Jumat, 20 Juli 2012

HATI YANG BERBELA RASA

Apa yang Anda harapkan dari atasan Anda setelah melakukan tugas pekerjaan yang dipercayakan kepada Anda? Penghargaan dan pengakuan! Ya, meskipun tidak semua orang mencanangkan penghargaan dan imbalan itu sebagai target utama dalam berjeri lelah, namun kenyataannya setiap orang pasti akan senang bila hasil kerjanya dihargai. Di samping itu, telah menjadi kebutuhan manusia untuk didengar. Dalam konteks seperti inilah para murid Yesus sangat antusias menceritakan pelbagai pengalaman dan keberhasilan mereka dalam mengerjakan tugas yang Yesus percayakan kepada mereka. Markus mencatat, “Kemudian rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan memberitahukan kepadaNya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan.”(Markus 6:20).

Saya membayangkan bagaimana keduabelas murid itu silih berganti berlomba menceritakan keberhasilan mereka. Dalam suasana seperti ini, Yesus mengajak para murid itu pergi ke suatu tempat terpencil yang sunyi. Έρημος dapat diartikan tempat terpencil tetapi juga bisa berarti seperti ‘padang gurun’. Namun, kali ini tempat terpencil itu adalah sebuah perahu. Tempat di mana hanya ada mereka dengan Yesus. Tidak ada orang lain. Yesus mengajak para murid untuk retret. Menyepi! Para murid baru saja mengalami keberhasilan dalam mewartakan, menyembuhkan, mengajar dan mengusir roh jahat dengan kuasa yang diberikan Yesus kepada mereka. Mereka perlu mengendapkan pengalaman ini. Bila tidak, mereka bisa akan jatuh dalam bahaya pemuliaan diri. Tidak lagi bisa membedakan antara popularitas dan pelayanan sebenarnya. Banyak orang terjebak dalam apa yang disebut “pelayanan” namun sebenarnya telah kehilangan spiritualitasnya.

Wajar, apabila suasana seperti itu mereka nikmati bersama Sang Guru. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari saja setiap orang memerlukan rileks, istirahat untuk mengumpulkan kembali tenaga agar bisa melakukan pekerjaan selanjutnya. Bisa dibanyangkan bagaimana perasaan mereka jika saat rileks yang sedang dinikmati itu terusik. Ya, orang banyak yang telah mendengar berita dari para murid itu kini seakan berlomba untuk mendekati Yesus. Mereka mengikuti ke mana Yesus dan murid-murid itu pergi. Mengapa mereka bisa lebih dulu sampai di seberang sebelum Yesus mendarat? Ya, jelaslah karena di perahu itulah Yesus dan para murid berbagi pengalaman, akibatnya kecepatan laju perahu bukan hal yang penting. Santai!

Ada banyak orang  marah ketika kenyamanannya terusik, saat istirahatnya terganggu. Namun, apa yang terjadi dengan Yesus? Apakah Ia menjadi marah lantaran orang banyak itu terus mengejarNya, padahal  Ia memerlukan ketenangan bersama dengan para murid-Nya? Ternyata tidak! “Ketika Yesus mendarat, Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hatiNya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala.”(Markus 6:34)

Alih-alih marah, Yesus berbelas kasihan. Yesus berbela rasa. Ia mengerti kebutuhan orang banyak yang terus mencariNya. Belas kasihan atau “bela rasa”, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah: compassion (com: “bersama” dan passion: “penderitaan”, arti harfiah: “merasakan/ menderita bersama). Bela rasa bukan sekedar perasaan sentimentil atau terharu melihat penderitaan sesama. Jauh dari itu! Jika Yesus berbelaskasihan atau berbela rasa bukan berarti Ia hanya sekedar iba melihat orang banyak itu, melainkan Ia mengerti dan merasakan apa yang dibutuhkan oleh orang banyak itu dan demi itu Ia mau mengorbankan kenyamananNya bersama para murid. Ia merelakan waktu “istirahatNya” terganggu. Ia melakukan sesuatu demi mereka! Kapan terakhir kenyamanan Anda terganggu dan apa sikap Anda?

Secara sederhana, saya mengambarkan sikap belarasa itu seperti sepenggal kisah yang entah dari mana sumbernya.

Seorang gadis kecil, Mirta suatu ketika merengek kepada ayahnya agar si ayah memenuhi permintaanya,” Yah, bolehkah saya meminta sesuatu? Ijinkan saya untuk menggunduli rambutku. Sekali ini saja!” Sontak si ayah kaget, “Mana boleh anak perempuan digunduli?” Ayahnya mencoba memberikan pengertian kepada Mirta.” Mirta tampaknya tidak mau menyerah, “Tidak apa-apa ayah, saya tahu resikonya, boleh ya?”

“Teman-temanmu itu cantik-cantik karena rambut mereka panjang. Kalau kamu gundul, mana bisa dibilang cantik. Kamu mau diejek sama teman-temanmu?” Kata si ayah membujuk untuk Mirta mengurungkan niatnya. “Tidak apa-apa ayah, Mirta janji deh tidak akan marah jika ada yang mengejek! Mirta janji juga setelah ini Mirta tidak akan minta apa-apa lagi”. Sang ayah pun menyerah. Dengan berat hati, ia berkata kepada gadis kesayangannya itu, “Ya sudah kalau memang begitu mau mu, tapi jangan menangis ya kalau diejek oleh teman-temanmu!”

Keeseokan harinya, sang ayah mengantar Mirta yang kepalanya sudah plontos ke sekolah. Setelah sampai di sekolah, mata sang ayah menangkap sosok gadis seusia anaknya yang kepalanya plontos juga berdiri di bawah pohon. “Apa sekarang sedang ngetren potongan rambut gundul?” Pikir si ayah dalam hati. “Mirta pergi dulu yah!” seru Mirta dengan wajah penuh ceria. Sang ayah memandangi gadis kecilnya yang kini menghampiri gadis gundul yang berada di bawah pohon. Keduanya pun berjalan masuk menuju ke dalam kelas dengan penuh tawa.

Beberapa saat kemudian, seorang wanita datang menghampiri sang ayah dan berkata, “Wah, anak Anda sungguh hebat! Anak saya menderita leukimia. Ia harus menjalani banyak terapi sehingga merontokkan rambut di kepalanya dan menjadi botak. Ia malu pergi ke sekolah dengan penampilan seperti itu. Tetapi kemudian anak Anda berkata bahwa ia akan menggunduli kepalanya juga supaya anak saya punya teman yang sama-sama botak. Asal Anda tahu, anak saya tidak lagi malu berangkat ke sekolah berkat anak Anda. Terima kasih banyak!”

Bela rasa Yesus ditegaskan ketika Yesus melihat mereka sebagai “domba yang tanpa gembala”. Bahasa yang akrab dala budaya kita “bagai anak ayam kehilangan iduknya”. Apa yang Yesus maksudkan dengan keadaan “Seperti domba yang tidak mempunyai gembala?” William Barcay menyebutnya dengan tiga hal:
  1. Domba tanpa gembala tidak akan dapat menemukan jalan. Domba itu akan tersesat. Di sinilah kepedulian dan bela rasa Yesus ditunjukan dengan memberikan mereka tuntunan dengan pengajaranNya tetapi juga dengan contoh kehidupan yang Ia peragakan.      
  2. Domba tanpa gembala sudah dapat dipastikan tidak akan menemukan padang rumput yang layak untuk dimakan. Dalam hidup ini kita wajib mencari makan. Kita membutuhkan kekuatan yang bisa membuat kita beratahan hidup. Kita mendapatkan kekuatan dari Dia yang memberi “Roti Hidup".       
  3.  Seekor domba tanpa gembala tidak akan mempunyai pembela terhadap bahaya dan ancaman. Tak ada seorang pun yang dapat membela dirinya sendiri dari cobaan yang menerpa hidupnya dan dari kejahatan dunia yang menyerangnya.
 
Yesuslah Gembala yang baik itu. Ia memberikan segalanya untuk kawanan dombaNya, persis seperti yang tertulis dalam Mazmur 23, tentang gembala yang baik. Yang berbeda dari para gembala (pempmpin dan nabi-nabi istana Israel) yang digambarkan dalam Yeremia 23 :1-6. Yang mengorbankan domba-domba (rakyat jelata) hanya untuk kepentingan mereka. Pada mereka tidak ada sedikit pun perasaan bela rasa itu.  Jika Yesus, Tuhan kita penuh dengan bela rasa, adakah sikap itu pada diri kita? Ataukah kini kita sedang sibuk mencari popularitas dan ambisi sehingga tidak peduli lagi dengan orang di sekeliling kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar