Pembicaraan tentang korupsi
tampaknya tidak akan segera berakhir. Koran Kompas
12 Oktober 2012 menulis besar-besar di halaman muka, “Moralitas Pejabat Telah
Hilang”: Promosi jabatan terhadap pegawai
negeri sipil yang pernah dipidana dalam kasus korupsi merupakan kebijakan yang
sangat tidak patut, bertentangan dengan etika, dan kehilangan moralitas. Hal itu
juga bertentangan dengan tekad bangsa dalam pemberantasan korupsi. Kalimat
tersebut merupakan tanggapan atas pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
di Batam (11/10) yang mengatakan, PNS yang pernah dipidana terkait kasus
korupsi boleh menjadi pejabat karena sampai sekarang belum ada aturan yang
melarang hal itu. Ukurannya kepatutan dan kepantasan saja.
Masalahnya sekarang orang
sudah tidak lagi berpikir patut atau tidak, pantas atau tidak pantas, dan malu
atau tidak. Kini orang berpikir yang penting jabatan itu bisa diraih karena
dengan demikian bisa memenuhi pundi-pundi uangnya. Jabatan tidak lagi dikaitkan
dengan amanah luhur untuk melayani, melainkan sebuah upaya atau kesempatan
untuk memperkaya diri. Saya percaya masih ada pejabat yang punya moral dan hati
nurani, namun berapa banyak? Pasti jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding
dengan pejabat korup. Itulah yang sedang dipertontonkan oleh para pejabat kita.
Kekuasaan telah menggoda nurani manusia dan meruntuhkan nilai-nilai moral. Demi
uang dan harta kekayaan, manusia rela membungkam moralitas. Manusia rela
mengorbankan kepentingan umum. Bayangkan orang-orang miskin yang seharusnya
masih bisa menikmati sekolah, berobat kalau sakit, punya tempat beteduh, sarana
prasarana memadai, kini hak mereka terampas demi segelintir orang yang korup. Bayangkan
juga korban-korban bencana yang seharusnya segera mendapat pertolongan dan
tunjangan, kini mereka tidak berdaya menanti ajal dalam penderitaan.
Setiap manusia dilengkapi
Tuhan dengan nurani, di sanalah moralitas bersuara. Orang Kristen percaya di
hati manusia itulah tempat Firman Tuhan dinyatakan, Sebab Firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang
bermata dua mana pun;.....ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati
kita “ (Ibrani 4:12). Jon M. Huntsman (pengusaha dan dermawan AS, lahir
1937) mengatakan, “Periksalah kompas moral Anda –Anda pasti mengetahui mana
yang benar dan mana yang salah.” Namun, tampaknya manusia lebih memilih
mengutamakan meraih kekayaan ketimbang arah hidupnya dipandu oleh kompas moral.
Manusia cenderung menapaki jalan instan, jalan yang mudah untuk memenuhi ambisi
dan pemuasan diri. Tidaklah salah orang menjadi kaya. Tidak juga keliru kalau
orang menikmati kekayaannya. Namun, menjadi salah apabila untuk mencapai itu
seseorang harus mengorbankan hak dan kepentingan orang lain. Ia menjadi amoral,
apabila untuk mencapai itu harus dengan jalan membungkam nuraninya sendiri.
Keadaan seperti ini mirip
dengan apa yang dilukiskan oleh Amos pada jamannya. Para pejabat dan orang kaya
berkolusi mereka sepakat memeras dan menginjak-injak orang miskin. Celakanya para
imam dan pemuka agama bukan saja bungkam, melainkan merestui! “Sebab Aku tahu, bahwa perbuatamu yang jahat
banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar
terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di
pintu gerbang.” (Amos 5:12) Bukankah dari jaman-ke jaman keadaan ini tidak
banyak berubah! Bukankah di negeri kita pun saat ini orang-orang benar banyak
dimusuhi dan orang-orang miskin hanya berguna pada waktu pemilu?
Kekayaan telah membius manusia
sehingga kebal terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Benar, dalam batas-batas
tertentu harta benda dapat membantu manusia menikmati hidup lebih baik. Dengan uang
seseorang dapat keliling dunia. Dengan kekayaannya ia bisa memelihara kesehatan
dan kebugaran tubuhnya. Dengan uangnya ia bisa berbuat baik. Uang dan kekayaan
pada dasarnya bukanlah jahat. Kekayaan sebenarnya adalah “alat” yang dapat
digunakan oleh manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Namun, kemudian
manusia menyadari bahwa dengan kekayaannya itu ia dapat melakukan banyak hal. Ia
bisa membeli ini dan itu. Ia bisa dihormati dan disanjung. Akibatnya, kini uang
dan kekayaan itu bukan lagi dipandang sebagai “alat” atau sarana, melainkan
sudah menjadi tujuan. Banyak manusia yang terjebak, tujuan hidupnya bukan lagi
memuliakan Tuhan, melainkan mencari uang dan harta kekayaan sebanyak-banyaknya.
Sangat suliit mengarahkan
manusia untuk kembali mencari Tuhan sebagai tujuan hidupnya. Mungkin benar
seperti pernyataan Yesus, “Alangkah
sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.....lebih mudah
seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam
Kerajaan Allah.”(Markus 10:23b, 25). Yesus mengatakan itu dalam konteks,
ada seorang kaya datang kepadaNya meminta wangsit agar dirinya mendapatkan
hidup kekal. Orang ini disebutkan sebagai orang yang banyak hartanya
(Mrk.10:22), dan ia mengaku telah melakukan semua kebajikan menurut hukum
Taurat (Mrk.10:9) namun merasa ada yang kurang.
Lalu Yesus menanggapinya, “Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah,
juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka
engkau akan beroleh harta di sorga kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.”(Mrk.10:21).
Kekurangan orang itu hanya satu saja. Ia sulit berbagi, hatinya melekat pada
hartanya. Orang kaya ini, menurut pengakuannya telah memenuhi tuntutan Taurat:
Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi
dusta, jangan mengurangi hak orang lain, hormatilah ayah dan ibumu. Lihat,
perintah ini semuanya memakai kata “jangan”, kecuali yang terakhir :
menghormati ayah dan ibu. Apa yang dilakukan dengan perintah “jangan begini dan
jangan begitu?” Jawabannya pasif! Tidak melakukan ini dan itu! Orang ini adalah
orang yang pasif. Sangat mungkin dengan harta bendanya pun tidak digunakannya
untuk menebarkan kebaikan. Ia asyik sendiri dengan hartanya! Ia tidak peduli
dengan penderitaan orang lain. Hatinya melekat terhadap harta bendanya. Maka ketika
Yesus menawarkan tantangan untuk menjual dan membagikannya kepada orang-orang
miskin, ia sangat kecewa dan sedih lalu pergi meninggalkan Yesus.
Apakah semua orang kaya susah
atau mustahil masuk ke dalam Kerajaan Allah? Semustahil unta masuk lubang
jarum? Tentu tidak! Penafsiran “unta melewati lubang jarum” begitu banyak dan
beragam. Kalimat itu adalah semacam ungkapan kiasan yang lazim ada dalam
bahasa-bahasa Semit (Aram, Ibrani dan Arab: Q.S 7:40). Maknanya adalah
mustahil. Maka jika dikaitkan dengan kasus orang kaya dalam cerita Markus 10,
memang mustahil bagi orang itu untuk masuk dalam Kerajaan Allah. Mengapa?
Karena hatinya tidak ada di dalam Kerajaan Allah, melainkan melekat pada harta
bendanya. Dalam bagian yang lain juga, Yesus mengingatkan bahwa seseorang tidak
dapat mengabdi kepada “dua tuan”: kepada Allah dan Mamon (Matius 6:24). Bukan hanya orang kaya, orang miskin sekalipun yang
hatinya melekat pada harta benda, menjadikan harta benda sebagai tujuan
hidupnya maka sulit juga baginya untuk mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.
Kekayaan bagi orang-orang seperti ini justeru membawa kebinasaan.
Peringatan Yesus terhadap
orang kaya ini sebenarnya bukan dimaksudkan orang tidak boleh mencari kekayaan
atau menjadi kaya. Namun lebih ke arah di mana hati kita melekat. Apakah hati
kita terpaut terus kepada Tuhan, atau jangan-jangan hati dan pikiran kita
terpaut kepada harta kekayaan, pencapaian ambisi sehingga gelisah dan sulit
tidur? Saat ini marilah kita instrosfeksi: Apakah harta kekayaan kita tempatkan
di atas segala-galanya? Dengan demikian kita akan berusaha mendapatkannya
dengan jalan apa pun? Di dalam doa-doa kita, apakah lebih banyak memohon
terpenuhinya harta kekayaan? Ataukah dalam hidup ini kita lebih mendahulukan
kehendakNya, berbagi dengan sesama serta dalam doa-doa kita lebih mengedepankan
ungkapan syukur dan memuliakan namaNya? Ingatlah waktu untuk kita hidup ini
sangat terbatas. Jadilah bijak, tentukanlah pilihan yang terbaik. Pemazmur mengingatkan
kita, “Ajarlah kami menghitung hari-hari
kami sedemikian, sehingga kami beroleh hati yang bijaksana.”(Mzm.90:12)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar