Sabtu, 29 September 2012

BEKERJASAMA MENGGUNAKAN KARUNIA BERBEDA

Sebagian besar orang mengidap “penyakit” merasa tidak nyaman, mungkin tepatnya tidak rela ketika suatu prestasi baik dihasilkan oleh orang lain, apalagi dengan prestasi itu membawa dampak menaikan popularitas orang tersebut. Ini terjadi pada murid-murid Yesus. Mereka menyaksikan ada seseorang yang dapat mengusir setan demi nama Yesus (Markus 9:38-40), padahal mereka tahu bahwa orang tersebut bukanlah pengikut Yesus seperti mereka. Para murid berpikir bahwa hanya mereka yang mempunyai kewenangan untuk melakukan itu. Hanya merekalah pemegang “royalti” sedang orang atau pihak lain tidak boleh menggunakan nama itu. Para murid bereaksi keras mencegah orang itu mengusir setan dengan menggunakan nama Yesus.

Bereaksi, mencegah, menggugat dan akhirnya tidak suka terhadap orang lain yang berbeda. Bukankah hal seperti ini bisa terjadi pada siapa saja, termasuk kita. Kita menjadi tidak suka pada si “A” lantaran ia tidak sependapat dengan kita. Atau kepada si “B” karena ia sekarang menjadi kompetiter atau pesaing dalam bisnis kita. Dan celakanya ada orang yang membenci rekannya hanya karena ia berbeda agama. Sikap seperti ini akan menghambat kita untuk melakukan kerjasama apalagi menghargai orang yang berbeda. Masih segar dalam ingatan kita, terutama warga Jakarta. Banyak orang terjebak dalam politik dikotomi: “pihak kami” dan “pihak kalian”. Dalam kondisi seperti ini setiap kelompok mendadak menjadi buta atau sengaja membutakan diri terhadap karya atau prestasi kelompok lain. Seolah semua yang dikerjakan oleh pihak lawan itu adalah negatif. Sebaiknya apa yang ada di pihaknya semuanya baik.

Bagaimana reaksi Yesus ketika berhadapan dengan situasi yang mengedepankan ego komunitas ini? Apakah Ia menyetujui? Markus mencatat tanggapan Yesus, “Jangan kamu mencegah dia! Sebab tidak seorangpun mengadakan mujizat demi namaKu, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita...” (Markus 9:39-40). Yesus bukan saja menolak sikap para murid, tetapi juga Ia mengatakan bahwa setiap orang yang tidak melawanNya ada di pihakNya. Orang atau pihak yang tidak melawan Yesus itu dapat berarti bahwa ia atau mereka mengerjakan apa yang Yesus ajarkan serta meneladani apa yang dilakukan Yesus. Di sini kita melihat Yesus tidak mau terjebak dalam pemahaman iman formalitas belaka, iman yang hanya difahami sebagai label. Ia ingin berbicara tentang hakekat atau esensi dari iman itu, yakni keyakinan kepada Yang Kuasa yang membawa dampak pemulihan bagi manusia. Yesus tidak ingin namaNya dicatut oleh orang-orang yang berprilaku bertolak belakang dari ajaran dan gaya hidupNya.

Bisa saja seseorang mengatakan bahwa dirinya percaya dan menggunakan nama Yesus untuk banyak “pelayanan”, namun sesungguhnya mengingkari hakekat Nama itu. Nama Yesus digunakan untuk mendapatkan popularitas sendiri atau pemuliaan diri. Bukankah banyak kesaksian yang ditampilkan seseorang dengan mengatasnamakan Tuhan, padahal yang hendak ditonjolkan bukanlah Tuhannya melainkan orang yang bersaksi itu? Bukankah ada banyak orang Kristen yang mengaku diri melakukan ini dan itu katanya untuk kemuliaan Tuhan? Padahal sesungguhnya yang terjadi sedang memabangun ketenaran dan membesarkan diri atau lembaganya. Untuk orang-orang yang demikian, Yesus mengingatkan, “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu dan mengusir setan demi namaMu, dan mengadakan banyak mujizat demi namaMu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah menganal kamu! Enyahlah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!”(Matius 27:22-23). Sangat mungkin kini kita juga hari ini sedang mengatasnamakan Tuhan Yesus atau demi Yesus dalam aktivitas kita. Namun yang sebenarnya hanyalah sekedar mencatut nama itu! Ingatlah nama Yesus bukan jimat atau mantra, maka orang yang memakainya mesti menyadari berani menggunakan nama Yesus berarti mempunyai komitmen dalam diri untuk hidup layaknya hidup seperti yang dijalani Yesus dan menjadikan ajaran Yesus itu hidup di dalam dirinya.

Yesus sangat serius dengan orang-orang yang memahami iman hanya sebagai label. Kalau kebanyakan orang memahami iman sebagai hal yang rohaniah belaka, Yesus menandaskan bahwa seluruh anggota tubuh manusia itu hendaknya difahami sebagai manifestasi iman atau setidaknya setiap bagian tubuh manusia itu tidak digunakan untuk merusak iman. Atau dalam bahasa Yesus “menyesatkan” seseorang. Lebih baik seseorang kehilangan salah satu anggota tubuhnya jika hal itu dapat merusak keseluruhan tubuh katanNya.

Yesus menggunakan kata yang sedikit sadis: memenggal tangan, mencungkil mata kalau itu berpotensi menyesatkan seluruh tubuh (Markus 9:42-50). Mengapa Ia menggunakan kata-kata sadis itu? Ya, karena Yesus serius! Yesus sangat serius, Ia menghendaki seluruh anggota tubuh manusia itu mestinya diberdayakan untuk mengerjakan tugas panggilan, yakni mendatangkan damai sejahtera. Bukan sebaliknya: menyesatkan orang. Untuk melakukan kehendak Allah seseorang harus “berkorban”, hidup disiplin dan menyangkal diri. Dengan tangannya, ia tidak lagi mengerjakan pekerjaan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan meskipun itu merupakan kegemarannya. Itulah arti memenggal tangan. Sekarang tangannya tidak lagi “eksis” untuk mengerjakan hal yang buruk. Dengan matanya, ia tidak lagi melihat hal-hal yang menyukakan dirinya, itulah makna mencukil mata. Matanya sekarang tidak dapat melihat kemaksiatan walaupun bagi banyak orang itu adalah hal yang menyenangkan. Namun kini matanya dapat lebih tajam melihat kemuliaan Tuhan. Dengan kakinya, ia tidak lagi membawa tubuh ke tempat-tempat maksiat. Itulah arti memenggal kaki. Sebab sekarang si kaki sudah tidak lagi berfungsi mengantarkan tubuh untuk melakukan apa yang dibenci Tuhan. Namun, kaki itu kini semakin lincah untuk menebarkan damai sejahtera. Dengan menjalani hidup seperti ini, seseorang sudah pasti akan menjadi “garam” (baca Markus 9:50). Ia akan memberi pengaruh yang baik di mana pun ia berada. Ia akan selalu hidup berdamai dan mampu bekerjasama dengan semua orang. Itulah orang-orang yang menggunakan nama Yesus dengan benar. Nama itu bukan sekedar jimat atau mantra!

Ada sebuah cerita tua dari dunia Timur. Dikisahkan ada seseorang yang memiliki cincin dengan batu opal yang sangat indah. Siapa pun yang memakai cincin itu wataknya akan menjadi lemah-lembut dan dapat dipercaya sehingga semua orang menyayanginya. Cincin itu adalah jimat. Cincin itu diwariskan turun-temurun selama beberapa generasi. Selama ini selalu terbukti bahwa ada daya magis yang bekerja dalam cinciin itu terhadap orang yang memakainya. Waktu terus bergulir. Sampailah pada suatu waktu ketika sang ayah mempunyai tiga orang anak laki-laki. Rasa sayang sang ayah terhadap ketiga anaknya sama. Kini sang ayah berpikir, apa yang akan dilakukannya dengan cincin berharga itu?

Sang ayah mencari dua cincin lain yang sama bentuknya dengan cincin asli sehingga orang tidak bisa membedakannya. Menjelang ajalnya, di tempat tidur ia memanggil anak-anaknya satu per satu masuk ke dalam kamarnya. Ia berbicara sigkat tentang kasih dan kepada masing-masing tanpa memberitahukan kepada yang lainnya, sang ayah memberi sebuah cincin. Ketika ketiga anak-anak itu tahu bahwa mereka bertiga sama-sama memiliki cincin, muncullah perselisihan hebat di antara mereka memperebutkan siapa pemilik cincin yang asli, yakni cincin yang dapat melakukan banyak hal bagi pemiliknya.

Persoalan ini dibawa kepada hakim yang sangat bijaksana. Ia memeriksa cincin-cincin tersebut, kemudian berkata, “Saya tidak tahu mana cincin yang mengandung kekuatan magis. Tetapi kalian bisa membuktikannya masing-masing.” Dengan terkejut ketiga anak tersebut serentak bertanya, “Kamikah pemilik cincin yang asli?” Hakin itu menjawab, “Ya, sebab jika cincin yang asli dapat memberikan kelemahlembutan pada watak orang yang memakainya, maka saya dan semua orang yang ada di kota ini akan tahu siapa pemilik cincin yang asli itu. Karena itu, pergilah jalanilah hidup kalian dengan baik, benar, berani, dan adil. Siapa yang dalam kehidupannya seperti itu, maka pastilah dia pemilik cincin yang asli itu!”

“Pemilik cincin yang asli” bagaikan orang yang menggunakan Nama Yesus dengan benar. Jika kita benar memakai nama itu maka pastilah tercermin dalam hidupnya sikap dan prilaku seperti Yesus: kasih, tidak pendendam, tidak serakah, tidak mementingkan diri sendiri, peduli terhadap kebutuhan orang lain, tidak sombong, tidak egois, selalu mendatangkan damai sejahtera dan bukan pembawa onar. Ia dapat melihat dalam diri orang lain, kuasa Tuhan juga bekerja maka ia dapat melakukan kerjasama untuk mendatangkan kedamaian dan kebahagiaan bagi semua makhluk. Apakah kita “pemilik cincin asli” itu? Jawabnya, “orang-orang yang berjumpa dengan kita” yang akan merasakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar