Senin, 04 Juni 2012

PEMBARUAN SPIRITUALITAS MENGHASILKAN PERSEMBAHAN YANG UTUH

Persembahan bukanlah perkara asing dalam peribadahan gereja. Sayangnya disadari atau tidak makna persembahan itu sering dibatasi dengan pemberian uang. Seorang anggota jemaat merasa dirinya telah memberikan persembahan ketika ia setiap hari minggu memasukkan uangnya ke dalam kantong kolekte dalam Ibadah Minggu. Atau mengalokasikan dananya setiap bulan dalam sampul persembahan bulanan dan setahun sekali memberikan persembahan tahunannya dalam perayaan Pentakosta. Bahkan ada orang yang merasa dirinya telah melakukan pelayanan pekabaran Injil ketika ia memberikan sejumlah uangnya untuk program penginjilan itu. Salahkah pemahaman seperti itu? Tentu saja tidak sepenuhnya salah. Namun, belumlah utuh. Sebab persembahan mestinya dipahami sebagai ungkapan syukur dari orang yang menyembah kepada Tuhannya. 

Kata persembahan berasal dari kata dasar “sembah”, jelas berbeda sama sekali dengan menyumbangan. Orang yang memberikan persembahan seharusnya mengingat bahwa apa yang dilakukannya adalah dalam rangka menyembah Tuhan bukan menyumbang Tuhan. Tuhan tidak perlu disumbang karena Dialah pemilik segala-sesuatu! Orang yang memberikan persembahan bukan juga dilandasi motivasi agar Tuhan membalas budi baiknya. Melainkan karena Tuhanlah yang terlebih dahulu memberkati kita.

Persembahkan tubuhmu kepada Allah,” kata Paulus dalam Surat Roma 12:1. Bagi Paulus tidak ada pelayanan yang lebih mulia dari seorang pengikut Kristus kecuali mempersembahkan tubuhnya. Apakah artinya? Haruskah diartikan secara harafiah dengan mengorbankan tubuh sendiri, seperti yang terjadi pada agama-agama suku primitif? Tentu tidak seperti itu! Setiap orang Kristen yang menghayati imannya dengan benar akan menyakini bahwa hidupnya yang lama telah ditebus oleh darah Kristus. Bukan dengan emas dan perak, melainkan dengan darah yang teramat mahal. Sehingga dosa dan kuasanya tidak lagi membelenggu dirinya. Orang yang mempunyai keyakinan demikian akan memandang bahwa kini dirinya dan seluruh tubuhnya adalah milik Allah. Dipersembahkan kepada Allah artinya seluruh olah pikiran karya dan karsa semata-mata ditujukan untuk kemuliaanNya.

Paulus memandang, idealnya tidak ada pemisahan dalam konsep ibadah dan memberikan persembahan kepada Tuhan.  Orang yang bekerja di dunia sekuler: di pabrik, kantor, toko, pemerintahan dan sebagainya sama mulianya ketika ia melayani di rumah Tuhan atau gereja. Paulus memahami bahwa ibadah yang sejati itu tidak lain dari mempersembahkan kehidupan sehari-hari kepadaNya, bukan sesuatu yang dibatasi pada kegiatan-kegiatan di lingkup gereja saja, melainkan memandang seluruh dunia sebagai Bait Allah.

Seseorang memang bisa mengatakan , “Saya akan ke gereja untuk beribadah kepada Allah,” tetapi seharusnya ia berkata, “Saya akan ke pabrik, ke toko, ke kantor, ke sekolah, ke garasi, ke pelabuhan, ke sawah dan ladang, ke kandang sapi, ke kebun, ke ruang pengadilan, dan seterusnya, untuk beribadah kepada Allah.” Di tempat-tempat itulahlah saya harus memuliakan nama-Nya. Inilah sebenarnya persembahan yang diharapkan Allah bahwa di mana pun kita berada di situ nama Tuhan dimuliakan. Apa dampaknya jika setiap anggota GKI melakukan gaya hidup yang demikian? Kami percaya bahwa GKI akan tumbuh menjadi gereja yang sesungguhnya; menerangi dan menggarami dunia di sekitarnya. GKI akan menghasilkan anggota-anggotanya yang tidak munafik, melainkan orang-orang yang terbiasa hidup menuruti kehendak Tuhan sekalipun bukan di dalam kandangnya, yakni gereja. Kualitas yang baik dengan sendirinya akan disukai banyak orang sehingga pertambahan merupakan keniscayaan. Lihatlah cara hidup jemaat pertama yang dicatat dalam Kisah Rasul 2: 41-47. Kualitas iman mereka berdampak pada pertambahan. “…Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah dengan orang yang diselamatkan.” (ay.47)

Hidup beribadah seperti itu, lanjut Paulus, menuntut perubahan  secara radikal. Kita tidak boleh menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi sebaliknya harus berubah. Untuk menyatakan gagasan ini, Paulus memakai dua kata Yunani yang hampir tidak dapat diterjemahkan. Kata yang ia pakai untuk “menjadi serupa dengan dunia ini ialah kata, suschematizesthai akar katanya schema, yang artinya: “bentuk luar yang selalu berubah-ubah, dari tahun ke tahun dan dari hari ke hari. Berubah seiring dengan kondisi lingkungan dan waktu. Schema seseorang tidak sama ketika ia berumur tujuh belas tahun dengan ketika ia berumur tujuh puluh tahun. Dulu tampilan fisiknya prima, gagah. Kini renta dan sakit-sakitann. Tampilan dan gaya busana seseorang tidak sama ketika ia akan bekerja ke pabrik dengan ketika ia akan pergi ke jamuan makan malam. Itulah schema yang terus-menerus berubah. Oleh karena itu Paulus berkata, “Jangan berusaha menyesuaikan kehidupanmu kepada kebiasaan-kebiasaan dunia; jangan menjadi seperti bunglon yang warnanya dapat berubah-ubah, menurut lingkungannya.” Tentu bukan perubahan seperti ini yang diharapkan Paulus.

Kata yang digunakan oleh Paulus untuk, “berubahlah dari dunia” ialah kata, “metamorphousthai”. Akar katanya morphe. Artinya, suatu bentuk atau unsur pokok/inti yang tidak berubah. Orang mempunyai schema, yang tidak sama pada  masa mudanya dengan ketika ia sudah tua, fisiknya pasti mengalami perubahan. Namun, ia mempunyai morphe yang sama; jiwa yang sama. Schema air bisa berwujud uap, es dan air. Namun morphe-nya sama yakni H2O. Bentuk luarnya bisa berubah namun dalam sel intinya tetap sama. Oleh karena itu, kata Paulus, untuk dapat beribadah dan melayani Allah, kita harus mempunyai suatu perubahan, bukan bentuk luar kita saja. Bukan schema-nya saja yang berubah melainkan morphe­­-­nya. Karakter atau kepribadiaan yang ada dalam diri kita. Itulah perubahan spiritualitas.

Bagaimanakah perubahan itu terjadi? Paulus mengatakan, bahwa yang ada pada kita adalah kehidupan “kata sarka”, apa artinya? Kehidupan yang dikuasai oleh tabiat manusia yang paling rendah; nafsu egoisme dan egosentrisme. Segala-sesuatu dilihat dari sudut pandang apa yang menguntungkan diriku. Jika dipandang dapat merugikan maka aku enggan untuk melakukannya. Coba bayangkan bila setiap anggota jemaat atau simpatisan GKI hidupnya hanya berpusat pada diri dan keinginannya. Pastilah terjadi banyak konflik dan pertentangan. Kehidupan gereja seperti ini sudah dapat dipastikan makin hari gereja makin tidak disukai. Tunggu saja saatnya gulung tikar!

Paulus mau agar kehidupan yang digambarkannya dengan kata sarka mengalami perubahan. Pembaruan hidup mengarah kepada kata christon yakni kehidupan di dalam Kristus. Kehidupan di dalam Kristus bukan hanya ucapan semata atau tampilan yang berubah, melainkan benar-benar dalam kerangka apa yang diajarkan dan diteladankan Yesus seoptimal mungkin dilakukan dalam praktek hidup. Menjadi gaya hidup sehari-hari. Selain kata christon, Paulus menyebut juga dengan kata pneuma, artinya kehidupan yang dikuasai oleh Roh Kudus. Kehidupan yang dikuasai oleh Roh Kudus pasti akan berbuahkan kebajikan. Pembaruan seperti itulah yang diinginkan Paulus. Bukan sekedar tampilan atau kulit luarnya belaka!

Ini harus terjadi jika kehidupan gereja ingin bergairah dan terus dipakai Tuhan menjadi berkat bagi dunia. Pembaruan budi atau spiritualitas mutlak harus terjadi. Kata yang dipakai untuk “pembaruan” adalah anakainosis.  Dalam bahasa Yunani ada dua istilah untuk kata “baru”. Yang pertama, kata itu neos. Neos berarti baru menurut batasan waktu. Kata itu sering disebut dengan new atau neo. Yang kedua, kata kainos artinya baru menurut sifat atau hakekatnya. Sebuah mobil Avanza Velos  adalah produk neos. Mobil ini baru menurut tahun keluarnya dan memang sebelumnya bentuk yang seperti itu belum pernah ada. Tetapi orang yang dulunya berdosa dan sekarang berada pada jalan Tuhan dengan mengerjakan apa yang Tuhan kehendaki adalah kainos. Pada saat Yesus masuk dalam kehidupan seseorang maka kehidupan orang itu adalah kainos, baru. Baru bukan tampilannya; orangnya terlihat ya itu-itu saja, tetapi karakternya dari dalam dirinya telah mengalami pembaruan. Egosentris dan egoismenya telah diubah oleh Yesus yang berkuasa di dalam dirinya dan ia menerimanya dengan sukacita. Sehingga ia dapat berkata seperti Paulus berkata, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”
 
Apabila Yesus Kristus yang menjadi pusat kehidupan, barulah kita dapat mempersembahkan ibadah yang sejati di setiap detik dan setiap perbuatan kita kepada Allah. Apabila Kristus yang menjadi kepala gereja kita maka setiap saat dan detik, seluruh anggotanya akan hidup seperti Yesus hidup. Marilah kita berubah, bukan perubahan tampak luar saja melainkan berubah dari dalam. Perubahan spiritualitas! Percayalah jika kita semua punya komitmen untuk mau diubahNya, maka betapa pun sulitnya tantangan pelayanan gereja, Tuhan akan menyertai kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar