Rabu, 13 Juni 2012

MENDIDIK DENGAN KASIH

Tidak seorang pun yang suka menerima kritik. Adalah kodrat manusia menolak untuk dikritik. Sebagus apa pun kritikan disampaikan oleh orang lain, alih-alih merasa bersyukur, ada perasaan yang tidak nyaman menelisik masuk sampai ke ulu hati. Sering kita dengar kritikan merupakan obat pahit namun mujarab untuk bekal kemajuan. Namun, kalau kita mau jujur pastilah tidak ada orang yang mau atau rela dikritik apalagi dikecam. Kritik sering bersifat merendahkan dan menghancurkan seseorang.

Seorang sales produk akan sukses bila dalam pemasarannya ia menghindari untuk mengkritik produk pesaingnya. Kenyataan banyak salesman/girl yang terjebak dalam pola ini: mengkritik, mengecam atau menjelek-jelekkan produk lain. Tengok saja iklan yang menyapa kita setiap hari. Bila dicermati sebagian besar isinya mengunggulkan produk sendiri dan merendahkan produk pesanginya. Demikian juga dengan partai politik. Mereka sibuk mencari kesalahan partai lain. Sedikit saja ada kesalahan, sudah cukup bagi mereka menjadikannya sebagai amunisi untuk menyerang. Bagaimana dengan agama? Oh, agama tidak lepas dari hal serupa. Semua jualannya sama: mengunggulkan agama dan keyakinannya sambil mengecam dan menjelek-jelekkan agama orang lain.

Salesman yang doyan mengecam produk pesaingnya tidak pernah akan menjadi salesman jempolan. Tidak akan mencapai sukses yang berkepanjangan. Mengapa? Sebab dengan memakai cara seperti itu, tanpa disadari, mereka telah mengecam kebijaksanaan si bakal calon pelanggan yang mungkin saja telah memilih produk pesaingnya. Si calon pelanggan diserang, mereka dituduh keliru dan tidak cerdas.Di samping itu metode menjelekan pihak lain merupakan tindakan narsis.

Istilah narsisis pertama kali dipergunakan dalam dunia psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil tokoh mitologi Yunani, Narkissos (Lat: Narcissus) yang dikutuk sehingga ia mencintai banyangannya sendiri di kolam. Tanpa sengaja ia menjulurkan tangannya menggapai bayangannya itu sehingga ia tenggelam. Membanggakan diri dengan berlebihan bisa membuat orang tenggelam dalam fanatisme sempit. Pandangannya hanya tertuju pada dirinya. Universitas Southern Mississippi pernah mengadakan penelitian yang menyimpulkan bahwa individu-individu yang tingkat narsismenya tinggi sebenarnya adalah pribadi-pribadi yang tidak mempercayai diri mereka sehebat apa yang mereka gembar-gemborkan (Erin Myer – Live Science, Reuter). Jadi sebenarnya orang-orang yang narsis dengan dirinya, produknya, partainya, agamanya, dan seterusnya adalah pribadi-pribadi yang tidak PD.

Celakanya budaya seperti itu berkembang dan dipraktekan di rumah dan sejak usia dini. Banyak ibu-ibu yang membuat dirinya sendiri menjadi letih dan cepat tua melalui cara mereka dalam mendidik anak. Mereka mengendalikan anak-anak mereka dengan cara membentak, bawel, menghukum dan mengatur, “Jangan melakukan ini!”, “Jangan begitu!”, “Tidak! Tidak!”, “Kamu tidak bakal mencapai apa pun!”, “Kamu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!”, “Apa sih yang salah pada dirimu?” Semua ini negatif dan pasti menimbulkan daya tolak. Tidak mungkin terjadi komunikasiyang baik, apalagi edukasi yang benar.

Cara-cara kasih sayang akan memberikan hasil lebih baik pada anak-anak dari pada cara mengatur mereka dengan berlebihan. Teknik kasih sayang akan dengan segera menimbulkan kepatuhan dan penghormatan mereka kepada Anda. Keluarkanlah kebaikan yang ada pada anak-anak itu  dan bukan malah menekan kesalahan-kesalahan mereka. Dengan menarik keluar naluri-naluri terbaik anak dan bukannya yang buruk. Anda akan terkejut betapa cepatnya mereka menanggapi aksi yang Anda lakukan.

Andaikan para tuan, pemberi kerja mau memberikan simpati dan sikap manis kepada para karyawan sebagai ganti sikap meraja, mengritik, mengatur, mencela dan mencari-cari kesalahan, maka baik kualitas maupun kuantitas hasil kerja para karyawan niscaya akan meningkat pesat. Simpati, kebaikan dan cinta adalah penetral yang hebat bagi segala bentuk perselisihan. Manakala Anda merasa sikap kritis mulai menonjol keluar dari diri Anda, netralkan hal ini dengan pemikiran tentang cinta. Cara-cara cinta adalah cara-cara Tuhan!  Ingatlah perkataan Paulus dalam I Korintus 13:1-3, Sehebat dan sebisa apa pun Anda, tanpa kasih tidak ada artinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar