Bagaimana jika Anda diberi kesempatan hidup
sekali lagi, terbuka kesempatan
bagi Anda untuk memilih mejadi siapa saja yang Anda inginkan. Anda akan memilih
menjadi orang seperti apa? Apakah Anda akan menjadi penguasa? Atau pengusaha?
Atau seniman populer, pengarang novel ternama, bintang film, kartunis,
wartawan, atlet terkenal atau seorang hakim? Pertanyaan seperti itu pernah ditanyakan oleh seorang
wartawan kepada George Bernard Shaw (Seorang novelis,
kritikus, esaias, politikus dan orator Irlandia, lahir di Dublin 26 Juli 1856) tak
lama sebelum ia meninggal. Katanya, "Bapak Shaw, Anda telah mengunjugi
banyak orang ternama di dunia ini. Anda telah berjumpa dan mengenal kaum
bangsawan, para pengarang terkenal, artis dan guru. Seandainya Anda dapat
megulangi hidup Anda dan memilih sesuka hatimu. Anda mau memilih menjadi orang
seperti apa? Dengan tenang Shaw menjawab, "Saya akan memilih, menjadi
George Bernard Shaw yang seharusnya!"
Jika sekarang pertanyaan dengan nada serupa,
namun sedikit diubah. "Jika kepada Anda diberi tawaran untuk mengulangi
lagi pernikahan, Anda diberi hak
sebebas-bebasnya menentukan pilihan, dengan siapakah Anda ingin menikah?"
Apakah dengan mantap Anda akan menjawab, "Tentu, dengan pasanganku yang
sekarang! Jika kesempatan itu datang sekali lagi kepadaku,
maka aku akan lebih lagi mengasihi dan mencintainya.
Aku akan memberikan yang terbaik untuknya!"
Namun, sayang sekali banyak orang merasa tidak puas dengan pernikahannya. Alih-alih bersyukur, banyak pasangan
mengalami kekecewaan dan frustasi dalam pernikahan.
Mengapa? Karena apa yang diharapkan dari
pasangannya tidak lagi sesuai dengan harapan dan kriteria
semula. Kecewa, tidak terpuaskan bahkan salah pilih dalam
menentukan pasangan menyebabkan kendurnya ikatan pernikahan. Bisa
dibayangkan seseorang dalam kondisi seperti ini, pasti jika
ada kesempatan, maka orang tersebut akan dengan mudahnya berpaling ke lain hati. Janji-janji setia di hadapan Tuhan dan umat-Nya tidak lagi membekas.
Yang ada kini mencari-cari alasan agar dapat meninggalkan pasangannya. Celah hukum bahkan Firman Tuhan yang menyangkut pernikahan dicari-cari
agar dapat membenarkan tindakan perceraian.
Mencari celah untuk pembenaran tindak perceraian
dilakukan banyak orang di sepanjang jaman. Hal seperti itu pun tidak luput
dilakukan oleh orang Yahudi pada jaman Yesus (Markus 10:2-12). Mereka membawa
persoalan pelik ini kepada Yesus. Mungkin ada yang menantikan jawaban Yesus
dengan jujur dan sungguh-sungguh. Wangsit tentang perceraian ingin mereka
dengar langsung dari mulut Yesus. Namun, seperti lazimnya prilaku orang Yahudi
yang berhadapan dengan Yesus saat itu, mereka ingin menjebakNya. Bisa jadi
mereka sudah tahu apa yang akan dikatakan Yesus. Pasti Yesus tidak menghendaki
perceraian dilegitimasi. Dengan jawaban dari Yesus ini mereka dapat melibatkan
Yesus dalam permusuhan dengan Herodes yang memang telah menceraikan isterinya
dan kawin lagi dengan perempuan lain. Bukankah dengan jalan ini mereka dapat
meminjam tangan Herodes untuk menyingkirkan Yesus?
Apa yang terjadi pada jaman Yesus sampai sekarang
terus berulang. Saya percaya semua orang Kristen dewasa telah mengetahui
pandangan Yesus tentang pernikahan. Berulang kali kita menyaksikan
pendeta-pendeta meneguhkan pernikahan dengan mengutip ayat, “Karena itu, apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Markus 10:9) Namun, kenyataannya
banyak sekali pertanyaan seperti pertanyaan orang Yahudi, “Pak. Pendeta, apakah
betul pernikahan orang Kristen tidak boleh cerai? Bagaimana kalau salah
satunya, begini dan begitu...?” Saya bayangkan pasti jawaban Yesus akan sama.
Namun, toh banyak orang mencoba mencari legitimasi atau pembenaran atas apa
yang mau dilakukannya.
Hukum Yahudi mengenai perceraian bersumber pada
Ulangan 24:1, “Apabila seseorang mengambil perempuan dan menjadi suaminya, dan
jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang
tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan
perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya.” Dalam pemahaman
Yahudi, setidaknya sampai pada jaman Yesus, perempuan dianggap sebagai benda. Ia
tidak mempunyai hak apa pun, tetapi merupakan tumpuan kesalahan dari laki-laki
yang adalah kepala keluarga. Akibatnya adalah bahwa kaum lelaki dapat saja
menceraikan isterinya dengan alasan apa saja, sementara bagi kaum perempuan alasan yang boleh diajukan
untuk bercerai hanya sedikit sekali. Paling banter hanya bisa memohon kepada
suaminya untuk menceraikannya.Seorang perempuan boleh saja diceraikan, tidak
soal apakah ia bersedia atau tidak. Tetapi seorang laki-laki hanya bisa
diceraikan kalau ia sendiri bersedia.
Namun, yang benar-benar merupakan pokok persoalan
perceraian adalah penafsiran terhadap kitab Ulangan 24:1 itu, yang mengatakan
bahwa seorang laki-laki dapat menceraikan isterinya apabila sang isteri
melakukan sesuatu yang tidak senonoh. Bagaimana ungkapan
ini ditafsirkan? Pada saat itu ada dua aliran pemikiran:
1.
Aliran Syammai. Mereka menafsirkan
persoalan ini dengan ketat. Ketidaksenonohan hanya boleh ditafsirkan dengan
perzinahan. Meskipun perempuan itu sejelek Izebel, tetapi jika ia tidak
bersalah melakukan perzinahan, maka tidak akan terjadi perceraian baginya.
2.
Aliran Hillel. Mereka menafsirkannya
dengan kemungkinan seluas-luasnya. Ungkapan ini bisa berarti: Jika istri
memecahkan piring makan, jika ia mondar-mandir di jalan, jika ia berbicara
dengan laki-laki asing, jika ia berbicara tidak sopan di hadapan suaminya, jika
ia adalah perempuan cerewet. Bahkan rabi Aqiba menambahkan peraturan itu pun
berlaku jika seorang suami menemukan seorang perempuan yang lebih menarik di
matanya dibandingkan dengan isterinya, maka ia boleh menceraikan isterinya itu.
Sesuai dengan sifat manusia, yang berlaku adalah
pandangan yang lebih longgar. Akibatnya, dapat dibayangkan, banyak terjadi
perceraian karena alasan-alasan yang sepele atau malah tanpa alasan sama
sekali. Pokoknya karena suami sudah tidak suka atau bosan! Bahkan yang terjadi
sekarang justeru terbalik banyak dari kaum perempuan yang menggugat cerai
terhadap suaminya. Alasannya simpel, sudah tidak cocok!
Bagaimana respon Yesus? Yesus tahu dan menyadari
hukum yang berlaku bagi orang Yahudi, termasuk penafsirannya. Namun, Ia tidak mau terjebak atau dijebak dalam
tataran hukum formal. Yesus mengajak
orang untuk melihat bahwa pernikahan itu bukan sebagai akta transaksional
belaka, melainkan melihatnya sebagai bagian dari rencana Illahi. Karena di
dalam pernikahan itu terus berlangsung proses penciptaan.
Yesus memandang Ulangan 24:1 sebagai hukum yang berlaku
dalam situasi tertentu dan tidak dimaksudkan untuk mempunyai kekuatan permanen.
Otoritas-otoritas hukum yang Ia kutip untuk menjawab pertanyaan tentang
perceraian ini jauh melampaui jaman Musa. Ia mengacu kembali kepada cerita
tentang Penciptaan dan mengutip Kejadian 1:27 dan 2:24. PandanganNya sendiri
tentang pernikahan itu, berdasarkan sifatnya, merupakan hal yang permanen,
kalau dua orang yang telah dipersatukan itu menyatu dalam ikatan sedemikian
rupa sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan lagi oleh ketentuan dan peraturan
yang dihasilkan oleh manusia yang mana pun (Sebab
pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan... sehingga
keduanya merupakan satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan
satu.” Markus 10:7,8).
Pernikahan dalam hukum alam
semesta merupakan ikatan permanen. Hukum Musa yang dimaksudkan sebenarnya
bersifat sementara: Musa mengijinkannya untuk mengendalikan situasi moral yang
sedang merosot pada jamannya. Dengan kata lain, sebenarnya hukum ini bukanlah
pemberian ijin apalagi pembenaran untuk perceraian, melainkan sebagai upaya
untuk mengendalikan perceraian, menekan perceraian dengan suatu hukum, dan menjadikan
perceraian itu lebih sulit. Dengan demikian Hukum Musa itu tidak dapat
membatalkan Hukum yang sudah ada sejak semula, yakni akta bahwa apa yang
dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.
Jadi, jelas bagi kita bahwa Tuhan
tidak menginginkan perpisahan/perceraian atau perseteruan, baik dalam keluarga
maupun dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Memang disadari bahwa dalam
sebuah penyatuan diperlukan penghargaan, pengorbanan dan pengertian, karena
kita akan berjumpa dengan orang yang berbeda dengan kita. Namun perbedaan dan
perselisihan yang timbul karenanya bukanlah menjadi alasan untuk bercerai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar