akhirnya menemukannya. Ia menggosok lampu itu, dan jin itu muncul lagi. Orang itu berkata, “Saya telah menemukan dan merasakan bahwa memiliki orang-orang yang melayani saya tidaklah menyenangkan seperti yang saya bayangkan. Saya ingin kembali seperti kehidupan semula. Saya ingin menjadi pelayan dan abdi kerajaan!”

Jin itu menjawab, “Maafkan saya, sesuai perjanjian semula, hanya satu kali saja saya dapat menolngmu setelah itu tidak bisa lagi. Hanya satu kali saya punya kuasa itu.” Si abdi raja itu mendesak kembali, “Tetapi engkau tidak mengerti apa yang saya alami dan rasakan. Saya ingin melayani orang-orang lain. Saya rasa jauh lebih berguna melakukan segala sesuatu bagi orang lain ketimbang orang lain melakukan segala sesuatu buat saya!”

Jin itu hanya menggelengkan kepalanya. Orang itu terus merengek dan memohon, “Tolonglah, engkau harus membantu saya! Saya lebih baik berada di neraka dari pada tidak dapat melayani orang lain.” Jin itu berkata dengan sedih, “Oh, menurutmu, sahabatku, di manakah engkau berada selama sembilan puluh hari terakhir ini?”

Yesus mengajarkan setiap orang untuk mengalami kegembiraan dan kebahagiaan hidup yang hakiki. Bukan dengan berkuasa, memerintah, dan menjadikan diri pusat perhatian dan pelayanan orang lain. Kebahagiaan sejati tidak didapat ketika orang-orang di sekitar kita tunduk dan melayani kita. Kebahagiaan itu mirip seperti dongeng dari negeri Perancis itu. Kita pasti bahagia ketika hidup dan apa yang kita punya dapat diberdayakan untuk menolong dan melayani orang lain. Bukankah itu yang diajarkan Sang Raja kita. Yesus pernah berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”(Markus 10:45)

Mengakui Kristus Raja adalah dengan melakukan apa yang diingini-Nya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar