Bertambah usia dan menjadi tua
adalah keniscayaan. Namun, menjadi dewasa merupakan sebuah pilihan. Maka tidaklah
mengherankan banyak orang secara fisik kelihatannya sudah tua: rambut putih,
kulit keriput, penglihatan dan pendengaran mulai berkurang, gigi ompong dan
pikiran mulai pikun namun sikapnya masih kekanak-kanakan ditandai dengan
keinginan untuk menjadi pusat perhatian, selalu ingin dilayani, tidak mau
mendengar dan mengerti orang lain, sebaliknya hanya mau didengar. Usia fisik
tidak sejalan dengan kedewasaan berpikir apalagi dewasa dalam iman. Seharus,
sama seperti pertumbuhan fisik, iman juga tidak boleh stag. Iman tidak boleh
berhenti tumbuh.
James Fowler, teolog gereja
Methodis, Amerika Serikat, memetakan ada enam tahapan pertumbuhan iman dalam
diri seseorang. Keenam tahapan itu singkatnya adalah:
1. Intuitive projective faith (usia 18-24
bulan sampai 7 tahun). Pertumbuhan iman seseorang anak mulai berinteraksi
dengan lingkungannya. Anak sangat dipengaruhi oleh cerita-cerita orang dewasa
di sekitarnya. Dari apa yang mereka dengar itu, mereka membentuk gambaran
Tuhan. Surga yang imajinatif dan neraka yang mengerikan. Gambaran ini umumnya
bersifat irasional, tentu dipandang dari sudut orang dewasa. Mungkin bagi si
anak hal itu nyata. Pada masa ini anak belum mengerti sebab-akibat dan tidak
dapat memisahkan antara fakta dan fantasi. Konsep Tuhan yang diyakini pada masa
ini berkisar antara kepatuhan (obedience) yang akan menghasilkan imbalan hadiah
dan hukuman (punishment) sebagai konsekuensi dari ketidaktaatan. Banyak orang
dewasa masih berada pada tahap iman ini. Mau melakukan sesuatu asal diberi imbalan.
Mau beribadah asal ada yang menguntungkan buat aku.
2. Mythic literal faith (usia 7 sampai 12
tahun). Pada usia ini, anak mulai berpikir lebih logis. Memandang alam semesta
lebih tertata. Mereka cenderung mempercayai cerita dan simbol religi secara
harafiah. Mereka belum mampu berpikir abstrak. Namun, mereka sudah dapat
memahami bahwa Tuhan itu adil. Allah digambarkan menurut alam fantasi. Tidak sedikit
pula orang dewasa berhenti di sini. Menafsirkan ayat-ayat suci secara harafiah.
Menolak metode hermeneutik. Yang penting bagaimana teksnya saja berbunyi ya
harus dilakukan. Tidak usah mendalami konteks dimana ayat itu dinyataka.
3. Synthetic convensional faith (usia
remaja dan selanjutnya). Setelah mampu berpikir abstrak, remaja mulai membentuk
ideologi (sistem kepercayaan) dan mempunyai kometmen terhadap apa yang
dianggapnya ideal. Di masa ini mereka mulai mencari identitas diri dan menjalin
hubungan pribadi dengan Tuhan. Namun, identitas mereka belum benar-benar
terbentuk. Tahap ini umumnya terdapat pada pengikut agama yang terorganisir. Mereka
bangga dengan simbol-simbol organisasi keagamaannya sebagai bentuk identitas
bersama. Menurut Fowler sekitar 50
persen orang dewasa secara fisik tidak mampu melewati tahap ini. Pertumbuhan
yang stag pada posisi ini banyak dimanfaatkan oleh para politikus untuk
menjaring masa radikal dan merupakan lahan yang subur untuk gerakan-gerakan
militan fundamentalis.
4. Individuative reflektive faith (dewasa
awal – pertengahan umur duapuluhan). Mereka yang bisa memasuki tahap ini akan
memeriksa kembali iman mereka dangan kristis lalu memikirkan ulang kepercayaan
mereka terlepas dari otoritas eksternal dan norma kelompok. Mereka bersedia
merombak sistem kepercayaan yang menurutnya tidak lagi relevan. Dalam tataran
ini orang mulai bisa menghargai perbedaan dan berdialog menemukan kebaikan
bersama.
5. Conjunctive faith (usia paruh baya). Pada
tahap ini, manusia menyadari batas-batas kemampuan akali. Mereka menyadari
adanya paradoks dan kontradiksi dalam hidup. Mereka mengintegrasikan kembali
nilai-nilai iman yang pada tahap sebelumnya dirombak. Mereka lebih bisa
menerima diri dan menysukuri apa yang dimilikinya.
6. Universalizing faith (usia lanjut). Tahap
terakhir ini jarang sekali orang yang dapat mencapainya. Egoisme dan
egosentrisme dalam diri orang-orang yang mencapai tingkatan ini hampir-hampir
tidak ada lagi. Apa yang mereka yakini sebagai kebenaran nyata terlihat dalam
kehidupan dan perjuangan mereka. Pada tahapan ini seseorang akan memberikan apa
yang terbaik dari dirinya untuk kebaikan bersama. Ukuran hidupnya bukan lagi “punya”
atau “memiliki” ini dan itu tetapi memberi. Memberikan yang terbaik untuk
dunia. Namun ia tetap rendah hati, sederhana dan manusiawi. Mahatma Gandhi,
Martin Luther King Jr. Bunda Teresa adalah mereka yang dapat mencapat tahapan
ini.
Jika kita berkaca pada
analisis Fowler, di manakah posisi pertumbuhan iman kita? Fowler mengingatkan
50 persen orang dewasa tidak mampu melewati tahap ketiga (Synthetic convensional faith). Artinya, ketika menginjak usia
remaja setengah, dari populasi manusia tidak lagi mengalami pertumbuhan iman. Sedangkan
usianya terus menjadi tua. Maka tidaklah mengherankan kalau kehidupan beragama
itu hanya melekat pada simbol-simbol harafiah, sulit menerima perbedaan, merasa
benar sendiri, tidak mau kritis dengan diri sendiri, yang ada gampang
menyalahkan dan menghakimi orang lain. Hidup hanya memperjuangkan kepentingan
sendiri dan kelompoknya. Jangan-jangan iman kita juga mengalami stagnan, tidak
mau bertumbuh lagi.
Iman yang tidak mau bertumbuh
setidaknya ditandai dengan dua hal. Pertama, egoisme segala sesuatu diarahkan
untuk pementingan dan pemuliaan diri sendiri. Sensitif dan gampang marah ketik
kepentingan dan kenyamanannya terusik. Bukankah kita juga sering mudah
tersinggung kalau kepentingan dan rasa nyaman kita terusik? Kita jarang
memposisikan diri pada pihak lain yang tidak kita sukai. Sama seperti Yeremia
(Yeremia11:20), manakala tersakiti segera meminta Tuhan untuk membalas orang
yang menyakiti kita. Tampaknya wajar dan manusiawi, pemazmur dalam banyak
tulisannya pun mengungkapkan hal yang sama, Mazmur 54 misalnya. Namun, apakah
yang wajar dan manusiawi ini yang dikehendaki oleh Tuhan? Bukankah Kristus
mengajari kita bukan seperti itu, melainkan melawan kejahatan dengan kebaikan
dan mendoakan mereka yang telah
menganiaya kita (Matius 5:44).
Kedua, iri hati. Tidak rela
melihat keberhasilan orang lain. Ada perasaan tinyak nyaman kalau orang lain
sukses dan dihormati orang. Meskipun iri hati adalah wajar dan manusiawi namun
di sana mengacam dan membahayakan. Iri hati merupakan sumber konflik dan
pertikaian. “Sebab di mana ada iri hati
dan pementingan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan
jahat.” (Yakobus 3:16). Jika kedua hal itu – egoisme dan iri hati –
menguasai seseorang maka akan sulit baginya untuk mengalami pertumbuhan iman.
Yesus menginginkan iman para
murid itu bertumbuh ke arah yang benar,
namun yang terjadi mereka lebih mengedepankan ego masing-masing. Contoh dari
keegoisan mereka tercermin dalam perebutan tempat utama. Berebut tempat menjadi
orang nomor satu rupanya bukan terjadi di abad moderen dan dalam kekuasaan
duniawi saja. Para murid Yesus pun berlomba untuk mendapatkan kedudukan
istimewa (Markus 9:33-37). Yesus mengecam para murid ketika mereka bertengkar
memperebutkan tempat utama, menjadi orang ternama dan dihormati.
Yesus mengingatkan jika mereka
mau menjadi yang terbesar dalam Kerajaan, mereka akan memperolehnya, namun
bukan dengan menjadi yang pertama, melainkan yang terakhir, bukan dengan
menjadi tuan, melainkan dengan menjadi pelayan bagi semua. Dalam hal ini bukan
berarti Yesus anti dan menolak ambisi. Sebaliknya, Ia menciptakan kembali
ambisi yang benar. Untuk ambisi memerintah, Ia menggantikannya dengan keinginan
untuk melayani. Untuk ambisi dilayani, Ia menawarkan supaya melayani. William
Barclay mengatakan hal ini bukan pandangan idealistik yang tidak mungkin. Inilah
pandangan yang paling masuk akal. Sejarah membuktikan bahwa orang yang
benar-benar besar, orang yang dikenang sebagai orang yang telah banyak memberikan
sumbangsih nyata bagi kehidupan adalah orang yang berkata pada dirinya sendiri,
bukan, “Bagaimana aku bisa menggunakan negara dan masyarakat untuk meningkatkan
prestiseku dan ambisi pribadiku?”, tetapi, “Bagaimana aku dapt menggunakan
karunia-karunia yang ada padak untuk melayani negara?”
Orang yang tidak mementingkan
dirinya sendiri memang langka. Namun, ternyata bila ada orang seperti itu ia
pasti akan dikenang. Di Yunani ada cerita tentang seorang di kota Sparta. Orang
itu Paedaretos. Ada tiga ratus orang kandidat akan dipilih untuk memerintah
kota Sparta. Paedaretos salah satu dari calon itu. Ketika daftar calon
diumumkan, ternyata namanya tidak tercantum. Salah seorang kawannya berkata, “Saya
menyesal karena kamutidak terpilih. Rakyat semestinya sudah tahu bahwa kamu
sudah menunjukkan diri sebagai seorang pejabat negara yang bijaksana.”
Paedaretos menjawabnya dengan ringan, “Saya senang bahwa di Sparta ada tiga
ratus orang yang lebih baik dibandingkan dengan saya.” Dalam cerita ini kita
bertemu dengan seorang yang telah menjadi legenda karena ia siap memberikan
tempat pertama kepada orang lain dan sama sekali tidak merasa sakit hati.
Perpecahan dan pertikaian yang
mengoyak bangsa atau daerah mestinya tidak perlu terjadi apabila keinginan
satu-satunya dari semua pejabat adalah untuk melayani masyarakatnya. Konflik dan
perpecahan dalam gereja pun mestinya tidak pernah terjadi apabila setiap
pelayan Tuhan menghayati tugas panggilannya dengan benar, yakni bahwa keinginan
satu-satunya dalam melayani adalah melayani Tuhan melalui sesama. Kedewasaan iman
seseorang akan terlihat mana kala ia memberi tempat yang utama untuk orang lain
tidak dengan terpaksa melain dengan senang hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar