Jumat, 31 Agustus 2012

PENYEMBAH SEJATI


Pagi ini (31 Agustus 2012), Rubrik Opini Kompas menyajikan hidangan tak sedap, bukan karena penyajian atau kadar ilmiahnya, tetapi karena menunya. Donny Gahral Adian dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia menyajikan menu: Intoleransi dan Kekerasan. Ia mengatakan, “Sebuah republik dibangun dari segaris janji. Janji tentang kehidupan bersama yang adil dan beradab. Namun, di Republik ini janji tersebut berulang kali diingkari.” Ia memaparkan lebih jauh keprihatinannya terhadap kesewenangan di negeri ini.

Benar, intoleransi dan kekerasan kian menjadi di negeri yang mengaku berdasarkan ketuhanan ini. Atas nama Tuhan, manusia menjadi intoleran dan mengusung kekerasan untuk menumpas sesamanya yang berbeda. Mulut berteriak mengangungkan Tuhan tapi tangan teracung dengan panah dan parang. Tuhan yang memerintahkan kebajikan diterjemahkan dengan gaya hidup eklusif intoleran, seolah hanya dirinya pemegang tunggal hak kebenaran. Padahal yang diinginkan oleh para pendiri negeri ini ketika menetapkan dasar negara bukan berdasarkan agama tertentu tetapi Pancasila dan sila pertama adalah ketuhanan yang Mahaesa maksudnya agar setiap orang Indonesia menjalankan ibadah menurut keyakinan agamanya dengan sungguh-sungguh. Bukan sekedar label belaka! Bukan ngomong doang! Soekarno dalam bukunya, Lahirnya Pancasila mengatakan, “Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia adalah suatu negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.”

Rupanya benar apa yang dikatakan Donny bahwa di Republik ini ingkar janji bukan hal aneh tapi lumrah. Sudah jamak jika orang berkata “A” tetapi yang dilakukan adalah “B”. Mengaku bertuhan tapi prilaku berhantu. Jangan-jangan kita pun termasuk dalam golongan orang yang mudah ingkar janji? Dalam agama mana pun tidak ada sosok yang disapa sebagai “Tuhan” itu memerintahkan penindasan, penganiayaan, penyengsaraan, pembantaian, kekerasan dan kekejian. Yang ada, pastilah Sang Tuhan itu memerintahkan agar penyembahnya mengerjakan kebajikan, melayani sesama, menolong yang susah, membalut yang terluka, memberi semangat bagi yang putus asa, mau berkorban untuk kepentingan orang lain dan hidup tidak egois.

Saya percaya bahwa setiap agama yang mempunyai sosok “Tuhan” pasti Tuhannya itu tidak menginginkan para penyembahnya munafik atau tukang ingkar janji. Pasti Tuhan agama mana pun tidak menghendaki kalau para penyembahnya itu melakukan puja-puji dan sederetan ritual di rumah-rumah ibadah dengan meriah, namun prilaku di luar jauh dari apa yang dikehendakiNya. Nabi Musa sejak awal meminta kepada umat Israel agar berpegang teguh pada ketetapan dan peraturan yang diberikan Tuhan kepada mereka (Ulangan 4:1,2). Berpegang teguh yang dimaksudkan Musa bukan sekedar membaca atau mendaraskan dan menghafal saja, melainkan melakukannya dengan setia itulah yang disebut orang yang berhikmat dan berakal budi (Ulangan 4:6). Bukan hanya sekedar tahu tetapi enggan melakukannya. Bukan pula hanya mendengar tetapi menjadi pelaku firman (baca: Yakobus 1:17-27).

Pemazmur mengingatkan kita, siapa sebenarnya yang layak menyembah Tuhan dan dengan cara bagaimana ia mengagungkan Tuhannya? Siapakah sebenarnya penyembah-penyembah sejati itu? Ia mengatakan, “TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemahMu? Siapa yang boleh diam di gunungMu yang kudus? Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang menyatakan kebenaran dengan segenap hatinya, yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya, yang tidak berbuat jahat pada temannya dan yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya; yang memandang hina orang yang tersingkir, tetapi memuliakan orang yang takut akan TUHAN; yang berpegang kepada sumpah walaupun rugi; yang tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba dan tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah.” (Mazmur 15)

Ada banyak orang mengenal dan bertobat kepada Tuhan bukan karena argumentasi doktrin dan ajaran, melainkan karena tersentuh oleh kebaikan hati seseorang yang menjalankan hidupnya sebagai totalitas ibadah. Agustinus seorang bapak gereja tersohor, ia adalah seorang ahli filsafat. Kita mungkin membayangkan ketika ia menjadi seorang kristiani pastilah melalu perdebatan logika serius dengan Uskup Ambrosius. Kenyataannya tidak. Agustinus berkata bahwa kebaikan Ambrosiuslah yang mengubah kehidupannya... dan bukan argumentasi ilmiah. Ketulusan kita dalam mempraktekan ibadah tidak hanya menjadi berkat bagi diri sendiri, tetapi juga membawa dampak. Menjadi berkat bagi orang lain. Ingatlah bahwa ibadah itu mempunyai dua dimensi. Dimensi vertikal; antara kita dengan Allah dan dimensi horizontal; dimensi sosial antara kita dengan sesama.

Namun, sayangnya apa yang seharusnya tidak menjadi apa yang nyata. Yang ideal, yang dulu diwanti-wanti Musa semakin luntur, oran Farisi dan ahli Taurat terjebak dalam seremoni dan tradisi. Beratus tahun kemudian orang Yahudi pada zaman Yesus lebih mengutamakan ritual tradisi ketimbang hakekat dalam ibadah (Baca Markus 7:1-23). Mereka lebih suka memelihara tradisi nenek moyang secara harafiah dan enggan menggali makna. Akibatnya memandang ritual dan tradisi itu adalah segalanya. Apa yang tampak merupakan label kesalehan. Label kesalehan menjadikan mereka eklusif dan sulit menerima perbedaaan karena yang berbeda itu sudah pasti keliru. Padahal Tuhan tidak hanya melihat tampak luarnya saja melainkan, dan yang terutama adalah apa yang terkadung dalam hati seseorang. Hati itulah sebenarnya yang menentukan seseorang beribadah dengan sungguh-sungguh atau tidak. Hati manusia sangat menentukan dalam tindakan seseorang. Kata “hati” dalam bahasa Yunani dipakai kata καρδια (kardia) yang memiliki makna pusat dari segala sesuatu tindakan fisik maupun spiritual, pusatnya kehidupan manusia.

Berkaitan dengan tradisi ritual, Yesus menegaskan pentingnya niat hati seseorang. Ia mengatakan, “...sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Markus 7: 21-23).  Bagi Yesus, percuma orang melakukan ibadah tetapi hatinya tidak tulus. Percuma saja kalau ibadah itu dipakai sebagai topeng kesalehan. Orang Farisi dan ahli Taurat menganggap dirinya bisa menutupi hati mereka dari khalayak dengan memanipulasi aturan-aturan agama sehingga mereka seolah-olah sedang melakukan kehidupan “penyembah sejati”. Kenyataannya, semua ritual itu pada akhirnya tidak akan menutupi niat hati seseorang. Jika niatnya jahat, ditutupi dengan cara apa pun, buahnya kelak akan terlihat. Jika hati kita terselip niat jahat, mungkin orang di sekeliling kita bisa dikelabui dengan ritual kesalehan. Tapi ingatlah bahwa Tuhan tidak dapat dibohongi. Bahkan hati kita sendiri tidak dapat dibohongi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar