Jumat, 14 September 2012

LIDAH SEORANG MURID


Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI putaran kedua sudah dimulai dengan ditandatanganinya kesepakatan damai di antara dua kubu yang akan bertarung merebutkan posisi orang nomor satu dan dua di Kota Jakarta (13 September 2012). Semula ada enam pasang calon namun kini, dalam putaran kedua mengerucut, tinggal dua pasangan calon. Pasangan petahana Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli dan pasangan Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).  Bagaimana dengan keempat pasangan yang lain? Akan ke kubu mana mereka dukungan? Pelbagai media memberitakan calon-calon lain yang didukung oleh partai politik tertentu semua mendukung kubu incumbent. Tidak ada yang salah, sah-sah saja! Namun, saya tergelitik dengan pernyataan-pernyataan calon-calon lain yang sekarang mendukung itu. Masih segar dalam ingatan kita, semua pasangan calon pemimpin Jakarta itu menyerang kebijakan Foke ketika memimpin Jakarta. Pelbagai cara baik iklan maupun kampanye terbuka seolah menelanjangi sisi gelap kepemimpinan incumbent. Sekarang apa yang terjadi? Semua menarik kembali kampanye hitam mereka, rame-rame mendukung. Seolah menjilat kembali ludah mereka sendiri. Hari ini berkata “A” besok berkata “B”.
Kita gampang melihat dan menilai orang lain, apalagi partai politik. Hal serupa sebenarnya sangat mungkin terjadi pada semua orang, termasuk kita. Kita sering tidak konsisten dengan apa yang kita ucapkan. Tergantung situasi, katanya! Yakobus mengingatkan, “Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita: dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk.” (Yakobus 3:9-10)  Dengan lidah bibir, kita bisa menyanjung orang setinggi langit ketika orang tersebut baik dan mendukung kita. Saatnya tidak ada keuntungan bahkan dinilai merugikan, caci maki dan kutuk meluncur deras dari mulut kita. Yakobus mengingatkan mestinya hal itu tidak terjadi. “Adakah sumber memancarkan air tawar dan pahit dari mata air yang sama?...., adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar.”(Yak.3:11-12)
Mengapa kita sulit menjaga konsistensi apalagi integritas ucapan kita? Jawabannya sederhana. Karena kita egois! Segala sesuatu diukur dengan diri sendiri. Apakah kalau aku berkata “A” atau “B” hal itu menguntungkan aku atau tidak? Apakah namaku jadi tenar tidak? Apakah aku terancam atau tidak?...dan seterusnya senada dengan itu. Egoisme menyandera kita untuk mengatakan yang sebenarnya. Kebenaran terpenjara dan kita membiarkan kelaliman merajalela. Bahkan kita ikut andil di dalamnya ketika ikut-ikutan menyebarkan ketidakbenaran itu. Lalu apa yang harus kita perbuat untuk menjaga mata air itu tetap memancarkan air yang murni. Apa yang harus dilakukan agar mulut kita konsisten mengatakan kebenaran. Jawabnya sederhana. Jadikanlah lidah kita sebagai lidah seorang murid. Tentu seorang murid Kristus yang baik. Murid yang baik pasti mengenal Gurunya. Ya, mengenal bukan sekedar tahu. Ada orang tahu banyak ajaran Sang Guru namun sayang tidak mengenal dengan utuh Gurunya.
Cerita ini menggambarkan tahu dan mengenal. Dikisahkan sesudah jamuan makan malam dalam sebuah pesta yang diadakan oleh kalangan artis Hollywood, seorang artis terkenal menyuguhkan hiburan kepada para tamu dengan membacakan sajak-sajak karya Shakespeare. Sebagai selingan ia meminta kepada para tamu untuk mengajukan sebuah pertanyaan atau permintaan. Seorang Pastor tua yang pemalu bertanya apakah si arti tahu Mazmur 23. Sang Artis menjawab, “Ya, saya tahu, dan saya akan mendaraskannya dengan satu syarat, yaitu: apabila saya telah mendaraskan Mazmur 23 tersebut, engkau harus mengulanginya.”
Sang Pastor mengangguk tanda sepakat dengan tawaran itu. Dengan gaya yang menawan, mendaraskan Mazmur 23 yang berbunyi, “Tuhan Gembalaku yang baik, aku takkan kekurangan sesuatu.....” Ketika si artis itu selesai mengucapkan seluruh Mazmur 23, para tamu memberikan tepu tangan sambutan yang meriah dan sekarang tibalah giliran sang pastor. Pastor itu berdiri dan mengucapkan kata-kata yang sama, tetapi ia tidak mendapat sambutan. Malah suasana menjadi hening dan air mata mulai menetes dari setiap mata para tamu. Si artis berdiam sejenak. Kemudian ia segera berdiri dan berkata, “Hadirin sekalian yang saya hormati. Saya harap Anda sekalian menyadari apa yang telah terjadi pada malam ini. Saya tahu dan hafal kata-kata dari Mazmur ini, tetapi Pastor ini tahu dan mengenal Sang Gembala itu.
Kita sering terjebak dengan banyak pengetahuan tetapi sulit untuk menjadi konsisten dengan ilmu itu. Alih-alih menjdikannya gaya hidup, pengetahuan tentang kebenaran itu sering dipakai untuk membentengi diri. Maka acap kali kita dengan ungkapan-ungkapan seperti, “Orang hukum pandai berkelit menghindari hukum”, “Orang ekonomi, perpajakan, pandai mengelabui instansi terkait untuk lolos dari tuntutan pajak”, Bagaimana dengan seorang pendeta, teolog, atau anak Tuhan? Ya, sering juga memakai firmanNya untuk kepentingan egonya. Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi pada kita. Tentu Tuhan tidak berharap begitu dari anak-anakNya. Yesus tidak menginginkan para muridNya tidak konsisten. Ia mengundang orang menjadi muridNya bukan menjanjikan kenyamanan melainkan tantangan yang penuh resiko. Yesus mengajarkan konsistensi dan integritas. Itulah yang Dia peragakan sepanjang hidupnya.
Yesus tidak pernah berusaha menyogok orang untuk mengikutiNya dengan iming-iming tawaran hidup yang mudah. Dari awal Yesus mengingatkan barangsiapa yang mengikutiNya harus bersedia memikul salib. Yesus tidak berusaha memikat orang dengan menawarkan kemudahan. Ia berusaha menantang mereka, membangkitkan semangat yang sedang tidur, dengan menawarkan jalan yang lebih tinggi dan lebih sulit. Ia datang bukan untuk membuat hidup lebih mudah, melainkan untuk membentuk manusia yang mulia. Manusia yang punya integritas dan konsistensi menyuarakan kebenaran dan berjalan dalam kebenaran.
Salah satu syarat menjadi murid Yesus adalah “Sangkalah diri sendiri” (Markus 8:34). Apa artinya? Sederhananya, “Biarlah ia berkata “tidak” kepada dirinya sendiri dan “ya” kepada Kristus. Seseorang yang mau menjadi murid Yesus harus berani mengatakan “tidak” kepada semua tindakan, termasuk ucapannya pada cinta alaminya terhadap hal-hal yang mudah dan menyenangkan. Ia harus berkata “tidak” untuk kepentingan dan kenyamanannya sendiri. Sebaliknya ia, tanpa ragu-ragu akan mengatakan “ya” pada suara dan perintah Tuhannya. Ia harus mampu berkata seperti Paulus, “Hidupku bukannya aku lagi, melainkan Krsitus yang hidup di dalam aku.” 
Bisakah kita menjadi murid yang baik itu? Jelas bisa! Kini masalahnya mau atau tidak. Yesaya 50:4-9 menolong kita untuk menjadi murid yang baik. Ia mengajarkan beberapa hal:
1.       Ayat 4a, Milikilah lidah seorang murid supaya dapat berkata-kata dan memberikan semangat kepada yang lesu. Lidah yang mau diajar, dilatih dan diperintah. Itu berarti setiap tutur kata kita hendaknya konsisten dan berdasarkan pada kebenaran. Seorang murid yang baik pasti akan terlatih dengan ucapan-ucapan gurunya.
2.       Ayat 4b-5, Mempertajam pendengaran setiap pagi dan membuka telinga. Tuhan menciptakan kita dengan dua telinga lahiriah ini pertanda mengingatkan kita supaya lebih banyak mendengar ketimbang berbicara apalagi membual. Tuhan juga menciptakan kita dengan telinga batin. Nurani tempat di mana kebenaran itu terus menerus disuarakan. Tidak mungkin kita akan konsisten dan punya integritas kalau tidak terlebih dahulu mendengar suara Tuhan. Apa yang biasa terjadi setiap pagi? Apakah kita menyempatkan diri dan memberi ruang bagi suara itu? Ataukah ruang batin kita sudah penuh sesak dengan suara tuntutan yang lain.
3.       Ayat 6. Memberi punggung, pipi dan muka. Hal ini gambaran resiko seseorang ketikan berjalan dan menyatakan kebenaran. Banyak orang tidak mau mengambil resiko seperti ini dan akhirnya kompromi. Perkataannya tidak pernah konsisten. Tergantung situasi yang menguntungkannya. Semuanya itu telah dialami Yesus. Ketika seseorang mengikutiNya maka hal yang serupa dimintaNya. Ingat, Dia tidak menjanjikan kenyaman melainkan kemuliaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar