Domitianus, menurut catatan
sejarawan Suetonius adalah seorang kaisar Romawi pada zaman kitab Wahyu
ditulis, ia menuntut agar semua orang menyebutnya ‘dominus et deus noster’ (“tuhan dan allah kita”). Tampaknya ia
adalah seorang kaisar yang tidak puas hanya dengan memiliki kekuasaan biasa, ia
menginginkan dirinya diagungkan dan menjadi penentu hidup bagi rakyatnya. Gelar
“tuhan dan allah kita” mengisyaratkan ia harus diperlakukan layaknya Tuhan.
Kita dapat membayangkan orang-orang yang setia kepada Tuhan pasti mendapat
penganiayaan dan ancaman hukuman jika tidak memperlakukan kaisar seperti tuhan.
Domitianus menampilkan sosok ekstrem manusia yang haus kekuasaan, haus untuk
dihormati dan dilayani.
Bukankah naluri manusia,
generiknya seperti itu? Maunya dilayani, disanjung dan menjadi penentu. Coba
tilik prilaku manusia di sekitar kita! Pergulatan politik di negeri ini
nyata-nyata dan dengan vulgar memperlihatkan kehausan orang-orang untuk merebut
kekuasaan dengan pelbagai cara. Tidak ada kawan sejati dan lawan sejati yang
ada adalah kepentingan sejati untuk meraih kekuasaan. Perekonomian nyaris sama.
Iklan-iklan produk tidak segan melanggar code etik, menjelekkan produk lain
agar produk sendiri laku dan menguasai pangsa pasar, tidak canggung pula
memanifulasi dan menyesatkan. Dunia hukum? Rela menjual keadilan dengan uang
dan fasilitas.
Di tengah kancah dunia yang
sibuk mencari popularitas, pengagungan diri dan memupuk kekuasaan, tema “Mengakui
Kristus Sebagai Raja” tentunya tidak mudah diterima begitu saja. Mengapa? Ya,
karena Yesus menampilkan diri bukan sebagai sosok raja ideal. Ia tidak bisa
menaklukan kaisar Romawi pada zaman-Nya seperti yang diharapkan para
pengikut-Nya. Dia tidak seperti Domitianus atau Hitler. Ia tampil teramat
sederhana. Jauh dari hitungan sebagai penguasa. Pengakuan-Nya sebagai Raja itu
pun terjadi di ruang interograsi ketika Ia digelandang oleh serdadu Romawi yang
berkolusi dengan petinggi Yahudi. Ia Dituduh makar terhadap otoritas kekaisaran
Romawi (Yohanes 18:33-37). Justeru di tempat inilah dengan gamlang Yesus
berkata, “Engkau mengatakan bahwa Aku
adalah raja. Untuk itulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia
ini, supaya Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal
dari kebenaran mendengarkan suara-Ku.” (Yoh.18:37) Ketika Pilatus
mempertanyakan apakah Yesus adalah seorang raja.
Rupanya konsep raja dalam
pemahaman Pilatus, yang mewakili manusia pada umumnya berbeda dari apa yang
Yesus perankan. Bukan hanya berbeda melainkan bertolak belakang. Konsep raja
yang ada dalam benak Pilatus adalah seorang penakluk. Raja adalah orang yang
menaklukkan sebanyak mungkin orang, kemudian orang yang ditaklukannya itu harus
tunduk dan melayani sang penakluk. Sedangkan Yesus mengatakan bahwa diri-Nya
adalah raja yang memberi kesaksian tentang kebenaran. Kesaksian itu Ia lakukan
dengan gaya hidup-Nya: Raja yang rela menderita, mengajarcontohkan bagaimana
melayani, memperlakukan orang lain lebih utama. Dia adalah Raja yang meneladankan
pengampunan dan belarasa. Hidup-Nya menggambarkan cinta kasih Bapa yang sejati.
Ya, Yesus adalah Raja yang menaklukan hati manusia. Hati nurani di mana suara
kebenaran itu terus bergaung! Kebenaran vs naluri berkuasa!
Mengakui Yesus Raja berarti, “setiap orang yang berasal dari kebenaran
mendengar suara-Ku”. Tidak mungkin bagi seseorang yang mengaku Yesus
sebagai Raja dalam hidup kemudian ia dapat mengabaikan kehendak-Nya. Mendengar suara
Yesus berarti mengerjakan, mencotoh dan mengamalkan apa yang Ia nyatakan. Seorang
mengaku Yesus adalah Raja itu berarti pada saat yang sama ia adalah hamba atau
abdi dari Sang Raja itu. Apa yang dikerjakan sang hamba? Tentu, apa yang
dikehendaki tuannya.
Ada sebuah dongeng dari negeri
Perancis yang berkisah tentang bagaimana pelayan pribadi raja terpercaya. Suatu
hari, ia berjalan-jalan di tengah hutan lebat tidak jauh dari istana. Ditengah hutan
itu ia tersandung ketika kakinya terantuk sebuah balok. Ketika ia menyingkirkan
dedaunan dan puing-puing, ia membungkuk dan melihat tidak jauh dari kakinya ada
benda mencurigakan. Benda itu adalah lampu ajaib yang terkenal.
Abdi raja itu segera
membersihkan lampu ajaib. Mirip cerita Aladin, ketika sedang mengelap lampu
itu, keluarlah Jin. Jin dalam lampu itu berkata, “Penemuanmu akan lampu ini
bukan kebetulan. Anda telah bekerja keras selama hidup. Sekarang Anda boleh
mengajukan satu keinginan. Tetapi lakukanlah itu dengan hati-hati karena Anda
hanya boleh mengajukan satu saja keinginan, setelah itu tidak bisa lagi!”
Abdi raja itu menjawab, “Selama
hidup saya telah berada pada posisi yang mengharuskan saya melayani orang lain.
Kenyataannya, saya dikenal sebagai “pelayan kerajaan”. Pada masa yang akan
datang, aku minta kepadamu, supaya orang-orang lain melayani saya. Dan, saya
menginginkan kalau orang lain melayani saya, standarnya harus sama seperti saya
melayani raja!”
Benar! Ketika sang abdi itu
kembali ke istana, pintu dibukakan baginya. Makanannya dimasak, hidangan
dilayani, piring-piring dicuci, pakaian-pakaiannya dicucikan oleh orang lain
dan semua yang diinginkannya pasti disediakan dan dilayankan dengan baik. Kini ia
sendiri tidak diizinkan melakukan pekerjaan yang biasanya ia kerjakan. Sebulan pertama
pengalaman itu begitu memikatnya, ia menikmati dan merasa tersanjung. Pada bulan
kedua, ia mualai bosan. Perlakuan orang-orang lain terhadap dirinya mulai
menjengkelkannya. Memasuki bulan ketiga ia mulai tidak tahan lagi. Karena itu
ia segera kembali ke hutan tempat lampu ajaib itu ditemukan. Ia mencari-cari
lampu itu. Akhirnya menemukannya. Ia menggosok lampu itu, dan jin itu muncul
lagi. Orang itu berkata, “Saya telah menemukan dan merasakan bahwa memiliki
orang-orang yang melayani saya tidaklah menyenangkan seperti yang saya bayangkan.
Saya ingin kembali seperti kehidupan semula. Saya ingin menjadi pelayan dan
abdi kerajaan!”
Jin itu menjawab, “Maafkan
saya, sesuai perjanjian semula, hanya satu kali saja saya dapat menolngmu
setelah itu tidak bisa lagi. Hanya satu kali saya punya kuasa itu.” Si abdi
raja itu mendesak kembali, “Tetapi engkau tidak mengerti apa yang saya alami
dan rasakan. Saya ingin melayani orang-orang lain. Saya rasa jauh lebih berguna
melakukan segala sesuatu bagi orang lain ketimbang orang lain melakukan segala
sesuatu buat saya!”
Jin itu hanya menggelengkan
kepalanya. Orang itu terus merengek dan memohon, “Tolonglah, engkau harus
membantu saya! Saya lebih baik berada di neraka dari pada tidak dapat melayani
orang lain.” Jin itu berkata dengan sedih, “Oh, menurutmu, sahabatku, di
manakah engkau berada selama sembilan puluh hari terakhir ini?”
Yesus mengajarkan setiap orang
untuk mengalami kegembiraan dan kebahagiaan hidup yang hakiki. Bukan dengan
berkuasa, memerintah, dan menjadikan diri pusat perhatian dan pelayanan orang
lain. Kebahagiaan sejati tidak didapat ketika orang-orang di sekitar kita
tunduk dan melayani kita. Kebahagiaan itu mirip seperti dongeng dari negeri
Perancis itu. Kita pasti bahagia ketika hidup dan apa yang kita punya dapat
diberdayakan untuk menolong dan melayani orang lain. Bukankah itu yang
diajarkan Sang Raja kita. Yesus pernah berkata, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”(Markus
10:45)
Mengakui Kristus Raja adalah
dengan melakukan apa yang diingini-Nya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar