Negeri Tiongkok kaya dengan
cerita penuh makna, salah satunya cerita tentang seorang pria tua yang ingin
memindahkan gunung, lantaran gunung itu menghalangi jalan dan cahaya matahari
pagi menyinari rumahnya. Pria tua itu tinggal di Utara Cina, rumahnya menghadap
ke selatan dan tepat di depan pintunya terletak dua gunung yang besar: Taihung
dan Wangwu. Keduanya menghalangi jalan ke Selatan. Ia ingin mengatasi masalah
ini. Ia mengajak anak-anaknya berdiskusi. Mereka sepakat untuk meratakan dua
gunung itu. Kini mereka mempunyai komitmen bersama. Mereka keluar dengan
membawa cangkul.
Seorang tetangganya melihat
mereka bekerja lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil berkomentar, “Betapa
bodoh dan sia-sianya tenaga kalian. Tidaklah mungkin bagi kalian untuk
memindahkan dua gunung raksasa itu!”
Orang tua itu tersenyum dan
berkata, “Bila saya mati, anak-anak saya akan meneruskan pekerjaan ini. Kedua gunung
itu memang tinggi, tetapi keduanya tidak akan tumbuh lagi. Ingat, kekuatan kita
masih bisa bertambah. Sedikit demi sedikit, kami akan mendekati tujuan kami. Lebih
baik melakukan sesuatu dari pada hanya duduk dan meratapi nasib bahwa kedua
gunung itu menghalangi cahaya matahari.” Dengan keyakinan itu pria tua tadi
terus menggali. Akhir kisah, Tuhan melihat komitmen, ketegaran, kegigihan dan
harapan pria tua itu dan Ia tergerak untuk mengirimkan malaikat ke bumi. Mereka
mengangkat kedua gunung itu dan memindahkannya.
Dongeng? Benar! Namun,
bukankah setiap manusia pasti mempunyai “gunung”? Gunung yang menghalangi laju
keinginan dan kenyamanan hidup terhambat bahkan tersendat sama sekali. Gunung itu
bisa sakit penyakit, musibah, persoalan rumah tangga, ekonomi, pendek kata
kesulitan, penderitaan dan pergumulan hidup bahkan tragedi. Apa yang dapat
diandalkan manusia ketika berada dan berhadapan dengan gunung itu? Ya, jawaban
teoritis orang beragama adalah Tuhan. Sama seperti Mazmur 126, yang diberi
judul oleh Lembaga Alkitab Indonesia “Pengharapan
di tengah-tengah penderitaan.” Pengharapan itu adalah adanya pergantian
dari penderitaan kepada sukacita. Tuhan menjadi andalan satu-satunya yang bisa
mengubah keadaan itu. Namun, apakah cukup hanya dengan berharap?
Buta adalah “gunung” bagi
Bartimeus anak Timeus. Menjadi pengemis merupakan pilihan satu-satunya agar ia
bisa mempertahankan hidup. Buta telah membelenggu hidupnya. Buta adalah gunung
tinggi dan besar bagiya. Bisa dibayangkan si buta, sudah susah memenuhi
kebutuhan hidup, ia juga mendapat penghakiman dari orang-orang di sekitarnya
bahwa ia telah melakukan dosa tertentu. Adalah hal yang biasa buat mereka
mengaitkan penderitaan seseorang dengan dosa tertentu seperti yang mereka
pernah lakukan juga terhadap orang yang buta sejak lahir. Mereka bertanya siapa
yang telah berdosa sehingga orang ini lahir dalam keadaan buta? (Yohanes 9:2).
Bagaimana Bartimeus menghadapi
“gunung” penderitaannya itu? Tepat! Ia punya harapan pada Sang Mesias, Anak
Daud itu. Namun, apakah cukup dengan pengharapannya itu? Kisah dalam Injil
Markus 10 : 46-52 memaparkan dengan jelas bahwa pengharapan itu disertai dengan
kerja keras Bartimeus. Apa yang dikerjakan Bartimeus dalam pengharapannya itu?
Menurut William Barclay, ada beberapa hal :
1. Ada
ketekunan yang sungguh-sungguh dalam diri Bartimeus. Markus menggambarkan bahwa
tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi dan menghentikan upayanya untuk
berhadapan muka dengan Yesus. Bartimeus mendengar langkah-langkah kaki dan
orang banyak berbicara. Ia bertanya apa yang sedang terjadi dan siapa yang
sedang lewat. Lalu ia diberitahu bahwa yang lewat adalah Yesus. Ia seger
melakukan sesuatu untuk menarik perhatian Yesus. Ia berteriak keras! Bagi orang
yang sedang mendengarkan pengajaran Yesus tentu suaranya itu menjadi gangguan. Karena
itu mereka mencoba mendiamkan Bartimeus. Namun, tak seorang pun dapat
menggagalkan peluangnya untuk lepas dari dunia yang gelap. Ia berteriak lebih
keras lagi sehingga barisan rombongan itu terhenti dan Yesus memanggilnya.
Dalam benar Bartimeus, yang ada bukan hanya keinginan samar-samar atau
sentimental untuk melihat Yesus. Namun, ia punya kerinduan luar biasa yang
memungkinkan segalanya terjadi.
Banyak
orang yakin dan berharap bahwa Tuhan dapat mengubah hidupnya, Ia dapat
memindahkan “gunung” yang membelenggunya. Namun, hanya sekedar percaya dan
berharap, cukup dengan doa saja tidak seperti pria tua negeri Cina atau
Bartimeus.
2. Bartimeus
menanggapi panggilan Yesus dengan segera dan penuh semangat. Begitu semangatnya
sehingga ia menanggalkan jubahnya agar tidak merintanginya untuk menuju kepada
Yesus. Banyak orang telah mendengar panggilan Yesus, tetapi kemudian berkata, “Tunggu
sampai saya menyelesaikan pekerjaan ini, menyelesaikan itu.” Bartimeus datang
kepada Yesus secepat peluru ketika Yesus memanggilnya. Ingatlah dalam kehidupan
ini ada kesempatan-kesempatan tertentu yang hanya datang sekali. Tidak terulang
lagi! Secara naluriah, Bartimeus mengetahui hal itu. Dalam kehidupan kita,
terkadang kita punya kerinduan mendengar suara Tuhan. Suara itu berbisik untuk
kita meninggalkan perbuatan yang buruk, yang dibenci Tuhan. Suara itu mengajak
kita untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan, menyerahkan diri dengan
sempurna kepada Yesus. Namun, begitu seringnya kita tidak menggunakan
kesempatan itu. Kita sering menundanya dengan alasan nanti kalau segalanya
sudah beres. Nanti saja aku sedang suka dengan yang ini, dan seterusnya. Lalu kesempatan
itu berlalu dan tidak pernah kembali!
3. Bartimeus
tahu persis apa yang diinginkannya, ia ingin melihat! Sering kali kekaguman dan
pengharapan seseorang terhadap Yesus merupakan sesuatu yang samar-sama, tidak
jelas. Bila kita menjumpai seorang dokter, kita ingin agar ia melakukan sesuatu
terhadap apa yang benar-benar kitabutuhkan. Jika kita sakit gigi, nyut-nyutan, kita pergi ke dokter gigi,
pasti bukan dokter gigi sembarangan. Minimal dapat referensi dari teman. Kita
ingin dokter gigi itu menangani gigi kita, lalu sakitnya hilang. Begitulah seharusnya
antara kita dengan Yesus. Untuk itu, diperlukan satu hal yang sedikit saja
orang dapat melakukannya, yakni pemeriksaan diri sendiri. Jujur, terkadang kita
sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang kita butuhkan. Iman yang kita
bangun terhadap Yesus adalah iman pokoke.
Ya, pokoke aku heppy,
aku tidak bertemu dengan masalah atau kesulitan hidup. Banyak orang tidak
mengerti dengan permintaan mereka sendiri, seperti Yohanes dan Yakobus yang
memita duduk di sebelah kiri dan kanan Yesus.
4. “Anak
Daud!” demikian teriakan Bartimeus. Gelar itu adalah gelar mesianis dalam
pemahaman penakluk, seorang raja dari garis keturunan Daud yang akan memimpin
umat Israel menuju pada kebebasan nasional. Gagasan seperti ini tentu bukanlah
apa yang diperjuangkan Yesus. Namun, terlepas dari semuanya itu, Bartimeus
mempunyai iman. Bagi Yesus yang terutama bukanlah pemahaman teologis yang
runut, melainkan seseorang mempunyai iman atau tidak. Bahkan sekalipun kita
tidak pernah mampu berpikir secara teologis, tanggapan dari hati seperti
Bartimeus itu sudah cukup. Yesus mengatakan kepada Bartimeus, “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!”
5. Bartimeus
memang adalah seorang pengemis yang ada dipinggir jalan Yerikho. Namun,
sesungguhnya ia adalah seeorang yang tahu berterima kasih. Setelah ia dapat
melihat, ia mengikut Yesus. Ia tidak pergi dengan begitu saja menurut
kemauannya sendiri ketika kebutuhannya sudah dipenuhi. Banyak orang lupa
berterima kasih ketika kebutuhannya telah terpenuhi. Bartimeus mulai mengenal
Yesus dengan kebutuhan dan kemudian ia melanjutkannya dengan terima kasih serta
mengakhirinya dengan kesetiaan.
Bartimeus seorang pengemis buta. Kerinduannya mula-mula
adalah agar ia dapat melihat. Melihat dunia yang kata orang menyenangkan. Ternyata
Yesus bukan saja mampu membuat mata Bartimeus menjadi celik namun seluruh
hidupnya dipulihkan. Bartimeus menjadi orang yang utuh. Ia tahu bersyukur dan
berterima kasih. Ia hidup dalam kesetiaan kepada Tuhannya. Bagaiamana dengan
kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar