Jumat, 05 Oktober 2012

DISATUKAN BUKAN DICERAIKAN

Bagaimana jika Anda diberi kesempatan hidup sekali lagi, terbuka kesempatan bagi Anda untuk memilih mejadi siapa saja yang Anda inginkan. Anda akan memilih menjadi orang seperti apa? Apakah Anda akan menjadi penguasa? Atau pengusaha? Atau seniman populer, pengarang novel ternama, bintang film, kartunis, wartawan, atlet terkenal atau seorang hakim? Pertanyaan seperti itu pernah ditanyakan oleh seorang wartawan kepada George Bernard Shaw (Seorang novelis, kritikus, esaias, politikus dan orator Irlandia, lahir di Dublin 26 Juli 1856) tak lama sebelum ia meninggal. Katanya, "Bapak Shaw, Anda telah mengunjugi banyak orang ternama di dunia ini. Anda telah berjumpa dan mengenal kaum bangsawan, para pengarang terkenal, artis dan guru. Seandainya Anda dapat megulangi hidup Anda dan memilih sesuka hatimu. Anda mau memilih menjadi orang seperti apa? Dengan tenang Shaw menjawab, "Saya akan memilih, menjadi George Bernard Shaw yang seharusnya!"

Jika sekarang pertanyaan dengan nada serupa, namun sedikit diubah. "Jika kepada Anda diberi tawaran untuk mengulangi lagi pernikahan, Anda diberi hak sebebas-bebasnya menentukan pilihan, dengan siapakah Anda ingin menikah?" Apakah dengan mantap Anda akan menjawab, "Tentu, dengan pasanganku yang sekarang! Jika kesempatan itu datang sekali lagi kepadaku, maka aku akan lebih lagi mengasihi dan mencintainya. Aku akan memberikan yang terbaik untuknya!"

Namun, sayang sekali banyak orang merasa tidak puas dengan pernikahannya. Alih-alih bersyukur, banyak pasangan mengalami kekecewaan dan frustasi dalam pernikahan.  Mengapa? Karena apa yang diharapkan dari pasangannya tidak lagi sesuai dengan harapan dan kriteria semula. Kecewa, tidak terpuaskan bahkan salah pilih dalam menentukan pasangan menyebabkan kendurnya ikatan pernikahan. Bisa dibayangkan seseorang dalam kondisi seperti ini, pasti jika ada kesempatan, maka orang tersebut akan dengan mudahnya berpaling ke lain hati. Janji-janji setia di hadapan Tuhan dan umat-Nya tidak lagi membekas. Yang ada kini mencari-cari alasan agar dapat meninggalkan pasangannya. Celah hukum bahkan Firman Tuhan yang menyangkut pernikahan dicari-cari agar dapat membenarkan tindakan perceraian.

Mencari celah untuk pembenaran tindak perceraian dilakukan banyak orang di sepanjang jaman. Hal seperti itu pun tidak luput dilakukan oleh orang Yahudi pada jaman Yesus (Markus 10:2-12). Mereka membawa persoalan pelik ini kepada Yesus. Mungkin ada yang menantikan jawaban Yesus dengan jujur dan sungguh-sungguh. Wangsit tentang perceraian ingin mereka dengar langsung dari mulut Yesus. Namun, seperti lazimnya prilaku orang Yahudi yang berhadapan dengan Yesus saat itu, mereka ingin menjebakNya. Bisa jadi mereka sudah tahu apa yang akan dikatakan Yesus. Pasti Yesus tidak menghendaki perceraian dilegitimasi. Dengan jawaban dari Yesus ini mereka dapat melibatkan Yesus dalam permusuhan dengan Herodes yang memang telah menceraikan isterinya dan kawin lagi dengan perempuan lain. Bukankah dengan jalan ini mereka dapat meminjam tangan Herodes untuk menyingkirkan Yesus?

Apa yang terjadi pada jaman Yesus sampai sekarang terus berulang. Saya percaya semua orang Kristen dewasa telah mengetahui pandangan Yesus tentang pernikahan. Berulang kali kita menyaksikan pendeta-pendeta meneguhkan pernikahan dengan mengutip ayat, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Markus 10:9) Namun, kenyataannya banyak sekali pertanyaan seperti pertanyaan orang Yahudi, “Pak. Pendeta, apakah betul pernikahan orang Kristen tidak boleh cerai? Bagaimana kalau salah satunya, begini dan begitu...?” Saya bayangkan pasti jawaban Yesus akan sama. Namun, toh banyak orang mencoba mencari legitimasi atau pembenaran atas apa yang mau dilakukannya.

Hukum Yahudi mengenai perceraian bersumber pada Ulangan 24:1, “Apabila seseorang mengambil perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya.” Dalam pemahaman Yahudi, setidaknya sampai pada jaman Yesus, perempuan dianggap sebagai benda. Ia tidak mempunyai hak apa pun, tetapi merupakan tumpuan kesalahan dari laki-laki yang adalah kepala keluarga. Akibatnya adalah bahwa kaum lelaki dapat saja menceraikan isterinya dengan alasan apa saja, sementara bagi  kaum perempuan alasan yang boleh diajukan untuk bercerai hanya sedikit sekali. Paling banter hanya bisa memohon kepada suaminya untuk menceraikannya.Seorang perempuan boleh saja diceraikan, tidak soal apakah ia bersedia atau tidak. Tetapi seorang laki-laki hanya bisa diceraikan kalau ia sendiri bersedia.

Namun, yang benar-benar merupakan pokok persoalan perceraian adalah penafsiran terhadap kitab Ulangan 24:1 itu, yang mengatakan bahwa seorang laki-laki dapat menceraikan isterinya apabila sang isteri melakukan sesuatu yang tidak senonoh. Bagaimana ungkapan ini ditafsirkan? Pada saat itu ada dua aliran pemikiran:

1.       Aliran Syammai. Mereka menafsirkan persoalan ini dengan ketat. Ketidaksenonohan hanya boleh ditafsirkan dengan perzinahan. Meskipun perempuan itu sejelek Izebel, tetapi jika ia tidak bersalah melakukan perzinahan, maka tidak akan terjadi perceraian baginya.

2.       Aliran Hillel. Mereka menafsirkannya dengan kemungkinan seluas-luasnya. Ungkapan ini bisa berarti: Jika istri memecahkan piring makan, jika ia mondar-mandir di jalan, jika ia berbicara dengan laki-laki asing, jika ia berbicara tidak sopan di hadapan suaminya, jika ia adalah perempuan cerewet. Bahkan rabi Aqiba menambahkan peraturan itu pun berlaku jika seorang suami menemukan seorang perempuan yang lebih menarik di matanya dibandingkan dengan isterinya, maka ia boleh menceraikan isterinya itu.

Sesuai dengan sifat manusia, yang berlaku adalah pandangan yang lebih longgar. Akibatnya, dapat dibayangkan, banyak terjadi perceraian karena alasan-alasan yang sepele atau malah tanpa alasan sama sekali. Pokoknya karena suami sudah tidak suka atau bosan! Bahkan yang terjadi sekarang justeru terbalik banyak dari kaum perempuan yang menggugat cerai terhadap suaminya. Alasannya simpel, sudah tidak cocok!

Bagaimana respon Yesus? Yesus tahu dan menyadari hukum yang berlaku bagi orang Yahudi, termasuk penafsirannya. Namun,  Ia tidak mau terjebak atau dijebak dalam tataran hukum formal.  Yesus mengajak orang untuk melihat bahwa pernikahan itu bukan sebagai akta transaksional belaka, melainkan melihatnya sebagai bagian dari rencana Illahi. Karena di dalam pernikahan itu terus berlangsung proses penciptaan.

Yesus memandang Ulangan 24:1 sebagai hukum yang berlaku dalam situasi tertentu dan tidak dimaksudkan untuk mempunyai kekuatan permanen. Otoritas-otoritas hukum yang Ia kutip untuk menjawab pertanyaan tentang perceraian ini jauh melampaui jaman Musa. Ia mengacu kembali kepada cerita tentang Penciptaan dan mengutip Kejadian 1:27 dan 2:24. PandanganNya sendiri tentang pernikahan itu, berdasarkan sifatnya, merupakan hal yang permanen, kalau dua orang yang telah dipersatukan itu menyatu dalam ikatan sedemikian rupa sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan lagi oleh ketentuan dan peraturan yang dihasilkan oleh manusia yang mana pun (Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan... sehingga keduanya merupakan satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu.” Markus 10:7,8).

Pernikahan dalam hukum alam semesta merupakan ikatan permanen. Hukum Musa yang dimaksudkan sebenarnya bersifat sementara: Musa mengijinkannya untuk mengendalikan situasi moral yang sedang merosot pada jamannya. Dengan kata lain, sebenarnya hukum ini bukanlah pemberian ijin apalagi pembenaran untuk perceraian, melainkan sebagai upaya untuk mengendalikan perceraian, menekan perceraian dengan suatu hukum, dan menjadikan perceraian itu lebih sulit. Dengan demikian Hukum Musa itu tidak dapat membatalkan Hukum yang sudah ada sejak semula, yakni akta bahwa apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.

Jadi, jelas bagi kita bahwa Tuhan tidak menginginkan perpisahan/perceraian atau perseteruan, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Memang disadari bahwa dalam sebuah penyatuan diperlukan penghargaan, pengorbanan dan pengertian, karena kita akan berjumpa dengan orang yang berbeda dengan kita. Namun perbedaan dan perselisihan yang timbul karenanya bukanlah menjadi alasan untuk bercerai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar