Pagi ini (31 Agustus 2012),
Rubrik Opini Kompas menyajikan
hidangan tak sedap, bukan karena penyajian atau kadar ilmiahnya, tetapi karena
menunya. Donny Gahral Adian dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia
menyajikan menu: Intoleransi dan
Kekerasan. Ia mengatakan, “Sebuah
republik dibangun dari segaris janji. Janji tentang kehidupan bersama yang adil
dan beradab. Namun, di Republik ini janji tersebut berulang kali diingkari.”
Ia memaparkan lebih jauh keprihatinannya terhadap kesewenangan di negeri ini.
Benar, intoleransi dan
kekerasan kian menjadi di negeri yang mengaku berdasarkan ketuhanan ini. Atas
nama Tuhan, manusia menjadi intoleran dan mengusung kekerasan untuk menumpas
sesamanya yang berbeda. Mulut berteriak mengangungkan Tuhan tapi tangan
teracung dengan panah dan parang. Tuhan yang memerintahkan kebajikan diterjemahkan
dengan gaya hidup eklusif intoleran, seolah hanya dirinya pemegang tunggal hak
kebenaran. Padahal yang diinginkan oleh para pendiri negeri ini ketika
menetapkan dasar negara bukan berdasarkan agama tertentu tetapi Pancasila dan
sila pertama adalah ketuhanan yang Mahaesa maksudnya agar setiap orang Indonesia
menjalankan ibadah menurut keyakinan agamanya dengan sungguh-sungguh. Bukan
sekedar label belaka! Bukan ngomong
doang! Soekarno dalam bukunya, Lahirnya
Pancasila mengatakan, “Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap
rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”.
Dan hendaknya Negara Indonesia adalah suatu negara yang bertuhan! Marilah kita
amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama
lain.”
Rupanya benar apa yang
dikatakan Donny bahwa di Republik ini ingkar janji bukan hal aneh tapi lumrah. Sudah
jamak jika orang berkata “A” tetapi yang dilakukan adalah “B”. Mengaku bertuhan
tapi prilaku berhantu. Jangan-jangan kita pun termasuk dalam golongan orang
yang mudah ingkar janji? Dalam agama mana pun tidak ada sosok yang disapa
sebagai “Tuhan” itu memerintahkan penindasan, penganiayaan, penyengsaraan,
pembantaian, kekerasan dan kekejian. Yang ada, pastilah Sang Tuhan itu
memerintahkan agar penyembahnya mengerjakan kebajikan, melayani sesama,
menolong yang susah, membalut yang terluka, memberi semangat bagi yang putus
asa, mau berkorban untuk kepentingan orang lain dan hidup tidak egois.
Saya percaya bahwa setiap
agama yang mempunyai sosok “Tuhan” pasti Tuhannya itu tidak menginginkan para
penyembahnya munafik atau tukang ingkar janji. Pasti Tuhan agama mana pun tidak
menghendaki kalau para penyembahnya itu melakukan puja-puji dan sederetan
ritual di rumah-rumah ibadah dengan meriah, namun prilaku di luar jauh dari apa
yang dikehendakiNya. Nabi Musa sejak awal meminta kepada umat Israel agar
berpegang teguh pada ketetapan dan peraturan yang diberikan Tuhan kepada mereka
(Ulangan 4:1,2). Berpegang teguh yang dimaksudkan Musa bukan sekedar membaca
atau mendaraskan dan menghafal saja, melainkan melakukannya dengan setia itulah
yang disebut orang yang berhikmat dan berakal budi (Ulangan 4:6). Bukan hanya
sekedar tahu tetapi enggan melakukannya. Bukan pula hanya mendengar tetapi
menjadi pelaku firman (baca: Yakobus 1:17-27).
Pemazmur mengingatkan kita,
siapa sebenarnya yang layak menyembah Tuhan dan dengan cara bagaimana ia
mengagungkan Tuhannya? Siapakah sebenarnya penyembah-penyembah sejati itu? Ia
mengatakan, “TUHAN, siapa yang boleh
menumpang dalam kemahMu? Siapa yang boleh diam di gunungMu yang kudus? Yaitu
dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang
menyatakan kebenaran dengan segenap hatinya, yang tidak menyebarkan fitnah
dengan lidahnya, yang tidak berbuat jahat pada temannya dan yang tidak
menimpakan cela kepada tetangganya; yang memandang hina orang yang tersingkir,
tetapi memuliakan orang yang takut akan TUHAN; yang berpegang kepada sumpah
walaupun rugi; yang tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba dan tidak
menerima suap melawan orang yang tak bersalah.” (Mazmur 15)
Ada banyak orang mengenal dan
bertobat kepada Tuhan bukan karena argumentasi doktrin dan ajaran, melainkan
karena tersentuh oleh kebaikan hati seseorang yang menjalankan hidupnya sebagai
totalitas ibadah. Agustinus seorang bapak gereja tersohor, ia adalah seorang
ahli filsafat. Kita mungkin membayangkan ketika ia menjadi seorang kristiani pastilah
melalu perdebatan logika serius dengan Uskup Ambrosius. Kenyataannya tidak.
Agustinus berkata bahwa kebaikan Ambrosiuslah yang mengubah kehidupannya... dan
bukan argumentasi ilmiah. Ketulusan kita dalam mempraktekan ibadah tidak hanya
menjadi berkat bagi diri sendiri, tetapi juga membawa dampak. Menjadi berkat
bagi orang lain. Ingatlah bahwa ibadah itu mempunyai dua dimensi. Dimensi vertikal;
antara kita dengan Allah dan dimensi horizontal; dimensi sosial antara kita
dengan sesama.
Namun, sayangnya apa yang
seharusnya tidak menjadi apa yang nyata. Yang ideal, yang dulu diwanti-wanti
Musa semakin luntur, oran Farisi dan ahli Taurat terjebak dalam seremoni dan tradisi.
Beratus tahun kemudian orang Yahudi pada zaman Yesus lebih mengutamakan ritual
tradisi ketimbang hakekat dalam ibadah (Baca Markus 7:1-23). Mereka lebih suka
memelihara tradisi nenek moyang secara harafiah dan enggan menggali makna. Akibatnya
memandang ritual dan tradisi itu adalah segalanya. Apa yang tampak merupakan
label kesalehan. Label kesalehan menjadikan mereka eklusif dan sulit menerima
perbedaaan karena yang berbeda itu sudah pasti keliru. Padahal Tuhan tidak
hanya melihat tampak luarnya saja melainkan, dan yang terutama adalah apa yang
terkadung dalam hati seseorang. Hati itulah sebenarnya yang menentukan
seseorang beribadah dengan sungguh-sungguh atau tidak. Hati manusia sangat
menentukan dalam tindakan seseorang. Kata “hati” dalam bahasa Yunani dipakai
kata καρδια
(kardia) yang memiliki makna pusat
dari segala sesuatu tindakan fisik maupun spiritual, pusatnya kehidupan
manusia.
Berkaitan dengan tradisi ritual, Yesus
menegaskan pentingnya niat hati seseorang. Ia mengatakan, “...sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat,
percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan,
kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal
jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Markus 7: 21-23). Bagi Yesus, percuma orang melakukan ibadah
tetapi hatinya tidak tulus. Percuma saja kalau ibadah itu dipakai sebagai
topeng kesalehan. Orang Farisi dan ahli Taurat menganggap dirinya bisa menutupi
hati mereka dari khalayak dengan memanipulasi aturan-aturan agama sehingga
mereka seolah-olah sedang melakukan kehidupan “penyembah sejati”. Kenyataannya,
semua ritual itu pada akhirnya tidak akan menutupi niat hati seseorang. Jika niatnya
jahat, ditutupi dengan cara apa pun, buahnya kelak akan terlihat. Jika hati
kita terselip niat jahat, mungkin orang di sekeliling kita bisa dikelabui
dengan ritual kesalehan. Tapi ingatlah bahwa Tuhan tidak dapat dibohongi. Bahkan
hati kita sendiri tidak dapat dibohongi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar