Seorang gadis kecil lahir dalam sebuah keluarga teramat sederhana di sebuah pedalaman Tennessee. Ia merupakan anak ke -20 dari 21 saudara. Ia dilahirkan dalam kondisi prematur dan mengalami cacat mental. Hidupnya penuh dengan penderitaan. Ketika berusia empat tahun ia mengidap komplikasi penyakit pneumonia dan demam kuning, yang menyebabkan kelumpuhan pada kaki kirinya. Terpaksa ia harus menggunakan kaki palsu yang terbuat dari besi putih. Untunglah ia mempunyai seorang ibu yang penuh dengan kasih sayang. Ibunya selalu memberikan motivasi agar si gadis kecil ini tidak terpuruk oleh kelemahan tubuhnya, yang penting adalah iman, kegigihan, keberanian, ketabahan dan semangat juang yang tinggi. Ibunya memberi kebebasan agar ia dapat melakukan apa saja layaknya anak yang normal.
Menginjak usia sembilan tahun, si gadis kecil itu memberanikan diri menanggalkan besi putih di kakinya. Dia selalu mengingat nasehat dokter yang merawatnya bahwa ia tidak pernah akan normal lagi. Hal menakjubkan terjadi, dalam waktu empat tahun gadis kecil itu mengalami kemajuan medis yang cukup pesat. Kini sang gadis kecil itu bercita-cita menjadi pelari terkenal. Namun, apakah ia dapat menggapainya dengan kaki yang tidak normal?
Dalam usia 13 tahun ia mulai ikut perlombaan lari. Ia berada di urutan terakhir. Ia selalu ikut dalam setiap perlombaan lari di sekolah. Setiap kali ia ikut perlombaan, setiap orang menganjurkan agar ia keluar saja dari arena pertandingan, karena ia selalu berada di urutan terakhir. Namun hal itu tidak membuatnya menyerah. Sekarang, tibalah saatnya. Dalam suatu perlombaan, ia berhasil menjadi seorang juara. Sejak saat itu, Wilma Rudolph selalu menjadi juara dalam setiap perlombaan lari yang diikutinya. Ia menjadi seorang pelari terkenal!
Wilma kemudian masuk Universitas Negeri Tennessee, di sana ia bertemu dengan seorang pelatih terkenal, Edward S. Temple. Ed melihat semangat yang gigih, di samping iman serta talenta yang besar dalam diri gadis itu. Ed melatihnya dengan cermat dan sungguh-sungguh, sehingga ia dapat mengikuti Kejuaraan Olympiade. Dalam arena Olympiade, ia harus bersaing dengan seorang pelari Jerman terkenal saat itu, bernama Jutta Heine. Tidak seorang pun menyangsikan kehebatan Jutta. Namun, kenyataan bicara lain, dalam lomba lari 100 m Wilma-lah yang keluar menjadi pemenang. Demikian juga Wilma mampu mengalahkan Jutta dalam nomor lari 200 m. sekarang Wilma sudah mengantongi dua medali emas Olympiade.
Akhirnya, tibalah giliran lomba lari 400 m estafet puteri. Sekali lagi regu Wilma harus berhadapan dengan regu Jutta. Dua pelari pertama dalam regu Wilma berhasil memimpin di depan. Tetapi ketika tiba pada giliran pelari ketiga memberikan tongkat estafet kepada Wilma, ia begitu gembira sehingga tongkat itu terjatuh. Jutta berhasil melewatinya. Dalam kesempatan seperti ini mustahil bagi seseorang untuk mengejar mendahului Jutta. Tetapi Wilma mampu melakukan hal itu! Wilma Rudolph wanita Amerika pertama yang merebut tiga medali emas Olympiade 1960 di Roma!
Apa yang terjadi jika Wilma mengubur talentanya lantaran penderitaan dan kondisi fisik yang di alaminya? Ya, pastilah 80.000 orang di stadion Roma tak pernah menyaksikan pengalungan tiga medali emas pada seorang wanita yang pernah mengidap penyakit folio ini. Wilma Rudolph tidak pernah melewatkan kesempatan sekecil apa pun untuk meraih mimpinya. Penghargaan tiga medali emas Olympiade rasanya sebanding dengan perjuangannya.
Banyak orang menginginkan kemenangan dan penghargaan, namun seringkali lupa untuk tetap tegar di tengah kesulitan. Demikian juga dengan kehidupan iman. Maunya semua orang masuk surga, namun dengan cara yang mudah. Sering kali ketekunan dan kerja keras terabaikan. Tesalonika merupakan salah satu jemaat yang tidak hidup dengan prinsip seperti itu. Mereka mempraktekkan keyakinan iman dalam gaya hidup sehari-hari. Jemaat Tesalonika dipuji Paulus, oleh karena mereka tidak hanya merindukan kemenangan dan kedatangan Tuhan Yesus dengan hanya berpangku tangan dan asal percaya, melainkan tersirat dari perkataan Paulus: “Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita.”(1 Tesalonika 1:3) sehingga dalam kondisi seperti ini, kesaksian dengan sendirinya menjadi nyata, “…, tetapi di semua tempat telah tersiar kabar tentang imanmu kepada Allah, sehingga kami tidak usah mengatakan apa-apa tentang hal itu.”( 1 Tes.1:8).
Biasanya orang yang banyak melakukan pekerjaan Tuhan, tidak perlu berkomentar panjang lebar sebab tidak ada waktu untuk itu. Sebaliknya orang yang tidak melakukan pekerjaan yang dikehendaki Tuhan akan banyak komentar, sibuk mencari pembenaran dan sibuk mencari kesalahan orang lain. Hal ini tercermin dari perumpamaan tentang talenta yang dicatat Matius 25 : 14-30. Perumpamaan ini bercerita tentang seorang pengusaha yang memercayakan sejumlah talenta (modal) kepada tiga orang hambanya. Masing-masing diberi lima, dua dan satu talenta, sesuai dengan kemampuan mereka. Hamba yang diberi lima dan dua talenta berhasil melipatgandakan modal itu, sehingga si tuan memuji mereka. Namun tidak untuk hamba yang diberi satu talenta. Ia menguburnya dan tidak melakukan apa-apa dengan talenta itu! Ketika tiba hari perhitungan, lihatlah komentar hamba ini. Ia banyak komentar mencari pembenaran dan menyalahkan tuannya (ayat 24, 25).
Hamba ini disebut sebagai hamba yang jahat bukan karena ia memanfaatkan apalagi mengorupsi uang tuannya. Justeru uang itu ia simpan rapi dan aman. Dikubur! Hamba ini disebut jahat oleh karena ia malas dan tidak melakukan apa yang tuannya kehendaki. Di sini kita dapat memahami bahwa apa yang disebut jahat di mata Tuhan adalah manakala kita tidak mengelola talenta / sumberdaya yang Tuhan sudah percayakan kepada kita. Jadi ketika kita diam, tidak mau peduli dengan keadaan yang sedang terjadi, padahal kita punya potensi mengubah keadaan di situlah Tuhan menggolongkan kita sebagai hamba yang jahat!
Seseorang yang menyadari bahwa dirinya diberikan potensi oleh Tuhan, maka ia akan mengelolanya dengan baik. Sebab di akhir nanti akan ada perhitungan pertanggungjawaban. Sudahkah kita mengoptimalkan talenta itu untuk menyambut kedatangan-Nya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar