Jumat, 02 November 2012

HAI UMAT, DENGARLAH!

Badai Sandy melanda Pantai Timur Amerika Serikat (30 Oktober 2012) meniggalkan jejak kehancuran luar biasa, paling dramatis di Negara Bgian New Jersey dan New York. New York yang menjadi pusat kegiatan ekonomi dan kultur AS nyaris lumpuh total akibat banjir dan terputusnya aliran listrik. Kawasan Manhattan yang biasanya bergelimang cahaya kini bagai kota hantu. Sandy, mampu megangkat alir laut dan mengubahnya menjadi gelombang dasyat setiggi empat meter dengan terpaan angin berkecepatan tidak kurang 130 Km/jam. Dengan kerusakan parah dan 26 orang meninggal, memaksa kedua kubu politik, Demokrat dan Republik menghentikan sejenak kampanye mereka. Bahkan Presiden Obama menyebut bencana ini dengan status “Bencana Besar”.

Bayangkan jika badai ini terjadi 30 atau 40 tahun yang lalu dengan kapasitas kedasyatan yang sama? Tentu, korban materi dan nyawa akan jauh lebih banyak. Teknologi canggih telah memampukan manusia untuk memprediksi pergerakan badai Sandy itu. Google, dengan kecanggihan teknologi internet yang didukung oleh Laboratorium Penelitian Militer AL, AS, Pusat Badai Nasional, Wheather.com, dan Survei Geologi AS, telah menyusun peta badai Sandy untuk membantu melacak pergerakannya. Berdasarkan analisis perkembangan badai itu, Google membatalkan beberapa acara penting demi menghidari dari kedasyatan badai Sandy itu. Acara itu, antara lain: peluncuran ponsel pintar Nexus 4 dan sistem oprasi baru, Jelly Bean.

Mengapa korban bisa diminimalkan? Ya, karena mereka dapat memprediksi badai itu kapan akan datang dan dengan skala kerusakan seperti apa. Apakah hanya berhenti sekedar mendengar dan tahu, lalu mereka dapat lolos dari badai itu? Jelas tidak! Informasi yang mereka dengar diubah menjadi respon untuk siaga menghadapi badai itu. Mereka mengantisipasi, mengerahkan segala daya, mencari tempat-tempat perlindungan, menghindari pantai dan daerah berbahaya dan bersedia membatalkan acara-acara yang sudah diagendakan meskipun itu penting! Dengan demikian mereka terhindar dari bahaya yang lebih besar.

Mendengarkan! Itulah yang dilakukan oleh masyarakat Amerika dalam mengantisipasi badai Sandy. Mendengarkan mengandung arti menyimak untuk mengerti, memahami dan kemudian patuh mengikuti instruksi apa yang dipahami dan dimengertinya itu. Konon orang bijak mengajarkan bahwa segala macam kebudayaan berawal dari mendengarkan. Pertumbuhan bukannya terjadi  melalui pemikiran yang canggih atau pembicaraan yang pasih, melainkan melalui pengamatan dan pendengaran yang cermat. Dunia kita adalah sebuah galeri yang penuh dengan bisikan: penuh dengan suara, tetapi hanya yang mau mendengarkanlah yang bisa menyimak kebenaran itu dan memandu hidupnya menjadi bermakna dan bahagia.

“Syema Israel...” “Dengarlah, hai Israel!”(Ulangan 6:4) Itulah sapaan yang bernada perintah dari TUHAN kepada umat Israel. Syema, tentu bukanlah mendengar sembarang mendengar, melainkan menyimak dengan sungguh-sungguh, mencamkan dan menaatinya. Siapa yang harus didengar Israel? Jawabnya: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa! Mengapa hanya TUHAN yang harus didengar? Karena Dialah yang TUHAN Pencipta dan Pemelihara. Di tengah banyak keyakinan dan figur sesembahan, Israel diminta untuk memusatkan diri mereka hanya kepada TUHAN. Israel sedang berada di persimpangan: selangkah lagi akan memasuki negeri perjanjian. Mereka bagai berada di belantara, ada banyak keyakinan dan berhala yang kasat mata mempunyai kuasa atas orang yang menyembahnya. Dalam kondisi seperti ini TUHAN menyatakan hanya Dia satu-satunya Allah yang dapat menjamin keselamatan Israel.

Sama seperti seseorang dalam ancaman badai, ia akan mendengar banyak “suara”, entah dari luar maupun dari dalam kegalauan dirinya. Jika ia ingin selamat, maka ia harus menentukan suara yang mana yang harus ia dengar dan harus ia taati, yakni suara yang telah terbukti mempunyai konpetensi untuk memprediksi badai. Seorang pilot pesawat terbang, tentu akan menyiapkan perangkat komunikasi dengan menara pengawas bandara. Ia akan mendengarkan instruksi-intruksi yang memandu pesawat itu apabila ingin pesawat itu sampai di bandara dengan selamat.  Jika Israel ingin selamat masuk negeri perjanjian itu maka satu-satunya suara yang harus mereka dengar adalah suara TUHAN. TUHAN yang telah terbukti membebaskan dan menyertai Israel keluar dari negeri perbudakan di Mesir.

Bagaimana perjalanan selanjutnya? Apakah Israel benar-benar mendengarkan suara TUHAN dalam arti yang benar, yakni: menjadikan suara atau perintah TUHAN itu pandu bagi hidup mereka, sehingga dengan sukacita mereka melakukannya? Alkitab banyak mencatatat, mereka hanya berhenti pada “mendengar” dan mungkin memahaminya namun kerap gagal untuk menaatinya. Setidaknya hal ini tergambar ratusan tahun berikutnya pada jaman Yesus. Orang-orang Yahudi, tentu tidak semua, gemar untuk belajar tentang hukum-hukum Allah. Menghafalnya sedemikian rupa, memilah-milahnya: mana hukum yang mempunyai bobot tertinggi dan mana yang ringan. Orang Yahudi telah menyusun kitab Misyna, yaitu tafsiran terhadap Taurat di sana disusun 613 perintah yang terdiri dari 248 perintah “positif” dan 365 perintah “larangan”. Dalam konteks inilah seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus tentung hukum yang terutama.

Yesus menjawab dengan memperdengarkan kembali Syema dalam Perjanjian Lama. Ia mengungkapkan esensi hukum itu. Yesus menegaskan bahwa hukum yang pertama adalah mengasihi TUHAN Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu adalah mengasihi sesama seperti diri sendiri. Mencintai Allah adalah juga mencintai sesama. Mencintai sesama adalah wujud dari mencintai Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan. Sama-sama utama, sama-sama penting! Setiap orang yang mencintai hukum ini Yesus katakan, “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” (Markus 12:28-34)

Saya kira Israel merupakan contoh kebanyakan orang yang hanya mau mendengar apa yang ia mau dengar yang memuaskan nalarnya namun seringkali tidak untuk dilakukan. Kitab Suci hanya dipakai sebagai perbendaharaan pengetahuan dan hafalan. De Mello menggambarkan keadaan itu dengan baik:
Ada dua orang rahib sedang dalam perjalanan menuju ke biara mereka, dan mendapati seorang wanita yang sangat cantik di tepi sungai. Seperti halnya mereka, wnita itu pun ingin menyeberangi sungai, tetapi sungainya dalam dan arusnya deras. Karena itu, salah seorang rahib itu menggendongnya untuk menyeberangi sungai itu.

Rekan rahibnya merasa terganggu, sangat tidak enak hati. Selama dua jam ia mengomel kepada rekannya tentang ketidakpeduliannya terhadap aturan kitab suci biara mereka, yang mengatakan ia dilarang menyentuh seorang wanita. Dia bahkan menggendongnya menyeberangi sungai! Orang hendak berkata apa tentang hal ini? Ia telah merusak aturan dan nama baik biara!

Rahib yang satunya dengan sabar mendengarkan omelan itu. Akhirnya, ia berkata, “Saudaraku, saya sudah lama menurunkan wanita itu di tepi sungai. Tapi kamu masih membawanya sampai sekarang.”

Mendengar, tahu, dan mengerti tidaklah membawa dampak dalam kehidupan ini. Ketaatan dan mengerjakannya merupakan kunci keberhasilan meraih hidup. Betapa pun berharga informasi tentang badai Sandy bagi orang Amerika, namun tanpa disertai tindakan nyata mengantisipasi badai itu pastilah bencana tidak terhindarkan. Betapa pun Anda dan saya telah mendengar, mengerti Firman dan Kehendak Tuhan bahkan sering memberitakannya, itu semua tidak ada gunanya jika tidak dilakukan dalam hidup kita. Ingatlah Yesus pernah berkata,Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu : Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga (Matius 7:21).  Jadi sekarang kasihilah Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan, serta mengasihi sesama seperti diri sendiri bukan dengan teori, melainkan praktek nyata!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar