Pemilihan Umum Kepala Daerah
DKI putaran kedua sudah dimulai dengan ditandatanganinya kesepakatan damai di
antara dua kubu yang akan bertarung merebutkan posisi orang nomor satu dan dua
di Kota Jakarta (13 September 2012). Semula ada enam pasang calon namun kini,
dalam putaran kedua mengerucut, tinggal dua pasangan calon. Pasangan petahana Fauzi
Bowo – Nachrowi Ramli dan pasangan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Bagaimana dengan keempat pasangan yang
lain? Akan ke kubu mana mereka dukungan? Pelbagai media memberitakan
calon-calon lain yang didukung oleh partai politik tertentu semua mendukung
kubu incumbent. Tidak ada yang salah,
sah-sah saja! Namun, saya tergelitik dengan pernyataan-pernyataan calon-calon
lain yang sekarang mendukung itu. Masih segar dalam ingatan kita, semua
pasangan calon pemimpin Jakarta itu menyerang kebijakan Foke ketika memimpin
Jakarta. Pelbagai cara baik iklan maupun kampanye terbuka seolah menelanjangi
sisi gelap kepemimpinan incumbent.
Sekarang apa yang terjadi? Semua menarik kembali kampanye hitam mereka,
rame-rame mendukung. Seolah menjilat kembali ludah mereka sendiri. Hari ini
berkata “A” besok berkata “B”.
Kita gampang
melihat dan menilai orang lain, apalagi partai politik. Hal serupa sebenarnya
sangat mungkin terjadi pada semua orang, termasuk kita. Kita sering tidak
konsisten dengan apa yang kita ucapkan. Tergantung situasi, katanya! Yakobus
mengingatkan, “Dengan lidah kita memuji
Tuhan, Bapa kita: dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut
rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk.” (Yakobus 3:9-10)
Dengan lidah bibir, kita bisa menyanjung
orang setinggi langit ketika orang tersebut baik dan mendukung kita. Saatnya tidak
ada keuntungan bahkan dinilai merugikan, caci maki dan kutuk meluncur deras
dari mulut kita. Yakobus mengingatkan mestinya hal itu tidak terjadi. “Adakah sumber memancarkan air tawar dan
pahit dari mata air yang sama?...., adakah pohon ara dapat menghasilkan buah
zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata
air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.”(Yak.3:11-12)
Mengapa kita
sulit menjaga konsistensi apalagi integritas ucapan kita? Jawabannya sederhana.
Karena kita egois! Segala sesuatu diukur dengan diri sendiri. Apakah kalau aku
berkata “A” atau “B” hal itu menguntungkan aku atau tidak? Apakah namaku jadi
tenar tidak? Apakah aku terancam atau tidak?...dan seterusnya senada dengan itu.
Egoisme menyandera kita untuk mengatakan yang sebenarnya. Kebenaran terpenjara
dan kita membiarkan kelaliman merajalela. Bahkan kita ikut andil di dalamnya
ketika ikut-ikutan menyebarkan ketidakbenaran itu. Lalu apa yang harus kita
perbuat untuk menjaga mata air itu tetap memancarkan air yang murni. Apa yang
harus dilakukan agar mulut kita konsisten mengatakan kebenaran. Jawabnya sederhana.
Jadikanlah lidah kita sebagai lidah seorang murid. Tentu seorang murid Kristus
yang baik. Murid yang baik pasti mengenal Gurunya. Ya, mengenal bukan sekedar
tahu. Ada orang tahu banyak ajaran Sang Guru namun sayang tidak mengenal dengan
utuh Gurunya.
Cerita ini
menggambarkan tahu dan mengenal. Dikisahkan sesudah jamuan makan malam dalam
sebuah pesta yang diadakan oleh kalangan artis Hollywood, seorang artis
terkenal menyuguhkan hiburan kepada para tamu dengan membacakan sajak-sajak
karya Shakespeare. Sebagai selingan ia meminta kepada para tamu untuk
mengajukan sebuah pertanyaan atau permintaan. Seorang Pastor tua yang pemalu
bertanya apakah si arti tahu Mazmur 23. Sang Artis menjawab, “Ya, saya tahu,
dan saya akan mendaraskannya dengan satu syarat, yaitu: apabila saya telah
mendaraskan Mazmur 23 tersebut, engkau harus mengulanginya.”
Sang Pastor mengangguk
tanda sepakat dengan tawaran itu. Dengan gaya yang menawan, mendaraskan Mazmur
23 yang berbunyi, “Tuhan Gembalaku yang
baik, aku takkan kekurangan sesuatu.....” Ketika si artis itu selesai
mengucapkan seluruh Mazmur 23, para tamu memberikan tepu tangan sambutan yang
meriah dan sekarang tibalah giliran sang pastor. Pastor itu berdiri dan
mengucapkan kata-kata yang sama, tetapi ia tidak mendapat sambutan. Malah suasana
menjadi hening dan air mata mulai menetes dari setiap mata para tamu. Si artis
berdiam sejenak. Kemudian ia segera berdiri dan berkata, “Hadirin sekalian yang
saya hormati. Saya harap Anda sekalian menyadari apa yang telah terjadi pada
malam ini. Saya tahu dan hafal kata-kata dari Mazmur ini, tetapi Pastor ini
tahu dan mengenal Sang Gembala itu.
Kita sering
terjebak dengan banyak pengetahuan tetapi sulit untuk menjadi konsisten dengan
ilmu itu. Alih-alih menjdikannya gaya hidup, pengetahuan tentang kebenaran itu
sering dipakai untuk membentengi diri. Maka acap kali kita dengan
ungkapan-ungkapan seperti, “Orang hukum pandai berkelit menghindari hukum”, “Orang
ekonomi, perpajakan, pandai mengelabui instansi terkait untuk lolos dari
tuntutan pajak”, Bagaimana dengan seorang pendeta, teolog, atau anak Tuhan? Ya,
sering juga memakai firmanNya untuk kepentingan egonya. Mudah-mudahan hal ini
tidak terjadi pada kita. Tentu Tuhan tidak berharap begitu dari anak-anakNya.
Yesus tidak menginginkan para muridNya tidak konsisten. Ia mengundang orang
menjadi muridNya bukan menjanjikan kenyamanan melainkan tantangan yang penuh
resiko. Yesus mengajarkan konsistensi dan integritas. Itulah yang Dia peragakan
sepanjang hidupnya.
Yesus tidak
pernah berusaha menyogok orang untuk mengikutiNya dengan iming-iming tawaran
hidup yang mudah. Dari awal Yesus mengingatkan barangsiapa yang mengikutiNya
harus bersedia memikul salib. Yesus tidak berusaha memikat orang dengan
menawarkan kemudahan. Ia berusaha menantang mereka, membangkitkan semangat yang
sedang tidur, dengan menawarkan jalan yang lebih tinggi dan lebih sulit. Ia datang
bukan untuk membuat hidup lebih mudah, melainkan untuk membentuk manusia yang
mulia. Manusia yang punya integritas dan konsistensi menyuarakan kebenaran dan
berjalan dalam kebenaran.
Salah satu
syarat menjadi murid Yesus adalah “Sangkalah diri sendiri” (Markus 8:34). Apa artinya?
Sederhananya, “Biarlah ia berkata “tidak” kepada dirinya sendiri dan “ya”
kepada Kristus. Seseorang yang mau menjadi murid Yesus harus berani mengatakan “tidak”
kepada semua tindakan, termasuk ucapannya pada cinta alaminya terhadap hal-hal
yang mudah dan menyenangkan. Ia harus berkata “tidak” untuk kepentingan dan
kenyamanannya sendiri. Sebaliknya ia, tanpa ragu-ragu akan mengatakan “ya” pada
suara dan perintah Tuhannya. Ia harus mampu berkata seperti Paulus, “Hidupku
bukannya aku lagi, melainkan Krsitus yang hidup di dalam aku.”
Bisakah kita
menjadi murid yang baik itu? Jelas bisa! Kini masalahnya mau atau tidak. Yesaya
50:4-9 menolong kita untuk menjadi murid yang baik. Ia mengajarkan beberapa
hal:
1. Ayat
4a, Milikilah lidah seorang murid supaya dapat berkata-kata dan memberikan
semangat kepada yang lesu. Lidah yang mau diajar, dilatih dan diperintah. Itu berarti
setiap tutur kata kita hendaknya konsisten dan berdasarkan pada kebenaran. Seorang
murid yang baik pasti akan terlatih dengan ucapan-ucapan gurunya.
2. Ayat
4b-5, Mempertajam pendengaran setiap pagi dan membuka telinga. Tuhan
menciptakan kita dengan dua telinga lahiriah ini pertanda mengingatkan kita
supaya lebih banyak mendengar ketimbang berbicara apalagi membual. Tuhan juga
menciptakan kita dengan telinga batin. Nurani tempat di mana kebenaran itu
terus menerus disuarakan. Tidak mungkin kita akan konsisten dan punya
integritas kalau tidak terlebih dahulu mendengar suara Tuhan. Apa yang biasa
terjadi setiap pagi? Apakah kita menyempatkan diri dan memberi ruang bagi suara
itu? Ataukah ruang batin kita sudah penuh sesak dengan suara tuntutan yang
lain.
3. Ayat
6. Memberi punggung, pipi dan muka. Hal ini gambaran resiko seseorang ketikan
berjalan dan menyatakan kebenaran. Banyak orang tidak mau mengambil resiko
seperti ini dan akhirnya kompromi. Perkataannya tidak pernah konsisten. Tergantung
situasi yang menguntungkannya. Semuanya itu telah dialami Yesus. Ketika seseorang
mengikutiNya maka hal yang serupa dimintaNya. Ingat, Dia tidak menjanjikan
kenyaman melainkan kemuliaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar