“Syukur”, “Halleluyah”, “Alhamdulillah”,
“Puji Tuhan”, itulah kata yang tepat diucapkan oleh segenap masyarakat Jakarta
dengan selesainya Pemilihan Umum Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Mengapa? Bukan karena Mas Jokowi dan Ko Ahok yang memenangkan Pemilukada ini. Melainkan
kita mensyukuri apa yang dikuatirkan sebelumnya tidak terbukti. Masyarakat Jakarta
bisa merayakan perbedaan. Menghormati pendapat orang lain dan tidak memaksakan
kehendak.
Bayangkan, dalam masa-masa
kampanye, ada pelbagai cara dari setiap pasangan calon untuk dapat meraih hati
pemilih. Lihat saja dalam debat adu visi-misi yang diselenggarakan dua saluran
televisi swasta nasional, tidak segan-segan setiap calon mencela lawan
politiknya. Bahkan cenderung melecehkan ras tertentu. Isu SARA dihembuskan. Tempat
ibadah tidak luput dari sasaran untuk meraih simpati. Seolah sebuah bencana
besar akan terjadi jika pasangan calon gubernur dan wakil yang didukungnya
kalah dan pasangan lawan yang menang. Ada perasaan tidak rela jika yang
memimpin Jakarta ini bukan dari kalangan sendiri, bukan “orang kita”. Jakarta
seolah dibuai oleh ketegangan dan kecurigaan yang berlebihan.
Sungguh di luar dugaan,
setelah proses Pemilukada berlangsung, semua berjalan dengan baik. Pasangan
calon Foke-Nara yang dalam debat publik tidak dapat mengungkapkan apa yang
positif dari Jokowi-Basuki kini, dalam konferensi persnya dapat menghargai dan
mengakui keunggulan lawannya. Hal serupa dilakukan oleh Jokowi, ia bertutur
meminta maaf jika selama ini merepotkan dan menyerang kebijakan Foke. Jokowi
menganjurkan agar seluruh pendukungnya menghormati Foke dan mengajak semua
kelompok untuk bersatu membangun Jakarta. Sungguh indah!
Saya membayangkan Jakarta
seperti kota kuno dalam Alkitab, kota Korintus. Korintus pada jaman Paulus
merupakan sebuah kota pelabuhan yang sangat ramai. Pelbagai ras, suku,
keyakinan, latar belakang pendidikan semua ada di kota itu. Korintus didirikan
pada jaman neolitikum sekitar 6000 SM. Pada tahun 146 kota ini dihancurkan oleh
Lucio Mummio dari Romawi. Namun kota ini dibangun kembali oleh Gaius Julius
Caesar pada tahun 44 SM. Paulus mengunjungi dan mengabarkan Injil di kota ini
sekitar tahun 50-51 M. Banyak orang yang menyambut pemberitaannya dan kemudian
berdirilah Jemaat Korintus. Sebagaimana latar belakang dari penduduk kota itu
yang beraneka ragam, demikian juga ketika jemaat Tuhan terbentuk di sana. Anggotanya
pun terdiri dari pelbagai ras, budaya, kelompok, golongan, latar belakan
pendidikan dan status sosial.
Rupa-rupanya keragaman itu
tidak dilihat sebagai anugerah Tuhan. Mereka cenderung melihat bahwa kelompok,
suku, budaya, dan latar belakangnyalah yang paling unggul dibanding kelompok
yang lain. Selalu terjadi “perlombaan” untuk diakui sebagai yang terbesar,
terhebat, terpopuler di jemaat ini dalam segala hal, termasuk dalam karunia
yang Tuhan berikan. Mereka membanggakan karunianya dan cenderung menganggap
sepi karunia yang lain sehingga Paulus mengingatkan jemaat Korintus ini, “Tetapi semuanya ini dikerjakan oleh Roh
yang satu dan yang sama, yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara
khusus, seperti yang dikendakinya.”(I Korintus 12:11)
Lebih lanjut, Paulus
menasehatkan bahwa kepelbagaian itu ibarat sebuah tubuh. “Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak dan
segala anggota itu, sekali pun banyak, merupakan satu tubuh, demikian juga Kristus.”
(I Korintus 12:12). Indah sekali jika keanekaragaman itu dipandang sebagai
sebuah tubuh yang terdiri dari beragam anggota dan fungsi masing-masing. Sebagaimana
tubuh, maka setiap anggota itu terkait erat dan saling membutuhkan satu dengan
yang lainnya. Satu organ tubuh tersakiti maka seluruh tubuh itu akan
merasakannya. Demikian juga satu organ tubuh mendapat pujian, maka seluruh
tubuh itu akan merasakan bahagia.
Tentu, Jakarta bukanlah
Korintus tetapi kita dapat belajar darinya. Bukankah Jakarta juga terdiri dari
beraneka ragam manusia. Jakarta ibarat sebuah rumah besar, sebuah keluarga. Di dalamnya
terdapat pelbagai anggota. Masing-masing punya latar belakang, masing-masing
punya pandangan dan pola pikir, masing-masing punya talenta. Jakarta tidak
boleh diklaim hanya milik satu kelompok atau golongan saja. Di sinilah kita
berbagi ruang. Memberi tempat pada yang lain untuk bertumbuh, berkarya dan
berbagi. Jakarta akan menjadi kota yang menyenangkan untuk didiami jika satu
anggota masyarakat dengan anggota yang lain tidak saling curiga, memaksakan
kehendak dan hanya kepentingannya saja yang harus didahulukan. Jakarta akan
menjadi kota beradab dan contoh bagi kota-kota yang lain jika saja setiap
anggota masyarakatnya menganggap setiap orang ibarat organ tubuh dengan
fungsinya masing-masing.
Bayangkanlah jika setiap warga
Jakarta memandang sesamanya, meski berbeda dalam banyak hal itu seperti sebuah
tubuh. Pasti setiap orang akan merawat tubuh itu dengan baik. Setiap anggota
akan terpanggil untuk memuliakan tubuhnya. Setiap orang akan berkontribusi
memberikan yang terbaik. Ia tentu akan merasakan sakit jika ada kelompok atau
anggota lain yang tersakiti. Dan ia akan bangga jika ada warga atau kelompok
lain yang dihargai. Mungkin ini terasa utopia atau idealis belaka. Ya, jika
tidak ada yang mau mulai. Setidaknya kita bisa mulai dari rumah kita
masing-masing. Setiap memasuki Bulan Oktober, umumnya di GKI merayakan pekan
atau bulan Keluarga. Pakailah kesempatan ini untuk kembali menanamkan
nilai-nilai luhur tentang keluarga, salah satunya meghargai perbedaan dan
menjadikannya kekayaan.
Sebuah negara tidak mungkin
menjadi negara yang baik dan beradab tanpa kota atau desa-desanya yang dibangun
dengan keberadaban. Sebuah kota tidak mungkin menjadi kota yang menyenangkan
jika setiap keluarga dalam kota itu tidak
memulai mengajarkan kultur moral yang baik. Keluarga adalah unsur komunitas
terkecil, jika unsur terkecil ini dibangun dengan baik maka sudah pasti dalam
ruang lingkup yang lebih luas, yaitu negara akan menjadi negara yang beradab
dan bermoral yang menghargai dan merayakan perbedaan sebagai anugerah Tuhan
Yang Kuasa. Selamat merayakan Bulan Keluarga, Selamat merayakan perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar