Badai Sandy melanda Pantai
Timur Amerika Serikat (30 Oktober 2012) meniggalkan jejak kehancuran luar
biasa, paling dramatis di Negara Bgian New Jersey dan New York. New York yang
menjadi pusat kegiatan ekonomi dan kultur AS nyaris lumpuh total akibat banjir
dan terputusnya aliran listrik. Kawasan Manhattan yang biasanya bergelimang
cahaya kini bagai kota hantu. Sandy, mampu megangkat alir laut dan mengubahnya
menjadi gelombang dasyat setiggi empat meter dengan terpaan angin berkecepatan
tidak kurang 130 Km/jam. Dengan kerusakan parah dan 26 orang meninggal, memaksa
kedua kubu politik, Demokrat dan Republik menghentikan sejenak kampanye mereka.
Bahkan Presiden Obama menyebut bencana ini dengan status “Bencana Besar”.
Bayangkan jika badai ini
terjadi 30 atau 40 tahun yang lalu dengan kapasitas kedasyatan yang sama? Tentu,
korban materi dan nyawa akan jauh lebih banyak. Teknologi canggih telah
memampukan manusia untuk memprediksi pergerakan badai Sandy itu. Google, dengan
kecanggihan teknologi internet yang didukung oleh Laboratorium Penelitian Militer
AL, AS, Pusat Badai Nasional, Wheather.com, dan Survei Geologi AS, telah
menyusun peta badai Sandy untuk membantu melacak pergerakannya. Berdasarkan analisis
perkembangan badai itu, Google membatalkan beberapa acara penting demi
menghidari dari kedasyatan badai Sandy itu. Acara itu, antara lain: peluncuran
ponsel pintar Nexus 4 dan sistem oprasi baru, Jelly Bean.
Mengapa korban bisa
diminimalkan? Ya, karena mereka dapat memprediksi badai itu kapan akan datang
dan dengan skala kerusakan seperti apa. Apakah hanya berhenti sekedar mendengar
dan tahu, lalu mereka dapat lolos dari badai itu? Jelas tidak! Informasi yang
mereka dengar diubah menjadi respon untuk siaga menghadapi badai itu. Mereka mengantisipasi,
mengerahkan segala daya, mencari tempat-tempat perlindungan, menghindari pantai
dan daerah berbahaya dan bersedia membatalkan acara-acara yang sudah
diagendakan meskipun itu penting! Dengan demikian mereka terhindar dari bahaya
yang lebih besar.
Mendengarkan! Itulah yang
dilakukan oleh masyarakat Amerika dalam mengantisipasi badai Sandy. Mendengarkan
mengandung arti menyimak untuk mengerti, memahami dan kemudian patuh mengikuti
instruksi apa yang dipahami dan dimengertinya itu. Konon orang bijak
mengajarkan bahwa segala macam kebudayaan berawal dari mendengarkan. Pertumbuhan
bukannya terjadi melalui pemikiran yang
canggih atau pembicaraan yang pasih, melainkan melalui pengamatan dan
pendengaran yang cermat. Dunia kita adalah sebuah galeri yang penuh dengan
bisikan: penuh dengan suara, tetapi hanya yang mau mendengarkanlah yang bisa menyimak
kebenaran itu dan memandu hidupnya menjadi bermakna dan bahagia.
“Syema Israel...” “Dengarlah, hai Israel!”(Ulangan 6:4) Itulah sapaan
yang bernada perintah dari TUHAN kepada umat Israel. Syema, tentu bukanlah mendengar sembarang mendengar, melainkan
menyimak dengan sungguh-sungguh, mencamkan dan menaatinya. Siapa yang harus
didengar Israel? Jawabnya: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu Esa! Mengapa hanya
TUHAN yang harus didengar? Karena Dialah yang TUHAN Pencipta dan Pemelihara. Di
tengah banyak keyakinan dan figur sesembahan, Israel diminta untuk memusatkan
diri mereka hanya kepada TUHAN. Israel sedang berada di persimpangan: selangkah
lagi akan memasuki negeri perjanjian. Mereka bagai berada di belantara, ada
banyak keyakinan dan berhala yang kasat mata mempunyai kuasa atas orang yang
menyembahnya. Dalam kondisi seperti ini TUHAN menyatakan hanya Dia satu-satunya
Allah yang dapat menjamin keselamatan Israel.
Sama seperti seseorang dalam
ancaman badai, ia akan mendengar banyak “suara”, entah dari luar maupun dari
dalam kegalauan dirinya. Jika ia ingin selamat, maka ia harus menentukan suara
yang mana yang harus ia dengar dan harus ia taati, yakni suara yang telah
terbukti mempunyai konpetensi untuk memprediksi badai. Seorang pilot pesawat
terbang, tentu akan menyiapkan perangkat komunikasi dengan menara pengawas
bandara. Ia akan mendengarkan instruksi-intruksi yang memandu pesawat itu
apabila ingin pesawat itu sampai di bandara dengan selamat. Jika Israel ingin selamat masuk negeri
perjanjian itu maka satu-satunya suara yang harus mereka dengar adalah suara TUHAN.
TUHAN yang telah terbukti membebaskan dan menyertai Israel keluar dari negeri
perbudakan di Mesir.
Bagaimana perjalanan
selanjutnya? Apakah Israel benar-benar mendengarkan suara TUHAN dalam arti yang
benar, yakni: menjadikan suara atau perintah TUHAN itu pandu bagi hidup mereka,
sehingga dengan sukacita mereka melakukannya? Alkitab banyak mencatatat, mereka
hanya berhenti pada “mendengar” dan mungkin memahaminya namun kerap gagal untuk
menaatinya. Setidaknya hal ini tergambar ratusan tahun berikutnya pada jaman
Yesus. Orang-orang Yahudi, tentu tidak semua, gemar untuk belajar tentang
hukum-hukum Allah. Menghafalnya sedemikian rupa, memilah-milahnya: mana hukum
yang mempunyai bobot tertinggi dan mana yang ringan. Orang Yahudi telah
menyusun kitab Misyna, yaitu tafsiran terhadap Taurat di sana disusun 613
perintah yang terdiri dari 248 perintah “positif” dan 365 perintah “larangan”. Dalam
konteks inilah seorang ahli Taurat bertanya kepada Yesus tentung hukum yang
terutama.
Yesus menjawab dengan
memperdengarkan kembali Syema dalam
Perjanjian Lama. Ia mengungkapkan esensi hukum itu. Yesus menegaskan bahwa
hukum yang pertama adalah mengasihi TUHAN Allah dengan segenap hati, jiwa, akal
budi dan kekuatan. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu adalah mengasihi
sesama seperti diri sendiri. Mencintai Allah adalah juga mencintai sesama. Mencintai
sesama adalah wujud dari mencintai Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi
dan kekuatan. Sama-sama utama, sama-sama penting! Setiap orang yang mencintai
hukum ini Yesus katakan, “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!” (Markus
12:28-34)
Saya kira Israel merupakan
contoh kebanyakan orang yang hanya mau mendengar apa yang ia mau dengar yang
memuaskan nalarnya namun seringkali tidak untuk dilakukan. Kitab Suci hanya
dipakai sebagai perbendaharaan pengetahuan dan hafalan. De Mello menggambarkan
keadaan itu dengan baik:
Ada dua orang rahib sedang
dalam perjalanan menuju ke biara mereka, dan mendapati seorang wanita yang
sangat cantik di tepi sungai. Seperti halnya mereka, wnita itu pun ingin
menyeberangi sungai, tetapi sungainya dalam dan arusnya deras. Karena itu,
salah seorang rahib itu menggendongnya untuk menyeberangi sungai itu.
Rekan rahibnya merasa
terganggu, sangat tidak enak hati. Selama dua jam ia mengomel kepada rekannya
tentang ketidakpeduliannya terhadap aturan kitab suci biara mereka, yang
mengatakan ia dilarang menyentuh seorang wanita. Dia bahkan menggendongnya
menyeberangi sungai! Orang hendak berkata apa tentang hal ini? Ia telah merusak
aturan dan nama baik biara!
Rahib yang satunya dengan
sabar mendengarkan omelan itu. Akhirnya, ia berkata, “Saudaraku, saya sudah
lama menurunkan wanita itu di tepi sungai. Tapi kamu masih membawanya sampai
sekarang.”
Mendengar, tahu, dan mengerti
tidaklah membawa dampak dalam kehidupan ini. Ketaatan dan mengerjakannya
merupakan kunci keberhasilan meraih hidup. Betapa pun berharga informasi
tentang badai Sandy bagi orang Amerika, namun tanpa disertai tindakan nyata
mengantisipasi badai itu pastilah bencana tidak terhindarkan. Betapa pun Anda
dan saya telah mendengar, mengerti Firman dan Kehendak Tuhan bahkan sering
memberitakannya, itu semua tidak ada gunanya jika tidak dilakukan dalam hidup
kita. Ingatlah Yesus pernah berkata, “Bukan
setiap orang yang berseru kepadaKu : Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan
Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga (Matius
7:21). Jadi sekarang kasihilah Allah
dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan, serta mengasihi sesama
seperti diri sendiri bukan dengan teori, melainkan praktek nyata!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar