Thomas Nast (1840-1902),
seorang karikaturis dan kartunis yang dianggap sebagai bapak karikatur politik Amerika Serikat, suatu hari bersama
beberapa orang temannya menghadiri acara pesta. Temannya mengusulkan agar ia
membuat gambar karikatur dari setiap orang yang hadir dalam pesta itu. Dengan keahliannya,
Nast menggunakan kertas dan pencil secara cepat membuat sketsa dari orang-orang
yang hadir di pesta itu. Kemudian ia mengedarkan karikatur yang telah dibuatnya
itu kepada setiap orang untuk melihatnya.
Apa reaksi orang-orang yang
melihat karyanya itu? Tertawa, becanda dan cenderung mengejek orang-orang yang
ada digambar itu. Saat itu ada kejadian yang tidak disangka-sangka, tampaknya
setiap orang yang melihat hasil karya Nast itu dapat mengenali sketsa wajah
orang lain meskipun dibuat lucu. Namun, anehnya hanya sedikit dari mereka yang
mengenali sketsa wajahnya sendiri. Dari kisah ini kemudian orang menyimpulkan:
Pada saat kita melihat diri sendiri, tampaknya kita memiliki pandangan yang
kabur. Kita tidak mengenali diri sendiri secara jelas ketimbang orang lain
melihat diri kita. Kebanyakan orang mengalami kesulitn untuk mengenali
sifat-sifat utama yang dimilikinya apa adanya.
Pengenalan diri yang tidak
utuh membuat manusia sulit menerima dirinya sendiri, apalagi menyukurinya. Karena
pengenalan diri yang sempal inilah seseorang dapat berada dalam paradoks, dua
kutub ekstrim yang berbeda. Pertama, menjadi rendah diri bahkan cenderung
menolak keberadaan dirinya sendiri dan yang lain menjadi arogan. Sikap arogan
atau sombong seseorang itu bisa jadi sebagai dampak konpensasi dari rendah
diri. Merasa diri kurang maka ia berusaha menutupinya dengan ungkapan yang
melebih-lebihkan dirinya atau narsis.
Dari kecenderungan umum
manusia, kisah Perempuan Siro-Fenisia yang mengalami perjumpaan dengan Yesus
(Markus 7:24-30) merupakan sebuah kisah anomali. Sikap yang jarang ada dalam
diri manusia. Sikap itu adalah kerendahan hati. Rendah hati tidaklah
sama dengan rendah diri. Orang dengan rendah diri akan mudah tersinggung atas
ucapan orang lain mengenai jati dirinya. Dampak dari ketersinggungan itu bisa
bermacam-macam: marah, benci, putus asa, minder dan yang sejenis dengan itu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “rendah hati” dengan “tidak sombong”
atau “tidak angkuh”. Bahasa Yunani memakai ungkapan ταπεινός (tapeinos),
yang berarti “berbaring di tempat yang rendah”.
Dikisahkan perempuan Siro-Fenisia ini
rupanya telah lama mendengar berita tentang Yesus. Kedatangan Yesus ke kampungnya
tidak disia-siakan. Perempuan ini tersungkur di depan Yesus seraya memonhon
agar Yesus memulihkan anaknya yang sedang kerasukan roh jahat. Apa tanggapan
Yesus? Markus 7:27 mencatat, Lalu Yesus
berkata kepadanya: ”Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil
roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Bayangkan
apabila Anda ada pada posisi ibu itu. Mengharapkan kesembuhan namun ditanggapi
dengan perkataan yang tidak diharapkan. Ya, kalimat yang diucapkan Yesus itu
adalah kiasan mengenai posisi perempuan ini dibandingkan dengan posisi orang
Yahudi. Dalam pemahaman Yudaisme orang Yahudi disebutkan dengan “anak-anak”
sedangkan non-Yahudi, termasuk perempuan ini dengan sebutan “anjing”. Jelas
ungkapan kasar!
Perempuan ini tidak tersinggung. Ia mengerti
posisinya. Ia sadar bahwa dirinya adalah orang Yunani, bukan Yahudi yang selalu
bangga dengan Taurat dan umat istimewa. Perempuan Yunani ini sadar bahwa Israel
punya kesempatan pertama untuk mendapatkan tawaran Injil. Namun ia mengerti
bahwa kesempatan itu tidak tertutup hanya untuk Israel. Pada gilirannya non-Yahudi,
seperti dirinya pun mendapatkan berkat itu.
Banyangkan kalau perempuan
Siro-Fenisia itu terpaku pada pemikiran negatif, mungkin mujizat pemulihan
anaknya tidak pernah terjadi. Seolah perempuan itu menanggapi ucapan Yesus
begini, “Saya tahu bahwa anak-anak memang lebih dahulu diberi makan, tetapi
dapatkah saya memperoleh remah-remah roti yang dibuang oleh anak-anak?
Remah-remah itu sudah cukup untuk memulihkan anakku!” Perempuan ini sangat
yakin. Meskipun hanya sekedar “remah-remah” itu lebih dari cukup untuk dirinya.
Ia menyadari posisinya tidak seperti orang-orang Yahudi. Perempuan ini harus
membuang jauh-jauh gengsi dan martabat dirinya. Perempuan ini tepat
menggambarkan diri sebagai ταπεινός, “orang yang berbaring di tempat yang
rendah” namun, dalam keadaan seperti itu ia melihat anugerah Tuhan lebih dari
cukup.
Jika seseorang dengan rendah diri bisa
berada dalam paradok : minder dan sombong. Paradok juga bisa terjadi dalam diri
orang yang rendah hati, yakni penyerahan diri secara total kepada Allah. Tetapi
di sisi lain gigih berjuang. Perempuan Siro-Fenisia ini jelas-jelas seorang
yang percaya akan kuasa Yesus. Makanya ia datang tersungkur di hadapan Yesus.
Namun, pada saat yang sama ia juga berjuang, berusaha untuk mendapatkan kasih
Yesus itu.
Di tengah kecenderungan manusia yang
suka membanggakan diri. “Menjual diri” berlebihan, apalagi saat kampanye untuk
mendapatkan simpati masa. Cenderung menjadi angkuh dan arogan, merendahkan
eksistensi orang lain. Sikap rendah hati menjadi oase yang menyegarkan. Naluri
manusia untuk tinggi hati jika dibiarkan tidak pernah akan terpuaskan. Ia tidak
pernah akan bahagia melihat sisi positif dari orang lain. Rendah hati akan
membawa manusia melihat hal-hal yang indah. Tidak mudah untuk seseorang
memiliki sikap rendah hati. Ia harus rela mengosongkan dirinya seperti yang
diajarkan dan dilakukan Yesus (bnd. Filipi 2:6-8).
Pulpit Helps menggambarkan dengan baik
tentang kerendahan hati ini. Ia melukiskannya sebagai berikut: Jika dua ekor
kambing saling bertemu disebuah jempatan setapak di atas sungai, apa yang akan
mereka lakukan? Mereka tidak bisa undur dan mereka tidak bisa berpapasan karena
jalannya terlalu sempit. Dengan naluri mereka, mereka tahu jika saling
menanduk, maka keduannya akan terjatuh ke air dan tenggelam. Apa yang mereka
lakukan? Alam telah mengajarkan pada kambing-kambing itu. Seekor kambing akan
berbaring sehingga kambing yang satunya lagi bisa melewati tubuhnya; hasilnya
mereka berdua bisa tiba di tempat masing-masing dengan aman. Itulah kerendahan
hati (ταπεινός, “orang yang berbaring di tempat yang rendah”)
Saya sulit membayangkan kisahnya
Pulpit Helps ini teradi kini dan di sini. Kambing di daerah mana yang bisa
demikian. Kambing-kambing yang saya lihat justru akan memasang tanduk dan wajah
garang ketika berhada-hadapan. “Kambing-kambing” itu ada di sekitar kita,
jangan-jangan kita salah satunya. Kerendahan hati merupakan barang langka di
negeri ini, bahkan di dalam gereja sekali pun. Orang lebih suka mencantumkan
gelar, memamerkan sederet prestasi pelayanan, diucapin terimakasih, disebut nama dan jumlah persembahannya dalam
warta jemaat, banyak mencela serta memandang sepi orang lain dan mudah tersinggung
jika hasil karyanya dikutip orang.
Sikap
arogan bukan hanya terjadi antar manusia, melainkan sudah terbiasa juga ketika berhadapan
dengan Tuhan. Orang mengira dengan banyaknya pelayanan dan perbuatan baik sudah
cukup baginya untuk menuntut Tuhan memenuhi keinginannya. Merasa gengsi jika
hanya meminta “remah-remah”. Bukankah kita sering memosisikan diri seperti
orang Yahudi? Kita “anak-anak Tuhan” bahkan tanpa sadar kita mengklaim diri
sebagai “anak Raja”, maka tuntutannya bukan lagi “remah-remah” melainkan meja
makan bahkan dapurnya sekalian. Kita merasa berhak atas itu dan orang lain
harus menerima “remah-remahnya”. Bukankah kita sering sulit hati kalau orang
yang berada di luar “anak Tuhan” itu mendapatkan hidangan juga? Saatnya kini
kita belajar dari Perempuan Siro-Fenisia ini agar kita dapat melihat kebaikan
Tuhan. Tuhan itu baik pada yang rendah hati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar