Rabu, 24 Oktober 2012

MATA DICELIKKAN, HIDUP DIPULIHKAN

Negeri Tiongkok kaya dengan cerita penuh makna, salah satunya cerita tentang seorang pria tua yang ingin memindahkan gunung, lantaran gunung itu menghalangi jalan dan cahaya matahari pagi menyinari rumahnya. Pria tua itu tinggal di Utara Cina, rumahnya menghadap ke selatan dan tepat di depan pintunya terletak dua gunung yang besar: Taihung dan Wangwu. Keduanya menghalangi jalan ke Selatan. Ia ingin mengatasi masalah ini. Ia mengajak anak-anaknya berdiskusi. Mereka sepakat untuk meratakan dua gunung itu. Kini mereka mempunyai komitmen bersama. Mereka keluar dengan membawa cangkul.

Seorang tetangganya melihat mereka bekerja lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil berkomentar, “Betapa bodoh dan sia-sianya tenaga kalian. Tidaklah mungkin bagi kalian untuk memindahkan dua gunung raksasa itu!”

Orang tua itu tersenyum dan berkata, “Bila saya mati, anak-anak saya akan meneruskan pekerjaan ini. Kedua gunung itu memang tinggi, tetapi keduanya tidak akan tumbuh lagi. Ingat, kekuatan kita masih bisa bertambah. Sedikit demi sedikit, kami akan mendekati tujuan kami. Lebih baik melakukan sesuatu dari pada hanya duduk dan meratapi nasib bahwa kedua gunung itu menghalangi cahaya matahari.” Dengan keyakinan itu pria tua tadi terus menggali. Akhir kisah, Tuhan melihat komitmen, ketegaran, kegigihan dan harapan pria tua itu dan Ia tergerak untuk mengirimkan malaikat ke bumi. Mereka mengangkat kedua gunung itu dan memindahkannya.

Dongeng? Benar! Namun, bukankah setiap manusia pasti mempunyai “gunung”? Gunung yang menghalangi laju keinginan dan kenyamanan hidup terhambat bahkan tersendat sama sekali. Gunung itu bisa sakit penyakit, musibah, persoalan rumah tangga, ekonomi, pendek kata kesulitan, penderitaan dan pergumulan hidup bahkan tragedi. Apa yang dapat diandalkan manusia ketika berada dan berhadapan dengan gunung itu? Ya, jawaban teoritis orang beragama adalah Tuhan. Sama seperti Mazmur 126, yang diberi judul oleh Lembaga Alkitab Indonesia “Pengharapan di tengah-tengah penderitaan.” Pengharapan itu adalah adanya pergantian dari penderitaan kepada sukacita. Tuhan menjadi andalan satu-satunya yang bisa mengubah keadaan itu. Namun, apakah cukup hanya dengan berharap?

Buta adalah “gunung” bagi Bartimeus anak Timeus. Menjadi pengemis merupakan pilihan satu-satunya agar ia bisa mempertahankan hidup. Buta telah membelenggu hidupnya. Buta adalah gunung tinggi dan besar bagiya. Bisa dibayangkan si buta, sudah susah memenuhi kebutuhan hidup, ia juga mendapat penghakiman dari orang-orang di sekitarnya bahwa ia telah melakukan dosa tertentu. Adalah hal yang biasa buat mereka mengaitkan penderitaan seseorang dengan dosa tertentu seperti yang mereka pernah lakukan juga terhadap orang yang buta sejak lahir. Mereka bertanya siapa yang telah berdosa sehingga orang ini lahir dalam keadaan buta? (Yohanes 9:2).

Bagaimana Bartimeus menghadapi “gunung” penderitaannya itu? Tepat! Ia punya harapan pada Sang Mesias, Anak Daud itu. Namun, apakah cukup dengan pengharapannya itu? Kisah dalam Injil Markus 10 : 46-52 memaparkan dengan jelas bahwa pengharapan itu disertai dengan kerja keras Bartimeus. Apa yang dikerjakan Bartimeus dalam pengharapannya itu? Menurut William Barclay, ada beberapa hal :

1.      Ada ketekunan yang sungguh-sungguh dalam diri Bartimeus. Markus menggambarkan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi dan menghentikan upayanya untuk berhadapan muka dengan Yesus. Bartimeus mendengar langkah-langkah kaki dan orang banyak berbicara. Ia bertanya apa yang sedang terjadi dan siapa yang sedang lewat. Lalu ia diberitahu bahwa yang lewat adalah Yesus. Ia seger melakukan sesuatu untuk menarik perhatian Yesus. Ia berteriak keras! Bagi orang yang sedang mendengarkan pengajaran Yesus tentu suaranya itu menjadi gangguan. Karena itu mereka mencoba mendiamkan Bartimeus. Namun, tak seorang pun dapat menggagalkan peluangnya untuk lepas dari dunia yang gelap. Ia berteriak lebih keras lagi sehingga barisan rombongan itu terhenti dan Yesus memanggilnya. Dalam benar Bartimeus, yang ada bukan hanya keinginan samar-samar atau sentimental untuk melihat Yesus. Namun, ia punya kerinduan luar biasa yang memungkinkan segalanya terjadi.

Banyak orang yakin dan berharap bahwa Tuhan dapat mengubah hidupnya, Ia dapat memindahkan “gunung” yang membelenggunya. Namun, hanya sekedar percaya dan berharap, cukup dengan doa saja tidak seperti pria tua negeri Cina atau Bartimeus.

2. Bartimeus menanggapi panggilan Yesus dengan segera dan penuh semangat. Begitu semangatnya sehingga ia menanggalkan jubahnya agar tidak merintanginya untuk menuju kepada Yesus. Banyak orang telah mendengar panggilan Yesus, tetapi kemudian berkata, “Tunggu sampai saya menyelesaikan pekerjaan ini, menyelesaikan itu.” Bartimeus datang kepada Yesus secepat peluru ketika Yesus memanggilnya. Ingatlah dalam kehidupan ini ada kesempatan-kesempatan tertentu yang hanya datang sekali. Tidak terulang lagi! Secara naluriah, Bartimeus mengetahui hal itu. Dalam kehidupan kita, terkadang kita punya kerinduan mendengar suara Tuhan. Suara itu berbisik untuk kita meninggalkan perbuatan yang buruk, yang dibenci Tuhan. Suara itu mengajak kita untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, menyerahkan diri dengan sempurna kepada Yesus. Namun, begitu seringnya kita tidak menggunakan kesempatan itu. Kita sering menundanya dengan alasan nanti kalau segalanya sudah beres. Nanti saja aku sedang suka dengan yang ini, dan seterusnya. Lalu kesempatan itu berlalu dan tidak pernah kembali!

3.   Bartimeus tahu persis apa yang diinginkannya, ia ingin melihat! Sering kali kekaguman dan pengharapan seseorang terhadap Yesus merupakan sesuatu yang samar-sama, tidak jelas. Bila kita menjumpai seorang dokter, kita ingin agar ia melakukan sesuatu terhadap apa yang benar-benar kitabutuhkan. Jika kita sakit gigi, nyut-nyutan, kita pergi ke dokter gigi, pasti bukan dokter gigi sembarangan. Minimal dapat referensi dari teman. Kita ingin dokter gigi itu menangani gigi kita, lalu sakitnya hilang. Begitulah seharusnya antara kita dengan Yesus. Untuk itu, diperlukan satu hal yang sedikit saja orang dapat melakukannya, yakni pemeriksaan diri sendiri. Jujur, terkadang kita sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang kita butuhkan. Iman yang kita bangun terhadap Yesus adalah iman pokoke. Ya, pokoke  aku heppy, aku tidak bertemu dengan masalah atau kesulitan hidup. Banyak orang tidak mengerti dengan permintaan mereka sendiri, seperti Yohanes dan Yakobus yang memita duduk di sebelah kiri dan kanan Yesus.

4.  “Anak Daud!” demikian teriakan Bartimeus. Gelar itu adalah gelar mesianis dalam pemahaman penakluk, seorang raja dari garis keturunan Daud yang akan memimpin umat Israel menuju pada kebebasan nasional. Gagasan seperti ini tentu bukanlah apa yang diperjuangkan Yesus. Namun, terlepas dari semuanya itu, Bartimeus mempunyai iman. Bagi Yesus yang terutama bukanlah pemahaman teologis yang runut, melainkan seseorang mempunyai iman atau tidak. Bahkan sekalipun kita tidak pernah mampu berpikir secara teologis, tanggapan dari hati seperti Bartimeus itu sudah cukup. Yesus mengatakan kepada Bartimeus, “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!”

5.  Bartimeus memang adalah seorang pengemis yang ada dipinggir jalan Yerikho. Namun, sesungguhnya ia adalah seeorang yang tahu berterima kasih. Setelah ia dapat melihat, ia mengikut Yesus. Ia tidak pergi dengan begitu saja menurut kemauannya sendiri ketika kebutuhannya sudah dipenuhi. Banyak orang lupa berterima kasih ketika kebutuhannya telah terpenuhi. Bartimeus mulai mengenal Yesus dengan kebutuhan dan kemudian ia melanjutkannya dengan terima kasih serta mengakhirinya dengan kesetiaan.

Bartimeus seorang pengemis buta. Kerinduannya mula-mula adalah agar ia dapat melihat. Melihat dunia yang kata orang menyenangkan. Ternyata Yesus bukan saja mampu membuat mata Bartimeus menjadi celik namun seluruh hidupnya dipulihkan. Bartimeus menjadi orang yang utuh. Ia tahu bersyukur dan berterima kasih. Ia hidup dalam kesetiaan kepada Tuhannya. Bagaiamana dengan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar